Apa Pentingnya Pamer Kekayaan?

Sahabat Ibnu Umar ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Pada zaman dahulu ada seorang lelaki memakai pakaian hingga menyentuh tanah dan berjalan sambil menarik- narik pakaiannya dengan penuh rasa bangga. Lalu orang tersebut ditenggelamkan ke bumi hingga hari kiamat nanti,” (HR. Bukhari dan Nasai).

SETIAP manusia memiliki sifat buruknya masing-masing yang bisa sama dan bisa juga berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain. Salah satu sifat buruk manusia adalah gemar memamerkan hal-hal yang berharga miliknya kepada orang lain.

Orang yang memiliki sifat suka pamer atau riya biasanya juga memiliki sifat gengsian. Sifat gengsi adalah sifat di mana seseorang merasa bangga apabila memiliki atau menggunakan hal-hal yang dianggap berharga atau bagus di mata orang lain serta akan merasa rendah diri atau malu ketika tidak mempunyai atau tidak memakai hal-hal yang bagus atau berharga di mata orang banyak.

Sahabat Iyadh bin Hamar ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Allah swt telah memberikan wahyu kepadaku agar supaya kamu sekalian bersifat lawadhu’ (merenda-hkan diri), sehingga di antara sesama manusia tidak ada lagi saling hina menghina serta saling membanggakan diri,” (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Dalam kehidupan kita sehari-hari kita terbiasa melihat orang-orang saling iri hati melihat sesuatu hal baik yang ada pada orang lain dan ada pula orang-orang yang senang memperlihatkan benda-benda berharganya pada orang lain. Sifat baik dan sifat buruk muncul silih berganti saling melengkapi satu sama lain mewarnai kehidupan kita di dunia ini.

Walaupun agama sudah memperingatkan dan mengancam orang-orang yang memiliki sifat buruk, namun tetap saja dunia ini dipenuhi oleh berbagai hal buruk yang salah satunya adalah sifat suka pamer alias riya.

Mari kita lihat dalam hal apa saja yang biasanya orang pamerkan kepada orang-orang.

Benda-Benda yang Dijadikan Ajang Pamer Harta Kekayaan Pada Seseorang yang Suka Pamer / Riya :

1. Tempat Tinggal
Contoh : Rumah, Apartemen, Rumah Susun, Villa, dsdan sebagainya.

2. Properti Non Tempat Tinggal
Contoh : Tanah, Toko, Ruko, Kebun, Sawah, Kantor, dan sebagainya.

3. Kendaraan
Contoh : Mobil, Sepeda Motor, Sepeda, Helikopter, Skuter, Pesawat Terbang, Angkutan Umum, dan sebagainya.

4. Perhiasan
Contoh : Cincin, Gelang, Kalung, Anting-Anting, Mahkota, Gigi Palsu, dan sebagainya.

5. Pakaian
Contoh : Pakaian, Aksesoris, Tas, Sepatu, Sendal, sebagainya.

6. Alat Elektronik Portabel
Contoh : Handphone, Komputer Tablet, Laptop, Handycam, Kamera Digital, dan sebagainya.

7. Barang Rumahan
Contoh : Furniture, Perangkat Elektronik, Lukisan, Pajangan / Hiasan, dan sebagainya.

Dan masih banyak lagi benda-benda rawan dipamerkan lainnya.

Sahabat Abi Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Ada tiga orang yang kelak di hari kiamat Allah tidak akan berbicara dengannya, tidak akan memuliakannya, serta tidak akan memandangnya, dan bagi mereka siksa yang sangat menyakitkan. Mereka adalah orang tua yang berzina, pemimpin yang berkhianat, dan orang fakir yang takabur,” (HR. Muslim dan Nasai).

Sebagai orang yang baik seharusnya kita berusaha menghilangkan sifat riya (suka pamer), iri hati, gengsi, pelit, dan lain sebagainya. Sifat-sifat buruk yang merupakan penyakit hati harus kita buang jauh-jauh. Dengan hilangnya berbagai penyakit hati, maka kita akan hidup dengan tenang, tentram, damai, aman dan sejahtera lahir batin. []

Sumber: http://www.organisasi.org/1970/01/barang-benda-yang-suka-dipamerkan-oleh-tukang-pamer-riya-pada-orang-lain.html

ISLAMPOS

Diet atau Pola Makan Sehat ala Rasulullah? (Bag. 1)

Menisbatkan Metode Diet dengan Islam

Sebagian orang ingin memiliki badan yang ideal atau ingin menurunkan berat badan. Karena keinginan itu, banyak di antara mereka yang menempuh berbagai metode diet, menjaga aktivitas dan latihan fisik, serta menjaga pola tidur yang cukup dan tidak stres. Sebagian yang lain melakukan diet khusus karena memang ingin menjaga diri dari penyakit. 

Jika hal itu tidak disangkut-pautkan dengan syariat atau ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu tidak masalah. Dengan catatan bahwa pola diet tersebut tidak justru membahayakan tubuh. Hanya saja sebagian pihak bersikap lancang dengan menisbatkan pola makan atau pola diet tertentu sebagai ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, menisbatkan sesuatu sebagai sunnah atau ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perkara yang berat dan berbahaya. Oleh karena itu, dalam bab ini akan kami sampaikan hadits-hadits atau petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan masalah ini dan bagaimanakah penjelasan ulama tentangnya.

Berbagai Dalil yang Berkaitan dengan Makanan

Di dalam Al-Qur’an kita dapati petunjuk dari Allah Ta’ala agar makan makanan yang halal dan thayyib, serta menjauhkan diri dari makanan haram. Selain itu, kita diperintahkan untuk tidak berlebih-lebihan ketika makan, meskipun makanan halal. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 168) 

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang salih. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 51)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا

“Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf  [7]: 31)

Larangan sikap berlebih-lebihan juga ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، حَسْبُ الْآدَمِيِّ، لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ غَلَبَتِ الْآدَمِيَّ نَفْسُهُ، فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ، وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ، وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ

“Tidaklah seorang manusia memenuhi satu wadah yang lebih berbahaya dibandingkan perutnya sendiri. Sebenarnya seorang manusia itu cukup dengan beberapa suap makanan yang bisa menegakkan tulang punggungnya. Namun jika tidak ada pilihan lain, maka hendaknya sepertiga perut itu untuk makanan, sepertiga yang lain untuk minuman dan sepertiga terakhir untuk nafas.” (HR Ibnu Majah no. 3349, dinilai shahih oleh Al-Albani) 

Penjelasan Ulama Tentang Pokok Kesehatan

Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di -rahimahullahu Ta’ala– berkata,

“Pokok (inti) kesehatan ada tiga. 

Pertama, menjaga kesehatan dengan memanfaatkan (melakukan) berbagai hal yang bermanfaat. 

Ke dua, menjaga diri dari berbagai hal yang membahayakan kesehatan.

Ke tiga, menghilangkan (membuang) kotoran atau penyakit yang masuk ke badan.

Semua permasalahan kesehatan kembali kepada tiga inti pokok tersebut. Dan sungguh Al-Qur’an telah mengingatkan dalam firman-Nya tentang menjaga kesehatan dan membuang kotoran (penyakit) (yang artinya), “Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan” (QS. Al-A’raf  [7]: 31).” (Al-Qawa’idul hisaan, hal. 150)

Kemudian beliau –rahimahullahu Ta’ala- menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala memerintahkan untuk makan dan minum, dua aktivitas yang sangat dibutuhkan oleh badan (poin pertama). Perintah tersebut bersifat mutlak, yang menunjukkan bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi hendaklah sesuatu yang baik dan bermanfat untuk manusia di setiap waktu dan keadaan.

Dan Allah Ta’ala melarang dari sikap berlebih-lebihan, misalnya dengan terlalu banyak makan dan minum. Ini adalah bentuk penjagaan dari segala sesuatu yang berpotensi membahayakan badan manusia. Jika makanan pokok yang sangat dibutuhkan saja tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi ketika ada potensi membahayakan kesehatan badan, maka bagaimana lagi dengan yang selain makanan pokok?

