Menikahi Wanita Ahlul Kitab Yahudi Nasrani, Masih Relevan?

Ulama berbeda pendapat terkait relevansi ahlul kitab.

Diskusi tentang hukum menikah beda agama yaitu ahlul kitab, dalam konteks ini, masih saja tetap hangat.  

Direktur Rumah Fikih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat, menjelaskan mayoritas ulama telah bersepakat tentang kebolehan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahli kitab. Karena, hal itu merupakan ketentuan langsung dari Allah SWT serta ditegaskan di dalam kitab-Nya yang abadi, Alquran.

Dia menjelaskan nas  yang ada dalam Alquran menyebutkan dengan jelas bahwa halal bagi laki-laki Muslim menikahi wanita ahli kitab. Dan semua ulama sepakat bahwa laki-laki muslim dihalalkan untuk menikahi wanita ahli kitab.

Dalam Alquran Allah SWT berfirman, yang artinya:  “Dan dihalalkan (mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.”  (QS al-Maidah: 5)

Para ulama juga sepakat bahwa kehalalan menikahi wanita ahli kitab ini berlaku bukan hanya pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat saja, melainkan berlaku juga hingga pada masa berikutnya, sampai hari ini dan juga sampai selesainya alam semesta nanti.

Maka para ulama sepakat bahwa kehalalan menikahi wanita kitabiyah itu berlaku untuk terus menerus tdak terbatas pada  kurun waktu tertentu. Namun, menurut Ustaz Sarwat, yang jadi titik perbedaan pendapat adalah dalam menetapkan ke-ahli-kitab-an para wanita.

“Cuma masalahnya wanita Kristen di kampung kita sekarang ini dia bisa dianggap ahli kitab atau tidak? Itu aja yang jadi masalah. Kalau masa Nabi SAW tidak usah dipertanyakan, karena riil-nya memang seperti itu,” kata Ustaz Sarwat.

Sosok yang dikenal kepakarannya dalam bidang fikih ini menjelaskan, para ulama zaman sekarang berbeda pendapat dalam hal ketetapan seorang ahli kitab tersebut. Sebagian menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan wanita ahli kitab hanya terbatas pada kalangan tertentu, sedangkan sebagian lainnya meluaskan maknanya.

Bagi pendapat yang membatasi, menurut dia, mereka berpendapat bahwa ahli kitab sudah tidak ada lagi di masa sekarang.  Atau dengan kata lain, orang-orang yahudi dan nasrani yang dikenal sekarang ini, bukan termasuk dalam kategori ahli kitab sebagaimana yang dimaksud di dalam surah al-Maidah ayat 5 di atas.

“Ulama zaman sekarang beda-beda pendapat. Ada yang bilang  bisa dianggap ahli kitab, ada yang bilang tidak. Kalau di Indonesia rata-rata bilang tidak, Kristen itu bukan ahli kitab,” jelas Ustaz Sarwat. 

KHAZANAH REPUBLIKA


Sunnah Membantu Istri di Rumah

Salah satu sunnah yang mungkin mulai ditinggalkan para suami adalah membantu istri dan pekerjaannya di rumah, semoga para suami bisa menerapkan sunnah ini walaupun hanya sedikit saja. Beberapa suami bisa jadi cuek terhadap pekerjaan istri di rumahnya apalagi istri pekerjaannya sangat banyak dan anak-anak juga banyak yang harus diurus dan dididik.

Merupakan kebiasaan dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membantu pekerjaan istrinya di rumah.

‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi shalat” (HR Bukhari).

Hal ini merupakan sifat tawaadhu’ (rendah hati) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencontohkannya pada manusia, padahal beliau adalah seorang pimpinan dan qadhi tertinggi kaum muslimin. Bisa jadi ada suami yang merasa diri menjadi rendah jika melakukan perbuatan dan pekerjaan rumah tangga karena ia adalah orang besar dan berkedudukan bahkan bos di tempat kerjanya.

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata menjelaskan hadits ini,

من أخلاق الأنبياء التواضع ، والبعد عن التنعم ، وامتهان النفس ليستن بهم ولئلا يخلدوا إلى الرفاهية المذمومة

Di antara akhlak mulia para nabi adalah tawaadhu’ dan sangat jauh dari suka bersenang-senang (bermewah-mewah) dan melatih diri untuk hal ini, agar mereka tidak terus-menerus berada pada kemewahan yang tercela (mewah tidak tercela secara mutlak).” (Fathul Bari kitab adab hal. 472)

Membantu istri bisa dilakukan dengan pekerjaan sederhana, terkadang membantu hal yang sederhana saja sudah membuat senang dan bahagia para istri, semisal menyapu emperan saja, mencuci piring dan lain-lainnya.

