Ciri Muslim yang Shalatnya Khusyuk

MAHA Suci Allah yang telah melimpahkan potensi sukses dalam diri kita. Sesungguhnya setiap kita ini terlahir ke dunia sebagai pemenang. Bagaimana bisa? Mohon maaf, sebelum kita terbentuk sebagai janin di dalam rahim ibu kita, kita terbentuk dari pertemuan antara sel sperma dan sel telur. Ribuan sel sperma yang berlomba-lomba membuahi sel telur, hanya satu saja yang berhasil.

Shalat yang khusyuk adalah pelajaran bagi kita. Minimal lima kali dalam sehari muadzin mengingatkan kita untuk menunaikan shalat. Orang yang sukses adalah orang yang seringkali melihat jam tangannya. Mengapa? Semakin ia sering menghitung waktu, semakin ia efektif dalam menjalani kesehariannya. Dan, orang yang khusyuk dalam shalatnya adalah orang yang sangat disiplin terhadap waktu.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk’ dalam sembahyangnya,” (QS. Al Mu’minun [23] : 1-2).

Bagi orang yang shalatnya khusyuk, waktu amatlah berharga, sehingga ia amat disiplin menggunakannya. Pantang baginya melakukan hal yang sia-sia apalagi kemaksiatan. Ia tidak akan berbuat sesuatu kecuali perbuatan yang berharga dan disukai oleh Allah SWT.

Orang yang shalatnya khusyuk juga terpelihara lisannya. Pantang ia berkata-kata yang tidak berguna apalagi mengandung dosa. Ia hanya mau menggunakan lisannya untuk ucapan-ucapan yang bermanfaat dan disukai Allah Swt. Semakin banyak ucapan yang tidak berguna, semakin banyak ghibah, semakin banyak celetak-celetuk yang sia-sia, maka harus semakin kuat kita memeriksa shalat kita apakah khusyuk atau tidak.

Shalat yang khusyuk adalah shalat yang terjaga konsentrasinya, terjaga ketertibannya, ketenangannya dan fokusnya untuk fokus pada Allah Swt. Semakin terampil seseorang shalat khusyuk maka akan semakin terampil pula ia menjaga perilakunya. Ia menjadi disiplin dalam menjaga sikapnya dan ucapannya.

Sedapat mungkin ia menghindari sikap dan ucapan yang mengundang dosa atau sia-sia. Maasyaa Allah, inilah salah satu hikmah luar biasa dari ibadah shalat. Disinilah kita bisa mengerti mengapa shalat itu bisa menyelamatkan pelakunya dari perbuatan keji dan munkar.

Orang yang khusyuk akan disiplin, fokus dan terpelihara perilakunya. Semua ini adalah jalan menuju kesuksesan hidup. Betapa besar hikmah dari shalat khusyuk ini. Marilah kita bermujahadah, tiada pernah lelah melatih diri untuk bisa menunaikan shalat yang khusyuk. []

SUMBER: SMS TAUHID

ISLAMPOS

Cara Menikmati Shalat

Jangan sampai shalat menjadi rutinitas yang sia-sia.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Umat Muslim mengenal shalat wajib dan sunnah dalam sehari-hari. Namun tak semua Muslim mampu merasakan kenikmatan menjalani shalat secara berkualitas. Lantas, bagaimana cara menikmati shalat agar tak menjadi rutinitas yang sia-sia?

Seorang ulama, Ahmad bin Harb pernah menceritakan keluh kesahnya mengenai kualitas shalat yang beliau alami. Beliau pun berkata: “Ya Allah, aku telah beribadah kepadaMu selama 50 tahun dan tidak kunikmati kenikmatan beribadah kecuali kutinggalkan tiga perkara,”.

Adapun tiga perkara yang dimaksud adalah meninggalkan mencari ridha manusia sehingga dia mampu mengucap kebenaran, meninggalkan dengan orang-orang yang tak shaleh, dan meninggalkan kenikmatan dunia demi mendapat kenikmatan akhirat.

Dari ketiga perkara yang pernah dialami beliau, hal itu menjadi indikasi bahwa ibadah yang kita langsungkan belum pada tahap mengasyikkan atau nikmat. Memang, tidaklah mudah untuk mencapai tahapan menjalankan ibadah dengan khusyuk dan nikmat apalagi jika terdapat permasalahan yang tengah mendera kita.

Kendati demikian, para ulama tetap menganjurkan agar setiap umat Muslim dapat menjalankan ibadah shalat dengan khusyuk agar mencapai kenikmatan ketika shalat berlangsung. Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin menyamakan orang yang lemah ialah orang yang penglihatan dan pendengarannya itu yang menyebabkan pikirannya tidak fokus.

Oleh karena itu, beliau menganjurkan untuk melepaskan diri dari segala hal yang dapat mengganggu konsentrasi. Seperti menundukkan penglihatan, shalat di tempat yang tenang, menyingkirkan barang di sekitar kita yang dapat mengganggu fokus, dan beberapa hal lain yang sekiranya dapat membantu pemusatan fokus ibadah.

Menurut Imam Ghazali, penglihatan dan pendengaran manusia ialah sumber utama godaan. Maka sangat dianjurkan dalam ativitas sehari-hari bagi umat Muslim untuk mendengar dan melihat hal-hal baik saja dalam hidup. Selain dapat menghindari hal-hal yang tak diinginkan, melihat dan mendengar hal yang baik saja akan membuat aura positif bagi jiwa.

Tak hanya itu, Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan Imam Abu Daud dari Anas bin Malik berkata: “Allahumma ini a’udzu bika min shalatin la tanfa’,”

Yang artinya: “Ya Allah, aku mohon perlindungan kepadaMu dari shalat yang tidak bermanfaat atau berguna,”.

Tahapan nikmat dalam ibadah bagi hamba biasa seperti kita bukan hal yang mustahil. Asalkan beberapa hal yang dilarang dan dibenci oleh Allah dapat kita hindari.

Bukankan mengasyikkan mendengar beberapa kisah dan pernyataan para sahabat, tabiin, tabi’ tabiin, serta ulama mengenai nikmatnya mendirikan shalat dan melaksanakan ibadah hampir separuh dari waktu yang mereka miliki. Para sahabat meniru Rasulullah yang kerap memancarkan kekhusyu’an ketika shalat.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Nasa’i dan Imam Ahmad, Rasulullah berkata: “Ja’altu qurrata a’yuni fi shalati,”. Yang artinya: Dijadikan sesuatu yang paling menyenangkan hatiku adalah pada saat mengerjakan shalat,”.

