Sudahkah Anda Menunaikan Zakat Profesi?

Status zakat profesi masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Zakat dalam Islam memang beragam macamnya, namun istilah zakat profesi belum ada dalil yang secara spesifik mengatur, baik di dalam Alquran maupun hadist. Lantas, apakah zakat profesi tidak wajib ditunaikan?

Istilah zakat profesi merupakan produk pemikiran ulama kontemporer, yakni Syeikh Yusuf al-Qardhowi. Beliau memperkenalkan istilah zakat profesi dalam disertasi gelar doktornya di Universitas Al-Azhar yang berjudul Fikih Zakat. Sedangkan berdasarkan para pelopornya, zakat profesi memang tidak dikenal dalam khazanah keilmuan Islam.

Untuk itu, hasil profesi yang berupa harta dikategorikan berdasarkan qiyas (analogi) maupun syabah (kemiripan) dengan karakteristik harta zakat yang telah ada. Harta itu baik diperoleh dari hasil produksi pertanian yang diukur berdasarkan nishab 653 kilogram (kg) gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 552 kg, maupun harta yang diterima sebagai penghasilan berupa uang.

Menurut KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, hasil profesi apabila sudah memenuhi ketentuan wajib zakat, maka wajib hukumnya bagi yang bersangkutan menunaikan zakatnya. Apabila zakat profesinya berbentuk uang, maka yang perlu dikeluarkan adalah sebesar 2,5 persen per bulan.

Kendati demikian, beliau berpendapat, status zakat profesi masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Bagi yang berpendapat adanya zakat profesi dengan mengkiaskan hasil pertanian, maka setiap profesi diperoleh hasil profesi dan mencapai nishab maka setiap itu harus dikeluarkan zakatnya.

Sedangkan apabila zakat profesi itu dikiaskan dengan uang, maka hal ini disyaratkan mencapai nishab dan haul serta dikeluarkan sebesar 2,5 persen. Adapun orang yang mengeluarkan zakat profesi setiap bulan harus juga memperhitungkan zakat pada perkiraan haul (tahunan)-nya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Terbukti Mustajab, Doa untuk Anak agar Kaya dan Hidupnya Berkah

Ini lafadz doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Doa untuk anak agar kaya dan hidupnya barokah.

Bahkan doa ini bukan hanya untuk anak kandung tetapi juga untuk murid. Karena Rasulullah dengan doa ini mendoakan sahabat kecil yang melayaninya, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

Anas bin Malik adalah putra Malik dan Ummu Sulaim. Ketika usianya masih delapan tahun, Ummu Sulaim menggandengnya menghadap Rasulullah yang baru tiba di Madinah. Hijrah dari Makkah.

“Ya Rasulullah, tak ada seorangpun di kalangan anshar, kecuali mereka menghadiahkan sesuatu untukmu,” kata Ummu Sulaim. “Sementara saya tidak memiliki sesuatu yang bisa saya hadiahkan selain putraku ini. Silahkan Anda ambil dan jadikan sebagai  pembantu untuk berkhidmat kepadamu.”

Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha adalah seorang ibu yang luar biasa. Ia ingin memperjuangkan agama Allah dan membantu Rasulullah. Ia juga ingin anaknya mendapat keberkahan dengan melayani Rasulullah.

Sedangkan Anas bin Malik, pada usia sekecil itu ia telah dewasa dan mau mengambil tanggung jawab besar. Di saat anak-anak seusianya banyak yang bermain-main, ia telah siap melayani Rasulullah.

Luar biasanya Ummu Sulaim, ia juga minta Rasulullah mendoakan anaknya. “Ya Rasulullah, inilah Anas. Aku membawanya untuk berkhidmat kepadamu. Maka doakanlah dia.”

Maka Rasulullah pun mendoakan Anas:

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ

Ya Allah, perbanyaklah hartanya dan keturunannya. Serta berkahilah apa yang Engkau berikan kepadanya.

Doa ini diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Shahih-nya masing-masing. Dan sesuai doa ini, Anas bin Malik menjadi seorang yang kaya raya dan banyak keturunan. Hidupnya juga diberkahi Allah.

“Demi Allah, harta bendaku sangat banyak dan anak cucuku hari ini lebih dari seratus orang,” kata Anas bin Malik dalam riwayat Imam Muslim.

Mendoakan anak agar kaya dan keturunannya banyak tidaklah dilarang dalam Islam. Dan jangan lupa, doakan pula keberkahan untuk mereka. Sebab ketika hidupnya berkah, maka harta dan nikmat lainnya digunakan untuk beribadah dan kebaikannya bertambah. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

Doa lain bisa dibaca di Kumpulan Doa


Hukum Shalat dengan Menghadap Sutrah (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Shalat dengan Menghadap Sutrah (Bag. 2)

Hikmah dari Perintah Membuat Sutrah

Adapun hikmah dari perintah membuat sutrah ketika shalat adalah mencegah adanya bahaya ketika shalat yang disebabkan oleh lewatnya setan di hadapannya. Hal ini bisa kita pahami dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Sahl bin Abu Khatsmah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لَا يَقْطَعِ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ

“Jika salah seorang di antara kalian shalat, shalatlah menghadap sutrah, dan mendekatlah ke sutrah. Setan tidak akan bisa memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan alasan disyariatkannya sutrah ketika shalat, yaitu agar setan tidak memutus shalatnya. 

Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ

“Apabila salah seorang di antara kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang lewat di hadapannya. Jika dia menolak, maka cegahlah (lawanlah) dengan kuat, karena ada setan (qarin) bersamanya.” (HR. Muslim no. 506)

“Setan” adalah suatu sifat yang bisa melekat pada jin atau manusia. Al-‘Aini rahimahullah berkata,

“Dan terkadang yang dimaksudkan dengan setan yang lewat di hadapannya adalah dirinya sendiri. Hal ini karena setan adalah yang memiliki sifat durhaka dan kotor, baik dari kalangan jin ataupun manusia.” (‘Umdatul Qari, 4: 122)

Sebagian ulama mengatakan bahwa hikmah dari membuat sutrah adalah menjaga pandangan dari segala sesuatu yang ada di balik sutrah dan mencegah orang yang akan lewat di dekatnya. Ini adalah perkara yang lebih bisa kita rasakan. Hal ini karena orang yang shalat menghadap sutrah lebih bisa memfokuskan hatinya, lebih khusyu’, dan lebih bisa menjaga pandangannya. Lebih-lebih jika sutrahnya adalah sesuatu yang permanen seperti tembok atau tiang. 