Dalam hadits lainnya, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan hal-hal sederhana untuk membantu istri-istri beliau semisal mengangkat ember dan menjahit bajunya.

عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ

Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember” (HR Ibnu Hibban).

Ini adalah bentuk muamalah yang baik kepada istri dan diperintahkan dalam AL-Quran.

Allah berfirman,

وعَاشِرُوْهُنَّ بِالمَعْرُوْف

Dan pergaulilah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang ma’ruf” (QS An Nisaa’:19)

Dan firman Allah Ta’ala,

وَلَهٌنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْف

Dan hak mereka semisal kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf” (QS Al Baqarah: 228)

Berbuat baik pada istri merupakan bentuk akhlak sebenarnya (akhlak asli) seorang suami. Istri merupakan “bawahan suami” dan seseorang akan mudah melampiaskan akhlak buruknya ketika menghadapi orang yang derajat/jabatannya di bawahnya. Oleh karena itu, sebaik-baik akhlak seseorang adalah yang paling baik terhadap istrinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

‘Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya (HR At-Tirmidzi As-Shahihah no 284).

Seorang suami di rumah bersama istri dan keluarganya tidak boleh gengsinya tinggi dan kasar, tetapi harus ramah dan berlapang-lapang dengan keluarga dan istrinya.

Dari Tsabit bin Ubaid radhiallahu ‘anhu berkata,

عن ثابت بن عبيد رحمه الله قال : مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَجَلَّ إِذَا جَلَسَ مَعَ الْقَوْمِ ، وَلاَ أَفْكَهَ فِي بَيْتِهِ ، مِنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِت

Aku belum pernah melihat seorang yang demikian berwibawa saat duduk bersama kawan-kawan namun demikian akrab dan kocak saat berada di rumah melebihi Zaid bin Tsabit” (Al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari no 286).

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/39376-sunnah-membantu-istri-di-rumah.html

Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 1)

Peran Suami dalam Rumah Tangga

Setiap rumah tangga membutuhkan pemimpin yang mengatur dan mengelola urusan rumah tangga, demikian juga menjaga dan memperhatikan kondisi anggota keluarga. Pemimpin ini haruslah didengar, dipatuhi, dan ditaati selama tidak memerintahkan maksiat kepada Allah Ta’ala. 

Pemimpin dalam rumah tangga ini adalah laki-laki (suami). Dan yang mengangkat laki-laki sebagi pemimpin adalah Allah Ta’ala sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Hal ini karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’ [4]: 34) 

Mengapa Suami Dijadikan Pemimpin?

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala sebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, dan Allah Ta’ala sebutkan sebabnya. 

Keutamaan Laki-Laki Lebih dari Wanita

Sebab pertama yang Allah Ta’a sebutkan adalah karena Allah telah memberikan keutamaan pada laki-laki lebih dari wanita. Misalnya, dari sisi penciptaan, laki-laki secara umum memiliki kekuatan fisik melebihi wanita. Laki-laki mampu melakukan berbagai pekerjaan berat yang tidak mampu dikerjakan oleh wanita. 

Laki-laki diberi kelebihan akal oleh Allah Ta’ala. Yang dimaksud dengan “kelebihan dari sisi akal” di sini adalah laki-laki mampu berpikir jernih tentang tindakan yang terbaik, mampu berpikir panjang dan jauh ke depan, sehingga lebih hati-hati dan lebih tepat dalam mengambil keputusan. Demikian pula kesabaran yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka. 

Sehingga kenabian itu hanya Allah Ta’ala khususkan bagi kaum laki-laki. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Kami tidaklah mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka. Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 7)

Dalam masalah kepemimpinan, syariat menetapkan kepemimpinan itu pada laki-laki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HR. Bukhari no. 4425)

Dalam masalah fiqh persaksian, Allah Ta’ala jadikan persaksian seorang laki-laki setara dengan persaksian dua orang perempuan. Dalam masalah fiqh waris, Allah Ta’ala jadikan bagian untuk wanita itu separuh bagian kaum laki-laki. 

Dalam masalah pernikahan, seorang laki-laki boleh menikah dengan empat wanita dalam satu waktu. Namun, seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami saja di satu waktu, tidak boleh lebih. Dalam masalah perceraian (thalaq), Allah Ta’ala jadikan hak thalaq dan ruju’ itu bagi kaum laki-laki (suami), tidak bagi kaum wanita (istri). Dalam masalah nasab, seorang anak itu dinasabkan (di-“bin”-kan) kepada bapaknya, kecuali dalam sedikit kasus saja yang dinasabkan kepada sang ibu. 