Dalam Alquran, Allah SWT bahkan menegaskan bahwa ciri-ciri orang beriman dan penghuni surga adalah mereka yang melakukan shalat dengan khusyuk dan nikmat. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Mukminun ayat 1-2: “Qad aflahal-mu’minun. Aladzina hum fi shalatihim khasyi’un,”.

Yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Adalah) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya,”

Pada ayat 11-12 surat yang sama, Allah berfirman: “Aladzina yaritsunal-firdausa hum fiha khalidun. Walaqad khalaqnal-insana min sulalatin min thiin,”. Yang artinya: “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. Yakni (mewarisi) surga Firdaus dan mereka kekal di dalamnya.”

KHAZANAH REPUBLIKA


Mengenal Profil Walisongo dan Perannya dalam Penyebaran Islam di Nusantara

Sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa tidak lepas dari kisah sembilan wali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Walisongo (Walisanga). Sembilan wali itu adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Drajad, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Abad ke-14 merupakan masa berakhirnya Hindu-Budha dalam budaya Nusantara dan kemudian digantikan oleh kebudayaan Islam.

Pada saat itu Walisongo menjadi simbol penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya, Gresik, dan Lamongan di Jawa Timur, Demak, Kudus, dan Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Mereka mempunyai peran yang besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa.

Dilihat dari asal katanya, Walisongo berasal dari dua kata, yaitu wali yang berasal dari bahasa Arab waliyullahyang berarti orang yang mencintai dan sekaligus dicintai Allah SWT., dan kata sanga yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan. (Sofwan, 2004:7). Sehingga, Walisongo adalah sembilan orang utama yang dicintai oleh Allah SWT., yang dipandang sebagai ketua kelompok dari sejumlah besar mubaligh yang berdakwah menyebarkan Islam pada dekade awal di Jawa.

Nama seorang wali biasanya digelari dengan sebutan Sunan. Istilah kata sunan berasal dari bahasa Cina suhu-nan yang berarti ‘guru atau pujangga’, atau dari bahasa Jawa suhun/susuhunan yang berarti ‘sangat hormat atau sangat dihormati’.

Menurut pendapat, para Walisongo memiliki darah campuran darah Arab, Persia, Campa, China, dengan asli Nusantara. Sebagai contoh antara lain, dalam serat Babad Tanah Jawidisebutkan bahwa Raden Patah adalah peranakan China, dari Prabu Brawijaya dan seorang puteri China / Campa. Sunan Gunung Jati yang sering disebut dengan nama Fatahillah atau Syarif Hidayatullah, menurut beberapa keterangan berasal dari Pasai (Aceh).

Ada pula yang mengatakan berasal dari keturunan Puteri Rara Santang dari Pajajaran yang menikah dengan Sultan Mesir (Lembaga Research & Survey IAIN Wali Songo, 1982:19-20). Sedangkan, Sunan Kalijaga atau Raden Syahid disebut asli Jawa, tetapi juga masih ada keturunan Arab.

Pendahulu Walisongo adalah Syekh Jumadil Qubro yang merupakan anak dari seorang Putri Kelantan Tua/Putri Saadong II, yaitu Putri Selindung Bulan. Tokoh ini sering disebut dalam babadsebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Banyak tokoh-tokoh yang juga berperan dalam penyebaran Islam di Nusantara, namun peranan Walisongo begitu besar dibanding tokoh-tokoh yang lain, sehingga membuat para Walisongo lebih dikenal namanya dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa.

Selain berperan dalam penyebaran agama Islam, mereka juga berperan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dakwah mereka berpengaruh terhadap kondisi masyarakat pada masa itu.

Dalam menyiarkan agama Islam, Walisongo memadukan budaya setempat dengan budaya Islam. Mereka menyisipkan nilai-nilai Islam dalam kesenian tradisional maupun upacara adat istiadat setempat. Misalnya dalam wayang kulit mereka mengangkat cerita-cerita nabi, dalam syair-syair keagamaan seperti suluk menyisipkan puji-pujian kepada sang Pencipta, gendhing-gendhing Jawa dengan iringan gamelannya, dan pada upacara adat disisipkan doa secara Islam. Selain menarik perhatian, para wali tersebut menjadi akrab dengan masyarakat.

Cara yang dilakukan oleh Walisongo tersebut dinilai lebih komunikatif, sehingga tanpa terkesan menggurui pesan dan nilai-nilai Islam yang hendak disampaikan tersampaikan tanpa harus menghilangkan yang sudah ada. Usaha tersebut membuahkan hasil, tidak hanya mengembangkan agama Islam, tetapi juga memperkaya budaya Jawa.

Ilmu yang diajarkan oleh para wali bukan hanya bersifat keagamaan, tetapi mereka juga mengajarkan tentang ilmu hitung, pertanian, perkebunan, kesehatan, dan kenegaraan. Namun, inti ajaran yang ingin mereka sampaikan adalah masalah tauhid. Meskipun para wali tidak hidup dalam masa yang sama, tetapi mereka ada keterkaitan baik secara keturunan maupun seperguruan sebagai tokoh yang berperan dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Sunan Gunung Jati yang sering disebut dengan nama Fatahillah atau Syarif Hidayatullah, menurut beberapa keterangan berasal dari Pasai (Aceh). Ada pula yang mengatakan berasal dari keturunan Puteri Rara Santang dari Pajajaran yang menikah dengan Sultan Mesir (Lembaga Research & Survey IAIN Wali Songo, 1982:19-20).

Sedangkan, Sunan Kalijaga atau Raden Syahid disebut asli Jawa, tetapi juga masih ada keturunan Arab.

Pendahulu Walisongo adalah Syekh Jumadil Qubro yang merupakan anak dari seorang Putri Kelantan Tua/Putri Saadong II, yaitu Putri Selindung Bulan. Tokoh ini sering disebut dalam babad sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Banyak tokoh-tokoh yang juga berperan dalam penyebaran Islam di Nusantara, namun peranan Walisongo begitu besar dibanding tokoh-tokoh yang lain, sehingga membuat para Walisongo lebih dikenal namanya dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa.

Selain berperan dalam penyebaran agama Islam, mereka juga berperan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dakwah mereka berpengaruh terhadap kondisi masyarakat pada masa itu.