Jika seseorang telah memasang sutrah, tidak perlu lagi menghiraukan siapa saja yang lewat di belakang sutrahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلَا يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ

“Jika salah seorang di antara kalian meletakkan (pembatas) setinggi pelana, maka shalatlah, dan tidak perlu peduli dengan siapa saja yang lewat di belakangnya (sutrah).” (HR. Muslim no. 499)

Hikmah lain yang tidak kalah penting adalah dalam rangka mengikuti perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti petunjuknya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

أن فيها امتثالاً لأمر النبيِّ صلّى الله عليه وسلّم واتباعاً لهديه، وكلُّ ما كان امتثالاً لأمر الله ورسوله، أو اتباعاً لهدي الرسول عليه الصَّلاة والسَّلام فإنَّه خير.

“Di dalamnya terkandung (hikmah) mematuhi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti petunjuknya. Karena setiap bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya atau mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebaikan.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3: 275)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53211-hukum-shalat-dengan-menghadap-sutrah-bag-3.html

Hukum Shalat dengan Menghadap Sutrah (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Shalat dengan Menghadap Sutrah (Bag. 1)

Hukum Membuat atau Memasang sutrah Ketika Shalat

Dari hadits-hadits yang telah kami sebutkan, sebagian ulama mengatakan bahwa hukum membuat sutrah adalah wajib. Di antara ulama yang mengatakan wajib adalah Ibnu Khuzaimah, Asy-Syaukani, sebagian ulama madzhab Hambali, dan juga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahumullah. Hal ini dengan dua pertimbangan berikut ini:

Pertama, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. Sedangkan dalam kaidah ilmu ushul fiqh, adanya perintah (tanpa ada keterangan tambahan) menunjukkan hukum wajib.

Ke dua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan alasan disyariatkannya sutrah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَلْيَدْنُ مِنْهَا لَا يَقْطَعِ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ

“Mendekatlah ke sutrah (agar) setan tidak akan bisa memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695, dinilai shahih oleh Al-Albani) [1]

Pendapat Jumhur Ulama

Adapun jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa memasang sutrah hukumnya sunnah. Sehingga seseorang tidaklah berdosa jika meninggalkannya. Hal ini karena sutrah dinilai sebagai perkara yang menyempurnakan shalat, sehingga keabsahan shalat tidak bergantung dengannya. Sutrah juga tidak termasuk dalam gerakan di dalam shalat sehingga jika ditinggalkan berarti membatalkan shalat. Hal ini adalah di antara indikasi bahwa sutrah adalah perkara penyempurna shalat seseorang, sehingga hukumnya tidak sampai derajat wajib. Dan menurut jumhur ulama, hal tersebut merupakan indikasi yang memalingkan perintah-perintah dalam hadits di atas dari hukum wajib menjadi sunnah. [2]

Indikasi lainnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, 

أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلاَمَ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ، وَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ، فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ، فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَيَّ

“Aku datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh. Ketika itu, Rasulullah sedang shalat di Mina dengan tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada orang yang menyalahkanku.” (HR. Bukhari no. 76 dan Muslim no. 504)

Indikator lain yang memalingkan dari hukum wajib adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasinya dari orang (yang lewat di depannya, pen.), kemudian ada seseorang yang hendak lewat di hadapannya, maka hendaklah dicegah. Jika dia tidak mau, maka lawanlah dia, karena dia itu adalah setan.” (HR. Bukhari no. 509 dan Muslim no. 505)

Mengomentari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

فإن قوله: «إذا صَلَّى أحدُكم إلى شيء يستره» يدلُّ على أن المُصلِّي قد يُصلِّي إلى شيء يستره وقد لا يُصلِّي، لأن مثل هذه الصيغة لا تدلُّ على أن كلَّ الناس يصلون إلى سُتْرة، بل تدلُّ على أن بعضاً يُصلِّي إلى سُتْرة والبعض الآخر لا يُصلِّي إليها.

“Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasinya dari orang (yang lewat di depannya, pen.)” menunjukkan bahwa orang yang shalat terkadang menghadap sesuatu yang membatasi dan terkadang tidak. Model kalimat semacam ini tidaklah menunjukkan bahwa semua orang shalat (harus) shalat menghadap sutrah. Akan tetapi menunjukkan bahwa sebagian orang shalat itu menghadap sutrah dan sebagiannya lagi tidak.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3: 276)

Pendapat yang Lebih Kuat dalam Masalah Ini

Dengan mempertimbangkan indikasi-indikasi tersebut, wallahu Ta’ala a’lam, yang lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa hukum memasang sutrah itu sunnah, tidak wajib. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

وأدلَّة القائلين بأن السُّتْرة سُنَّة وهم الجمهور أقوى، وهو الأرجح

“Dalil-dalil ulama, yaitu jumhur ulama, yang berpendapat bahwa sutrah itu hukumnya sunnah adalah pendapat yang lebih kuat dan inilah pendapat yang lebih tepat.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3: 277)

Syaikh Abu Malik mengatakan, “Disunnahkan untuk memasang sutrah di depannya ketika shalat, untuk mencegah orang lewat di depannya dan menghalangi pandangannya dari apa yang ada di belakang sutrah.” (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 342)

Penulis kitab Raudhatul Mutanazzih Syarh Bidaayah Al-Mutafaqqih (1: 285) berkata, “Yang lebih kuat, wallahu a’lam, adalah pendapat ke dua yang mengatakan bahwa sutrah itu hukumnya sunnah mu’akkad. Oleh karena itu, dimakruhkan shalat tanpa menghadap sutrah bagi imam atau orang yang shalat sendirian.” 

Sehingga hukum sunnah tersebut tidak berlaku untuk makmum. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

أما المَأموم فلا يُسَنُّ له اتِّخاذ السُّترة؛ لأن الصحابة ـ رضي الله عنهم ـ كانوا يصلّون مع النبي صلّى الله عليه وسلّم ولم يتخذ أحدٌ منهم سترة.