Dalam syariat jihad, Allah Ta’ala jadikan kewajiban berjihad itu bagi kaum laki-laki, bukan kaum wanita. Demikian pula, mayoritas masalah berkaitan dengan amar makruf nahi mungkar itu berkaitan dengan laki-laki, dan bukan wanita. Meskipun boleh dalam sebagian kasus, seorang wanita melakukan nahi mungkar selama tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. 

Maka hal ini menunjukkan bahwa “jenis” laki-laki Allah Ta’ala berikan keutamaan lebih dari jenis wanita. Hal ini sebagaimana dikuatkan pula oleh firman Allah Ta’ala,

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 228) 

Penanggung Jawab Nafkah Istri dan Keluarga

Sebab ke dua Allah Ta’ala menjadikan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga adalah karena kaum laki-laki (suami) adalah penanggung jawab terhadap nafkah istri dan keluarga. Sejak akad nikah, suami wajib memberikan nafkah untuk sang istri, di samping mahar yang telah diberikan. Suami wajib memberikan nafkah kepada istri berkaitan dengan kebutuhan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal (rumah). Oleh karena itu, dalam sebagian harta yang dimiliki suami terdapat hak bagi sang istri. Namun tidak sebaliknya, harta istri adalah milik istri, kecuali istri memberikan kerelaan berupa sedekah kepada sang suami.

Karena sebab kepemimpinan laki-laki adalah nafkah kepada sang istri, maka jika suami membebankan nafkah rumah tangga kepada istri, maka kepemimpinannya telah jatuh. Demikian pula, jika istri ikut bertanggung jawab terhadap sebagian nafkah keluarga, maka pada asalnya istri telah mengambil sebagian kepemimpinan laki-laki. 

Oleh karena itu kami nasihatkan, jika suami mengijinkan istri untuk bekerja (sehingga konsekuensinya memiliki penghasilan sendiri), maka jadikanlah penghasilan istri itu untuk dirinya (istri) sendiri. Adapun kebutuhan nafkah untuk keluarga, maka 100% tetap di tangan suami. Hal ini mengingat sebab kepemimpinan laki-laki adalah karena laki-laki yang memegang urusan nafkah kepada istri dan keluarganya. Juga agar laki-laki bisa menegakkan kepalanya di depan sang istri dan tetap menjaga kewibawaannya di hadapan sang istri. Selain itu, jika istri memegang dan bertanggung jawab terhadap sebagian urusan nafkah, hal ini akan menjadi salah satu sebab seorang istri kemudian durhaka kepada suami karena merasa telah banyak berjasa kepada sang suami.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52497-laki-laki-adalah-pemimpin-rumah-tangga-bag-1.html

Beban Pemimpin

Kepemimpinan adalah beban yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab.

Kepemimpinan adalah beban yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab, sepenuh hati, amanah, dan adil. Tanggung jawab itu tidak hanya kepada orang-orang yang di pimpin, tetapi juga terlebih kepada Allah di akhirat. Nabi mengatakan, Setiap imam adalah pemimpin dan bertanggung ja wab terhadap rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim). Di hadis lain, Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka. (HR Abu Nu’aim).

Mengingat beratnya beban kepemimpinan, Abu Bakar ash- Shiddiq dan Umar bin al-Khathab, misalnya, di awal pidato setelah dilantik menjadi pemimpin, menegaskan bahwa kepemimpinan sejatinya adalah sebuah beban yang berat sehingga mereka mengharapkan rakyat agar bersikap kritis dan senantiasa mengingatkan mereka ketika salah jalan atau dianggap telah melenceng dari tanggung jawab kepemimpinan. Mereka sadar, manusia bisa tergoda dan tergelincir pada halhal buruk sehingga perlu diingatkan.

Abu Bakar, misalnya, dalam pidato di awal kepemimpinannya mengatakan dirinya telah diberi kepercayaan oleh rakyatnya dan ia bersedia menanggung beban berat itu, padahal ia menegaskan dirinya bukan orang yang terbaik daripada yang lainnya. Ia menegaskan pula, bila dirinya bertindak benar, rakyat perlu mendukungnya. Sebaliknya, bila ia bertindak salah, rakyat perlu meluruskannya.