Dalam menyiarkan agama Islam, Walisongo memadukan budaya setempat dengan budaya Islam. Mereka menyisipkan nilai-nilai Islam dalam kesenian tradisional maupun upacara adat istiadat setempat. Misalnya dalam wayang kulit mereka mengangkat cerita-cerita nabi, dalam syair-syair keagamaan seperti suluk menyisipkan puji-pujian kepada sang Pencipta, gendhing-gendhing Jawa dengan iringan gamelannya, dan pada upacara adat disisipkan doa secara Islam. Selain menarik perhatian, para wali tersebut menjadi akrab dengan masyarakat.

Cara yang dilakukan oleh Walisongo tersebut dinilai lebih komunikatif, sehingga tanpa terkesan menggurui pesan dan nilai-nilai Islam yang hendak disampaikan tersampaikan tanpa harus menghilangkan yang sudah ada. Usaha tersebut membuahkan hasil, tidak hanya mengembangkan agama Islam, tetapi juga memperkaya budaya Jawa.

Ilmu yang diajarkan oleh para wali bukan hanya bersifat keagamaan, tetapi mereka juga mengajarkan tentang ilmu hitung, pertanian, perkebunan, kesehatan, dan kenegaraan. Namun, inti ajaran yang ingin mereka sampaikan adalah masalah tauhid.

Meskipun para wali tidak hidup dalam masa yang sama, tetapi mereka ada keterkaitan baik secara keturunan maupun seperguruan sebagai tokoh yang berperan dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

ISLAMIco

Nisab Barang Temuan, Menemukan Uang 5 Ribu Boleh Dimanfaatkan?

Pertanyaan:

Berapa nishob (batas bawah) barang temuan, saya bingung ketika menemukan uang 5 ribu di jalan mau diapakan, terimakasih.

Jawaban:

Bismillah, walhamdulillah, wassholatu wassalamu ‘ala Rasulillah, Amma Ba’du:

Saudara/saudari yang kami muliakan, barang temuan atau Luqathah merupakan harta/barang yang hilang dari pemiliknya dan ditemukan oleh orang lain, Para ulama di antaranya Ibnul Ghorobili rahimahullahu ta’ala mendefenisikan:

مالٌ ضاع من مالكه بسقوط أو غفلة ونحوهما

“Luqathah adalah harta yang hilang dari pemiliknya baik dengan cara terjatuh ataupun karena kelalaian dan selainnya” (fathul Qoribil Mujib fi Alfazhit Taqrib: 1/206).

Islam telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara memperlakukan harta/barang temuan tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ :

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ -رضي الله عنه-: «أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَنِ اللُّقَطَةِ قَالَ: عَرِّفْهَا سَنَةً ثُمَّ اعْرِفْ وِكَاءَهَا وَعِفَاصَهَا، ثُمَّ اسْتَنْفِقْ بِهَا، فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَأَدِّهَا إِلَيْهِ

“Dari Zaid bin Khalid al-Juhani bahwa Nabi ﷺ ditanya oleh seseorang tentang barang temuan, maka Nabi ﷺ bersabda: “Umumkanlah selama satu tahun, kemudian kenalilah tali pengikatnya atau kantongnya, kemudian kamu pergunakan, jika datang pemiliknya maka berikanlah kepadanya” (HR. Bukhari : 2256, Muslim : 3248).

Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa barang temuan harus diumumkan selama satu tahun, sebagaimana juga yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah:

وَأَمَّا تَعْرِيفُ سَنَةٍ فَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى وُجُوبِهِ إِذَا كَانَتِ اللُّقَطَةُ لَيْسَتْ تَافِهَةً وَلَا فِي مَعْنَى التَّافِهَةِ

“Dan dalam urusan mengumumkan barang temuan selama satu tahun merupakan perkara yang telah disepakati kewajibannya oleh para ulama jika barang temuan tersebut bukanlah sesuatu yang remeh atau tidak berharga. ( Syarhun Nawawi ala Muslim: 12/22).

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah juga menjelaskan:

الواجب عليك وعلى غيرك ممن يجد لقطة ذات أهمية تعريفها سنة كاملة في مجامع الناس كل شهر مرتين أو ثلاثا فإن عرفت سلمها لصاحبها، وإن لم تعرف فهي له بعد السنة

“Yang diwajibkan kepadamu dan kepada selainmu di antara orang-orang yang menemukan sebuah barang temuan yang bernilai adalah mengumumkannya selama satu tahun penuh di tempat-tempat umum (tempat berkumpulnya manusia) setiap satu bulan sebanyak dua kali atau tiga kali, jika telah kamu ketahui pemiliknya maka serahkan kepadanya, dan jika belum diketahui pemiliknya maka barang tersebut menjadi milikmu setelah satu tahun berlalu” (Majmu’ Fatawa ibnu Baaz: 19/429).

Adapun jika setelah satu tahun berlalu dan pemiliknya datang maka dijelaskan oleh Imam Badruddin Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Ainiy rahimahullah:

إذَا جاءَ صاحِبُ اللُّقَطَةِ بَعْدَ سَنَةٍ ردَّهَا علَيْهِ لِأَنَّها ودِيعَةٌ عِنْدَهُ

“Jika datang pemilik barang temuan tersebut setelah berlalu satu tahun, maka harus dikembalikan kepadanya, karena ia berstatus barang titipan di sisinya“. (Umdatul Qori Syarhu Shohihil Bukhari: 12/279)

Berdasarkan penjelasan para ulama, bahwa barang temuan yang wajib diumumkan selama satu tahun adalah barang-barang yang memiliki nilai atau berharga, adapun barang-barang yang tidak berharga, maka dikecualikan, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama:

وقال قوم ينتفع بالقليل التافه من غير تعريف كالنعل والسوط والجراب ونحوها مما يرتفق به ولا يتمول. وعن بعضهم أن ما دون عشرة دراهم قليل. وقال بعضهم إنما يعرف من اللقطة ما كان فوق الدينار واستدل بحديث علي رضي الله عنه أنه وجد دينارا فأخبر بذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمره أن يشتري به دقيقا ولحما فلما وضع الطعام جاء صاحب الدينار قال فهذا لم يعرفه سنة لكن استنفقه حين وجده فدل ذلك على فرق ما بين القليل من اللقطة والكثير منها