Diperbolehkan bagi orang yang sakit untuk tayammum, sebagai pengganti berwudhu dengan air, jika menggunakan air dapat membahayakan kesehatannya. Hal ini sebagai bentuk penjagaan dari hal-hal yang dapat membahayakan kesehatan (poin ke dua). Demikian pula diperbolehkan bagi orang yang sedang berihram jika ada penyakit di kepalanya untuk mencukurnya. Ini termasuk dalam bentuk menghilangkan penyakit yang ada di badan (poin ke tiga). Lalu bagaimana lagi jika ada hal-hal yang lebih berbahaya dari itu semua? (Lihat Al-Qawa’idul hisaan, hal. 150)

Ayat-ayat dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan secara global petunjuk syariat dalam urusan makanan. Allah Ta’ala tidak merinci makanan apa saja yang baik dimakan, karena tentunya sangat banyak makanan halal di dunia ini yang Allah Ta’ala sediakan. 

Kesederhanaan Rasulullah dalam Masalah Makanan

Kalau kita memperhatikan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang urusan makanan, kita dapati potret kesederhanaan yang luar biasa dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Dalam urusan makanan, beliau tidaklah berlebih-lebihan dan hanya meminta rizki makanan secukupnya. Hal ini sebagaimana doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا

“Ya Allah, jadikan rizki keluarga Muhammad berupa makanan yang secukupnya.” (HR. Muslim no. 1055)

Berbeda dengan kita umumnya yang makan 2-3 kali sehari sampai kenyang, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru merasakan kenyang tiap 2-3 hari sekali. Kondisi ini diceritakan oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan mengatakan,

ما شبع آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ من خبزِ شعيرٍ ، يومَين مُتتابِعَينِ ، حتى قُبِضَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ

“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum dalam dua hari berturut-turut, sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” (HR. Muslim no. 2970)

Dalam riwayat yang lain, kondisi tidak kenyang tersebut berlangsung sampai tiga hari, 

مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ قَدِمَ المَدِينَةَ، مِنْ طَعَامِ بُرٍّ ثَلاَثَ لَيَالٍ تِبَاعًا، حَتَّى قُبِضَ

“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan burr (gandum kasar) dalam tiga hari berturut-turut, sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” (HR. Bukhari no. 6454 dan Muslim no. 2970)

Terkadang, makanan berupa roti gandum tersebut dicampur dengan semacam kuah. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan,

ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ

“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai dia bertemu dengan Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423)

Adapun yang dimaksud idam, dijelaskan dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith,

ما يُسْتَمْرَأُ به الخبز

“sesuatu (makanan atau kuah) yang biasa digunakan untuk membantu menelan roti.”

Terkadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan sama sekali karena memang tidak punya makanan. Dan pada kondisi semacam itu, beliau pun kemudian berpuasa sunnah. 

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku pada suatu hari, “Wahai ‘Aisyah, apakah Engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini)?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki makanan sedikit pun (untuk dimakan).” Beliau lalu berkata, “Kalau begitu, aku akan puasa hari ini.” (HR. Muslim no. 1154)

Kondisi semacam ini bisa berlangsung berhari-hari hingga sebulan. Hal ini sebagaimana penuturan ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ يَأْتِي عَلَيْنَا الشَّهْرُ مَا نُوقِدُ فِيهِ نَارًا، إِنَّمَا هُوَ التَّمْرُ وَالمَاءُ، إِلَّا أَنْ نُؤْتَى بِاللُّحَيْمِ

“Pernah kami melalui suatu bulan yang ketika itu kami tidak menyalakan api sekali pun. Yang kami miliki hanyalah kurma dan air, kecuali ada yang memberi kami hadiah berupa potongan daging kecil untuk dimakan.” (HR. Bukhari no. 6458)

Kemungkinan yang lebih mendekati dari hadits-hadits di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit makan bukan karena sengaja ingin diet, akan tetapi karena memang demikian sederhananya rizki yang Allah Ta’ala karuniakan kepada beliau yang banyak sekali hikmah yang bisa kita petik dari hal ini. Di antara indikasinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, apakah ada makanan? Artinya, kalau ada makanan, tentu akan Nabi makan. 

Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan akan berpuasa, tidak lama kemudian, ‘Aisyah diberi hadiah berupa makanan -atau dengan redaksi: seorang tamu mengunjungi ‘Aisyah-.

‘Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali, saya pun berkata, “Ya Rasulullah, tadi ada orang datang memberi kita makanan dan aku simpan untukmu.” 

Beliau bertanya, “Makanan apa itu?” 

Saya menjawab, “Roti khais (yakni roti yang terbuat dari kurma, minyak samin, dan keju).”

Beliau bersabda, “Bawalah kemari.”

Maka roti itu pun aku sajikan untuk beliau. Lalu beliau makan, kemudian berkata, 

قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا

“Sungguh dari pagi tadi aku puasa.” (HR. Muslim no. 1154)

Dalam lanjutan hadits di atas, jelas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan puasanya ketika ada makanan. Kalau maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk diet, tentu Nabi tetap melanjutkan puasa meskipun ada makanan. Sehingga sekali lagi, makna yang lebih mendekati dari hadits-hadits di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jarang makan karena keterbatasan dan kondisi ekonomi yang sederhana yang Allah tetapkan untuk beliau, bukan karena sengaja ingin diet demi kesehatan tubuh.

Demikian juga jika kita melihat keterangan para sahabat Nabi yang mereka sangat memahami kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana atsar dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu, dia mengatakan,

ألَسْتُم في طعامٍ وشرابٍ ما شِئْتُم ؟ لقد رأَيْتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وما يجِدُ مِن الدَّقَلِ ما يملَأُ به بطنَه

“Bukankah kalian senantiasa memiliki makanan untuk dimakan dan minuman untuk diminum sesuka kalian? Sungguh aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau tidak mendapati sekedar daql (kurma yang buruk kualitasnya) untuk memenuhi perutnya.” (HR. Muslim no. 2977)

Di sini An-Nu’man bin Basyir menasihati para sahabat untuk senantiasa bersyukur atas kecukupan rizki berupa makanan dan minuman, dengan mengambil ibrah dari kehidupan  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka jelas sekali dari hadits ini bahwa para sahabat memahami bahwa keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkadang tidak mendapati makanan atau jarang sekali mendapati perutnya kenyang oleh makanan ini bukan karena beliau bersengaja atau untuk melakukan metode diet atau untuk mempraktekkan gaya hidup sehat tertentu. Andaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersengaja melakukan itu karena mempraktekkan metode diet atau semisalnya, tentu An-Nu’man bin Basyir tidak akan menjadikannya sebagai ibrah.

Dan dari hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu ini juga, kita memahami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan itu semua bukan dalam rangka qurbah (ibadah) dan beliau tidak mengajarkan para sahabatnya untuk memiliki pola makan yang sama seperti beliau. Nyatanya, An-Nu’man bin Basyir mengatakan kepada para sahabat,  “Bukankah kalian senantiasa memiliki makanan untuk dimakan dan minuman untuk diminum sesuka kalian?” 

Artinya, umumnya para sahabat berkecukupan dalam masalah makanan dan minuman, bahkan mereka makan setiap hari. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Andaikan apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam rangka qurbah dan bernilai ibadah atau merupakan pola maka terbaik, maka tentunya para sahabat ridhwanullah ‘alaihim ajma’in sudah berlomba-lomba untuk menirunya.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52404-diet-sehat-ala-rasulullah-1.html

Antara Taqlid Dan Ittiba’

Ittiba’ (mengikuti) kebenaran adalah kewajiban setiap manusia sebagaimana Alloh wajibkan setiap manusia agar selalu ittiba’ kepada wahyu yang diturunkan oleh Alloh kepada Rasul-Nya. Alloh jadikan wahyu tersebut sebagai petunjuk bagi manusia di dalam kehidupannya.

Tidak ada yang membangkang kepada perintah Alloh tersebut kecuali orang-orang yang taqlid kepada nenek moyangnya atau kebiasaan yang berlaku di sekelilingnya atau hawa nafsunya yang mengajak untuk membangkang dari perintah AlIoh. Mereka tolak datangnya kebenaran karena taqlid.