Umar bahkan memuji orang yang mengkritik keras kepemim pinannya bila melenceng dari garis yang telah ditentukan. Dikisahkan, ketika berpidato di hadapan rakyatnya, salah seorang berdiri sambil mengacungkan pedangnya dan berkata, Wahai Umar, bila Anda melenceng selama memimpin, kami akan meluruskannya dengan pedang kami! Mendengar hal itu, Umar tidak marah, malah tersenyum dan bersyukur, kemudian berkata, Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan seseorang untuk meluruskan kesalahan Umar dengan pedangnya.

Kesadaran bahwa kepemimpinan adalah beban berat yang harus ditanggung dengan baik telah membuat Khalifah Umar selalu memikirkan rakyatnya. Disebutkan, ia setiap malam berjalan bersama pembantunya untuk melihat langsung kondisi rakyatnya. Ia tak ingin satu orang rakyatnya kelaparan. Ketika pada suatu malam ia mendapati sebuah rumah di dalamnya ada orang yang merintih kelaparan, keesokan harinya ia sendiri yang memanggul gandum dan memberikannya kepada orang tersebut.

Ketika pembantunya memohon agar ia yang membawa gandum itu, Umar mengatakan, Apakah engkau sanggup menanggung dosa Umar karena menelantarkan rakyatnya? Umar adalah sosok pemimpin yang keras, tegas, dan bera ni, tetapi begitu mencintai dan menyayangi rakyatnya serta tidak otoriter. Ia menyadari tugas utama seorang pemimpin adalah melayani rakyatnya dengan adil.

Bila itu tidak dilakukan, selain berarti mengkhianati amanat rakyat, juga berarti mengkhianati Allah. Ia begitu menjaga pesan Rasulullah dan tak ingin melanggarnya. Beliau mengatakan, Barang siapa diserahi ke kua saan untuk mengurus manusia, lalu menghindar (meng elak) melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkan nya maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat. (HR Ahmad).

Kepemimpinan bukan perkara ringan atau dianggap bukan beban. Tanggung jawabnya sangat berat karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Karena itu, selain mewanti-wan ti perihal kepemimpinan, Allah menjanjikan balasan yang besar kepada pemimpin yang berhasil mengembannya dengan baik. Nabi bersabda, Ahli surga ada tiga macam: pemimpin yang adil, orang yang mengasihi sesama, dan orang yang tidak me ngemis meskipun keluarga nya banyak. (HR Muslim). Termasuk orang yang diberi naungan pada hari kiamat yang sangat panas adalah pemim pin yang adil (HR al-Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam. 

Oleh: Fajar Kurnianto

KHAZANAH REPUBLIKA


Parameter Kebahagiaan dan Kesuksesan Seorang Muslim

Kebahagiaan dan Kesuksesan Seorang Muslim terbagi pada dua golongan.

Dalam memilih parameter kebahagiaan dan kesuksesan, umat manusia terbagi pada dua golongan. Golongan pertama menjadikan ketakwaan sebagai tolok ukur kebahagiaan, sedangkan golongan kedua menggunakan materi sebagai ukurannya.

Mereka yang menjadikan ketakwaan sebagai tolok ukur, berlandaskan pada kalam Allah SWT bahwa manusia yang paling mulia ialah yang paling bertakwa (QS 49: 15). Mereka percaya, baik rezeki yang berlimpah maupun kekurangan materi, merupakan ujian dari Allah atas ketakwaan mereka (QS 8: 28). Sehingga, mereka tak pernah merasa rugi jika kehilangan materi ataupun berbangga diri jika mendapatkan kelimpahannya (QS 57: 23).

Mereka tetap berlomba-lomba untuk mengeluarkan tabungan, baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan (QS 14: 31), untuk membersihkan diri dari keserakahan dan ketamakan (QS 9: 103). Mereka bukan pembenci materi. Bisa jadi mereka termasuk orang-orang yang ulung mendulang kekayaan. Namun bagi mereka, tak ada gunanya materi berlimpah jika tiada takwa di hati. “Sebaik-baik harta ialah harta yang saleh (bersih) di tangan orang saleh.” (HR Ahmad).

Golongan yang kedua ialah mereka yang menjadikan materi sebagai acuan bagi kebahagiaan, kesuksesan, dan tujuan dari kehidupannya. Bagi mereka itu, kekayaan materi, gelar kehormatan, dan kekuasaan adalah segalanya. Mereka sedih jika tidak mendapatkan yang diinginkan, namun merasa sombong jika sudah digenggaman. Bahkan, mereka merasa dimuliakan oleh Allah jika mendapatkan kekayaan, namun sebaliknya merasa hina bila ketiadaan harta (QS 89:15-16).