“Sebagian ulama mengatakan bahwa bolehnya memanfaatkan barang temuan yang sedikit dan tidak bernilai tanpa harus diumumkan selama setahun, seperti sandal, cambuk, kantong, dan yang semisal dengannya dari apa-apa yang bisa dimanfaatkan dan tidak dijadikan modal usaha, dan sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa apa yang nilainya kurang dari 10 dirham maka dianggap sedikit, dan sebagian lagi berpendapat bahwa apapun yang nilainya di atas 1 dinar maka wajib diumumkan setahun berdasarkan hadits Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau mendapatkan 1 dinar dan mengabarkannya kepada Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ menyuruhnya untuk membeli tepung dan daging, maka ketika ia meletakkan makanan tersebut datanglah pemilik 1 dinar tersebut, dan beliau berkata: “ini belum diumumkannya selama satu tahun akan tetapi ia belanjakan langsung ketika mendapatkannya”, hal ini menunjukkan bahwa berbeda hukumnya antara barang temuan yang sedikit dengan yang banyak”. (Maalimus Sunan : 2/87).

Sehingga mengenai batas bawah barang temuan yang dianggap sedikit, maka Imam Abul Abbas Ahmad bin Muhammad al-Khatib al-Qhasthalaniy rahimahullah menyebutkan bahwa:

وحدّ القليل ما لا يوجب القطع وهو ما دون العشرة

“dan batas bawah barang temuan yang dianggap sedikit adalah yang tidak menjatuhkan hukuman potong tangan dalam kasus pencurian, yaitu di bawah 10 dirham” (Irsyadus Saari lisyarhi Shohihil Bukhari: 4/251).

Imam Badruddin Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Ainiy rahimahullah menjelaskan bahwa:

وَإِن كَانَت اللّقطَة مِمَّا يعلم أَن صَاحبهَا لَا يتطلبها: كالنواة وقشور الرُّمَّان فإلقاؤه إِبَاحَة أَخذه فَيجوز الِانْتِفَاع بِهِ من غير تَعْرِيف، وَلكنه يبْقى على ملك مَالِكه، لِأَن التَّمْلِيك من الْمَجْهُول لَا يَصح, وَقَالَ ابْن رشد الأَصْل فِي ذَلِك مَا رُوِيَ أَنه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم مر بتمرة فِي الطَّرِيق، (فَقَالَ: لَوْلَا أَن تكون من الصَّدَقَة لأكلتها) ، وَلم يذكر فِيهَا تعريفاً، وَهَذَا مثل الْعَصَا وَالسَّوْط

“Dan jika barang temuan tersebut dari hal-hal yang diketahui bahwa pemiliknya tidak akan mencarinya, seperti biji kurma, atau kulit delima, maka dibolehkan mengambilnya dan memanfaatkannya tanpa harus diumumkan, akan tetapi statusnya tetap hak milik bagi pemilik semula, karena kepemilikan dari sesuatu yang tidak diketahui asal-usulnya tidaklah sah, dan Ibnu Rusyd berkata bahwa dalilnya berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah menemukan sebuah kurma di jalan dan beliau ﷺ bersabda: “Seandainya kurma ini bukan harta sedekah maka akan aku makan”, dan beliau ﷺ tidak mengharuskan untuk diumumkan barang temuan tersebut, hal ini serupa dengan tongkat dan cambuk”. (Umdatul Qori Syarhu Shohihil Bukhari: 12/273).

Penjelasan lainnya mengenai batas bawah yang dianggap sebagai barang temuan yang sedikit telah diungkapkan pula oleh Al-Imam Syihabuddin Abul Abbas Ahmad bin an-Naqib al-Mishriy rahimahullah:

وإنْ كانت اللقَطةُ يسيرةً وهيَ مما لا يُتأَسَّفُ عليهِ ويُعرَضُ عنهُ غالباً إذا فُقِدَ لمْ يجبْ تعريفها سنةً بلْ زمناً يُظَنُّ أنَّ فاقدها أعرضَ عنها

“Dan jika barang temuan bernilai sedikit yaitu sesuatu yang apabila pemiliknya tidak merasa bersedih atau pemiliknya merasa tidak peduli pada umumnya jika barang tersebut hilang, maka tidak diwajibkan untuk diumumkan selama satu tahun, akan tetapi cukup diumumkan dalam waktu yang diperkirakan bahwa pemiliknya telah merasa tidak peduli terhadap barang tersebut” (Umdatul Masalik wa Uddatun Nasik: 1/179).

Sehingga, dari penjelasan-penjelasan tersebut, maka batas bawah harta/barang temuan yang dianggap sedikit adalah dikembalikan kepada “Urf” atau kebiasaan/anggapan masyarakat di daerah setempat karena dalam hal ini tidaklah disebutkan secara jelas oleh syariat. Sehingga pada anggapan masyarakat kita di saat ini uang Rp. 5.000,- sudah dinilai tidak berharga, dan boleh untuk dimanfaatkan, Wallahu A’lam.

Dijawab Oleh Ustadz Hafzan Elhadi, Lc. M.Kom

(Alumni Fakultas Syari’ah Universitas Imam Muhammad ibn Saud Al Islamiyyah, Cab. Lipia Jakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/35954-nisab-barang-temuan-menemukan-uang-5-ribu-boleh-dimanfaatkan.html

Belajar Agama, Mengikis Radikalisme

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Saya membuka artikel ini menyebutkan permisalan dalam al-Quran.

Allah menyatakan bahwa satu-satunya orang yang bisa memahami permisalan dalam al-Qur’an adalah orang yang berilmu.

Allah berfirman,

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

“Demikianlah berbagai perumpamaan (permisalan) yang kami berikan kepada manusia. Dan tidak ada yang bisa merenungkan maknanya kecuali orang yang berilmu.” (QS. al-Ankabut: 43)

Dulu para sahabat merasa sedih, ketika mereka membaca ayat al-Quran, sementara mereka tidak mampu memahami maknanya. Sahabat Amr bin Murah radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

ما مررت بآية من كتاب الله لا أعرفها إلا أحزنني، لأني سمعت الله تعالى يقول: وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ

“Setiap kali saya membaca ayat al-Quran yang tidak saya pahami maknanya, maka saya sangat sedih. Karena saya mendengar firman Allah, (yang artinya): “Demikianlah berbagai perumpamaan (permisalan) yang kami berikan kepada manusia. Dan tidak ada yang bisa merenungkan maknanya kecuali orang yang berilmu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/280).

