Anjuran Berpagi-pagi Dalam Mencari Rezeki

SALAH satu adab mencari rezeki adalah berangkat pagi-pagi. Dalam beberapa kitab fadhail amal atau at targhib wa at tarhib, anjuran berpagi-pagi dalam mencari rezeki dicantumkan dalam bab tersendiri.

Mengapa harus berangkat pagi-pagi untuk mencari rezeki? Berikut ini sabda Rasulullah dan bukti di balik anjuran itu. Dari Shakhr bin Wadaah al Ghamidi ash Shahabi radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu pagi mereka.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Hibban; shahih lighairihi)

Shakhr menambahkan, apabila beliau mengirim pasukan atau tentara perang, beliau memberangkatkan mereka pagi-pagi.

Anjuran berpagi-pagi dalam mencari rezeki berdasarkan kebiasaan Rasulullah (hadits fili) sekaligus doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tersebut (hadits qauli). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mendoakan keberkahan waktu pagi bagi umatnya. Sehingga dalam mencari rezeki, kita dianjurkan untuk memulainya pagi-pagi. Ketika menjelaskan hadis tersebut, sebagian ulama juga mengingatkan bahwa tidur di waktu pagi setelah Subuh hukumnya makruh.

Keberkahan waktu pagi itulah yang kemudian dikejar oleh banyak umat Islam sejak generasi sahabat. Rasulullah sendiri mencontohkan, beliau biasa memberangkatkan pasukan di pagi hari.

Shakhr yang meriwayatkan hadis ini juga telah membuktikan bahwa berangkat pagi-pagi dalam mencari rezeki membuahkan keberkahan yang luar biasa. Shakhr adalah seorang pebisnis. Dia selalu memberangkatkan barang-barangnya dimulai sejak dini hari sehingga ia menjadi kaya raya dan hartanya barakah.

Secara ilmiah, memulai atau berangkat pagi-pagi dalam mencari rezeki memiliki sejumlah dampak yang positif.Pertama, bangun pagi membuat tubuh lebih segar karena bisa menikmati udara pagi yang relatif bersih dari polusi, oksigen yang didapat lebih banyak. Tidak mungkin seseorang bisa berpagi-pagi dalam mencari rezeki tanpa bangun lebih pagi.

Kedua, kinerja otak menjadi optimal ketika seseorang memulai aktivitas sejak pagi. Di waktu pagi otak menjadi lebih segar karena telah beristirahat. Karenanya beberapa buku seperti Be Student Idol menganjurkan waktu belajar di pagi hari. Melatih otak. Dan sesungguhnya, aktivitas mencari rezeki juga merupakan bagian dari proses belajar. Sebab tidak ada satu pun pekerjaan melainkan membutuhkan kemampuan otak dan kreatifitas.

Ketiga, menurut ahli saraf dari Rockefeller University, Ilia Karatsoreos PhD, rentang waktu antara jam 7 9 pagi merupakan waktu paling optimal untuk menciptakan atau menguatkan hubungan dengan orang-orang terpenting. Jika kita pebisnis, marketing atau bekerja di manapun yang berinteraksi dengan orang lain, jam 7 9 adalah saat yang tepat untuk memperbanyak pelanggan, customer, klien dan sebagainya. Wallahu alam bish shawab. 

INILAH MOZAIK

Lewat Empat Cara Ini Allah Memberi Kita Rezeki

BERIKUT ini adalah beberapa cara Allah dalam memberikan rezeki kepada semua mahkluknya menurut Alquran:

1. Tingkat rezeki pertama yang dijamin oleh Allah

“Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yg bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya.”(QS. Hud: 6).

Artinya Allah akan memberikan kesehatan, makan, minum untuk seluruh makhluk hidup di dunia ini. Hal tersebut adalah rezeki dasar yang terendah.

2. Tingkat rezeki kedua yang didapat sesuai dengan apa yang diusahakan.

“Tidaklah manusia mendapat apa-apa kecuali apa yang telah dikerjakannya” (QS. An-Najm: 39).

Allah akan memberikan rezeki sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Jika seseorang bekerja selama dua jam, dapatlah hasil yang dua jam. Jika kerja lebih lama, lebih rajin, lebih berilmu, lebih sungguh-sungguh, seseorang akan mendapat lebih banyak. Tidak pandang dia itu seorang muslim atau kafir.

3. Tingkat rezeki ketiga adalah rezeki lebih bagi orang-orang yang pandai bersyukur.

” Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

Inilah rezeki bagi orang yang disayang oleh Allah. Orang-orang yang pandai bersyukur akan dapat merasakan kasih sayang Allah dan mendapat rezeki yang lebih banyak.

Itulah Janji Allah! Orang yang pandai bersyukurlah yg dapat hidup bahagia, sejahtera dan tentram. Usahanya akan sangat sukses, karena Allah tambahkan selalu.

4. Tingkat rezeki keempat adalah rezeki istimewa dari arah yang tidak disangka-sangka bagi orang-orang yang bertakwa dan bertawakal pada Allah SWT.

“. Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yg tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS.Ath-Thalaq:2-3)

Peringkat rezeki yang keempat ini adalah rezeki yang istimewa, tidak semua orang bisa meraihnya. Rezeki ini akan Allah berikan dari arah yang tidak disangka-sangka. Mungkin pada saat seseorang berada dalam kondisi sangat sangat membutuhkan.

INILAH MOZAIK

Ketika Penguasa Romawi Bertanya Soal Sosok Rasulullah SAW

Sang Penguasa belum pernah mendengar sosok Rasulullah SAW.

Diplomasi surat yang dilakukan rasulullah saw mendapat respons beragam dari berbagai penguasa kala itu. Salah satunya, respons yang diungkap Kaisar Hiraklius, penguasa Romawi di Syam. 

Darii buku Inilah Rasulullah karya Salman Al- Audah diungkapkam Abdullah Ibnu Abbas RA mengisahkan ketika Abu Sofyan dihadapkan kepada Kaisar Hiraklius, penguasa Romawi di Negeri Syam. Ketika itu datanglah utusan Nabi SAW, Dihyah al-Kalbi membawa surat berisi ajakan masuk Islam. Sang Kaisar, yang belum pernah mendengar sosok sang Nabi, bertanya, “Siapa di antara kalian yang masih kerabat dengannya?”. “Aku,” jawab Abu Sofyan yang saat itu belum masuk Islam.

Terjadilah dialog mengesankan antara Kaisar dan Abu Sofyan. Pertanyaan Kaisar pun dijawabnya dengan meyakinkan. “Bagaimanakah keadaan keluarganya di tengah kalian?”. “Dia berasal dari keluarga terhormat.” “Apakah ada di antara nenek moyangnya menjadi raja?”. “Tidak ada”. “Sebelum mengaku Nabi, apakah dia pernah berbohong?”. “Tidak pernah.” “Apakah dia pernah berkhianat?”. “Tidak pernah”. “Apakah pengikutnya berasal dari orang terhormat atau orang lemah?”. “Orang-orang lemah.” “Apakah jumlah mereka semakin bertambah atau berkurang?”. “Tidak, justru semakin bertambah.” “Apakah ada yang murtad setelah masuk agamanya?”. “Tidak ada.”. “Apakah kalian memeranginya?”. “Ya”.