Tidak ada satu pun kesesatan kecuali disebabkan taqlid kepada kebatilan yang diperindah oleh iblis sehingga tampak sebagai kebenaran. Inilah sebab kesesatan setiap kaum para rasul yang menolak dakwah para rasul. IniIah sebab kesesatan orang-orang Nashara yang taqlid kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Inilah sebab kesesatan setiap kelompok ahli bid’ah yang taqlid kepada pemikiran-pemikiran sesat dan gembong-gembong mereka.

Para pengikut kesesatan ini menggunakan segala cara untuk mempertahankan kesesatan mereka sekaligus mengajak orang-orang selain mereka kepada jalan mereka. Mereka sebarkan syubhat bahwa orang yang ittiba’ kepada manhaj para ulama adalah taqlid kepada ulama. Mereka campur adukkan antara taqlid dan ittiba’.

Jika mereka diseru untuk meninggalkan taqlid kepada pemikiran para pemimpin kesesatan mereka, mereka balik membantah, “Wahai para Salafiyyun kalian jugataqlid kepada para ulama kalian!”

Inilah jalan setiap pemilik kesesatan dari masa ke masa, mereka gabungkan antara kebatilan dengan kebenaran, mereka kaburkan garis pemisah antara keduanya.

Dengan memhon Taufiq dari Alloh pada pembahasan kali ini kami ketengahkan kepada pembaca beberapa perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ agar kita bisa memahaminya dengan benar, dan sekaligus -bi’idznillah-bisa menepis syubhat para pemilik kebatilan dalam masalah ini.

DEFINISI TAQLID
Taqlid secara bahasa adalah meletakkan “al-qiladatun” (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-. akan perkara tersebut diletakkan di lehernya seperti kalung. [Lisanul Arab 3/367 dan Mudzakkirah Ushul Fiqh hal.3 14]

Adapun taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad [Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993 dan l’lamul Muwaqqi’in 2/178]

Ada juga yang mengatakan bahwa taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. [Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 3 14]

CELAAN TERHADAP TAQLID
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mencela taqlid dalam Kitab-Nya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah” [AtTaubah/9 :31]

Ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca ayat Ini maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai rabb rabb.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, Bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?” Adi Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ltulah peribadatan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Jami’ nya 3095 dan Baihaqidalam Sunan Kubra 10/116 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram hal.20]

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ﴿٢٣﴾قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَىٰ مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ ۖ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinyajuga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” [Az-Zukhruf/43 : 23-24]

Al-Imam lbnu Abdil Barr rahimahullahu berkata, “Karena mereka taqlid kepada bapak-bapak mereka maka mereka tidak mau mengikuti petunjuk para Rasul” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/977]

Alloh menyifati orang-orang yang taqlid dengan firman-Nya.إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-arang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun” [Al-Anfal /8: 22]إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ

“Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali” [Al-Baqarah/2 : 166]

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Para ulama berargumen dengan ayat-ayat mi untuk membatalkan taqlid” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/978]

WAJIBNYA ITTIBA’
Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan. [I’Iamul Muwaqqi’in 2/171]

Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di antaranya firman Alloh.قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, makasesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” [Ali lmran/3 : 32]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Al-Hujurat/49 : 1]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hal orang-arang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepoda Allah (AlQur ‘an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisa/4 :59].قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintal Alloh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. “Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Ali lmran/3 :31]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ , لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا , مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي

“Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya seandainya Musa hidup maka tidak boleh baginya kecuali mengikutiku” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dalamMushannafnya 6/Fl 3, lbnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 9/47, Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi 2/805, Syaikh Al-Albani berkata dalam Irwa’ 6/34, “Hasan”]

Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Jika Musa Kalimullah tidak boleh ittiba’ kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana dengan yang lainnya? Hadits ini merupakan dalil yang qath‘i atas wajibnya mengesakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hal ittiba’, dan ini merupakan konsekuensi syahadat ‘anna Muhammadan rasulullah”, karena itulah Alloh sebutkan dalam ayat di atas (Ali lmran : 31) bahwa ittiba’ kepada Rasulullah bukan kepada yang lainnya adalah dalil kecintaan Alloh kepadanya” [Muqaddimah Bidayatus Sul fi Tafdhili Rasul hal.5-6]

Demikian juga Alloh memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [An-Nisa’/4: 115]

Pengertian lain dari ittiba’ adalah jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya sebagaimana diktakan oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/787.

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah mendebat seorang pun kecuali aku katakan: Ya Alloh jalankan kebenaran pada hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku maka dia ittiba’ kepadaku dan jika kebenaran bersamanya maka aku ittiba’ padanya” [Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam oleh Al-’Izz bin Abdis Salam 2/I 36]

TAQLID BUKANLAH ITTIBA’
Al-Imam lbnu Abdil Barr berkata, “Taqlid menurut para ulama bukan ittiba, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dan makna perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/787]

Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad berkata, “Taqlid maknanya dalam syari‘at adalah merujuk kepada suatu perkataan yang tidak ada argumennya, ini adalah dilarang dalam syari’at, adapun ittiba maka adalah yang kokoh argumennya”.

Beliau juga berkata, “Setiap orang yang engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mewajibkanmu untuk mengikutinya maka engkau telah taqlid kepadanya, dan taqlid dalam agama tidak shahih. Setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk mengikuti perkataannya maka engkau ittiba’ kepadanya. Ittiba’ dalam agama dibolehkan dan taqlid dilarang” [Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kmtabnya Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993]

PARA IMAM MELARANG TAQLID DAN MEWAJIBKAN ITTIBA’
Diantara hal lain yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah larangan para imam kepada para pengikutnya dan taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:

Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku” [Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya atas Bahru Raiq 6/293 dan Sya’ rany dalam Al-Mizan 1/55]

Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesual dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ 2/32]

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ 9/107 dengan sanad yang shahih]

Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shahih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi , lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”. [Diriwayatkan olehAbu Hatim dalamAdab Syafi’i hal.93 dengan sanad yang shahih]

Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah.engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya” [Masa’iI Al-Imam Ahmad oleh Abu Dawud hal.276- 277]

ITTIBA ADALAH JALAN AHLI SUNNAH DAN TAQLID ADALAH JALAN AHLI BID’AH
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy berkata, “Umat ini telah sepakat bahwa tidak wajib taat kepada seorangpun dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam …makà barangsiapa yang ta’ashub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan yang lainnya seperti orang yang ta’ashub kepada seorang sahabat dan mengesampingkan yang lainnya, seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. ini jalannya ahlul ahwa” [Al-Ittiba’ cet. kedua hal. 80]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang ta’ ashub kepada seseorang, dia kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada salah seorang sahabat, dan seperti orang-orang Khawarij. ini adalah jalan ahli bid’ ah dan ahwa’ yang mereka keluar dan syari’at dengan kesepakatan umat dan menurut Kitab dan Sunnah … yang wajib kepada semua makhluk adalah ittiba’ kepada seorang yang ma’shum (yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam) yang tidak mengucap dan hawa nafsunya, yang dia ucapkan adalah wahyu yang diturunkan kepadanya” [Mukhtashar Fatawa Mishniyyah hal.46-47]

BANTAHAN PARA ULAMA KEPADA PEMBELA TAQLID
Al-Imam Al-Muzani berkata, “Dikatakan kepada orang yang berhukum dengan taqlid, Apakah kamu punya hujjah pada apa yang kamu hukumi?’ Jika dia mengatakan,‘Ya’, secara otomatis dia membatalkan taqlidnya, karena hujjah yang mewajibkan dia menghukumi itu bukan taqlidnya”.