Sudah saatnya kita mendekat, memahami ayat-ayat al-Quran dan permisalan yang Allah sebutkan di dalamnya, agar kita tergolong orang yang dipuji al-Quran.

Diantara permisalan yang Allah sebutkan dalam al-Quran adalah permisalan pengaruh hujan terhadap bumi. Allah berfirman,

أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ

Allah telah menurunkan air hujan dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari logam yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada pula buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan bagi yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, dia akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. (QS. ar-Ra’du: 17)

Allah memisalkan wahyu – yang merupakan sumber kehidupan bagi hati – sebagaimana air yang merupakan sumber kehidupan bagi bumi. Permisalan semacam ini banyak kita jumpai dalam dalil al-Quran maupun hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya dalam hadis dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا

“Perumpamaan ilmu dan petunjuk yang Allah berikan kepadaku, seperti hujan lebat yang turun di muka bumi…” (HR. Bukhari 79)

Selanjutnya, Allah memisalkan hati manusia sebagaimana layaknya lembah yang bisa menampung air hujan.

Hati yang luas, dia bisa menampung banyak ilmu, sebagaimana lembah yang besar, bisa menampung banyak air. Sebaliknya, hati yang sempit, hanya bisa menampung sejumlah ilmu sesuai ukurannya.

Lembah di Musim Kering & Hujan

Lembah, sungai, selokan, ketika di musim kering, yang terlihat di permukaan adalah sampah dan kotoran. Dedaunan, sampah domestik, ranting-ranting pohon, terlihat berserakan di dasar sungai yang kering.

Seperti itu pula suasana hati manusia, ketika jauh dari ilmu dan wahyu. Yang nampak di permukaan adalah noda-noda hati, disebabkan banyaknya dosa yang dilakukan manusia.

Ketika hujan turun, air memenuhi lembah-lembah itu, lalu mengalir ke sungai-sungai. Di saat itulah, terlihat semua sampah terangkat. Sampah-sampah itu mengambang di permukaan, mengalir bersama aliran sungai. Demikian pula hati manusia yang penuh dengan noda dosa, ketika sering dihujani dengan ilmu agama, mendengarkan nasehat al-Quran dan sunah, maka noda-noda hati akan mulai terangkat, hingga akhirnya mengambang di permukaan.

Allah berfirman pada ayat di atas,

فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا

“maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang..”

Seperti inilah pengaruh ilmu yang bersumber dari al-Quran dan sunah, ketika berhasil ditampung oleh batin manusia, maka ilmu ini akan mengangkat setiap noda batin, lalu menghilang tanpa ada yang mempedulikannya.

Sebagaimana ketika tukang emas hendak membersihkan emas dari campurannya, dia panaskan emas itu, hingga terpisahkan antara emas murni dan kotorannya.

Allah berfirman pada ayat di atas,

وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ

Dan dari logam yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada pula buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan bagi yang benar dan yang batil…

Kotoran dan noda itu terbuang, tanpa ada yang menampungnya. Sementara bagian yang bermanfaat bagi manusia, tetap berada di bawah dan tidak hilang.

Seperti itu pula hati manusia. ketika dihujani ilmu agama, maka ilmu ini akan mengikis sifat-sifat sombong, keras, dengki, hasad, dan aneka noda hati lainnya. Sementara sifat-sifat baiknya akan tetap bertahan, dan tidak hilang.

Allah berfirman pada ayat di atas,

فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ

Adapun buih itu, dia akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi…

Karena itu, mustahil orang yang belajar al-Quran dan sunah, kemudian dia menjadi durhaka kepada kedua orang tuanya, apalagi menjadi radikal. Kalaupun itu terjadi, bisa kita pastikan bahwa ajaran yang dia pelajari adalah ajaran yang menyimpang. Seperti ajaran kelompok konservatif, semacam NII, LDII, atau lainnya.

Siapapun tidak perlu takut untuk belajar agama melalui bimbingan seorang ustad ahlus sunah. Tidak perlu khawatir akan menjadi radikal, keras terhadap sesama, dan sifat menakutkan lainnya. Sesungguhnya Allah tidak menurunkan al-Quran, agar hati manusia menjadi keras atau semakin sengsara.

Allah berfirman,

طه – مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآَنَ لِتَشْقَى

Thaahaa – Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah.. (QS. Thaha: 1-2)

Seperti itulah, Allah membuat permisalan dalam al-Quran,

كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ

Demikianlah Allah membuat beberapa perumpamaan. (QS. ar-Ra’du: 17)

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/35929-belajar-agama-mengikis-radikalisme.html

Hukum Shalat Sendirian di Belakang Shaf yang Sudah Penuh (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Shalat Sendirian di Belakang Shaf yang Sudah Penuh (Bag. 1)

Menarik Satu Jamaah di shaf depan

Bolehkah menarik salah satu jamaah di shaf depan agar bisa membuat shaf baru berdua dengannya?

Seseorang tidak boleh menarik satu orang yang ada di depannya agar bisa membuat shaf berdua dengannya. Hal ini berdasarkan beberapa alasan berikut ini:

Penjelasan 1

Hadits-hadits yang menyebutkan untuk “menarik” jamaah di depannya adalah tambahan yang lemah (dha’if), yaitu hadits yang diriwayatkan dari sahabat Wabishah radhiyallahu ‘anhu, karena ada perawi yang bermasalah. Terdapat tambahan yang dha’if, yaitu:

ألا دخلت في الصف ، أو جذبت رجلا يصلي معك

“Untuk masuk ke dalam shaf (di depannya), atau menarik seseorang agar shalat bersamamu.” [1]

Penjelasan 2

Menarik satu orang dari shaf akan menyebabkan celah di shaf orang tersebut. Sedangkan yang disyariatkan adalah menutup celah di shaf. 

Penjelasan 3

Hal ini akan mengganggu konsentrasi orang yang ditarik dari shaf, dan juga menyebabkan orang tersebut tidak mendapatkan keutamaan berada di shaf bagian depan. Apalagi sebagian besar orang yang ditarik itu berada di shaf yang tepat di belakang imam.

Berdua di Belakang atau Salah Satu di  Belakang?

Jika ada dua orang yang terlambat, dan ada satu celah di shaf di depannya, manakah yang lebih afdhal: dia membuat shaf baru berdua di belakang atau salah satu mengisi celah, dan yang lain shalat jamaah sendirian di belakang shaf?