“Adapun makmum, maka tidak dianjurkan memasang sutrah. Hal ini karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka dulu biasa shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak seorang pun di antara mereka yang memasang sutrah.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3: 278)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53203-hukum-shalat-dengan-menghadap-sutrah-bag-2.html

Cara Yahudi Menghibur Diri Dari Dosa

Ust mhn dijelaskan apa makna ayat dlm surat Al Baqarah ayat ke 80,

وَقَالُوا لَن تَمَسَّنَا النَّارُ إِلَّا أَيَّامًا مَّعْدُودَةً

Kaum Yahudi berkata: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja”.

Mksdnya bbrp hari saja apa ya Ust? Sykron atas pnjlsannya…

Jawaban:

Bismillah wal hamdulillah was sholaatu was salaam ‘ala Rasulillah, wa ba’du.

Ayat di atas adalah bantahan Allah ‘azza wa jalla kepada kaum Yahudi atas keyakinan mereka yang isinya memghibur diri untuk tetap nyaman dalam kekafiran. Padahal mereka tahu bahwa Muhammad shallallahualaihi wa sallam adalah Rasul dan Nabi terakhir. Ciri-ciri beiau telah dijelaskan gamblang di kitab Taurat. Mereka sadar jika tidak mengimani Muhammad shallallahualaihi wa sallam, mereka berada di jalan yang keliru. Allah membongkar isi hati mereka dalam Al Quran,

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 146)

Menurut mereka, orang-orang yang beragama Yahudi akan diazab di neraka dalam waktu tertentu. Lalu setelah masa azab berakhir, tempat mereka di neraka akan diganti oleh orang-orang selain Yahudi. Kemudian Allah membantah keyakinan sesat ini melalui firmanNya,

وَقَالُوا لَن تَمَسَّنَا النَّارُ إِلَّا أَيَّامًا مَّعْدُودَةً ۚ قُلْ أَتَّخَذْتُمْ عِندَ اللَّـهِ عَهْدًا فَلَن يُخْلِفَ اللَّـهُ عَهْدَهُ ۖ أَمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّـهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Kaum Yahudi berkata: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja”. Jawablah: “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”

بَلَىٰ مَن كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيئَتُهُ فَأُولَـٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

(Bukan demikian), yang benar: barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah : 80 – 81)

Kata mereka, beberapa hari saja maksudnya hanya 40 hari di neraka…

Orang-orang Yahudi, “terang Imam Ibnu Jarir, “berkata : Allah akan memasukkan kami ke dalam neraka selama 40 hari saja. Sampai jika seluruh dosa kami dimakan oleh api, akan ada yang berseru : Keluarkan dari neraka setiap anak keturunan Bani Israil yang sudah disunat. Oleh kerena sebab inilah kami diperintahkan untuk bersunat. Kaum Yahudi berkata : Tak ada seorangpun diantara kami yang berada di neraka melainkan akan dikeluarkan.” (Tafsir At Tobari 1/381).

Demikian cara mereka menghibur diri dari dosa, menaruh harapan yang tinggi, tanpa diimbangi usaha; dalam hal ini beriman, dan tak ada perasaan takut kepada murka Allah. Jika perasaan seperti itu ada pada diri seseorang, maka tinggal menunggu waktu untuk binasa dan mendapat kemurkaan Allah,

  • Berbuat dosa
  • Merasa aman dari murka Allah.

Orang yang demikian sikapnya, akan sulit menyadari dosa dan bertaubat. Kita berlindung kepada Allah dari sikap seperti itu.

Syekh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah memberingan keterangan menarik saat menafsirkan ayat tentang kaum Yahudi di atas,

فجمعوا بين الإساءة والأمن.

Dengan anggapan orang-orang Yahudi yang seperti itu, mereka telah mengumpulkan antara dosa dan merasa aman dari azab Allah. (Tafsir As Sa’di)

Adapun sikap orang-orang beriman, bertolak belakang dengan sikap orang – orang Yahudi di atas. Mereka megumpulkan antara ikhtiyar, berupa iman dan amal sholih, dan rasa takut kepada murka Allah.

Lihatlah Nabi Ibrahim saat beliau takut anak keturunannya melakukan kesyiriakan, lantas membimbing beliau untuk berdoa,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
(QS. Ibrahim 35).

Dalam surat Az Zumar, Allah ‘azzawajalla menceritakan sifat penghuni surga,

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan bersujud dan berdiri. Ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya. Katakanlah: “Adakah sama atara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar : 9).

Demikian sikap para sahabat dahulu -semoga Allah meridhoi mereka-. Imam Bukhori menulis bab dalam kitab Shahihnya berjudul,

باب خوف المؤمن من أن يحبط عمله وهو لا يشعر

Bab : Kekhawatiran seorang mukmin dari perbuatan yang dapat mengugurkan pahala amalnya tanpa ia sadari.

Kemudian beliau menukil perkataan seorang Tabi’in; Ibnu Abi Mulaikah –rahimahullah– yang menceritakan pengalamannya ketika bertemu dengan 30 orang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau mengatakan,

أدركت ثلاثين من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم كلهم يخاف النفاق على نفسه، ما منهم أحد يقول إنه على إيمان جبريل وميكائيل

Saya telah bertemu dengan 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Mereka semua khawatir dirinya terjangkiti penyakit nifak. Tak ada seorangpun diantara mereka yang sampai mengatakan bahwa imannya seperti iman Jibril atau Mikail.

Dua kubu yang masing-masing memiliki sikap yang sangat kontras antar satu sama lain. Satu kubu neraka, satu kubu neraka. Tinggal kepada siapa kita meniru. Nabi shallallahualaihi wa sallam telah mengingatkan,

من تشبه بقوم فهو منهم

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dalam golongannya.” (HR. Abu Dawud, dinilai hasan shahih oleh Syaikh Albani, dalam Shahih Abi Dawud no. 3401).

Wallahua’lam bis showab.