Jika dia mengatakan, “Aku menghukumi tanpa memakai hujjah.” Dikatakan kepadanya, “Kalau begitu mengapa engkau tumpahkan darah, engkau halalkan kemaluan, dan engkau musnahkan harta padahal Alloh mengharamkan semua itu kecuali dengan hujjah, Alloh berfirman:إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَٰذَا

“Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini”. [Yunus/10 : 68]

Kalau dia mengatakan, “Aku tahu kalau aku menepati kebenaran walaupun aku tidak mengetahui hujjah, karena aku telah taqlid kepada seorang ulama besar yang dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi dariku” Dikatakan kepadanya, “Jika dibolehkan taqlid kepada gurumu karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu, maka taqlid kepada guru dan gurumu lebih utama karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyl dari gurumu sebagaimana gurumu tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu.” Kalau dia mengatakan, “Ya”, maka dia harus meninggalkan taqlid kepada guru dari.gurunya dan yang di atasnya hingga berhenti kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kalau dia enggan melakukan itu berarti dia telah membatalkan ucapannya dan dikatakan kepadanya, “Bagaimana dibolehkan taqlid kepada orang yang lebih kecil dan lebih sedikit ilmunya dan tidak boleh taqlid kepada orang yang lebih besar dan lebih banyak ilmunya? ini jelas menupakan kontradiksi.”

Kalau dia mengatakan, “Karena guruku -meskipun dia lebih kecil- dia telah menggabungkan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, karena itu dia lebih paham apa yang dia ambil dan lebih tahu apa yang dia tinggalkan” Dikatakan kepadanya, “Demikian juga orang yang belajar dari gurumu maka dia sungguh telah menggabungkan ilmu gurumu dan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, maka engkau harus taqlid kepada orang ini dan meninggalkan taqlid kepada gurumu. Demikian juga engkau lebih berhak untuk taqlid kepada dirimu sendiri daripada taqlid kepada gurumu! Jika dia tetap pada perkataannya ini berarti dia menjadikan orang yang lebih kecil dan orang yang berbicara dari para ulama yunior lebih pantas ditaqlidi daripada para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Demikian juga menurut dia seorang sahabat harus taq lid kepada seorang tabi’in, dalam keadaan seorang tabi’ in di bawäh sahabat menurut analogi perkataannya, maka yang lebih tinggi selamanya lebih rendah, maka cukuplah ini merupakan kejelekan dan kerusakan” [Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdady dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 2/69-70 dan dinukil oleh lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/992-993]

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Dikatakan kepada orang yang taqlid: Mengapa engkau taqlid dan menyelisihi salaf dalam masalah ini, karena salaf tidak melakukan taqlid?” Kalau dia mengatakan, “Aku taqlid karena aku tidak paham tafsir Kitabullah dan aku belum menguasai hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sedangkan yang aku taqlidi telah mengetahui semuanya itu maka berarti aku taqlid kepada orang yang lebih berilmu daripadaku”

Dikatakan kepadanya, “Adapun para ulama, jika mereka sepakat pada sesuatu dan tafsir Kitabullah atau periwayatan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sepakat pada sesuatu maka itu adalah al-haq yang tidak ada satu pun keraguan di dalamnya. Akan tetapi mereka telah berselisih dalam hal yang kamu taqlidi, lalu apa argumenmu di dalam taqild kepada sebagian mereka tidak kepadã yang lainnya, padahal mereka semua berilmu. Bisa jadi orang yang tidak kamu pakai perkataanya lebih berilmu daripada orang yang engkau taqlidi?”

Jika dia mengatakan, “Aku taqlid kepadanya karena aku tahu dia di atas kebenaran.” Dikatakan kepadanya, “Apakah kamu tahu hal itu dengan dalil dari Al-Kitab, Sunnah, dan ijma’?”Jika dia mengatakan, “Ya”, maka dia telah membatalkan taqlidnya dan dituntut untuk mendatangkan dalil dan perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/994]

HUKUM TAQLID
Taqlid terbagi menjadi tiga macam sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim dalam kitabnya i’lamul Muwaqqi’in 2/187: (1) Taqlid yang diharamkan, (2) Taqlid yang diwajibkan, dan (3) Taqlid yang dibolehkan.

Macam yang pertama yaitu taqlid yang diharamkan terbagi menjadi tiga jenis:

a. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dari apa yang diturunkan Alloh.
b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
c. Taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala‘telah mencela tiga macam taqlid ini di dalam ayat-ayat yang banyak sekali dalam Kitab-Nya sebagaimana telah kita sebutkan pada uraian di atas.

Macam yang kedua yaitu taqlid yang diwajibkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “SesungguhnyaAlloh telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Alloh perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam finman-Nya :وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Alloh dan hikmah (Sunnah Nabimu)”[Al-Ahzab/33:34]

lnilah Adz-Dzikr yang Alloh penintahkan agar kita selalu ittiba’ kepadanya, dan Alloh perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya” [l’lamul Muwaqqi’in 2/241]

Macam yang ketiga yaitu taqlid yang dibolehkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “Adapun taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Alloh. Hanya saja sebagian darinya tensembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa….” [I’lamul Muwaqqi’ in 2/169]

Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya” [Majmu’ Fatawa 20/203-204]

MENGIKUTI MANHAJ PARA ULAMA BUKAN BERARTI TAKLID KEPADA MEREKA
Al-Imam lbnul Qayyim berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk, karena itu maka orang-orang yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut.

Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Alloh . Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Alloh dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.

Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagal timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sini nampaklah kebatilan pemahaman orang yang menjadikan taqlid sebagai ittiba’, mengaburkannya dan mencampuradukkan antara keduanya, bahkan taqlid menyelisihi ittiba’. Alloh dan Rasul-Nya telah memilahkan antara keduanya demikian juga para ulama.

Karena sesungguhnya ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan”. [I’lamul Muwaqqi’in 2/170-l71]

(Pembabasan ini banyak mengambil faedah dan risalah Syaikhuna Al-Fadhil Muhammad bin Hadi Al-Madkhaly yang berjudul Al Iqna’ bi Maja’a ‘an A’immati Da ‘wah minal Aqwal fil Ittiba’)

KESIMPULAN
Taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya atau mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya.

Taqlid terbagi menjadi tiga macam.
1. Taqlid yang diharamkan, yaitu taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dan apa yang diturunkan oleh Alloh, taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya, dan taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya. lnilah taqlid yang dicela Alloh dalam Kitab-Nya.

2.Taqlid yang diwajibkan, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya tentang Adz-Dzikr yaitu apa yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.

3.Taqlid yang dibolehkan, yaitu taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan oleh Alloh dalam suatu permasalahan. Hanya saja sebagian dari hujjahnya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya dalam permasalahan tersebut.

Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan atau jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya.

Taqlid bukanlah ittiba’, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dari makna penkataannya.

Para imam melarang para pengikutnya dan taqlid dan memerintahkan mereka agar selalu ittiba’.

Ittiba’ adalah jalan Ahlu Sunnah dan taqlid adalah jalan ahli bid’ah.

Mengikuti manhaj para ulama bukanlah taqlid kepada mereka, karena manhaj para ulama ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka, maka orang yang menempuh manhaj mereka juga ittiba’ sebagaimana mereka.

Oleh Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

Read more https://almanhaj.or.id/2194-antara-taqlid-dan-ittiba.html

Ensiklopedi Hukum Islam: Ittiba’ (Mengikuti)

Definisi Ittiba’ (mengikuti):
Dari segi bahasa, ittiba’ berarti berjalan di belakang orang lain, mengikuti perkataan dan perbuatan orang lain, atau tuntutan untuk mengikuti orang lain.

Dalam segi istilah, ittiba’ berarti kembali kepada kata-kata yang telah terbukti menjadi hujjah (argumen), sebagaimana ditetapkan para ulama bahasa (linguistik) dalam beberapa bab dan telah menjadi suatu ketetapan.

Kata-kata yang relevan:

Kata yang serupa dengan ittiba’ adalah taklid (tradisi). Taklid adalah adalah melakukan suatu perbuatan berdasarkan perkataan orang lain tanpa argumen (hujjah)

Dalam perbuatan, taklid adalah melakukan sesuatu sebagaimana yang digambarkan dalam sebuah resep (dokter atau lainnya). Dalam perkataan, taklid adalah memenuhi kehendak orang yang menuntut dilakukannya suatu perbuatan.