“Bagaimana peperangan kalian?”. “Kadang ia menang dan kadang kami yang menang.”. “Apa saja yang diperintahkannya?”. “Menyembah Allah saja dan jangan menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, berlaku jujur, menjauhi maksiat, dan menyambung silaturahim.”

Setelah mengurai kembali pertanyaannya dengan jawaban Abu Sofyan, Kaisar pun berkata, “Orang itu akan menguasai bumi, tempat kedua kakiku berpijak. Aku memang sudah tahu bahwa Nabi akhir zaman akan muncul, tetapi tidak mengira jika ia akan berasal dari kalangan kalian. Sekiranya dapat menemuinya, niscaya aku akan berusaha semaksimal mungkin. Apabila sudah berada di hadapannya, aku akan mencuci kedua telapak kakinya.” (HR Bukhari).

Nabi Muhammad SAW adalah manusia pilihan yang diutus sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan serta rahmat bagi semesta (QS 2: 119, 21: 107). Beliau sosok pemimpin dan pendidik untuk menyempurnakan akhlak (HR Bukhari). Keagungan pekertinya pun dikagumi Allah SWT (QS 68:4), karena akhlaknya bagai Alquran berjalan (HR Muslim). Sebagai umatnya, kita mencintai Beliau dengan banyak shalawat, mencintai keluarganya, dan menjalankan sunahnya (QS 3:31, 33:56). Allahu a’lam bishshawab. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Posisi Imam dan Makmum dalam Shalat Jama’ah

Pendahuluan Tentang Shalat Berjama’ah

Telah kita ketahui bersama wajibnya shalat berjama’ah bagi kaum laki-laki. Dan bahwasanya shalat berjamaah wajib dilaksanakan di masjid kecuali ketika ada udzur.

Pada artikel kali ini akan dibahas bagaimana posisi berdirinya imam dan makmum dalam shalat berjama’ah. Baik jika pesertanya sedikit atau pun banyak. Baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan tempat yang sempit. Berikut ini penjelasannya.

Batasan Jumlah Orang dalam Shalat Jama’ah

Shalat jama’ah dianggap sah jika minimal dilaksanakan oleh dua orang. Karena secara bahasa, al jama’ah sendiri dari kata al ijtima’ yang artinya: sekumpulan orang. Dan dalam bahasa Arab, dua orang yang berkumpul sudah bisa disebut ijtima’. Juga sebagaimana hadits dari Abu Umamah Al Bahili, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika ada seorang yang memasuki masjid untuk shalat:

ألَا رَجُلٌ يَتصدَّقُ على هذا يُصلِّي معه؟ فقام رَجُلٌ فصَلَّى معه، فقال رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هذان جَماعةٌ

“Tidakkah ada seseorang yang mau bersedekah terhadap orang yang shalat ini?”. Maka seorang lelaki pun berdiri untuk shalat bersamanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Dua orang ini adalah jama’ah” (HR. Ahmad no.22189, dishahihkan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).

Demikian juga dalam hadits Malik bin Huwairits radhiallahu’anhu, ia berkata:

أَتَى رَجُلَانِ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُرِيدَانِ السَّفَرَ، فَقَالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: إذَا أنْتُما خَرَجْتُمَا، فأذِّنَا، ثُمَّ أقِيمَا، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُما أكْبَرُكُمَا

“Dua orang mendatangi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyatakan bahwa mereka akan pergi safar. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika kalian kalian safar (dan akan mendirikan shalat) maka adzan-lah dan iqamah-lah, dan hendaknya yang lebih tua dari kalian yang menjadi imam” (HR. Bukhari no. 630, Muslim no.674).

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa dua orang saja sudah mencukupi untuk tercapainya shalat berjama’ah.

Baca Juga: Perhatikan Aroma Tubuh Sebelum Pergi Shalat Berjamaah

Posisi Imam dan Makmum dalam Shalat Jama’ah

Mengenai posisi berdirinya imam dan makmum dalam shalat berjama’ah perlu dirinci menjadi beberapa keadaan:

  1. Jika shalat berjama’ah hanya dua orang

Jika keduanya laki-laki maka posisinya sejajar dan makmum terletak di samping kanan imam. Sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’ahuma, ia berkata:

بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ العِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ، فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، فَجِئْتُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ

“Saya pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah (binti Al Harits, istri Rasulullah). Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat isya (di masjid), kemudian beliau pulang, dan shalat 4 rakaat. Lalu beliau tidur. Kemudian beliau bangun malam. Akupun datang dan berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Beliau shalat 5 rakaat, kemudian shalat dua rakaat, lalu tidur kembali” (HR. Bukhari no. 117, 697).

Dalam riwayat lain:

أتيتُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – من آخر الليل فصلّيتُ خلفه، فأخَذ بيدي فجرّني فجعلني حذاءه

“Aku (Ibnu Abbas) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang shalat di akhir malam. Maka aku pun shalat di belakang beliau. Lalu beliau mengambil tanganku dan menarikku hingga sejajar dengan beliau” (HR. Ahmad 1/330, dan dishahihkan oleh Syuaib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Hal ini berlaku baik pada laki-laki maupun wanita yang shalat berdua sesama wanita.

Baca Juga: Sedang Sakit, Bolehkah Tidak Shalat Berjamaah Di Masjid?

  1. Jika makmum lelaki lebih dari satu

Maka posisi makmum berada di belakang imam membentuk barisan. Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu mengatakan:

قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ

“Aku berdiri di sisi kiri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu beliau memegang tanganku dan menarikku hingga aku berdiri di sebelah kanan beliau. Kemudian datang Jabbaar bin Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tangan kami semua dan mendorong kami hingga kami berdiri di belakang beliau” (HR Muslim no. 5328).

Baca Juga: Bolehkah Berdoa Secara Berjamaah Setelah Shalat?