***

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/36016-cara-yahudi-menghibur-diri-dari-dosa.html

Surat Yusuf, Penyambung Asa Perjuangan Umat Islam

Ada hal unik dan menakjubkan dari surat Yusuf. Surat Yusuf turun di fase Makkah, fase dimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya berada dalam kondisi istidh’af (lemah di bawah dominasi rezim batil). Surat Yusuf datang sangat tepat kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menyuguhkan kisah luar biasa, memotret proses perjuangan Yusuf Alaihissalaam yang diawali dari sebuah  mimpi hingga berakhir menjadi kenyataan berupa  tamkin, kekuasaan dan kemapanan. Seakan ada pesan tersirat yang terselip dalam kisah tersebut untuk Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan para Sahabatnya bahwa cita-cita dan janji kemenangan di masa mendatang itu pasti terwujud meski harus melalui proses panjang. Mulai dari disakiti dan dipersekusi keluarga dekat dan para tokoh kabilah sampai pemboikotan.

Ketika masih kecil Allah perlihatkan Nabi Yusuf Alaihissalaam sebuah mimpi yang mengilustrasikan ending dari lika-liku perjuangannya:

إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ

“(Ingatlah) ketika Yusuf berkata kepada kepada ayah-nya, wahai ayahku! Sungguh aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan, kulihat semuanya sujud kepadaku.” [Yusuf : 4]

Dengan bimbingan mimpi besar ini, Yusuf Alaihissalaam mengawali perjalanannya dalam menapaki skenario robbani, agar bisa menjadi dalil dan bukti tentang bagaimana sunnatullah  berlaku kepada makluq dan hamba-Nya yang lemah lainnya.

Skenario pertama, Yusuf Alaihissalaam menjadi korban kedengkian dan konspirasi jahat saudara-saudaranya. Mereka membuang beliau ke dalam sumur, sampai ditemukan oleh kafilah yang lewat, dan dijual sebagai budak di kota yang jauh dari kampung halaman dan keluarganya.

Skenario kedua, Yusuf dibeli oleh keluarga kerajaan. Perwajahannya yang rupawan barangkali yang membuat seorang pejabat (al ‘Aziz) bahkan mengangkatnya sebagai anak. Ia berpesan kepada isterinya agar merawat dan memuliakan Yusuf, padahal semestinya umumnya orang buangan seperti Yusuf dijadikan budak. Pada fase ini kehidupan Yusuf membaik.

Fase selanjutnya, Yusuf harus kembali menghadapi ujian besar. Setelah sekian tahun dirawat dan tumbuh besar, ibu angkat yang merawatnya justru menjadi awal petaka. Permaisuri pejabat Mesir yang merawatnya malah berusaha menggiring beliau pada kebejatan moral. Godaan sang ibu angkat gagal, namun bukannya selesai, permasalahan malah merembet pada godaan seluruh wanita pejabat ibu kota yang rusak moralnya. Konspirasi jahat menarget beliau, namun Allah tetap menjaganya sampai akhirnya beliau lebih memilih dipenjara dari pada menuruti hasrat para isteri pejabat. Pilihan ini juga menjadi simbol sikap bara` (berlepas diri) terhadap kekufuran dan kerusakan tatanan masyarakat yang menyebabkan beliau terpenjara.

إِنِّي تَرَكْتُ مِلَّةَ قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ

Sesunguhnya aku meninggalkan millah masyarakat yang tidak beriman kepada Allah, dan mereka kafir terhadap akhirat.” [Yusuf : 37]

Lalu, masa-masa dalam penjara menjadi skenario selanjutnya. Dalam Al-Quran memang tidak dikisahkan sesengsara nasib Yusuf dalam penjara. Namun, semua pasti tahu, tidak ada penjara yang enak. Hidup tak bebas, logistik dibatasi, belum lagi permusuhan antar penghuni penjara dan kemungkinan siksaan para sipir.

Skenario ini kelihatannya buruk, namun juteru setelah itu jalan mimpi Yusuf Alaihissalaam menuju kenyataan mulai menampakkan tanda-tandanya. Yusuf bertemu dengan dua rekan sepenjara yang lantaran keduanya Allah membukakan pintu menuju keberhasilan. Dua rekannya membawa kabar kemampuan Yusuf mampu menakwil mimpi dan membawa Yusuf keluar dari penjara. Tak hanya itu, Yusuf juga bebas dari tuduhan dan konspirasi jahat para siteri pejabat.

Selain itu, kemampuan Yusuf dalam pengelolaan logistik dan kecerdasannya dalam takwil mimpi  membuat pamor dirinya naik. Yusuf terbukti mengantisipasi krisis akibat kekeringan melaui tafsir mimpi yang cerdas dan solutif. Raja pun kemudian memberikan jabatan strategis bagi Yusuf:

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي ۖ فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ

Raja berkata, “bawalah dia (yusuf) kepadaku, agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat kepadaku), ketika raja telah bercakap-cakap dengannya, dia berkata; sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercaya.” [Yusuf : 54]

Inilah skenario terakhir.  Allah memberikan tamkin, kekuasaan dan kemapanan hidup sebagai seorang mukmin. Karena tamkin bukan sekadar hidup senang dan berkuasa tapi mampu menampakkan keimanannya. Setelah bercerita secara detail rentetan kisah tersebut, Allah berfirman :

“Dan begitulah Aku berikan kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir, dan agar kami ajarkan kepadanya takwil mimpi.” [Yusuf : 21]

Kisah ini membawa pesan untuk Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabat Radhiyallahu Anhum, bahwa keadaaan lemah yang kalian hadapi ditambah dengan tekanan rezim musyrik serupa dengan keadaan yang dialami Yusuf. Allah mengingatkan, Dia yang mengatur sekenario hamba-Nya, mengawal dan mengawasinya,

“Dan Allah berkuasa atas urusan-Nya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.” [Yusuf : 21]

Inilah sekenario besar Allah Azza Wajalla untuk hamba-Nya Yusuf, mulai dari munculnya mimpi dua rekannya sepenjara dan mimpi raja, membuka jalan beliau untuk bebas dari penjara dan membuktikan dirinya bersih dari segala tuduhan, lalu beliau sampai ke istana dan

Dalam kisah ini Allah menegaskan kembali kepada para hamba-Nya yang beriman yang berada dalam fase lemah, bahwa tamkin yang telah dikabarkan kepada Yusuf (melalui mimpi) benar-benar terwujud (terealisasi) di tengah kekuasaan orang yang tidak beriman kepada Allah.

وَكَذَٰلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ ۚ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَاءُ ۖ وَلَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

Dan demikianlah Aku berikan kedudukan kepada Yusuf di negeri (Mesir), untuk tinggal di mana saja yang dia kehendaki, Aku limpahkan rahmat kepada siapa saja yang Aku kehendak, dan Aku tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [Yusuf : 56]

Kisah ini melecut spirit Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan para Sahabatnya bahwa kondisi lemah (tertekan) yang kalian hadapi sekarang suatu hari nanti akan berubah menjadi keadaan tamkin dan kepemimpinan dunia ada bawah kuasa kalian. Dan kelak keturunan orang-orang yang memberikan tekanan kepada kalian justeru akan berubah menjadi orang-orang yang beriman sehingga terbukti doa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam :

بل أرجو أن يخرج الله من أصلابهم من يعبد الله وحده، لا يشرك به شيئا

Justeru aku berharap Allah –Azza Wajalla- mengeluarkan dari keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak berbuat syirik kepadanya sama sekali.”

Dan akhirnya doa ini benar-benar menjadi kenyataan.

Tadabbur surat Yusuf Alaihissalaam yang memotret perjalanan dari mimpi hingga berujung pada tamkin (kemenangan) adalah bekal spirit yang sangat dibutuhkan oleh gerakan kebangkitan islam kaaffah hari ini. Adanya fenomena mundurnya sebagian aktifis dari cita-cita besar ini, ditambah dengan dahsyatnya kekuatan konspirasi global dalam upaya menggerus dan menekan spirit perjuangan hingga membuat sebagian kalangan mulai berputus asa. Putus asa adalah hal yang sangat diwaspadai Nabiyullah Ya’qub Alaihissalaam dan siapa saja yang percaya dan yakin akan mimpi Yusuf Alaihissalam, maka Allah memotret nasehat dan petuah Ya’qub dalam surat Yusuf juga :

  وَلَا تَيْأَسُوا مِن رَّوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

Dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.” [Yusuf : 87]

Jadi, jika situasi perjuangan semakin intens, sulit dan berat tekanannya, bisa jadi saat itulah fajar kemenangan mulai dekat.

Penulis: Abdullah Khomis

Editor: Arju

KIBLAT NET

Memperbaiki Amalan Dahulu, Sebelum Memperbanyaknya

Sebelum memperbanyak kuantitas amal, maka seorang muslim perlu memperbaiki dahulu amalannya dari berbagai kebocoran. Hal ini bukan berarti tidak ingin memperbanyak pahala dengan banyak mengerjakan ibadah. Namun maksudnya adalah memperbaiki ibadah dahulu yaitu disertai kesungguhan dalam menghadirkan akal dan interaksi hati saat ibadah. Kemudian setelah itu kita perbanyak sesuai kehendak kita. Maka dengan itu kita mengumpulkan dua perkara dan mendapatkan dua kebaikan.

Justru pahala amal itu terkait kuat dengan kehadiran hati saat mengerjakan ibadah tersebut..

Ibnu Qayyim berkata :

“Setiap perkataan diberikan pahala oleh Allah jika memang layak diberi pahala. Kaidah ini telah benar, seperti perkataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam : “siapa yang suatu hari membaca : subhanallah wa bihamdihi seratus kali dihapuskan baginya kesalahannya dan diampuni dosa-dosanya walaupun seperti buih lautan.” Pahala ini bukan karena perkataan lisan saja.. benar, siapa yang mengucapkannya dengan lisannya dalam keadaan lalai dari maknanya dan berpaling dari merenunginya, hatinya tidak mengikuti lisannya, tidak memahami nilai dan hakikatnya, namun berhadap pahala dengan itu, dihapus baginya kesalahan sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya. Sesungguhnya amal tidak ditimbang dengan bentuk dan jumlahnya. Namun ditimbang dengan apa yang ada hati. Maka dua amalan yang sama namun bisa jadi takarannya antara langit dan bumi. Dua orang berada dalam satu saf namun nilai sholatnya antara langit dan bumi.” (Madarijus Salikin, 1/339)

Memahami tujuan ibadah bahwa ibadah adalah sarana yang dibutuhkan untuk menghidupkan hati dengan iman, ia adalah langkah awal mendapatkan hakikat ibadah itu. Dengan memahami hal tersebut, maka akan menghasilkan pribadi yang senantiasa memperbaiki kualitas ibadah.

Maka, ketika sholat tujuan terbesarnya adalah menghadirkan hati dalam sholat. Konskuensinya ia akan bersegera datang ke masjid, tafakkur dengan ayat-ayat yang dibaca, tenang dalam ruku’ dan sujud, banyak berdoa dan khusyu’.

Saat berzikir, dia menghiasi zikir dengan tafakkur, beristighfar dengan terbayang dosa-dosanya dan menganggapnya sebagai aib di sisi Allah, menyesali hari-harinya yang lalu, terbayang keagungan Dzat yang dia langgar perintahnya, tasbihnya diiringi tafakkur akan kehadiran Allah yang Maha Agung Maha Perkasa Maha Pencipta. Sebagaimana Hasan al-Bashri berkata :

إن أهل العقل لم يزالوا يعودون بالذكر على الفكر وبالفكر على الذكر حتى استنطقوا القلوب فنطقت بالحكمة

“Sesungguhnya yang berakal senantiasa dzikirnya membawa fikiran dan fikirannya membawa dzikir sehingga bertanya pada hati, kemudian berbicara dengan hikmah.” (Ihya ‘Ulumuddin, 4/425)

Majdi al-Hilali, Hatta la Nakhsar Ramadhon,hlm 6

Alih Bahasa: Zamroni
Editor: Arju

KIBLAT NET

Saling Curiga, Bagaimana Bisa Bangun Kebahagiaan?

MENCARI kesalahan atau memata-matai (tajassus) orang lain hukumnya terlarang. Dilarang oleh Allah dalam al-Quran dan oleh Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadis.