Kata lain yang sama dengan ittiba’ adalah iftida’ (meniru). Iftida’ adalah mengikuti jejak seseorang. Ia melakukan suatu perbuatan sebagaimana yang dicontohkan orang lain.

Selain itu, kata yang sama maknanya dengan ittiba’ adalah qudwah (teladan). Qudwah adalah asal (pokok) yang menciptakan sejumlah cabang.

Hukum umum:

Terdapat perbedaan hukum dalam taklif (pembebanan) ittiba’. Kadangkala ia menjadi wajib, jika itu menyangkut ketaatan kepada Allah SWT, menegakkan syariat-Nya, dan mengikuti sunnah Rasulullah Saw dalam urusan agama. Tidak ada perbedaan dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan ini bagi seluruh umat.

Adapun perbuatan-perbuatan Nabi Saw yang dilakukan berdasarkan tabiat (watak) beliau, maka para ulama sepakat bahwa hukum mengikutinya adalah mubah (boleh). Sedangkan apa yang dijelaskan Rasulullah dan menjadi hukum (yang tegas), jika itu wajib maka hukumnya wajib, jika itu anjuran maka hukumnya anjuran (sunnah).

Adapun jika hukum perbuatan Rasulullah tersebut tidak diketahui, maka jika ia mendekati kesengajaan, maka hukumnya bersifat anjuran. Dan jika tidak, maka hukum ittiba’ perbuatan itu ada beberapa pendapat: Mazhab Maliki mengatakan wajib, Syafi’i mengatakan anjuran (sunnah), sedangkan kebanyakan pengikut mazhab Hanafi mengatakan mubah (boleh).

Demikian pula, wajib ittiba’ pada penguasa atau para pemimpin. Dan tidak ada perselisihan (ikhtilaf) dalam menaati mereka, selama mereka tidak bermaksiat kepada Allah. Demikian pula, seorang makmum wajib mengikuti (ittiba’) imam dalam shalat. Ittiba’ kadang menjadi sunnah (anjuran), seperti dalam kasus mengantarkan jenazah. Namun ittiba’ bisa juga menjadi haram, seperti mengikuti hawa nafsu.

KHAZANAH REPUBLIKA

Memilih Ittiba’ atau Taklid?

Syariat Islam yang telah diturunkan Allah SWT melalui nabinya sudah sempurna seutuhnya. Umat Islam tidak diperkenankan lagi membuat-buat syariat baru (bid’ah). Membuat bid’ah sama artinya meragukan kesempurnaan Islam dari Allah sehingga butuh penambahan atau penyempurnaan dari manusia.

Umat Islam hanya diperbolehkan mengikut aturan-aturan syariat yang telah ada. Syariat Islam yang sudah sempurna tersebut sudah cukup sebagai sumber hukum dan aturan bagi seluruh aspek kehidupan manusia. Namun, dalam mengikuti syariat tersebut juga dipahami dengan cerdas.

Dalam mengikuti syariat, ada dua kelompok yang dikenal, yaitu taklid dan ittiba’. Secara bahasa, taklid diambil dari kata-kata qiladah (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain.

Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaklid dengan taklidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid. Demikian seperti diterangkan Syekh Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya,  Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Turath wa al-Tamazhub wa al-Ikhtilaf.

Jadi, taklid artinya mengikut tanpa alasan atau meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memegang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.

Mengenai hukum taklid ini, Khairul Umam dan A Achyar Aminudin dalam buku Ushul Fiqih II membaginya kepada dua macam, yaitu taklid yang diperbolehkan dan taklid yang dilarang atau haram.

Khairul Umam menerangkan, hukum taklid bisa dipandang mubah (boleh) bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Pendapat ini juga diamini oleh Imam Hasan al-Banna yang membolehkan taklid bagi orang awam.

Namun, hukum taklid yang mubah tidak berlaku bagi Muslim yang sampai pada tingkatan an-nazhr atau memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Jadi, hanya diperuntukkan bagi mereka yang awam sekali yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari Alquran dan sunah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.

Taklid buta diharamkan dalam syariat, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlak dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran Alquran dan hadis. Terkadang, orang taklid buta tidak memperhatikan lagi apa yang diikutinya walau sudah bertentangan dengan Alquran dan hadis.

Hal ini serupa dengan Firman Allah SWT, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS al-Baqarah [2]: 170).

Para ulama mensyaratkan, orang awam yang ingin bertaklid kepada suatu pendapat harus melihat betul pendapat siapa yang akan ia ikuti. Taklid hanya dibolehkan kepada para mujtahid yang benar-benar mengerti hukum-hukum Islam. Demikian juga perkara yang boleh ditaklidi hanya hal-hal yang berhubungan dengan syara (hukum). Adapun dalam hukum akal tidak boleh bertaklid kepada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.

Adapun ittiba‘ pada dasarnya sama dengan taklid karena sama-sama mengikut. Menurut Nazar Bakry dalam bukunya Fiqh dan Ushul Fiqhittiba‘ adalah menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu Alquran maupun hadis yang dapat dijadikan hujah.

Definisi ini sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan, ittiba’ berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.

Di sinilah perbedaan antara taklid dengan ittiba’. Ittiba’ mengikuti dengan ilmu, sedangkan taklid mengikuti tanpa ilmu. Dede Rosyada dalam buku Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis menyimpulkan, dalam taklid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba’ ada unsur kreativitas. Kreativitas yang dimaksudkan adalah studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.

Ittiba‘ didapatkan dengan mengkaji nas-nas kemudian meng-istinbat-kan hukum darinya. seorang tabi’ (orang yang ber-ittiba‘) dapat mengemukakan dalil beserta hujah (alasan) mengapa ia memilih pendapat tersebut. Inilah yang diajarkan dalam Islam agar umatnya mengikuti suatu pendapat dengan mempunyai argumentasi-argumentasi. Islam mencela orang yang sanggup ber-ittiba‘ namun memilih untuk taklid. Orang seperti ini adalah orang pemalas yang tak mau mengkaji agamanya.

Allah SWT berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS an-Nahl[16]: 43). 

REPUBLIKA

Tempat-Tempat Wajib dalam Ibadah Haji

Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dikerjakan bagi setiap muslim yang mampu dan telah memenuhi syarat. Pada 2019 ini, Indonesia mendapatkan kuota sebanyak 231 ribu jemaah. Rinciannya adalah haji reguler 214 ribu dan haji khusus 17 ribu.

Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada 8 Zulhijah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Zulhijah.

Pemerintah Arab Saudi, Jumat (2/8), menetapkan pelaksanaan wukuf di Arafah akan dilaksanakan pada 10 Agustus 2019, waktu setempat.  Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara’, haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Dalam definisi tersebut, selain Kakbah dan Mas’a (tempat sai), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. 

Berikut tempat-tempat yang diwajibkan dalam proses ibadah haji, seperti dikutip dari berbagai sumber.

Makkah Al Mukaromah 

Makkah. Sumber: Fahmina Institute

Di kota inilah berdiri pusat ibadah umat Islam sedunia, Kakbah, yang berada di pusat Masjidil Haram. Dalam ritual haji, Mekkah menjadi tempat pembuka dan penutup ibadah ini ketika jemaah diwajibkan melaksanakan niat dan tawaf haji.

Arafah 

Arafah. Sumber: Dream

Kota di sebelah timur Mekkah ini juga dikenal sebagai tempat pusatnya haji. Yakni tempat wukuf yang dilaksanakan pada 9 Zulhijah tiap tahunnya.

Daerah berbentuk padang luas ini adalah tempat berkumpulnya sekitar dua juta jemaah haji dari seluruh dunia dan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di luar musim haji, daerah ini tidak dipakai.

Muzdalifah

Muzdalifah. Sumber: Islamic Landmarks

Tempat di dekat Mina dan Arafah  ini dikenal sebagai tempat jemaah haji melakukan Mabit (bermalam) dan mengumpulkan bebatuan untuk melaksanakan ibadah jumrah di Mina.