  1. Makmum wanita

Jika seorang lelaki mengimami wanita, maka perlu diketahui bahwa shalatnya seorang lelaki  bersama wanita perlu dirinci. Al Imam An Nawawi menjelaskan,

قال أصحابنا : إذا أمَّ الرجل بامرأته أو محرم له , وخلا بها : جاز بلا كراهة ; لأنه يباح له الخلوة بها في غير الصلاة . وإن أمَّ بأجنبية ، وخلا بها : حرم ذلك عليه وعليها , للأحاديث الصحيحة التي سأذكرها إن شاء الله تعالى . وإن أمَّ بأجنبيات وخلا بهن : فقطع الجمهور بالجواز

“Para ulama madzhab kami berkata, jika seorang lelaki mengimami istrinya atau mahramnya, dan hanya berdua, hukumnya boleh tanpa kemakruhan. Karena lelaki boleh berduaan dengan mereka (istri dan mahram) di luar shalat. Adapun jika ia mengimami wanita yang bukan mahram, dan hanya berduaan, maka haram bagi si lelaki dan haram bagi si wanita. Karena hadits-hadits shahih yang akan saya sebutkan menunjukkan terlarangnya. Jika satu lelaki mengimami beberapa wanita dan mereka berkhalwat, maka jumhur ulama membolehkannya” (Al Majmu’, 4/173).

Adapun posisi wanita jika bermakmum pada lelaki, baik wanitanya hanya seorang diri ataupun banyak, maka posisinya adalah di belakang imam. Berdasarkan keumuman hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا

“Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami” (HR. Bukhari no.727, Muslim no.658).

  1. Wanita mengimami sesama wanita

Jika seorang wanita mengimami para wanita, maka imam berada di tengah. Dari Rabthah al Hanafiyah, ia berkata :

أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَ قَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِيْ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةِ

“‘Aisyah pernah mengimami para wanita dan ia berdiri diantara mereka dalam shalat wajib” (HR. Abdurrazaq dalam Al Mushannaf 3/140, Al Baihaqi 3/131).

Dari Hubairah, ia mengatakan bahwa :

أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ أَمَّتْهُنَّ فَكَانَتْ وَسَطًا

“Ummu Salamah pernah mengimami para wanita dan ia berada di tengah-tengah”. (HR Abdurrazaq dalam Al Mushannaf 3/140, Al Baihaqi 3/131).

  1. Dalam kondisi sempit

Dalam kondisi tempat yang sempit sehingga tidak bisa memposisikan imam dan makmum dalam posisi yang ideal, maka posisinya menyesuaikan keadaan. Sebagaimana hadits dari Al Aswad bin Yazid, ia berkata:

دخلتُ أنا وعَلقمةُ علَى عبدِ اللَّهِ بنِ مَسعودٍ فقالَ لَنا أصلَّى هؤلاءِ ؟ قُلنا : لا ! قالَ قوموا فَصلُّوا. فذَهَبنا لنقومَ خلفَهُ فجعلَ أحدَنا عن يمينِهِ والآخرَ عن شمالِهِ … وقالَ : هكَذا رأيتُ رسولَ اللَّهِ فعلَ

“Aku bersama Alqamah masuk ke rumah Ibnu Mas’ud. Lalu beliau berkata kepada kami: apakah kalian sudah shalat? Kami berkata: belum. Beliau mengatakan: kalau begitu bangunlah dan shalat. Maka kami pergi untuk shalat bermakmum kepada beliau. Beliau memposisikan salah satu dari kami di sebelah kanan beliau dan yang lain di kiri beliau … beliau lalu berkata: demikianlah yang aku lihat dari perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Muslim no.534, An Nasa-i no.719 dan ini lafadz an Nasa-i).

Shaf yang Paling Utama Bagi Makmum

Selain bershalat jama’ah itu sendiri memiliki banyak keutamaan dibanding shalat sendirian, posisi seseorang dalam shaf ketika shalat berjama’ah pun memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat. Tingkatan keutamaan posisi shaf ini ditentukan oleh beberapa patokan. Namun ada patokan yang disepakati oleh para ulama dan ada yang diperselisihkan.

Shaf pertama bagi laki-laki, shaf terakhir bagi wanita

Dalilnya, sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاسْتَهَمُوا

“Seandainya manusia mengetahui keutamaan yang ada pada adzan dan shaf pertama, lalu mereka tidak akan mendapatkannya kecuali dengan mengundi, pastilah mereka akan mengundinya” (HR. Bukhari 615, 652, 2689, Muslim 437)

dalam riwayat lain:

لَوْ تَعْلَمُونَ أَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لَكَانَتْ قُرْعَةً

“Seandainya kalian atau mereka mengetahui keutamaan yang terdapat pada shaf yang terdepan, niscaya itu sudah jadi bahan undian” (HR. Muslim 439)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf pertama” (HR. An Nasa-i, 810. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)

dalam riwayat lain:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الأَوَّلِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf-shaf terdepan” (HR. Ahmad 18152, Ibnu Majah 825, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Dalil-dalil mengenai hal ini sharih (jelas) penunjukkannya. Lalu terdapat dalil yang membedakan antara laki-laki dan wanita dalam hal ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خيرُ صفوفِ الرجالِ أولُها . وشرُّها آخرُها . وخيرُ صفوفِ النساءِ آخرُها . وشرُّها أولُها

“Shaf yang terbaik bagi laki-laki adalah yang pertama, yang terburuk adalah yang terakhir. Sedangkan shaf yang terbaik bagi wanita adalah yang terakhir, yang terburuk adalah yang pertama” (HR. Muslim 440)

Posisi yang dekat dengan imam

Posisi shaf yang semakin dengan imam, semakin besar keutamaannya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ليلني منكم أولو الأحلامِ والنهى, ثم الذين يلونَهم ثم الذين يلونَهم

“Hendaknya yang dibelakangku adalah orang yang bijaksana dan pandai, baru setelahnya adalah yang dibawah dia dalam hal kepandaian, begitu seterusnya” (HR. Muslim 432)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

ما بين بيتي ومِنبري روضةٌ من رياضِ الجنةِ ، ومِنبري على حوضِي

“Antara mimbarku dan rumahku adalah taman diantara taman-taman surga, dan mimbarku ada di dalam telagaku” (HR. Bukhari, 1196, Muslim, 1391)

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits ini dalam 2 qaul:

  1. Maksudnya adalah ta’abbud muthlaq, yaitu beribadah di tempat tersebut pahalanya berbeda dengan di tempat selainnya.
  2. Maksudnya bukan ta’abbud muthlaq, melainkan bentuk anjuran Nabi kepada para sahabat untuk mendapatkan tempat tersebut ketika beliau memberi pelajaran, lebih jelas mendengarnya, lebih dekat pada imam ketika shalat dan Nabi menjadi imam, sehingga para sahabat bisa mendapatkan lebih banyak ilmu, lebih banyak pemahaman, dan lebih meneladani Nabi dan itu semua merupakan sebab-sebab seseorang masuk ke surga.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

احْضرُوا الذكرَ، وادْنُوا من الإمَام، فإن الرجل لا يَزالُ يَتَبَاعَدُ حتى يُؤَخرُ في الجنة، وإن دَخَلَهَا

“Hadirilah khutbah jum’at dan mendekatlah kepada imam. Karena seorang yang selalu jauh dari imam, menyebabkan ia terbelakang dalam memasuki surga, andai ia memasukinya kelak” (HR. Abu Daud 1198, Al Hakim 1/289, Ahmad 5/11, lihat pembahasannya di sini)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf pertama” (HR. An Nasa-i, 810. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)

Dalam hadits ini digunakan kata الصُّفُوفِ dalam bentuk jamak bukan الصَّفِّ bentuk tunggal. Menunjukkan bahwa yang mendapat shalawat dari Allah dan para Malaikat itu tidak hanya shaf pertama saja, namun shaf-shaf depan yang jaraknya dekat dengan imam. Semakin dekat, semakin besar peluang mendapatkan shalawat dari Allah dan para Malaikat.