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Umumnya, orang melakukan mata-mata, cari-cari info kesalahan (tajassus), karena dia suudzan kepada korban yang di-mata-matai. Sehingga tindakan tajassus, bisa dipastikan diiringi dengan suudzan. Karena itulah, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menggandengkan dua larangan ini dalam hadisnya, “Hindarilah berprasangka, karena berprasangka itu ucapan yang paling dusta. Dan jangan melakukan tajassus (memata-matai) dan tahassus (mengorek-ngorek berita).” (HR. Ahmad 7858 dan Bukhari 5143)

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga memberikan ancaman, orang yang mencari-cari aib orang lain, maka Allah akan membeberkan kesalahannya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyakiti sesama muslim, jangan menghina mereka, dan jangan mencari-cari kesalahan mereka. Karena orang yang mencari kesalahan saudaranya sesama muslim, maka Allah akan mencari-cari kesalahannya dan membeberkannya, meskipun dia bersembunyi di rumahnya.” (HR. Turmudzi 2032 dan dishahihkan al-Albani).

Zaid bin Wahb bercerita: Ada orang yang digelendeng di hadapan Ibnu Masud, “Si A ini di jenggotnya ada tetesan khamr.” Lalu Ibnu Masud Radhiyallahu anhu mengatakan, “Kita dilarang untuk tajassus, namun jika dia terang-terangan minum khamr, kita akan menghukumnya.” (HR. Abu Daud 4890)

Dan semua dalil ini sifatnya umum. Semua bentuk tajassus kepada sesama muslim, pada asalnya hukumnya dilarang. Sehingga tak terkecuali, antar-suami istri. Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang orang yang memasang rekaman untuk memata-matai istrinya. Jawab beliau, “Menurutku ini termasuk tajassus. Dan tidak boleh bagi siapapun untuk melakukan tajassus kepada sesama muslim. Karena yang boleh kita perhatikan hanya bagian lahiriyah.” (Fatawa al-Liqa as-Syahri, no. 50).

Suami anda, istri anda, semua muslim. Dan sesama muslim tidak boleh saling memata-matai atau melakukan tindakan apapun dalam rangka mencari-cari kesalahan orang lain. Termasuk antr-suami istri. Anda menikah utk membangun kebahagiaan. Bagaimana mungkin anda bisa berbahagia, sementara anda saling curiga? Rumah mewah ibarat neraka jika saling curiga di dalamnya. Sebaliknya, gubug tua bisa menjadi surga, ketika suami istri bisa saling mencintai.

Demikian, semoga bermanfaat. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Mengganggu Shalat Adalah Perbuatan Setan

Tidak boleh seseorang secara langsung atau secara tidak langsung menimbulkan gangguan pada orang-orang yang sedang shalat. Karena mengganggu orang yang shalat adalah diantara perbuatan setan. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ

Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat” (QS. Al Maidah: 91).

Setan mengganggu shalat seseorang sehingga bacaannya menjadi kacau. Dari Utsman bin Abil ‘Ash radhiallahu’anhu ia berkata:

يا رَسولَ اللهِ، إنَّ الشَّيْطَانَ قدْ حَالَ بَيْنِي وبيْنَ صَلَاتي وَقِرَاءَتي يَلْبِسُهَا عَلَيَّ، فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: ذَاكَ شيطَانٌ يُقَالُ له خَنْزَبٌ، فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ باللَّهِ منه، وَاتْفِلْ علَى يَسَارِكَ ثَلَاثًا قالَ: فَفَعَلْتُ ذلكَ فأذْهَبَهُ اللَّهُ عَنِّي

Wahai Rasulullah, setan telah menghalangi antara aku dan shalatku serta mengacaukan bacaanku. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “itu adalah setan yang disebut dengan Khanzab. Jika engkau merasakan sesuatu (gangguan) maka bacalah ta’awwudz dan meniuplah ke kiri 3x”. Utsman mengatakan: “aku pun melakukan itu, dan Allah pun menghilangkan was-was setan dariku” (HR. Muslim no.2203).

Setan mengganggu shalat seseorang dengan menimbulkan was-was pada dirinya sehingga seolah-olah dia telah batal wudhunya. Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يأتي الشيطانُ أحَدَكُم فَيَنْقُرًُ عِنْدَ عِجانِهِ ، فلا ينصرِفُ حتى يَسْمَعَ صوتاً أو يَجِدَ ريحاً

“Setan mendatangi kalian lalu meniup-niup pada dubur kalian (sehingga muncul was-was). Maka janganlah membatalkan shalat kecuali mendengar suara atau merasakan angin” (HR. Thabrani no.11948, Al Baihaqi no.3509, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.3026).

Shaf shalat yang tidak lurus dan tidak rapat akan membuat celah bagi setan untuk Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رُصُّوا صُفُوفَكُمْ ، وَقَارِبُوا بَيْنَهَا ، وَحَاذُوا بِالأعْنَاقِ؛ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ ، كَأَنَّهَا الحَذَفُ

“Rapatkanlah shaf-shaf kalian! Dekatkanlah di antara shaf-shaf tersebut! Sejajarkan leher-leher. Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku benar-benar melihat setan masuk dari celah shaf, seakan-akan setan itu anak-anak kambing” (HR. Abu Daud no. 667, An Nasa-i no. 815, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Orang yang lewat di depan orang yang shalat, dapat mengganggu orang yang shalat tersebut. Orang yang lewat ini disebut oleh Nabi sebagai setan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509, Muslim 505).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa semua bentuk perbuatan mengganggu shalat adalah perbuatan setan. Maka tidak boleh melakukan segala hal yang dapat mengganggu shalat orang lain dengan sengaja. Dan wajib menghilangkan semua hal yang bisa mengganggu shalat, baik berupa suara-suara yang bising, anak-anak kecil yang bermain-main ketika shalat, gambar-gambar yang mengganggu shalat, dan semisalnya.

Shalat adalah ibadah yang agung, kita sedang menghadap Allah Ta’ala, Rabb semesta alam, dalam shalat. Maka hendaknya jadikan shalat kita kekhidmat dan sekhusyuk mungkin.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/46300-mengganggu-shalat-adalah-perbuatan-setan.html

Sutrah Shalat (2) : Apa Saja Yang Bisa Menjadi Sutrah?