Mina 

Mina. Sumber: TSN World

Tempat berdirinya tugu jumrah, yaitu tempat pelaksanaan kegiatan melontarkan batu ke tugu jumrah sebagai simbolisasi tindakan nabi Ibrahim ketika mengusir setan. Di masing-maising tempat itu berdiri tugu yang digunakan untuk pelaksanaan: Jumrah Aqabah, Jumrah Ula, dan Jumrah Wustha. Di tempat ini jemaah juga diwajibkan untuk menginap selama satu malam.

Madinah

Adalah kota suci kedua umat Islam. Di tempat inilah panutan umat Islam, Nabi Muhammad dimakamkan di Masjid Nabawi. 

Madinah. Sumber: Medium

Tempat ini sebenarnya tidak masuk ke dalam ritual ibadah haji, namun jemaah haji dari seluruh dunia biasanya menyempatkan diri berkunjung Madinah, untuk berziarah dan melaksanakan salat di Masjid An-Nabawi.

Haji Arbain 

Haji Arbain (artinya “empat puluh”) adalah ibadah haji yang disertai dengan salat fardu sebanyak 40 kali di Masjid An-Nabawi Madinah tanpa terputus. Ibadah ini sering dikerjakan oleh jemaah haji dari Indonesia. 

Arbain. Sumber: Tribun

Dalam pelaksanaannya, mereka setidak tinggal di Madinah saat haji selama delapan atau sembilan hari. Dengan perhitungan sehari salat wajib lima kali. Dengan demikian, selama delapan atau sembilan hari akan tercukupi jumlah 40 kali salat wajib tanpa terputus.

Dengan mengenali tempat-tempat utama dalam pelaksanaan ibadah haji, moga-moga para jemaah makin semangat dalam menjalankan rukun kelima di Tanah Suci. 

Selamat menunaikan ibadah haji, semoga menjadi Haji Mabrur. 

IHRAM REPUBLIKA

Keutamaan Shaf Pertama

Alhamdulillah, segala puji hanya tertuju kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang telah memberikan berbagai keutamaan di dalam shalat berjamaah bagi seorang muslim. Di antaranya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Ganjaran 27 Kali Lipat

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Shalat berjama’ah (di masjid) lebih utama 27 derajat dibanding shalat sendirian (di rumah)” (HR. Bukhari no. 609)

Anggaplah ada orang yang akan memberi Anda Rp 1.000.000 jika shalat di rumah, dan Rp 27.000.000 dengan syarat Anda mau pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Hal apakah yang pertama kali Anda lakukan? Berangkat ke masjid? Jelas. Namun kira-kira, Anda akan berangkat dengan bersegera, atau dengan santai, menunggu sampai iqamat dikumandangkan (sebagaimana kebiasaan sebagian besar kaum muslimin, Allahul musta’an!). Ini baru permisalan dunia, belum ganjaran akhirat yang tentunya jauh lebih besar daripada itu. Sedangkan Allah sungguh telah memperingatkan, tentang apa yang akan kita bawa esok di hari akhir.

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ()وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Wahai orang-orang yang ber­iman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah se­tiap diri merenungkan, apalah yang telah diper­buatnya untuk hari esok (yaitu hari akhir). Dan bertakwalah kepada Allah! Sesung­guhnya Allah Maha Menge­tahui apapun yang kamu kerjakan. Dan janganlah keadaan kamu seperti orang-orang yang me­lupakan Allah, lalu Allah pun membuatnya lupa kepada dirinya sendiri; itulah orang-orang yang fasik.” (Al Hasyr : 18-19)

Kebiasaan Nabi Ketika Mendengar Adzan

Itulah sikap yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam contohkan. Apapun kesibukan beliau, ketika adzan telah berkumandang, maka beliau bergegas menuju masjid dan shalat berjamaah dengan kaum muslimin. Perhatikan kesaksian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang beliau,

كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا سَمِعَ الْأَذَانَ خَرَجَ

Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa membantu pekerjaan istrinya, dan jika beliau mendengar adzan, beliau segera keluar (untuk pergi menuju masjid)” (HR. Bukhari 4944)

Kesibukan yang mulia, yaitu membantu pekerjaan istri beliau. Akan tetapi ketika adzan, beliau langsung bergegas menuju masjid. Apatah lagi dengan kita yang hanya disibukkan dengan perkara duniawi, terkadang bercanda, menonton televisi, bola, namun ketika adzan sungguh panggilan itu kita abaikan.Nas’alullaha salamah wal ‘afiyah!

Andai Shaf Awal Harus Diundi, Sungguh Akan Diundi!

Maka bersegeralah menuju masjid, dan carilah shaf pertama. Sungguh, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا

Seandainya manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari 580).

Allah dan Para Malaikat Bershalawat Kepada Orang-Orang Di Shaf Awal(!)

Dan tidakkah Anda ingin shalat bersama dengan para malaikat?! Diriwayatkan dari Al Barra’ bin ‘Adzib bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“إن الله وملائكته يصلون على الصف المقدم، والمؤذن يغفر له مدى صوته ويصدقه من سمعه من رطب ويابس وله مثل أجر من صلى معه”

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang di shaf awal, dan muadzin itu akan diampuni dosanya sepanjang radius suaranya, dan dia akan dibenarkan oleh segala sesuatu yang mendengarkannya, baik benda basah maupun benda kering, dan dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang shalat bersamanya” (HR. Ahmad dan An Nasa’i dengan sanad yang jayyid)

Dalam hadits lain dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Aku mendengar Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن الله وملائكته يصلون على الصف الأول أو الصفوف الأول

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang di shaf pertama, atau di beberapa shaf yang awal” (HR. Ahmad dengan sanad yang jayyid, diperoleh dari fatwa Syaikh Sulaiman Al Majid di http://www.salmajed.com/node/6237)

Ancaman Bagi Mereka yang Mengakhirkan Berangkat Jama’ah

Maka, wahai saudaraku seiman, bergegaslah menuju masjid jika adzan telah dikumandangkan. Segera tinggalkan segala keperluan duniawimu, segeralah mengambil air wudhu’, sebab Allah dan Rasul-nya telah mengancam dengan tegas lewat sabda Nabi-Nya.

Dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat diantara shahabat ada yang mengakhirkan berangkat ke masjid, maka beliau bersabda :

  لا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمْ اللَّهُ

Tidaklah suatu kaum mengakhirkan (yaitu menuju masjid) hingga Allah akan mengakhirkan mereka

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

وعلى هذا فيخشى على الإنسان إذا عود نفسه التأخر في العبادة أن يبتلى بأن يؤخره الله عز وجل في جميع مواطن الخير اهـ

“Oleh karena itu hendaklah orang-orang merasa takut apabila mereka mengakhirkan suatu ibadah, mereka akan diuji dalam bentuk Allah ‘azza wa jalla akhirkan dalam segala bentuk kebaikan” (Ikhtishar Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 13/54)

Sebagai penutup, hendaklah kita selalu mengingat firman Allah Ta’ala,

 سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاء وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

“Berlomba-lombalah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Hadiid : 21)

(diringkas dari khutbah Dr ‘Isham bin Hasyim Al Jufri di http://www.saaid.net/Doat/aljefri/153.htm).

Tambahan : Bagaimana Jika di Masjid Hanya Ada Satu Shaf Saja?

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mendefinisikan apa yang dimaksud dengan shaf awal, ketika beliau ditanya hal serupa.

 والصف الأول : المراد به ما يلي الإمام مطلقا ، سواء تخلله شيء كمقصورة أو لا . وقيل : هو أول صف تام يلي الإمام ، وقيل : المراد به من سبق إلى الصلاة ولو صلى آخر الصفوف .

قال النووي رحمه الله : ” القول الأول هو الصحيح المختار ، وبه صرح المحققون ، والقولان الآخران غلط صريح ” انتهى نقلا عن “فتح الباري” (2/244) .

ولا فرق بين أن يكون في المسجد صف واحد أو صفوف ، فما يلي الإمام هو الصف الأول ، الموعود أهله بذلك الفضل ، إن شاء الله ، لعموم الأحاديث .

والله أعلم

“Yang dimaksud dengan shaf awal ialah shaf yang berada pertama di belakang imam, sama saja apakah itu untuk masjid besar maupun kecil. Pendapat lain mengatakan : satu shaf penuh yang berada di belakang imam. Pendapat lain : siapa saja yang lebih dulu berada di masjid meskipun ia di akhir shaf.