Di sisi lain, mereka tak pernah puas untuk terus menambah pundi-pundi kekayaan mereka, bahkan “andaikan mereka memiliki dua gunung harta niscaya mereka mengharapkan yang ketiganya, hingga tak ada yang memuaskan perut mereka kecuali tanah (kematian)”. (HR Bukhari). Dan, mereka tak akan rela untuk kehilangan sepeser pun darinya, bahkan andai kata mereka menguasai pundi-pundi kekayaan milik Allah (QS 17: 100).

Dalam beribadah, mereka menjadikan materi sebagai tolok ukur. Apabila mereka mendapat kebaikan dalam bentuk materi mereka merasa ibadah mereka bermanfaat, namun jika sebaliknya mereka merasa ibadah mereka sia-sia (QS 22: 11).

Sebagian di antara mereka juga ada yang menghitung-hitung secara matematis infaknya yang berlipat ganda dan berharap kekayaan beranak pinak. Mereka salah memahami bahwa janji Allah itu untuk melipatgandakan kebaikan yang mereka dapatkan (QS 9: 121) dan bukan mengalikan angka nominal yang mereka sumbangkan. Dampaknya, pada saat mereka tidak segera mendapatkan kekayaan,  mereka protes pada Allah dan berputus asa dari rahmat-Nya. Naudzubillah.

Adapun kita, Allah telah memberikan dua pilihan. Apakah mengikuti jalan golongan pertama yang mengutamakan ketakwaan sehingga bisa mensyukuri setiap keadaan, ataukah mengikuti golongan kedua yang mengejar kebendaan sehingga menjerumuskan kita pada kekufuran. “Sesungguhnya Kami telah menunjukkan padanya (manusia) jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.”(QS 76: 3). Wallahu a’lam.

KHAZANAH REPUBLIKA

Manfaat Kesehatan di Balik Anjuran Memaafkan dan Tahan Marah

Memaafkan sangat bermanfaat bagi kesehatan.

Empat belas abad yang lalu Rasulullah SAW secara tegas telah menyebutkan bahwa seorang pemarah merupakan seorang yang lemah.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW: ”Bukanlah orang yang kuat itu adalah seorang pegulat, namun yang disebut orang kuat adalah mereka yang bisa mengendalikan amarahnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Lemah mengadung arti baik secara fisik ataupun mental. Menurut ahli kesehatan jiwa, Dr Guy A Pettitt, dalam artikelnya Forgiveness and Health, secara fisik marah yang berkepanjangan berdampak pada stres dan urat-urat menjadi tegang. Akibatnya, akan timbul rasa sakit di bagian leher, punggung, dan lengan. 

Begitupun sirkulasi darah ke jantung dan anggota tubuh lainnya menjadi terhambat, sehingga kandungan oksigen dan nutrisi dalam sel berkurang, pecernaan dan pernapasan juga akan terganggu. Sistem kekebalan tubuh pun melemah, sehingga tubuh menjadi sangat rawan terserang penyakit. 

Secara mental, marah berdampak sangat fatal terhadap kejiwaan seseorang, karena dengan marah, terkadang seseorang tidak bisa mengontrol diri. Sehingga, sangat memungkinkan untuk berbuat sesuatu di luar kendalinya, seperti mencaci, memukul, bahkan mungkin membunuh.  

Allah SWT mengajarkan kepada hambanya untuk bersikap gampang memaafkan kesalahan seseorang, sebagaimana Allah SWT sangat gampang mengampuni dosa-dosa hambanya. Malah, Allah SWT mencela orang yang suka marah dengan menyebutnya sebagai orang bodoh. Sebagaimana firman-Nya, ”Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf [7]:199). 

Dr Frederic Luskin dalam bukunya Forgive for Good sebagaimana yang dikutip Harun Yahya, menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran, dan percaya diri, sehingga akan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat, dan stres. 

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, ”Tidaklah kelemahlembutan itu berada pada sesuatu kecuali akan membuatnya indah, dan tidaklah kelembutan itu dicabut kecuali akan menjadikannya jelek.” (HR Muslim). Maka, kalau ingin hidup sehat, jadilah seorang pemaaf. 

KHAZANAH REPUBLIKA


Bocoran Ilmu Kedokteran dalam Setengah Ayat Alquran dan Satu Kalimat Hadis

ALQURAN merupakan kitab yang berisi pedoman hidup umat manusia. Di dalamnya tercangkup semua aspek kehidupan termasuk ilmu pengetahuan. Tak terkecuali ilmu kedokteran

Dikutip dari Buku Pintar Sains dalam Alquran, berdasarkan sebuah riwayat, seorang ulama menyebut bahwa Allah telah menghimpun seluruh ilmu kedokteran hanya dalam setengah ayat dari Alquran.