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang lebih tepat adalah menyusun shaf berdua di belakang shaf yang sudah ada, meskipun shaf di depannya tersebut masih ada satu celah kosong. Hal ini karena menutup celah shaf itu hukumnya mustahab (dianjurkan), sedangkan membuat shaf berdua (dan tidak sendirian) hukumnya wajib.

Pendapat ini perlu ditinjau kembali, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ

“Siapa saja yang menyambung shaf, Allah Ta’ala akan menyambungnya. Siapa saja yang memutus shaf, Allah Ta’ala akan memutusnya.” (HR. Abu Dawud no. 666, shahih)

Hadits di atas menunjukkan wajibnya menutup celah di shaf. Oleh karena itu, dalam masalah ini, yang lebih tepat adalah salah satu di antara keduanya masuk ke shaf untuk menutup celah, sedangkan satu orang yang lain, menyusun shaf sendiri di belakang shaf yang sudah ada. Wallahu Ta’ala a’lam.

Semisal dengan permasalahan ini adalah jika ada dua orang saja di satu shaf, lalu ada satu orang di shaf depannya meninggalkan shaf karena ada ‘udzur (misalnya, karena buang angin sehingga batal shalatnya). Maka salah satu di antara keduanya maju ke depan untuk menutup celah shaf yang ada, sedangkan satu orang lainnya menjadi sendirian di belakang shaf. Dan satu orang yang menjadi sendirian di belakang shaf ini tetap menyempurnakan shalatnya di belakang jamaah, dan shalat jamaahnya tetap sah. Hal ini karena status dia mendapatkan ‘udzur dan dia pun tidak melakukan kecerobohan sehingga hanya sendirian di belakang shaf. Wallahu a’lam. [2]

[Selesai]

***

@Kantor YPIA, 4 Shafar 1441/3 Oktober 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan Kaki

[1] Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, 2: 245; Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 22: 145; dan Al-Baihaqi, 3: 105. Lihat Al-Irwa’, 2: 326.

[2] Pembahasan ini kami sarikan dari kitab Ahkaam Khudhuuril Masaajid karya Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 144-149 (cetakan ke empat tahun 1436, penerbit Maktabah Daarul Minhaaj, Riyadh KSA).

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52944-hukum-shalat-sendirian-di-belakang-shaf-yang-sudah-penuh-bag-2.html

Gaji Tak Sesuai UMR dalam Islam

BOLEHKAH memberi upah karyawan di bawah UMR? Jika kita memiliki perusahaan yang baru pemula, sehingga penghasilan msh sedikit, bolehkah di bawah UMR?

Hubungan antara perusahaan dengan karyawan adalah akad ijarah, bantuknya akad jual beli jasa. Dan idealnya dalam jual beli jasa, karyawan dan perusahaan sama-sama mengetahui nilai upah yang disepakati. Agar tidak menimbulkan sengketa ketika kerja sudah dilakukan.

Dalam hadis dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, “Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda melarang memper-kerjakan orang, sampai dijelaskan berapa nilai upahnya.” (HR. Ahmad 11565).

Bagaimana jika tidak disebutkan? Beberapa perusahaan, ketika ada karyawan yang diterima kerja, mereka langsung diminta kerja tanpa dijelaskan berapa nilai upahnya. Terkadang karyawan ngertinya hanya terima gaji tiap bulan.

Jika semacam ini terjadi maka nilai upah karyawan mengacu kepada nilai upah semisal yang umumnya berlaku di masyarakat untuk tingkat pekerjaan seperti yang disebutkan. Upah semacam ini disebut ujrah al-mitsl. Terdapat kaidah mengatakan, “Kebiasaan masyarakat bisa menjadi hakim”.

Ibnu Masud pernah ditanya, “Ada seorang lelaki yang menikahi wanita namun belum disebutkan maharnya dan belum berhubungan badan dengannya, hingga lelaki ini meninggal.” Jawaban Ibnu Masud, “Wanita ini berhak mendapatkan mahar seperti umumnya wanita di daerahnya, tidak boleh dikurangi maupun didzalimi (tidak kurang dan tidak lebih), dia wajib menjalani iddah dan dia berhak mendapat warisan.”

Setelah itu datang Maqil bin Sinan radhiyallahu anhu, beliau mengatakan bahwa dulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah memberikan keputusan yang sama untuk seorang wanita bernama Barwa bintu Wasyiq. (HR.Turmudzi 1176, Nasai 3524, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Keterangan Ibnu Masud, “Mahar seperti umumnya wanita” menunjukkan bahwa ketika terjadi ketidak jelasan dalam hak atau kewajiban dalam muamalah, dikembalikan kepada urf (aturan yang berlaku di masyarakat).

Di tempat kita, nilai ujrah mistl distandarkan salah satunya dalam bentuk UMR (Upah Minimum Regional). Bolehkah Upah di bawah UMR? Bukan syarat dalam ijarah, upah harus mengikuti ujrah mitsl. Sebagaimana bukan syarat dalam pernikahan, mahar harus mengikuti mahar mitsl. Hanya saja, jika tidak sesuai dengan ujrah mitsl, harus ditegaskan di awal, agar tidak terjadi sengketa.

Umar bin Khatab pernah memberikan kaidah, “Sesungguhnya bagian-bagian hak itu harus dipersyaratkan (di awal).” (HR. Bukhari secara muallaq).

Normalnya, seorang karyawan menerima upah senilai UMR. Namun jika perusahaan hendak memberikan yang kurang dari itu, makaaa dia harus jelaskan di depan, sewaktu penerimaan karyawan. Selanjutnya, karyawan berhak untuk menentukan pilihan, antara melanjutkan jadi karyawan dengan upah di bawah UMR ataukah mundur.

Jika calon karyawan setuju dan tetap memilih bekerja di perusahaan itu, berarti dia telah ridha dengan upah di bawah UMR. Sehingga nantinya dia tidak boleh menuntut. Yang bisa dilakukan adalah mengajukan resign, jika kedepannya ingin mendapat lebih.

Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Merindukan Rasulullah SAW

Orang yang benar-benar merindukan Nabi adalah orang yang tidak hanya menyebut saja.

Alkisah, beberapa tahun setelah Nabi SAW wafat, Abdullah bin az-Zubair (Ibnu az-Zubair), ke ponakan Aisyah RA, pernah bertanya kepada bibinya itu. “Wahai Bibi, beri tahu aku tentang hal paling istimewa yang engkau dapati dalam diri Nabi Muhammad?”