Sebelah kanan imam

Sebagian ulama memandang bahwa posisi sebelah kanan imam itu lebih utama dari sebelah kiri. Berdasarkan hadits:

إنَّ اللهَ وملائكتَه يُصلُّون على مَيامِنِ الصُّفوفِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf sebelah kanan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 4784, Ibnu Majah 995, Ibnu Hibban 2199).

Namun hadits ini munkar, walaupun sebagian ulama muhaddits memang menshahihkannya. Kemudian jika berdalil dengan keumuman tayamun, yaitu hadits:

إن كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يحبُّ التيمنَ في شأنهِ كلِّه . في نعلَيه، وترجُّلِه، وطهورِه

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyukai mendahulukan kanan dalam setiap urusannya, misalnya ketika memakai sandal, bersisir dan bersuci” (HR. Bukhari 426, 5854, 5380, Muslim 268).

Ini adalah pendalilan yang tidak sharih.

Namun memang diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka menyukai posisi shaf kanan. Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu berkata:

خير المسجد المقام ثم ميمنة المسجد

“Posisi terbaik dalam masjid al haram adalah maqam Ibrahim, lalu shaf sebelah kanan” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 1/300)

Juga dari Bara’ bin ‘Adzib radhiallahu’anhu, ia berkata:

كنا إذا صلينا مع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ  أحببنا أن نكون عن يمينه يقبل علينا بوجهه

“Jika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kami senang berada di sebelah kanan karena beliau akan menghadapkan wajahnya kepada kami” (HR. Muslim 709).

Maksudnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam akan memandang yang di sebelah kanan setelah selesai salam. Semua ini juga tidak menunjukkan tasyri’. Ini hanya menunjukkan ijtihad para sahabat dan semangat mereka agar ketika Rasulullah selesai shalat merekalah yang dilihat pertama kali. Tidak menunjukkan pensyariatan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Dengan demikian yang rajih insya Allah, tidak ada keutamaan khusus dari posisi shaf sebelah kanan.

Kesimpulan

Dari paparan di atas kita simpulkan urutan keutamaan posisi shaf shalat dari yang paling besar adalah:

  1. Di belakang imam persis pada shaf pertama, karena shaf pertama dan paling dekat imam
  2. Posisi selain belakang imam, yang mendekati imam, di shaf pertama.
  3. Posisi di shaf pertama yang jauh dari imam
  4. Lurus di belakang imam  pada shaf kedua, karena itu posisi paling dekat imam di shaf kedua
  5. Posisi selain poin 3, yang paling dekat jaraknya dengan imam, di shaf kedua.
  6. Posisi di shaf kedua yang jauh dari imam

Dst.

Adapun bagi wanita, semakin belakang semakin utama. 

Demikian pemaparan yang singkat ini, semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52861-posisi-imam-dan-makmum-dalam-shalat-jamaah.html

Keutamaan Menjenguk Orang yang Sakit

Sejatinya orang yang sakit mengharapkan spirit untuk sehat.

Sejatinya, orang sakit itu tak perlu makanan atau minuman enak, juga pakaian mewah. Yang ia harapkan adalah spirit untuk sehat. Bahwa masih ada orang-orang yang mengharapkannya. Masih ada sahabat-sahabat sejatinya yang merinduinya untuk kembali ceria seperti semula.

Sejatinya juga, orang sakit itu tidak ingin segala buah-buahan impor, juga mainan aneka rupa. Yang ia perlukan adalah doa agar ia dapat pulih dan beraktivitas seperti semula.

Bahwa masih banyak warga yang memerlukannya. Masih banyak kawan-kawan terbaiknya yang mendambakannya untuk aktif kembali menggerakkan kebaikan-kebaikan yang biasa dikerjakannya untuk orang banyak.

Dalam sakitnya, banyak orang merasakan pahitnya. Dalam perihnya masih terlalu banyak kerabat yang merasakan sedihnya, Begitu agungnya besuk menjumpai saudara kita yang sakit, sampai Rasulullah SAW mendeskripsikannya dengan, “Apabila seseorang menjenguk saudaranya Muslim yang sedang sakit, maka seakan-akan dia berjalan sambil memetik buah-buahan surga sehingga dia duduk. Apabila sudah duduk, diturunkan kepadanya rahmat dengan deras.

Apabila menjenguknya di pagi hari, tujuh puluh ribu malaikat mendoakan orang yang menjenguk itu agar mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya di sore hari, tujuh puluh ribu malaikat mendoakannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba.” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Maka, ketika ada seseorang yang sakit tak sadarkan diri, atau koma, maka relung tingkat kesadaran terdalamnya sesungguhnya mendengar dan merekam suara-suara yang membesuknya.

“Papa bertahan ya, anak-anak masih perlu papa untuk masa depan mereka,” misalnya dibisikkan kata-kata penghibur itu. “Umi sembuh ya, anak-anak menanti tangan lembut umi,” kata anak-anak dalam untaian doa di samping ibunya yang tengah sakit tak sadarkan diri.

Ya, suara-suara penyemangat, kunjungan penuh kehangatan, cerita-cerita yang menghibur, dan pastinya doa ikhlas yang disampaikan di dekat pasien. Sungguh sangat menghiburnya.

Tokoh dan orang terpandang sekalipun, jika tanpa orang yang menjenguknya, apalah derita di hatinya. Apalah pula dosa kita, padahal dahulu semasa jayanya pasien, kita pernah merasakan pemberiannya, materinya, jasanya.

Ya, pasien berhak mendapat kunjungan dari saudara-saudaranya. Sementara bagi yang lain, mengunjunginya merupakan kewajiban.

Hebatnya lagi, orang beriman yang sakit, baginya adalah penggugur dosa-dosanya, pengangkat derajat kemuliaannya. Maka, justru kita yang sehatlah yang perlu doanya. Karena, dia sudah berkurang banyak dosadosanya, sementara kita masih bertambah-tambah dosanya.

Oleh: Ali Farkhani Tsani
KHAZANAH REPUBLIKA

Lokasi Shalat Jumat Pertama Kali, di Mana?