Diriwayatkan, Khalifah Harun ar-Rasyid memiliki seorang dokter nasrani yang hebat. Suatu ketika, dokter itu berkata kepada salah seorang ulama, “Tak satu pun dalam kitab suci kalian yang berkaitan dengan (red. ilmu) kedokteran. Ilmu itu ada dua, ilmu tentang tubuh dan ilmu tentang agama.”

Ulama itu berkata, “Allah telah menghimpun seluruh ilmu kedokteran hanya dalam setengah ayat dari kitab suci-Nya.”

“Ayat apa itu?’ tanya dokter Nasrani.

Ulama menjawab, “Yaitu firman-Nya, “Makan dan minumlah, dan jangan berlebihan.” (QS Al-A’raf: 31)

Kemudian dokter itu berkata, “Dan tak satu pun riwayat dari Rasul kalian tentang kedokteran.”

“Rasul kami telah menghimpun ilmu kedokteran dalam satu kalimat yang singkat.”

“Apa itu?’

Ulama itu menjawab, “Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah seorang anak Adam mengisi sebuah bejana yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam untuk makan beberapa suap makanan sekedar untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak maka sepertiganya untuk makanan, sepertiganya untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk udara (napas).” (HR Ibnu Majah)

Riset ilmiah membuktikan bahwa kegemukan (obesitas) dapat membahayakan tubuh manusia. Hasil sensus sebuah perusahaan asuransi di Amerika Serikat menyimpulkan, bahwa semakin panjang garis lingkar perut, makan semakin pendek garis umur. Laki-laki yang lingkar perutnya lebih besar daripada lingkar dadanya, maka potensi kematiannya akan semakin besar.

Nabi Muhammad SAW memerintahkan umat Muslim untuk menyeimbangkan pola makan dan minum, dan tidak berlebihan dalam keduanya. Ia juga melarang untuk mengisi lambung dengan makanan secara penuh, karena dapat merusak tubuh dan termasuk pemborosan. Pelakunya dianggap sebagai orang-orang mubazir yang dicap Allah sebagai saudara-saudara setan.

Allah berfirman, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al-Isra’: 27)

Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda, “Termasuk sikap berlebihan jika kau makan saat kau ingin makan.” (HR. Hakim)

Rasulullah juga bersabda kepada Abu Juhfah saat ia bersendawa, “Pendekkan sendawamu dari kami, karena manusia yang paling panjang rasa laparnya di hari kiamat adalah yang paling sering kenyang di dunia.” (HR. Tirmidzi)

Sahabat Nabi, Umar berkata “Janganlah sekali-kali kalian terlalu kenyang dalam makan dan minum, karena dapat merusak tubuh, menimbulkan penyakit dan membuat malas untuk salat. Kalian harus berhemat dalam keduanya (makan dan minum), karena itu lebih baik bagi tubuh dan jauh dari sikap boros. Allah membenci orang yang sejahtera dan gemuk. Seorang laki-laki tidak akan binasa sampai ia mengutamakan syahwatnya daripada agamanya.” (Riwayat Abu Nu’aim)

Allah SWT berfirman:

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Al-Furqan: 67)

Makna boros adalah mengeluarkan sesuatu yang lebih dari kebutuhan. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Termasuk sikap boros jika kau makan setiap kali kau ingin makan.” (HR. Baihaqi)

Jika islam melarang sikap boros dan berlebihan maka Islam juga melarang sikap bakhil dan kikir. Karena itu, umat Islam harus bersikap seimbang dalam urusan makan, minum, berpakaian, dan hal-hal yang berhubungan dengan pembelanjaan. []

Referensi: Buku Pintar Sains dalam Alquran/Karya: Nadiah Tayyarah/Penerbit: Zaman/Tahun: 2013

ISLAMPOS

Sayangilah Anak Yatim dan Orang Miskin!

Di antara sifat orang yang mendustakan hari pembalasan adalah tidak punya kasih sayang pada anak yatim dan orang miskin. Masih ada sifat lainnya yang disebutkan dalam surat Al Maa’uun.

Allah Ta’ala berfirman,

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya’  dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al Maa’uun: 1-7).

Mendustakan Hari Pembalasan

Dalam ayat pertama disebutkan,

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan?” (QS. Al Maa’uun: 1-7).