Saat ditanya itu, Aisyah diam, tidak langsung menjawab. Air matanya mulai mengalir. Dia pun menangis seseng gu kan, begitu menyayat hati, hingga Abdullah bin az-Zubair berpikir mungkin dia bertanya pada momen yang tidak tepat. Ia pun berkata, “Bibi, kalau eng kau tidak bisa menjawab sekarang tidak apa-apa.”

Di sela-sela tangisnya, Aisyah kemudian berkata, “Aduhai betapa rindunya hati ini dengan beliau. Aku be gitu rindu dengan beliau.” Selan jutnya ia berkata, “Wahai keponakanku, engkau bertanya kepadaku tentang hal paling istimewa yang aku dapati dalam diri beliau, aku tak tahu bagaimana menjawabnya karena seluruhnya yang ada dalam diri beliau adalah istimewa.” Dalam kisah lain, Aisyah juga pernah ditanya seseorang mengenai akhlak suaminya, lalu ia menjawab, “Akhlak beliau adalah Alquran.” Orang itu bertanya lagi, “Apa maksudnya?”

Aisyah menjawab, “Alquran ber pcerita tentang orang-orang yang sabar. Ketahuilah, beliau adalah orang paling sabar di dunia. Ketika Alquran bercerita tentang orang-orang yang shalat khu syuk, maka beliau adalah orang yang paling khusyuk shalatnya. Ketika Alquran memerintahkan tentang sedekah, ikhlas, memaafkan siapa saja yang ber salah, maka beliau adalah orang yang paling dermawan, ikhlas, dan pemaaf. Andai kata ada orang yang tidak membaca Alquran sekalipun, melihat beliau saja dia bisa memba yang kan isi Alquran itu seperti apa.”

Nabi SAW memang telah wafat, tetapi kerinduan akan beliau tidak pernah lenyap dalam diri orang-orang terdekatnya, terutama istrinya, Aisyah. Kerinduan yang membangkitkan lagi gairah untuk mengikuti dan meneladani akhlak beliau dalam kehidupan.

Semua yang dilakukan Nabi adalah istimewa karena beliau adalah ejawantah Alquran dan selalu berada dalam bim bingan Allah. Karena itu, Allah mengatakan bahwa orang yang menga ku mencintai Nabi perlu membuktikannya dengan mengikuti beliau, “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah men cintaimu dan mengampuni dosa-dosa mu.’ Allah Maha Pengam pun, Maha Penyayang.” (QS Ali Imran [3]: 31).

Orang yang benar-benar merindukan Nabi adalah orang yang tidak hanya mengingat atau menyebut-nyebut nama beliau, tetapi yang lebih penting juga adalah meneladani akhlak luhur dan mengikuti ajaran rasulullah secara kafah. Seseorang belum dikatakan merindukan Nabi SAW jika perilakunya justru berlawanan dengan akhlak luhur beliau. Wallahu a’lam. ¦ 

Oleh: Fajar Kurnianto

KHAZANAH REPUBLIKA

Sehat itu Nikmah

Baginda Nabi SAW menasihati kita agar meminta nikmat tersebut kepada Allah SWT

Sungguh, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi nikmat kepada kita berupa iman dan Islam. Lalu, apalagi nikmat yang paling besar nilainya bagi kehidupan seorang Muslim di dunia ini? Tiada lain, kecuali sehat wal-afiat (ash-shihhah wal ‘aafiyah). Yakni, kesehatan yang mengarahkan untuk melakukan ketaatan dan menebar kemanfaatan di tengah masyarakat. Bukan pula sebaliknya, yakni kesehatan yang mendorong kepada kemaksiatan dan kerusakan (sihhah wal-ma’shiyah).

Baginda Nabi SAW menasihati kita agar meminta nikmat tersebut kepada Allah SWT dalam lantunan doa, seperti diriwayatkan Anas Bin Malik RA bahwa suatu hari Nabi Muhammad SAW didatangi seseorang, seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, doa apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Mintalah pemaafan (al-afwu) dan ke sehatan(al-‘afiyah) kepada Rabbmu di dunia dan akhirat.” Kemudian, lelaki itu datang lagi esok hari dan bertanya, “Wahai Rasulullah, doa apa yang paling utama?”

Beliau menjawab, “Mintalah pemaafan dan kesehatan kepada Rabbmu di dunia dan akhirat”. Kemudian, ia datang lagi di hari ketiga, kemudian bertanya, “Wahai Nabi Allah, doa apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Mintalah pemaafan dan kesehatan kepada Rabbmu di dunia dan akhirat. Jika kamu telah diberi maaf dan sehat di dunia dan akhirat, kamu telah beruntung.” (HR Ibnu Majah).

Boleh jadi karena kesadaran akan kedua nikmat tersebut membuat kita mengerti bahwa selalu ada peluang untuk salah, baik kecil maupun besar, sengaja maupun tidak. Begitu pula halnya dengan keteledoran yang membuat kita jatuh sakit. Kalaulah bukan karena pemaafaan (pengampunan) atas kelemahan dan karunia sehat dari Allah SWT, kita akan terbelenggu kesalahan dan didera sakit berkepanjangan. (QS 2:286, 26:60).

Salah satu yang membuat kita jatuh sakit adalah ketidakseimbangan atau berlebihan dalam segala tindakan atau aktivitas, baik dalam kerja, makan, tidur maupun ibadah. Nabi SAW pernah bersabda, “dua nikmat yang sering kali dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang. (HR Bukhari). Kadang, kita perlu diberi sedikit sakit agar mengerti arti sehat dan mensyukurinya. Juga, sering kali kita susah diberi pengertian kecuali jika sudah kehilangan karunia itu.

Bukankah kita baru sadar akan nikmatnya mata, keti ka sakit mata atau mengerti nikmatnya lidah, jika saria wan ? Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari pernah berkata, “Orang yang tidak mengetahui nilai nikmat tatkala memper olehnya, ia akan mengetahuinya tatkala sudah lepas darinya”. Suatu hari Salman al-Farisi RA mengunjungi Abu Dar da RA. Lalu, ia hidangkan makanan, sedang ia berpuasa. Sang tamu pun memaksanya untuk makan bersama.