Namun, shalat Jumat itu tidak dipimpin oleh Rasulullah

Pada Jumat pagi, 16 Rabiul Awal, Rasulullah meninggalkan Quba’.  Rasulullah dan para sahabat melanjutkan perjalanan ke Madinah. Namun, pada siang hari, mereka berhenti di Lembah Ranuna, di perkampungan Bani Salim bin ‘Auf dari suku Khazraj yang masih berada di sekitar Quba.

Mereka kemudian melaksanakan shalat Jumat untuk pertama kalinya di tempat itu. Sebelum melaksanakan shalat Jumat, Rasulullah menyampaikan khotbah di depan ratusan jamaah. 

Meski 16 Rabiul Awal dianggap sebagai hari dilaksanakannya shalat Jumat perdana namun sejumlah riwayat mengungkapkan bahwa sebelum hari itu, shalat Jumat pernah dilaksanakan oleh umat Islam.

Namun, shalat Jumat itu tidak dipimpin oleh Rasulullah, melainkan As’ad bin Zurarah. Fakta tersebut dikisahkan dalam hadis yang diungkapkan oleh Qutaibah bin Sa’id. Qutaibah menyatakan, setiap kali Ka’ab bin Malik mendengar azan hari Jumat, dia akan memohonkan rahmat untuk As’ad bin Zurarah. 

“Lantas, aku bertanya kepadanya, ‘Mengapa Anda memohonkan rahmat untuk As’ad bin Zurarah setiap kali mendengar azan Jumat?” Ka’ab pun menjawab, “As’ad adalah orang yang pertama kali melaksanakan shalat Jumat di tengah-tengah kami di Hazmin-nabit, yang terletak di Bani Bayadhah di Baqi’, yaitu Naqi’ul Khadhamat.” 

Qutaibah bertanya lagi, “Berapakah jumlah kalian ketika itu?” Ka’ab menjawab, “Empat puluh orang.” 

As’ad dikisahkan mengetahui bahwa perintah untuk melaksanakan shalat Jumat sampai kepada Rasulullah. Kabar tersebut tersiar ke Madinah, tempat dia berada. Hal inilah yang menjadi dasar baginya untuk melaksanakan shalat Jumat.

Sementara, Rasulullah tidak mungkin melaksanakan shalat Jumat berjamaah di tengah kondisi Makkah yang tidak kondusif bagi dirinya dan Muslim lainnya. Karena itu, Rasulullah baru bisa melaksanakan shalat Jumat ketika beliau hijrah di Madinah. 

Setiap hari Jumat, Muslim di desa tempat tinggal As’ad akan menuju rumahnya dan berkumpul di sana. Mereka  lalu menyelenggarakan shalat dua rakaat. Setelah itu, Asad memotong kambing untuk dimakan bersama.

KHAZANAH REPUBLIKA


Deretan Alasan Mengapa Jumat Disebut Tuan Semua Hari

Jumat adalah hari yang dimuliakan dari semua hari.

Hari Jumat memiliki makna penting dalam Islam. Dalam Islam, hari Jumat juga disebut sebagai ‘sayyidul ayyam’ atau bermakna tuannya semua hari. Dengan demikian, hari Jumat adalah hari yang istimewa dalam Islam. 

Pakar Alquran Indonesia, Dr KH Ahsin Sakho Muhammad, mengatakan bahwa makna sayyid (tuan) pada hari Jumat berarti hari tersebut adalah hari paling utama dari semua hari dalam perspektif Islam. 

Hal demikian seperti dikatakan Rasulullah SAW, “Sungguh hari Jumat adalah tuannya hari-hari dan yang paling agung di sisi Allah” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Pernyataan demikian juga diriwayatkan dalam beberapa hadits lainnya.

Kiai Ahsin mengatakan, Jumat adalah hari rayanya umat Islam. Sebagaimana dikatakan Rasulullah, “Ini (hari Jumat) adalah hari yang dijadikan Allah sebagai hari raya bagi kaum Muslimin” (HR Ibnu Majah dan ath-Thabrani).

“Dalam hadis disebutkan, sebaik-baiknya hari di mana matahari terbit adalah hari Jumat. Sebab di hari Jumat, Nabi Adam diciptakan dan dimasukkan ke dalam surga, Nabi Adam juga diturunkan ke bumi dari Surga pada Jumat, diterima taubatnya juga pada Jumat. Dan hari kiamat terjadi pada Jumat,” kata Kiai Ahsin, saat dihubungi Republika.co.id. 

Di dalam Alquran, Jumat secara khusus menjadi nama sebuah surah, yakni AlJumuah. Pada Jumat juga, Allah SWT selesai menyelesaikan pekerjaan dalam menciptakan langit dan bumi. Penciptaan langit dan bumi tersebut dimulai pada Ahad.  

Hari Jumat adalah hari beribadah. Imam Ibnu Qayyim berkata, “Allah menjadikan bagi setiap penganut agama suatu hari di mana mereka meluangkan pada hari itu untuk beribadah dan mereka mengosongkan dari berbagai kesibukan dunia.”

Kiai Ahsin menuturkan, disunahkan untuk memperbanyak zikir, shalawat, membaca Alquran dan ibadah di hari Jumat. Kegiatan do’a dan ibadah tersebut, menurutnya, dimulai dari malam Jumat. Saat itulah, para malaikat akan mencatat shalawat yang dilantunkan dan melaporkannya kepada Nabi Muhammad saw.

Selain itu, disunahkan untuk membaca surah al-Kahfi pada Jumat. Sebab, menurutnya, barang siapa yang membaca surah tersebut pada malam atau hari Jumat, Allah akan memberikan cahaya dan pahala kepadanya.

Imam Nawawi mengatakan, bahwa hari Jumat adalah hari berdoa, zikir dan ibadah. Dalam hal ini, umat Muslim biasanya mandi untuk berangkat shalat Jumat di masjid. Kemudian, mereka akan mendengarkan khutbah dari khatib saat shalat Jumat.

Bahkan, pada Jumat terdapat waktu yang mustajab untuk berdoa. Kiai Ahsin mengatakan, ada satu waktu yang sedikit di hari Jumat yang doanya mustajab. JIka Muslim berdoa pada waktu itu, maka doanya akan diijabah Allah SWT.

Namun demikian, para ulama berbeda pendapat akan kapan waktu tersebut. Sebagian ulama berpendapat waktu itu adalah saat khatib berada di mimbar hingga selesai. Sementara sebagian lagi ulama berpendapat waktu tersebut adalah di waktu setelah ashar hingga Maghrib pada Jumat.

Sesuai asal katanya, Jumat dari kata Jama’a bermakna ‘berkumpul’. Karena itulah, Kiai Ahsin mengatakan bahwa Jumat adalah hari berkumpulnya umat Islam untuk melaksanakan ibadah shalat Jumat secara berjamaah. Di dalam surah al-Jumuah disebutkan secara khusus tentang hari Jumat.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS al-Jumuah:9).