An Nawawi rahimahullah berkata : ‘Pendapat pertamalah yang shahih dan kami pilih, dan dua pendapat terakhir telah jelas tidak tepat. -sekian perkataan beliau dalam Fathul Bari 2/244-

Sehingga tidak ada perbedaan antara masjid yang shafnya hanya satu saja, atau yang shafnya banyak (yaitu jamaah shalatnya hingga bershaf-shaf -pent).Siapa saja yang berada di barisan tepat di belakang imam, itulah shaf awal, dan itulah yang dijanjikan keutamaan, insya Allah, berdasarkan keumuman hadits. Wallahu a’lam.” (sumber: http://www.islamqa.com/ar/ref/67797)

Penulis: Yhouga Pratama, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/7492-keutamaan-shaf-pertama.html

Hindari Mempersilahkan Orang Lain Mengisi Shaf Depan Dalam Shalat!

Maksudnya adalah hindari mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah. Sebagaimana kita ketahui bahwa shalat adalah ibadah dan shaf yang terdepan memiliki keutamaan, jadi sudah selayaknya kita berlomba-lomba mengisi shaf terdepan. Tidak mempersilahkan orang lain mengisi shaf terdepan, tetapi kitalah yang segera mengisi shaf tersebut.

Shaf depan memiliki keutamaan yang tinggi, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ تَعْلَمُونَ أَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لَكَانَتْ قُرْعَةً

Seandainya kalian atau mereka mengetahui keutamaan yang terdapat pada shaf yang terdepan, niscaya akan menjadi undian1.

Beliau juga bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ

Allah dan para malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf terdepan2.

Makruh mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah

Ini yang dikenal dengan kaidah yang dijelaskan ulama,

الإيثار في القرب مكروه وفي غيرها محبوب

“Mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah adalah makruh, sedangkan dalam masalah lainnya (masalah dunia) disukai”

Atau kadiah dengan redaksi ini,

القُرُبَاتُ لَيْسَتْ مَحَلاًّ لِلْإِيْثَارِ

“Tidak mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah”

Syaikh ‘Izziddin rahimahullah berkata,

لا إيثار في القربات فلا إيثار بماء الطهارة و لا بستر العورة و لا بالصف الأول لأن الغرض بالعبادات

“Tidak boleh mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah (iitsar), maka tidak boleh iitsar dalam menggunakan air untuk thaharah, menutup aurat dan menempati shaf terdepan karena tujuannya adalah ibadah.”3.

Contoh lainnya:

  • Jika ada air yang hanya cukup bagi dia untuk berwudhu, maka dia memakainya dan hendaknya tidak diberikan pada yang lainnya, yang lain silahkan bertayamum
  • Jika hanya ada kain untuk menutup aurat, maka dia yang memakainya, hendaknya jangan diberikan kepada yang lainnya.

Masalah dunia dianjurkan mendahulukan orang lain

Ini merupakan puncak akhlak seseorang, karena seseorang itu cenderung suka mementingkan diri sendiri baru orang lain. Allah Ta’ala memerintahkan agar kita meniru kaum Anshar yang mendahulukan kaum Muhajirin diatas kepentingan mereka walaupun mereka juga membutuhkan hal tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

 “Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri sangat membutuhkan/dalam kesusahan” (Al-Hasyr: 9).

Jika kita membaca bagaimana sejarah islam mengenai mendahulukan saudaranya. Maka ini ibarat dongeng yang mungkin kita katakan akan mustahil terjadi di zaman ini. Abdurrahman bin ‘Auf ketika beliau dipersaudarakan dengan penduduk Anshar yaitu Saad bin Rabi’ (ketika itu, untuk memperat hubungan antara Muhajirin dan Anshar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka satu dengan yang lain).

Saad bin Rabi’ dan penduduk Anshar lainnya paham benar bahwa kaum muhajirin meninggalkan harta dan keluarga mereka di Mekkah sehingga mereka tidak memiliki apa-apa ketika sampai di madinah dan juga mereka aslinya adalah para pedagang dan belum mempunyai ilmu bercocok tanam sebagaimana orang Madinah.

Sa’ad pun berkata kepada Abdurrahman, “Wahai saudaraku, sesungguhnya aku adalah di antara penduduk Madinah yang terkaya, aku memiliki dua kebun dan dua istri. Lihatlah salah satu dari dua kebun itu yang terbaik hingga akan aku berikan kepadamu dan lihatlah salah satu istriku yang engkau suka maka aku akan ceraikan dia lalu engkau bisa menikahinya”. Namun, Abdurrahman bin ‘Auf menjawab tawaran baik saudaranya, “Tidak, semoga Allah memberkahimu, harta, dan juga keluargamu. Tetapi tunjukkan saja aku di mana letak pasar kalian”. Lalu ditunjukkan kepada beliau, kemudian beliau bekerja dan berdagang, dan dapat mengais Rizki Allah yang melimpah.

Hikmah yang bisa diambil adalah Abdurrahman bin ‘Auf tidak “aji mumpung” dan “memanfatkan kesempatan. Beliau juga punya harga diri dan ingin makan dengan hasil jerih payah sendiri. Berikut kisah lanjutannya:

Tidak berselang lama, Abdurrahman bin ‘Auf telah meminang seorang wanita Anshar lalu menikahinya, kemudian beliau datang menemui Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam dengan wangi-wangian khas pengantin. Maka Rasulullah bertanya keheranan, “Ada apa ini?” Ia menjawab, “Aku baru saja menikahi wanita Anshar.” Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam bertanya lagi, “Berapa besar mahar yang engkau berikan?” Ia menjawab, “Seukuran satu nawat emas.” Lalu terucaplah dari bibir Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam sebuah sunnah dari ummat ini di hari yang paling bahagia, yang sunnah itu akan tetap hingga hari kiamat, “Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing”.

Kemudian kisah lain yang dinuikl oleh Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya, beliau berkata,

أن رجلا بات به ضيف فلم يكن عنده إلا قوته وقوت صبيانه، فقال لامرأته: نومي الصبية وأطفئي السراج وقربي للضيف ما عندك، فنزلت هذه الآية ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة

“Ada seorang yang kedatangan tamu yang hendak menginap, ia tidak mempunyai makanan kecuali makanan untuk anak-anaknya. Maka ia katakan kepada istrinya, “tidurkanlah anak-anak, matikan lampu dan sajikan makanan untuk tamu kita. Maka turunlah ayat “Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri sangat membutuhkan/dalam kesusahan.”4.

Dan masih banyak kisah lainnya yang sangat menyentuh hati dan menyindir kita. Kita yang sedang santai saja atau tidak membutuhkan serta tidak susah, sangat malas atau enggan membantu orang lain apalagi mendahulukan orang lain. Kita bisa lihat beberapa kenyataan di masyarakat kita, orang sudah mulai mementingkan diri sendiri. Rasa sosial itu sudah hampir punah. Misalnya:

  • Ada nenek tua atau orang cacat di bus atau kereta dibiarkan berdiri oleh orang sehat dan muda yang duduk
  • Ada yang kesusahan malah cuek dan tidak mau membantu
  • Ada orang atau bahkan tetangga yang sakit tidak mau menjenguk

Demikian semoga bermanfaat.

***

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27903-hindari-mempersilahkan-orang-lain-mengisi-shaf-depan-dalam-shalat.html

Siapakah yang Berhak Berdiri di Shaf Pertama?

عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم

يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ اسْتَوُوا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ لِيَلِنِى مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Dari Abu Mas’ud ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya mengusap pundak-pundak (untuk meluruskan) kami ketika hendak salat, beliau bersabda:

“Luruskan dan jangan berselisih niscaya hati kalian akan berselisih. Hendaklah yang berada di dekatku orang orang yang berilmu dan berakal kemudian setelahnya, kemudian setelahnya.” (HR Muslim).