Mengenai kata “الدين” (ad diin) dalam ayat di atas, ada empat pendapat: (1) hukum Allah, (2) hari perhitungan, (3) hari pembalasan dan (4) Al Qur’an. Demikian kata Ibnul Jauzi dalam kitab tafsirnya, Zaadul Masiir (9: 244). Jadi ayat tersebut bisa bermakna orang yang mendustakan hukum Allah, hari perhitungan, hari pembalasan atau mendustakan Al Qur’an.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ad diin adalah hari pembalasan, sehingga jika diartikan: “Tahukah kamu orang yang mendustakan hari pembalasan?” Dan beliau menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan pada mereka yang mengingkari hari kebangkitan sebagaimana disebutkan dalam ayat,

أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَئِنَّا لَمَبْعُوثُونَ , أَوَآَبَاؤُنَا الْأَوَّلُونَ

Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan (kembali)? Dan apakah bapak-bapak kami yang telah terdahulu (akan dibangkitkan pula)”?” (QS. Ash Shofaat: 16-17).

مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ

Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” (QS. Yasin: 78). Mereka inilah yang mendustakan ‘yaumud diin’ yaitu hari pembalasan. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 274).

Tidak Menyayangi Anak Yatim dan Fakir Miskin

Setelah menyebutkan mengenai orang yang mendustakan hari pembelasan, lalu disebutkan ayat,

فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3)

Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

Dalam dua ayat di atas digabungkan dua hal:

1. Tidak punya kasih sayang pada anak yatim. Padahal mereka itu orang yang patut dikasihi. Perlu diketahui, yatim adalah yang ditinggal mati orang tuanya sebelum ia baligh (dewasa). Dialah yang patut dikasihi karena mereka tidak lagi memiliki orang tua yang mengasihinya. Akan tetapi yang disebutkan dalam ayat ini adalah orang yang menghardik anak yatim. Yaitu ketika yatim tersebut datang, mereka menolaknya dengan sekeras-kerasnya atau meremehkannya.

2. Tidak mendorong untuk mengasihi yang lain, di antaranya fakir miskin. Padahal fakir dan miskin sangat butuh pada makanan. Orang yang disebutkan dalam ayat ini tidak mendorong untuk memberikan makan pada orang miskin karena hatinya memang telah keras. Jadi intinya, orang yang disebutkan dalam dua ayat di atas, hatinya benar-benar keras.

Ayat di atas semisal dengan ayat,

كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ (17) وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (18)

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin” (QS. Al Fajr: 17-18). Orang fakir adalah yang kebutuhannya dan kecukupannya tidak bisa terpenuhi (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 4: 691).

Orang yang Lalai dari Shalatnya

Kemudian disebutkan mengenai sifat mereka lagi,

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ , الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”. Kata Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud di sini adalah orang-orang munafik yaitu yang mereka shalat di kala ada banyak orang, namun enggan shalat ketika sendirian. (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 4: 691)

Dalam ayat disebutkan “لِلْمُصَلِّينَ”, bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang biasa shalat dan konsekuen dengannya, lalu mereka lalai. Yang dimaksud lalai dari shalat bisa mencakup beberapa pengertian:

1. Lalai dari mengerjakan shalat.

2. Lalai dari pengerjaannya dari waktu yang ditetapkan oleh syari’at, malah mengerjakannya di luar waktu yang ditetapkan.

3. Bisa juga makna lalai dari shalat adalah mengerjakannya selalu di akhir waktu selamanya atau umumnya.

4. Ada pula yang memaknakan lalai dari shalat adalah tidak memenuhi rukun dan syarat shalat sebagaimana yang diperintahkan.

5. Lalai dari shalat bisa bermakna tidak khusyu’ dan tidak merenungkan yang dibaca dalam shalat.

Lalai dari shalat mencakup semua pengertian di atas. Setiap orang yang memiliki sifat demikian, maka dialah yang disebut lalai dari shalat. Jika ia memiliki seluruh sifat tersebut, maka semakin sempurnalah kecelakaan untuknya dan semakin sempurna nifak ‘amali padanya (Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 4: 691-692).

Mereka yang Cari Muka dalam Ibadah

Disebutkan dalam lanjutan ayat,

الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ

Orang-orang yang berbuat riya’ ”. Riya’ adalah ingin amalannya nampak di hadapan orang lain, ibadahnya tidak ikhlas karena Allah, istilahnya ingin ‘cari muka’.

Berkaitan dengan ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan, “Barangsiapa yang –awalnya- melakukan amalan lillah (ikhlas karena Allah), kemudian amalan tersebut nampak di hadapan manusia lalu ia pun takjub, maka seperti itu tidak dianggap riya’.”