Dengan demikian, dia mengatakan bahwa shalat Jumat dilaksanakan dalam rangka pertemuan pekanan bagi kaum Muslimin. Selain itu, hal ini juga semacam imbauan bagi kaum Muslim untuk bersatu.

“Setiap harinya, ada shalat lima waktu yang bisa dikerjakan secara berjamaah. Setiap pekannya, ada shalat Jumat dan setiap tahunnya ada shalat ied yang dikerjakan berjamaah,” kata mantan rektor Institut Ilmu Alquran (IIQ) ini.  

Pada Jumat inilah, umat Muslim berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat Jumat. Hal ini dikatakan Kiai Ahsin tidak terdapat pada hari yang lain. Karena itu, berjalannya seorang Muslim ke masjid pun mendapat pahala yang besar. 

Pada saat khatib sudah naik ke mimbar, malaikat pencatat amal sudah menutup catatan bukunya. Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa malaikat mencatat orang yang datang ke masjid pada awal waktu dan menutup catatan bukunya begitu khatib naik ke mimbar.

Dosen di Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) ini mengatakan karena hari Jumat adalah hari raya umat Islam, maka dilarang untuk berpuasa di hari itu tanpa ada sebab tertentu. Namun, menurutnya, diperbolehkan berpuasa pada Jumat jika beberapa hari sebelumnya atau sesudahnya juga melakukan puasa.

Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Janganlah ada di antara kamu yang berpuasa pada Jumat kecuali jika dia berpuasa pada hari-hari sebelumnya atau sesudahnya” (HR Bukhari dan Muslim).  

KHAZANAH REPUBLIKA

Dianjurkan Membaca Doa Ini Setiap Jumat Pagi

Jumat merupakan hari istimewa bagi umat Islam. Pada hari Jumat, umat muslim dianjurkan memperbanyak berdoa. Salah satu doa yang dianjurkan untuk dibaca setiap jumat pagi yaitu:

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

Astagfirullahalladzi laa ilaaha illa huwal hayyul qoyyuum wa atuubu ilaihi (3x)

Aku memohon kepada dzat yang tiada tuhan selain Dia, yang Maha Hidup, Maha Kekal dan aku bertaubat kepada-Nya

Doa ini sebagaimana tercantum dalam al-Adzkar an-Nawawiyah dari riwayat Ibnu Sinni. Dari Anas bin Malik Ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

Barangsiapa membaca Astagfirullahalladzi laa ilaaha illa huwal hayyul qoyyuum wa atuubu ilaihi sebanyak tiga kali pada Jumat pagi sebelum shalat ghadat (shubuh), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan.

ISLAMIco

Keutamaan Membangun Masjid Dengan Niat Yang Ikhlas

Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu beliau berkata: Sungguh aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ تَعَالَى – قَالَ بُكَيْرٌ: حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ: يَبْتَغِيْ بِهِ وَجْهَ اللَّهِ – بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا

Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah Ta’ala (mengharapkan wajah-Nya) maka Allah akan membangunkan baginya rumah (istana) di Surga1.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan ganjaran pahala bagi orang yang membangun masjid di dunia dengan niat ikhlas karena mengharapkan perjumpaan dengan Allah Ta’ala dan mencari keridhaan-Nya, sehingga Imam An-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab: Keutamaan (besar) dan anjuran membangun masjid2.

Keutamaan membangun masjid ini juga termasuk yang ditunjukkan dalam makna firman AllahTa’ala tentang keutamaan besar bagi orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah, dalam firman-Nya:

{مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ. إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ}

Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allah, maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang selalu mendapat petunjuk (dari Allah Ta’ala)” (QS At-Taubah: 18).

Imam Ibnul Jauzi berkata: “Yang dimaksud dengan memakmurkan masjid (dalam ayat ini) ada dua pendapat:

  1. Selalu mendatangi masjid dan berdiam di dalamnya (untuk beribadah kepada Allah Ta’ala)
  2. Membangun masjid dan memperbaikinya”3.

Beberapa mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

  • Keutamaan dalam hadits di atas hanya diperuntukkan bagi orang yang yang membangun masjid dengan niat ikhlas karena Allah semata-mata, bukan karena mencari balasan duniawi, baik harta, kedudukan, ataupun pujian dan sanjungan. Sebagian dari para ulama memperingatkan dengan keras akan hal ini, sampai-sampai Imam Ibnul Jauzi berkata: “Barangsiapa yang menulis namanya pada masjid yang dibangunnya maka dia jauh dari keikhlasan”4.
  • Yang dimaksud dengan rumah (istana) di Surga yang Allah Ta’ala bangunkan bagi orang yang mendirikan masjid tentu lebih indah, lebih luas dan lebih mulia daripada rumah-rumah yang ada di dunia5. Berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam sebuah hadits qudsi: “Aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh (kenikmatan/keindahan di Surga) yang belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terlintas dalam hati manusia”6.
  • Sebagian dari para ulama menjelaskan bahwa untuk mendapatkan keutamaan ini harus benar-benar ada masjid yang dibangun dan didirikan, jadi tidak cukup dengan hanya menyiapkan tanah atau bahan-bahan bangunan tanpa mengusahakan pembangunan masjid tersebut7.
  • Keutamaan dalam hadits ini juga tentu tidak berlaku bagi orang yang membangun masjid untuk tujuan-tujuan buruk, seperti memecah belah kaum muslimin, menyebarkan ajaran sesat dan amalan bid’ah, serta tujuan-tujuan buruk lainnya8. Allah Ta’ala berfirman:{وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ. لا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ}“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan keburukan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu/membantu kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan”, dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta. Janganlah kamu shalat dalam mesjid itu selama-lamanya” (QS At-Taubah: 107-108).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

***

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, Lc., MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27087-keutamaan-membangun-masjid-dengan-niat-yang-ikhlas.html

Memakmurkan Masjid Sifat Terpuji Yang Identik Dengan Iman Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allâh ialah orang-orang yang beriman kepada Allâh dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allâh, maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang selalu mendapat petunjuk (dari Allâh)” [At-Taubah/9:18]

Ayat yang mulia ini menunjukkan besarnya keutamaan memakmurkan masjid yang didirikan karena Allâh Azza wa Jalla dengan semua bentuk pemakmuran masjid. Perbuatan terpuji ini sekaligus menjadi bukti benarnya iman dalam hati seorang hamba.