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

“Hadis ini menunjukkan bahwa hendaknya yang didahulukan adalah orang-orang yang lebih utama (dalam ilmu dan takwa) lalu setelahnya.” (Syarah Shahih Muslim, 4/155).

Inilah yang diamalkan oleh para sahabat. Imam An-Nasai dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan, bahwa Abbad bin Qais berkata, “Aku pernah salat di saf pertama di Madinah. Tiba-tiba ada orang yang menarikku ke belakang lalu ia berdiri di tempatku.

Qais berkata, “Demi Allah aku tidak bisa memahami salatku (karena kesal)”.

Setelah selesai salat, ternyata ia adalah Ubayy bin Ka’ab. Ia berkata, “Hai pemuda, jangan menyusahkanmu. Sesungguhnya ini adalah perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kami agar berada di belakang imam.”

Cobalah renungkan dan bandingkan dengan di zaman ini..

Terkadang anak-anakpun berada di saf pertama..

Orang-orang yang tidak punya hafalan Al-Qur’an dan orang-orang yang notabene awampun berdiri di saf pertama..

Sementara para penghafal Al-Qur’an dan orang berilmu berdiri di belakang…

Ini perkara yang tak sesuai sunah tentunya

***

Penulis: Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/30825-siapakah-yang-berhak-berdiri-di-shaf-pertama.html

Meneladani Para Sahabat Nabi Dalam Meluruskan Shaf Shalat

Imam shalat hendaknya menaruh perhatian terhadap perkara meluruskan shaf shalat. Berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

استووا ولا تختلفوا فتختلف قلوبكم

Luruskanlah (shaff kalian) dan jangan bercerai-berai sehingga akan tercerai berai hati kalian” (HR. Muslim).

Syaikh Rabi ibn Hadi Al Madkhali hafizhahullah menjelaskan, “Shaf yang tidak lurus akan membawa pada tercerai berainya hati, hati yang tercerai berai membawa pada berbagai perkara serius, diantaranya perpecahan dalam aqidah dan manhaj, yang akan membawa pada permusuhan dan pertumpahan darah, sebagaimana telah banyak terjadi di zaman ini. Maka wajib bagi imam masjid untuk menaruh perhatian besar pada kelurusan shaf shalat, mengingatkan jamaah shalat untuk selalu meluruskan shaf. Semoga Allah memberi taufik bagi imam masjid untuk menegakkan kewajiban ini, dan tidak bermudah-mudahan di dalamnya” -selesai nukilan

Berikut ini beberapa praktek para shahabat dalam meluruskan shaf.

Perhatian Khalifah ‘Umar ibn Al Khattab terhadap Shaf Shalat

1. Mengeluarkan anak kecil dari shaf shalat

Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (4188) meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibrahim (putra Abdurrahman ibn ‘Auf) berkata,

أن عمر بن الخطاب كان إذا رأى غلاما في الصف أخرجه

Sesungguhnya ‘Umar ibn Al Khattab apabila melihat anak kecil dalam shaf shalat beliau mengeluarkannya dari shaf”

Berkata Syaikh Rabi’ ibn Hadi Al Madkhali hafizhahullah, “Praktek ini merupakan pengamalan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

ليلِني منكم أولو الأحلام والنهى ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

Hendaknya yang berada di belakangku ialah ulul ahlam wa nuha (orang yang sempurna akal dan fikirannya) kemudian yang setelah itu kemudian yang setelah itu” (HR Muslim).

Huruf lam dalam hadits tersebut bermakna perintah, perintah berkonsekuensi wajib, dan tidak ada hadits yang memalingkannya ke hukum anjuran (istihbab).

Praktek ‘Umar ibn Al Khattab ini ditegaskan melalui praktek tabi’in yaitu Dzar ibn Hubaisy dan Abu Wa’il Syaqiq ibn Salamah, keduanya termasuk tabiin senior. Keduanya meriwayatkan dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan selain mereka dari kalangan shahabat, dan praktek mereka nampaknya terambil dari hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan praktek khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu”.

2. Memeriksa shaf dengan mendatangi makmum

Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (3550) membawakan riwayat dari Abu Utsman,

كنت فيمن يقيم عمر بن الخطاب قدامه لإقامة الصف

Aku pernah berhadapan dengan ‘Umar ibn Al Khattab yang berdiri dalam rangka beliau meluruskan shaf”.

Sanad atsar ini shahih.

3. Memberi perintah untuk meluruskan apabila shaf bengkok

Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushannaf (3551) dari Abdullah ibn Syaddad, seorang tabiin senior yang tsiqah,

أن عمر رأى في الصف شيئا، فقال بيده هكذا، يعني وكيع، فعدله

Bahwasanya ‘Umar melihat dalam shaf ada sesuatu (yang kurang rapat atau lurus -pent) maka beliau memberi isyarat dengan tangannya agar meluruskannya”.

Sanad atsar ini shahih.

4. Mengutus petugas khusus meluruskan shaf

Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushannaf (3557) dari jalur Abu ‘Utsman, seorang tabi’in yang masuk Islam ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup namun belum pernah bertemu Nabi,

ما رأيت أحدا كان أشد تعاهدا للصف من عمر، إن كان ليستقبل القبلة حتى إذا قلنا قد كبر، التفت فنظر إلى المناكب والأقدام، وإن كان يبعث رجالا يطردون الناس حتى يلحقوهم بالصفوف

Aku tidak pernah melihat seseorang yang begitu besar perhatiannya terhadap shaf, melebihi ‘Umar ibn Al Khattab. Terkadang kami semua telah menghadap kiblat hingga kami kira akan bertakbir, beliau masih menoleh ke belakang dan melihat pundak-pundak dan kaki kami. Kadang beliau mengutus seseorang untuk menertibkan orang-orang hingga mereka semua saling menempel dalam shaf shalat”.

Perhatian Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan terhadap Shaf Shalat

Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (3552) meriwayatkan dari jalur Malik ibn ‘Amir, kakek Imam Malik ibn Anas dengan sanad yang shahih, beliau berkata,

سمعت عثمان وهو يقول: استووا وحاذوا بين المناكب، فإن من تمام الصلاة إقامة الصف، قال: وكان لا يكبر حتى يأتيه رجال قد وكلهم بإقامة الصفوف

Aku mendengar ‘Utsman ibn ‘Affan berkata, ‘Luruskan dan rapatkan antara pundak kalian, karena diantara kesempurnaan shalat ialah lurusnya shaf’. Beliau tidak memulai takbir sampai mengutus seorang yang bertugas sebagai wakil dalam meluruskan shaf”

Syaikh Rabi ‘ibn Hadi Al Madkhali hafizhahullah menjelaskan, “Inilah khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan radhiyallahu ‘anhu yang memerintahkan jamaah shalat agar :

  1. Meluruskan shaf shalat
  2. Meluruskan pundak-pundak dan ini tidak akan tercapai hingga lurusnya tumit ke tumit
  3. Menegaskan bahwa lurusnya shaf ialah kesempurnaan shalat
  4. Masih belum cukup dengan perhatian tersebut, beliau masih menambah dengan mengutus seorang yang bertugas meluruskan shaf-shaf, baru beliau mulai bertakbir”

Formasi Shaf dalam Shalat Berjamaah

Imam Ahmad dalam Musnad-nya (37/531) membawakan riwayat dengan sanad yang hasan dari Abu Malik Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu yang mengajari kaumnya,

أَلَا أُصَلِّي لَكُمْ صَلَاةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَفَّ الرِّجَالُ ثُمَّ صَفَّ الْوِلْدَانُ خَلْفَ الرِّجَالِ ثُمَّ صَفَّ النِّسَاءُ خَلْفَ الْوِلْدَانِ

Aku akan shalat untuk kalian dengan shalatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka aturlah shaf paling depan shaf lelaki dewasa, kemudian shaf anak kecil, kemudian shaf wanita”.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi taufik.

***

Diambil dari artikel http://rabee.net/ar/articles.php?cat=8&id=302 oleh Syaikh Rabi ibn Hadi Al Madkhali hafizhahullah

Penyusun: Yhouga Mopratama Ariesta

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/28822-meneladani-para-sahabat-nabi-dalam-meluruskan-shaf-shalat.html