Yang boleh menjadi sutrah

1. Anak Panah

Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ

Sutrah seseorang ketika shalat adalah anak panah. Jika seseorang diantara kalian shalat, hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah” (HR. Ahmad 15042, dalam Majma Az Zawaid Al Haitsami berkata: “semua perawi Ahmad dalam hadits ini adalah perawi Shahihain”).

2. Hewan tunggangan

Dalilnya hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhu, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْرِضُ رَاحِلَتَهُ وَهُوَ يُصَلِّي إِلَيْهَا

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah menghadap pada hewan tunggangannya ketika shalat” (HR. Bukhari 507, Muslim 502)

Namun hendaknya hewan tunggangan yang dijadikan sutrah diikat dan tidak membuat orang yang shalat terkena najis.

3. Tiang

Dalilnya hadits Salamah bin Al Akwa’ radhiallahu’anhu, Yazid bin Abi Ubaid berkata:

كنتُ آتي مع سَلَمَةَ بنِ الأكوَعِ،فَيُصلِّي عندَ الأُسطُوانَةِ التي عندَ المُصحفِ،، فقُلْت: يا أبا مُسْلِمٍ، أراكَ تَتَحَرَّى الصلاةَ عندَ هذهِ الأُسطوانَةِ؟ قال: فإني رأيتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يَتَحَرَّى الصلاةَ عِندَها

“aku pernah bersama Salamah bin Al Akwa’, lalu ia shalat di sisi (di belakang) tiang yang ada di Al Mushaf. Aku bertanya: ‘Wahai Abu Muslim, aku melihat engkau shalat di belakang tiang ini, mengapa?’. Ia berkata: ‘aku pernah melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memilih untuk shalat di belakangnya’” (HR. Bukhari 502, Muslim 509)

4. Pohon

Dalilnya hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, beliau berkata:

لقد رأيتُنا ليلةَ بدرٍ, وما فينا إنسانٌ إلَّا نائمًا, إلَّا رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فإنَّه كان يُصلِّي إلى شجرةٍ ويدعو حتَّى أصبحَ

“Sungguh aku menyaksikan keadaan kita pada malam hari perang Badar, tidak ada seorang pun dari kita yang tidak tidur kecuali Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ketika itu beliau mengerjakan shalat menghadap ke sebuah pohon dan berdoa hingga pagi hari” (HR. Ahmad 2/271, Syaikh Ahmad Syakir menilai sanadnya shahih)

5. Tongkat yang ditancapkan

Dalilnya hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma, beliau berkata:

أن رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان إذا خرَج يومَ العيدِ، أمَرَ بالحَربَةِ فتوضَعُ بَين يَدَيهِ، فيُصلِّي إليها والناسُ وَراءَهُ، وكان يفعل ذلك في السَّفرِ، فمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَها الأُمَراءُ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika keluar ke lapangan untuk shalat Id, beliau memerintahkan seseorang untuk membawa tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Lalu beliau shalat menghadap tombak tersebut dan orang-orang manusia bermakmum di belakang beliau. Beliau juga melakukan ini tersebut dalam safarnya. Kemudian hal ini pun dicontoh oleh para umara” (HR. Bukhari 494, Muslim 501)

6. Dinding

Dalilnya hadits Sahl bin Sa’ad As Sa’idi radhiallahu’anhu

كان بين مُصلَّى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وبين الجدارِ ممرُّ الشاةِ

Biasanya antara tempat shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan dinding ada jarak yang cukup untuk domba lewat” (HR. Al Bukhari 496)

7. Benda apapun yang meninggi

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يَقْطَعُ الصَّلَاةَ، الْمَرْأَةُ، وَالْحِمَارُ، وَالْكَلْبُ، وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ

Lewatnya wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat. Itu dapat dicegah dengan menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl” (HR. Muslim 511)

Imam An Nawawi menjelaskan: “mu’khiratur rahl adalah sandaran pelana yang biasanya ada di belakang penunggang hewan” (Syarh Shahih Muslim, 1/231).

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai seberapa tinggi mu’khiratur rahl itu? An Nawawi menyatakan, “dalam hadits ini ada penjelasan bahwa sutrah itu minimal setinggi mu’khiratur rahl, yaitu sekitar 2/3 hasta, namun dapat digantikan dengan apa saja yang berdiri di depannya” (Syarh Shahih Muslim, 4/216). Ibnu Bathal memaparkan: “At Tsauri dan Abu Hanifah menyatakan ukuran minimal sutrah setinggi mu’khiratur rahl yaitu tingginya 1 hasta. Ini juga pendapat Atha’. Al Auza’i juga menyatakan semisal itu, hanya saja ia tidak membatasi harus 1 hasta atau berapapun” (Syarh Shahih Muslim, 2/131). Tentu saja ini adalah khilafiyah ijtihadiyyah diantara para ulama.

Andaikan seseorang hanya mendapatkan benda yang tingginya kurang dari 1 hasta atau 2/3 hasta, semisal batu, kayu, tas atau semacamnya apa yang mesti ia lakukan? Jawabnya, ia boleh memakai benda tersebut sebagai sutrah, selama benda tersebut bisa menghalangi atau membatasi orang yang lewat di depannya. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Al Auza’i, Imam Ahmad, Asy Sya’bi, dan Nafi’. Abu Sa’id berkata: “kami biasa bersutrah dengan panah atau dengan batu dalam shalat” (lihat Fathul Baari Libni Rajab, 4/38). Sehingga dalam hal ini perkaranya luas insya Allah.

8. Orang lain

Jika benda yang tingginya sekitar 2/3 hasta sah untuk menjadi sutrah, maka bersutrah dengan orang lain yang tentu lebih tinggi dari itu dibolehkan. Jumhur ulama menyatakan bolehnya menjadikan orang lain sebagai sutrah. Namun mereka berselisih pendapat dalam rinciannya.