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa mempersaksikan orang-orang yang memakmurkan masjid itu sebagai orang-orang beriman adalah (persaksian yang) benar. Karena Allâh Azza wa Jalla mengaitkan keimanan dengan perbuatan (terpuji) ini … Salah seorang Ulama Salaf berkata, “Jika engkau melihat seorang hamba (yang selalu) memakmurkan masjid maka berbaiksangkalah kepadanya.”[1]

Dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang menyebutkan hal ini. Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi (5/12 dan 277), Ibnu Mâjah (no. 802), Ahmad (3/68 dan 76) dan al-Hâkim (1/322 dan 2/363) dari Abu Sa’id al-Khudri z bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسَاجِدَ، فَاشْهَدُوا لَهُ بِالْإِيمَانِ

Jika engkau melihat seorang hamba yang selalu mengunjungi masjid maka persaksikanlah keimanannya. kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat di atas.

Namun tetapi hadits ini lemah karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Darraj bin Sam’an Abus samh al-Mishri. Dia meriwayatkan hadits ini dari Abul Haitsam Sulaiman bin ‘Amr al-Mishri, dan riwayatnya dari Abul Haitsam lemah, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu hajar al-‘Asqalani.[2]

Hadits ini juga dinyatakan lemah oleh Imam adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani karena rawi di atas.[3]

Karena hadits ini lemah, maka tentu tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dan argumentasi yang menunjukkan keutamaan di atas, tapi cukuplah firman Allâh Azza wa Jalla di atas dan hadits-hadits lain yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan tersebut. Misalnya, hadits riwayat Abu Hurairah z bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ  وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ

Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allâh dalam naungan (Arsy)-Nya pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya… (di antaranya) yaitu seorang hamba yang hatinya selalu terikat dengan masjid.[4]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Artinya, dia sangat mencintai masjid dan selalu berada disana untuk melaksanakan shalat berjamaah.”[5]

HAKIKAT MEMAKMURKAN MASJID

Makna memakmurkan masjid adalah selalu berada di sana untuk melaksanakan ibadah dalam rangka mencari keridhaan-Nya. Misalnya untuk shalat, berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan mempelajari ilmu agama. Juga termasuk membangun masjid, menjaga dan memeliharanya.[6]

Dua makna inilah yang diungkapkan oleh para Ulama Ahli tafsir ketika menafsirkan ayat di atas. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan memakmurkan masjid (dalam ayat di atas) ada dua pendapat:

  1. Selalu mendatangi masjid dan berdiam di dalamnya (untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla)
  2. Membangun masjid dan memperbaikinya.[7]

Jadi, hakikat memakmurkan masjid adalah mencakup semua amal ibadah dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla yang diperintahkan atau dianjurkan dalam Islam untuk dilaksanakan di masjid.

Oleh karena itu, tentu saja shalat berjamaah lima waktu di masjid bagi laki-laki adalah termasuk bentuk memakmurkan masjid, bahkan inilah bentuk memakmurkan masjid yang paling utama.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil dengan sanad beliau ucapan Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Barangsiapa yang mendengar seruan adzan untuk shalat (berjamaah) kemudian dia tidak menjawabnya dengan mendatangi masjid dan shalat (berjamaah), maka tidak ada shalat baginya dan sungguh dia telah bermaksiat (durhaka) kepada Allâh dan Rasul-Nya”. Kemudian ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu membaca ayat tersebut di atas.[8]

Sebaliknya, semua perbuatan yang bertentangan dengan petunjuk Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, meskipun dihadiri oleh banyak orang sehingga masjid menjadi penuh dan ramai, itu tidak termasuk memakmurkan masjid. Seperti pelaksanaan acara-acara bid’ah[9] yang dilakukan di beberapa masjid kaum Muslimin. Apalagi jika dalam acara tersebut terdapat unsur kesyirikan (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla) dan hal-hal yang bertentangan dengan akidah Islam yang lurus.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bukanlah yang dimaksud dengan memakmurkan masjid-masjid Allâh hanya dengan menghiasi dan mendirikan fisik (bangunan)nya saja, akan tetapi memakmurkannya adalah dengan berdzikir kepada Allâh dan menegakkan syariat-Nya di dalamnya, serta membersihkannya dari kotoran (maksiat) dan syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla).”[10]

Demikian pula, perbuatan yang dilakukan oleh sebagian dari orang-orang awam ketika mendirikan masjid, dengan berlebih-lebihan menghiasi dan meninggikannya, sehingga mengeluarkan biaya yang sangat besar, bukan untuk memperluas masjid sehingga bisa menampung jumlah kaum Muslimin yang banyak ketika shalat berjamaah, tapi hanya untuk menghiasi dan mempertinggi bangunan fisiknya.

Perbuatan ini jelas-jelas bertentangan dengan petunjuk Allâh Azza wa Jalla yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam beberapa hadits shahih berikut. Diantaranya, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah terjadi hari kiamat sampai manusia berbangga-bangga dengan masjid.”[11]

Arti “berbangga-bangga dengan masjid” adalah membanggakan indahnya bangunan, hiasan, ukiran dan tinggi bangunan masjid, supaya terlihat lebih indah dan megah dibandingkan dengan masjid lainnya.[12]

Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan ini diharamkan dalam Islam karena perbuatan ini dikaitkan dengan keadaan di akhir jaman sebelum terjadinya hari kiamat, yang waktu itu tersebar berbagai macam kerusakan dan keburukan, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hadits shahih lainnya.[13]

Dalam hadits lain, dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Aku tidak diperintahkan untuk menghiasi (atau meninggikan bangunan) masjid (secara berlebihan). Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu berkata, “(Artinya) menghiasinya seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani menghiasi (tempat-tempat ibadah mereka).[14]

Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut di atas haram hukumnya dalam Islam, karena menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi dan Nashrani dan ini dilarang oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Perbuatan ini juga bertentangan dengan petunjuk sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan termasuk bid’ah, ditambah lagi dengan pemborosan harta untuk biaya hiasan dan peninggian bangunan tersebut, serta hilangnya kekhusyu’an dalam ibadah akibat dari hiasan-hiasan yang melalaikan hati tersebut, padahal khusyu’ adalah ruh ibadah[15].

Berdasarkan keterangan di atas, maka yang sesuai dengan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendirikan masjid adalah memilih yang sederhana dalam bangunan dan hiasan masjid.

Imam Ibnu Baththal dan para ulama lain berkata, “Dalam hadits di atas terdapat dalil (yang menunjukkan) bahwa (yang sesuai dengan) sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendirikan masjid adalah yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam menghiasinya. Sungguh ‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu di jaman (kekhalifahan) beliau, meskipun banyak negeri musuh yang ditaklukkan dan ada kelapangan harta, tapi beliau Radhiyallahu anhu tidak merubah Masjid Nabawi dari keadaannya semula… Lalu di jaman (kekhalifahan) ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu yang waktu itu harta lebih banyak, tapi beliau Radhiyallahu anhu hanya memperindah (menambah luas) Masjid Nabawi tanpa menghiasinya (secara berlebihan).[16]

BERCERMIN PADA MASJIDIL HARAM DAN MASJID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Sebaik-baik masjid yang ada di muka bumi ini adalah dua masjid yang berada di dua kota suci dan paling dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla yaitu Mekkah dan Madinah.