Ketika malam hari, Abu Darda beranjak shalat, tapi disuruh tidur kembali. Hal tersebut terulang hingga tiga kali. Ketika di akhir malam, mereka pun shalat bersama. Setelah itu, Salman berkata, “Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak atas dirimu, badanmu memiliki hak atas dirimu, dan istrimu memiliki hak atas dirimu. Maka, berikanlah haknya pada setiap yang memiliki hak.” Selang beberapa saat, Nabi SAW datang dan diberitahukan kejadian tersebut. Nabi SAW bersabda, “Salman benar”. (HR Bukhari).

Sungguh, agama mengajarkan keseimbangan agar hi dup menjadi sehat. Sehat itu nikmat dan mahal harga nya. Gunakan sehat sebelum sakit mendera. Sebab, sakit itu tak enak dan banyak hal tak bisa dilakukan, termasuk iba dah dengan baik kepada Allah SWT. Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh: Hasan Basri Tanjung

KHAZANAH REPUBLIKA

6 Syarat Agar Shalat Bisa Menyejukkan Pandangan dan Menenangkan Hati

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa terdapat 6 hal yang mesti terkumpul pada diri seseorang agar shalat yang dikerjakan mampu menjadi penyejuk pandangan dan penenang hati.

Keenam hal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Ikhlas

Bahwa faktor pendorong dan motif mendirikan shalat adalah keinginan dan kecintaan hamba kepada Allah, mencari keridhaan-Nya, memperoleh kedekatan dengan diri-Nya, menunjukkan kecintaan kepada-Nya, serta menaati perintah-Nya.

Bukan didorong oleh maksud dan tujuan duniawi. Namun, semata-mata untuk mengharapkan kesempatan melihat Wajah Allah kelak di surga karena cinta kepada-Nya, takut akan siksa-Nya, dan berharap memperoleh ampunan dan pahala dari-Nya.

2. Kejujuran dan ketulusan

Berupaya untuk mengosongkan hati untuk Allah di dalam shalat, mencurahkan segenap kemampuan agar hati mampu menghadap Allah dan fokus di dalam shalat, serta melaksanakan shalat dengan bentuk yang paling baik dan sempurna ditinjau dari aspek lahir dan batin.

Hal ini mengingat shalat memiliki dua aspek, yaitu :

  1. Aspek lahir yang mencakup gerakan dan dzikir shalat, dan
  2. Aspek batin yang mencakup khusyu’muraqabah (merasa diawasi Allah), memfokuskan dan menghadapkan hati secara total kepada Allah di dalam shalat sehingga hati sedikit pun tidak berpaling pada selain-Nya.

Aspek batin ini layaknya ruh bagi shalat. Sementara aspek lahir laksana badan. Analoginya, jika shalat kosong dari aspek batin tersebut, maka pastilah serupa dengan suatu badan yang tidak memiliki ruh.

Apakah kita sebagai hamba tidak malu jika menghadap Allah dalam shalat dengan kondisi demikian?

3. Menjadikan shalat Nabi sebagai pedoman

Bersungguh-sungguh agar shalat yang dikerjakan sesuai dengan yang dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tidak mengacuhkan berbagai bentuk inovasi gerakan dalam shalat yang diada-adakan, tidak pula memperhatikan berbagai kreasi dalam shalat yang keabsahannya tidak pernah diketahui berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salah seorang sahabat beliau.

4. Ihsan

Ihsan berarti merasa dirinya diawasi Allah sehingga dia menyembah seakan-akan Allah berada di hadapannya.

Kedudukan ihsan ini merupakan pokok seluruh amalan hati. Ihsan akan melahirkan sifat malu untuk bermaksiat, memuliakan dan menghormati-Nya, takut dan cinta kepada-Nya, tunduk dan merasa hina di hadapan-Nya, memutus keraguan hati, dan memfokuskan hati dan keinginan menuju ridha Allah.

Kedekatan hamba dengan Allah sangat bergantung pada seberapa besar maqam ihsan yang terdapat pada dirinya.

Demikian juga kadar ihsan pada diri seseorang menentukan perbedaan kualitas shalat yang dikerjakan, sehingga dua orang yang mengerjakan shalat dengan bentuk qiyam, ruku’, dan sujud yang serupa namun keutamaan yang diperoleh keduanya dapat berbeda jauh seperti langit dan bumi.

5. Mengakui karunia-Nya

Bersaksi bahwa segala kenikmatan bersumber dari Allah semata, karena Dia-lah yang menegakkan dirinya di kedudukan ini, membimbing, dan memberikan taufik sehingga hati dan raganya mampu berkhidmat kepada-Nya.

Seandainya bukan karena Allah, semua itu tidak akan terjadi.

Persaksian ini merupakan merupakan persaksian yang paling agung dan mendatangkan manfaat bagi hamba. Sangat bergantung pada kadar tauhid seseorang. Di mana persaksian ini semakin sempurna seiring dengan peningkatan tauhid pada diri hamba.

Salah satu manfaatnya adalah persaksian ini akan mencegah hati hamba dari sikap mengingat-ingat dan merasa bangga dengan amal yang telah dilakukan.

Ketika hamba mengakui dengan tulus bahwa Allah yang telah memberikan karunia, taufik, dan petunjuk pada dirinya, tentu dia akan tersibukkan dari mengingat-ingat dan merasa bangga terhadap amalnya.

6. Senantiasa merasa memiliki kekurangan

Betapa pun serius seorang hamba melaksanakan perintah dan mengeluarkan tenaga dengan maksimal, tetap akan ada kelalaian dan kekurangan.

Hak Allah teramat besar. Atas karunia yang telah diberikan-Nya adalah layak bagi Allah menerima ketaatan, penghambaan, dan khidmat yang lebih. Keagungan dan kemuliaan-Nya menuntut penghambaan yang layak bagi diri-Nya.

Apabila para pelayan dan pembantu para raja memperlakukan mereka dengan penuh pemuliaan, pengagungan, penghormatan, disertai rasa sungkan, takut, sehingga hati dan fisik mereka fokus pada apa yang diinginkan sang raja.

Maka tentu, Raja segala raja, Rabb langit dan bumi, lebih berhak untuk diberi perlakuan demikian bahkan dengan derajat perlakuan yang lebih tinggi.

***

Referensi: Risalah Ibn al-Qayyim ilaa Ahadi Ikhwaanihi

Penyusun: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27543-6-syarat-agar-shalat-bisa-menyejukkan-pandangan-dan-menenangkan-hati.html