Hanabilah secara mutlak membolehkan bersutrah kepada orang lain. Adapun Hanafiyah dan Malikiyyah menyatakan bolehnya bersutrah pada punggung orang lain, baik ia berdiri ataupun duduk. Adapun bersutrah mengharap bagian depan orang lain, atau menghadap orang yang tidur, atau menghadap wanita tidak diperbolehkan. Sedangkan menghadap punggung wanita hukum diperselisihkan, dianggap boleh oleh Hanafiyah dan salah satu pendapat Malikiyyah, dan haram menurut pendapat lain dari Malikiyyah.

Ringkasnya, boleh bersutrah kepada orang lain, selama ia tidak membuat orang yang shalat teralihkan atau tersibukkan pikirannya atau membuatnya tidak khusyu’ (lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/179).

Yang tidak boleh dijadikan sutrah

1. Garis

Sebagian ulama, semisal Malikiyah, membolehkan untuk menghadap sutrah berupa garis, namun ini tidak benar karena dalil yang mereka gunakan adalah hadits yang dhaif. Yaitu hadits:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَل تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا، ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ

Jika salah seorang diantara kalian shalat, maka jadikanlah sesuatu berada di hadapannya. Jika tidak ada apa-apa maka tancapkanlah tongkat. Jika tidak ada tongkat maka buatlah garis. Setelah itu apa saja yang lewat di depan dia tidak akan membatalkannya” (HR. Ahmad 7392, Ibnu Majah 943)

dari jalan Isma’il bin Umayyah, dari Abu Amr bin Muhammad bin Amr bin Huraits, dari kakeknya, Huraits bin Sulaim, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu. Abu ‘Amr bin Muhammad dan juga kakeknya Huraits bin Sulaim berstatus majhul. Sehingga sanad ini sangat lemah.

Terdapat jalan lain yang dikeluarkan oleh Abu Daud Ath Thayalisi dalam Musnad-nya (2705), dari jalan Hammam, dari Ayyub bin Musa, dari anak pamannya yang biasa membacakan hadits padanya, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu. Sanad ini mubham, karena terdapat perawi yang tidak diketahui namanya.

Terdapat jalan lain yang dikeluarkan Musaddad dalam Musnad-nya, dari jalan Hasyim, ia menuturkan, Khalid Hadza, dari Iyyas bin Mu’awiyah, dari Sa’id bin Jubair bahwa ia berkata:

إذا كان الرجل يصلي في فضاء؛ فليركز بين يديه شيئاً؛ فإن لم يكن معه شيء؛ فليخط خطاً في الأرض

“Jika seseorang shalat di tanah lapang, maka tegakkanlah sesuatu di hadapannya. Jika ia tidak mendapati apa-apa, maka buatlah garis”

Semua perawinya tsiqah namun Sa’id bin Jubair adalah seorang tabi’in, sehingga sanad ini maqthu’. Dengan demikian hadits ini sangat dhaif dan sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bahwa garis mencukupi untuk dijadikan sutrah (lihat Silsilah Ahadits Shahihah Syaikh Al Albani, 12/674-679).

Namun perlu menjadi catatan, jumhur ulama membolehkan bersutrah dengan garis jika tidak mendapatkan benda yang tingginya sekitar 2/3 hasta atau 1 hasta (atau lebih). Dan membuat khat (garis) tersurat dalam nash, walaupun dha’if. Sufyan Ats Tsauri menyatakan: “Membuat garis lebih disukai daripada bersutrah dengan batu yang ada di jalanan jika kurang dari 1 hasta” (Fathul Baari Libni Rajab, 4/38). Dan dalam hal ini, para ulama meng-qiyas-kan sajadah dengan garis. Artinya jika tidak mendapatkan benda tinggi yang bisa dijadikan sutrah, maka boleh menggunakan sajadah. At Thahthawi mengatakan: “Ini qiyas yang lebih utama, karena al mushalla (pijakan tempat shalat;sajadah) lebih bisa menghalangi orang yang lewat dari pada sekedar garis”. Para ulama Syafi’iyyah bahwa lebih mengutamakan sajadah daripada sekedar garis, mereka mengatakan: “Sajadah lebih didahulukan daripada garis, karena sajadah lebih mencocoki maksud (dari sutrah)” (lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 24/180).

Kesimpulannya, tidak boleh bersutrah dengan garis jika masih ada benda-benda lain yang bisa dijadikan sutrah. Namun jika memang tidak ada, maka jika ada sajadah itu lebih utama. Jika tidak ada, maka dengan membuat garis yang terlihat orang lain.

2. Mushaf Al Qur’an

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan: “tidak semestinya menjadikan mushaf sebagai sutrah bagi orang yang shalat di masjid ataupun di tempat lain. Dalam kitab At Taaj dan Al Ikliil karya Al Mawwaq ia berkata: “berkata penulis Al Mudawwanah: ‘tidak baik bagi orang yang shalat menjadikan mushaf sebagai kiblat dengan mengarah kepadanya’”. juga Al Hathab dalam Mawahib Al Jalil mengatakan: “tidak boleh shalat menghadap sutrah”. (Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=56899 )

3. Segala benda yang jika dijadikan sutrah, akan menyerupai penyembah berhala

Jika benda yang dipakai sutrah dikhawatirkan muncul sangkaan bahwa orang yang shalat menyembah benda tersebut, maka terlarang memakainya sebagai sutrah. Sebagaimana para ulama melarang menggunakan sutrah berupa satu buah batu besar jika sebenarnya banyak batu tersedia. Karena itu menyerupai orang-orang penyembah berhala dan akan disangka dilakukan penyembahan pada batu tersebut. Adapun jika batu yang dijadikan sutrah itu banyak, maka tidak mengapa (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 24/178)

4. Segala benda yang membuat shalat tidak khusyu’

Setiap muslim wajib untuk berusaha khusyu’ dalam shalat dengan menjauhkan hal-hal yang bisa memalingkan hatinya dari kesibukan shalat. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkata:

إن في الصلاة لشغلا

Sungguh, shalat itu sangatlah sibuk” (Muttafaqun ‘Alaih)

Para ulama menyatakan: “hendaknya sutrah shalat itu benda yang tsabit (tetap; stabil) tidak menyibukkan pikiran orang yang shalat sehingga tidak khusyu’” ( Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 24/178)

Semoga bermanfaat.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/18221-sutrah-shalat-2-apa-saja-yang-bisa-menjadi-sutrah.html