Masjidul haram dan Masjid Nabawi adalah dua masjid yang paling dirindukan oleh orang-orang yang beriman dan paling pantas untuk dimakmurkan dengan berbagai macam ibadah yang disyariatkan dalam Islam, seperti thawaf dan sa’i ketika melaksanakan ibadah haji atau ‘umrah di Masjidil haram, melaksanakan shalat di kedua masjid tersebut, dan ibadah-ibadah agung lainnya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

Shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu (kali) shalat di masjid lain kecuali Masjidil haram.[17]

Dalam riwayat lain dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu ada tambahan:

وَصَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ

Dan shalat di Masjidil haram seratus seribu (kali) lebih utama daripada shalat di masjid lain[18].

Bahkan kerinduan untuk mengunjungi dan memakmurkan dua masjid mulia ini merupakan bukti benarnya iman yang ada di hati seorang hamba.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْإِيمَانَ لَيَأْرِزُ إِلَى الْمَدِينَةِ كَمَا تَأْرِزُ الْحَيَّةُ إِلَى جُحْرِهَا

Sesungguhnya iman akan selalu kembali (berkumpul) di kota Madinah sebagaimana ular yang selalu kembali ke lubang (sarang)nya[19]

Dalam riwayat lain dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Agama Islam akan selalu kembali (berkumpul) di dua masjid (Masjidul haram dan Masjid Nabawi) sebagaimana ular yang selalu kembali ke lubang (sarang)nya[20]

Khusus yang berhubungan dengan “memakmurkan masjid”, sebagian Ulama mengatakan bahwa ibadah ‘umrah secara bahasa asalnya diambil dari kata “memakmurkan Masjidil haram”[21]. ini menunjukkan bahwa masjid inilah yang paling pantas untuk selalu dikunjungi dan dimakmurkan dengan ibadah-ibadah yang disyariatkan dalam Islam.

Dan memang pada kenyataannya, dari dulu sampai sekarang, kedua masjid inilah yang selalu menjadi teladan dalam ‘kemakmuran masjid’ karena banyaknya kegiatan-kegiatan ibadah agung yang dilaksanakan di dalamnya. Seperti maraknya majelis ilmu yang bermanfaat di beberapa tempat di dalam dua masjid tersebut, dengan nara sumber para Ulama yang terpercaya dalam ilmu mereka. Demikian pula halaqah-halaqah tempat para penghafal al-Qur’an maupun orang-orang yang belajar membacanya dengan benar, di hampir setiap sudut masjid. Belum lagi kegiatan ibadah seperti shalat-shalat sunnah, berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla , membaca al-Qur’an hanya marak dilakukan di siang dan malam hari, dalam rangka mencari keutamaan yang berlipat ganda yang Allâh Azza wa Jalla khususkan bagi dua masjid mulia ini.

Khususnya di Masjidil haram, kegiatan ibadah thawaf dan sa’i yang bisa dikatakan tidak pernah terputus, baik ketika musim haji ataupun di waktu lain untuk ‘umrah. Bahkan kegiatan thawaf sunnah hanya terhenti ketika dikumandangkan iqamah untuk pelaksanaan shalat berjamaah lima waktu.

Bagi orang yang pernah melaksanakan ibadah ‘umrah dan mengunjungi dua masjdi tersebut di bulan Ramadhan, tentu akan selalu terkenang dengan sifat dermawan yang ditunjukkan di dua masjid tersebut, utamanya di Masjid Nabawi, berupa suguhan berbagai macam makanan lezat untuk berbuka puasa yang memenuhi seluruh masjid dari depan sampai belakang, mulai dari kurma, air zam-zam, roti, yogurt, Haisah[22] dan lain-lain. Khusus untuk di halaman Masjid, makanan berupa nasi ‘Arab denga lauk ayam bakar, daging kambing dan lain-lain.

Lebih dari itu, para penyedia makanan untuk berbuka puasa tersebut menugaskan beberapa orang, biasanya anak-anak kecil, untuk memanggil dan membujuk orang-orang yang berada di masjid tersebut atau orang-orang yang lewat untuk bersedia berbuka puasa di tempat yang mereka sediakan.

SubhanAllâh! Mereka ini, benar-benar ingin mengamalkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Barangsiapa memberi makan orang lain untuk berbuka puasa maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun[23]

Dan masih banyak kegiatan-kegiatan ibadah agung lain yang marak terlihat di dua masjid mulia ini dan tentu tidak bisa dipaparkan semua.

MASJID YANG TIDAK BOLEH DIMAKMURKAN BAHKAN WAJIB DIJAUHI DAN DIHANCURKAN

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ ﴿١٠٧﴾ لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan keburukan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu/membantu kedatangan orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sungguh bersumpah: “Kami tidak meng-hendaki selain kebaikan”, dan Allâh menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pen-dusta. Janganlah kamu shalat dalam mesjid itu selama-lamanya!” [At-Taubah/9:107-108]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan keberadaan masjid-masjid yang didirikan untuk tujuan yang buruk dan bukan untuk mencari keridhaan Allâh Azza wa Jalla . Inilah yang disebut sebagai Masjid dhirar.

Maka Allâh Azza wa Jalla melarang Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh umat Islam untuk shalat di masjid seperti itu selama-lamanya.[24]

Inilah masjid yang tidak boleh dikunjungi dan dimakmurkan bahkan wajib dijauhi dan dihancurkan[25], karena didirikan untuk tujuan yang buruk, seperti memecah belah kaum Muslimin, menyebarkan ajaran sesat dan amalan bid’ah, serta tujuan-tujuan buruk lainnya.[26]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Termasuk dalam kandungan (ayat) di atas adalah orang yang mendirikan bangunan yang menyerupai masjid-masjid kaum Muslimin, (tapi) bukan untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang disyariatkan (dalam Islam), seperti kuburan-kuburan yang dikeramatkan dan lain-lain. Terlebih lagi jika di dalamnya terdapat keburukan, kekafiran, (upaya) memecah belah kaum Mukminin, tempat yang disediakan untuk orang-orang munafik dan ahli bid’ah yang durhaka kepada Allâh dan Rasul-Nya, dan hal-hal yang mendukungnya. Maka bangunan (masjid) ini serupa dengan Masjid dhirar[27].

PENUTUP

Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk selalu bersegera dalam kebaikan dalam rangka mencari keridhaan-Nya.

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia k menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selalu memakmurkan masjid-masjid Allâh Azza wa Jalla dan meraih kesempurnaan iman dengan taufik-Nya. Sesungguhnya Dia Azza wa Jalla maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a.

oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Read more https://almanhaj.or.id/6395-memakmurkan-masjid-sifat-terpuji-yang-identik-dengan-iman-kepada-allah-subhanahu-wa-taala.html