Di antara tanda orang yang riya’ dalam shalatnya adalah:

  1. Seringnya mengakhirkan waktu shalat tanpa ada udzur
  2. Melaksanakan ibadah dengan malas-malasan.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisa’: 142). (Lihat bahasan Ta’thirul Anfas, hal. 533)

Celakalah Al Maa’uun

Ayat terakhir,

وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.

Jika lihat dari terjemahan Al Qur’an, al maa’uun diterjemahkan dengan orang yang enggan menolong dengan barang berguna. Namun memang, para ulama tafsir berbeda pendapat dalam mendefinisikan al maa’uun. Sebagian berkata bahwa al maa’uun bermakna orang yang enggan bayar zakat. Yang lain lagi mengatakan bahwa maksud al maa’uun adalah orang yang enggan taat. Yang lainnya lagi berkata sebagaimana yang kami maksudkan yaitu “يمنعون العارية”, mereka yang enggan meminjamkan barang kepada orang lain (di saat saudaranya butuh). Tafsiran terakhir ini sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Tholib, yaitu jika ada yang ingin meminjam timba, periuk atau kampaknya, maka ia enggan meminjamkannya.

Intinya, seluruh tafsiran di atas tepat. Semuanya kembali pada satu makna, yaitu al maa’uun adalah enggan menolong orang lain dengan harta atau sesuatu yang bermanfaat. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 473).

Dalam sunan Abu Daud disebutkan riwayat dari ‘Abdullah, ia berkata,

كُنَّا نَعُدُّ الْمَاعُونَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَارِيَةَ الدَّلْوِ وَالْقِدْرِ.

Kami menganggap al maa’uun di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang berkaitan dengan ‘aariyah (yaitu barang yang dipinjam) berupa timba atau periuk.” (HR. Abu Daud no. 1657, hasan kata Syaikh Al Albani)

Padahal memberikan pinjaman pada orang lain bisa jadi dengan harta, bisa jadi dengan memberikan kemanfaatan dan ini semua termasuk sedekah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ

Setiap kebaikan (perbuatan ma’ruf) adalah sedekah”(HR. Bukhari no. 6021).

Semoga kita bisa semakin merenungkan ayat-ayat ini dan membuat kita lebih mengasihi orang yang membutuhkan dan dalam keadaan sengsara.

Wallahul muwaffiq.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/11213-sayangilah-anak-yatim-dan-orang-miskin.html

Hukum Adopsi Anak dalam Islam (Bag. 1)

Sebagian pasangan suami istri, terutama ketika tidak memiliki keturunan, mereka akan mengambil anak untuk diadopsi. Anak tersebut akan diakui (diklaim) sebagai anaknya, dan sebaliknya, sang anak pun akan mengakui pasangan suami istri tersebut sebagai ayah atau ibunya. Lebih jauh dari itu, bisa jadi suami istri tersebut kemudian membuatkan akta kelahiran bagi sang anak hasil adopsi, dan dicatatkan bahwa anak hasil adopsi tersebut adalah anak kandungnya. Kemudian anak adopsi tersebut dianggap setara dengan anak kandung dari sisi mahram [1] ataupun hak mendapatkan warisan.

Adopsi Anak Budaya Jahiliyyah?

Adopsi anak termasuk di antara adat atau tradisi jahiliyah. Orang-orang jahiliyah dahulu biasa mengadopsi anak, kemudian anak angkat tersebut dianggap sebagaimana anak kandung. Anak angkat tersebut dinasabkan (di-“bin”-kan) kepada bapak angkatnya, tidak dinasabkan kepada bapak kandungnya. Juga dianggap sebagai mahramnya. Misalnya, istri dari anak angkatnya itu tidak boleh dinikahi oleh ayah angkatnya. Dalam masalah warisan, anak angkat juga berhak mendapatkan warisan. 

Inilah di antara tradisi jahiliyah. Ketika mereka melihat ada seorang anak yang secara fisik membuat mereka tertarik, mereka pun mengklaimnya sebagai anak dan dinasabkan kepada mereka (bapak angkat). Tradisi ini pun pernah dijalani oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya setelah beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya dari perbudakan. Setelah diangkat sebagai anak, Zaid pun menyebut dirinya dengan “Zaid bin Muhammad”.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid berkata,

لقد كانوا -أيها الإخوة- يدعون الإنسان لمن تبناه، فيأتي إنسان يتبنى شخصاً له أب معروف، فيلغي اسم أبيه، وينسبه إلى نفسه، أو له أب غير معروف فيعطيه اسماً يضيفه إليه، وينسبه إلى نفسه

“Wahai saudaraku, sungguh mereka dahulu memanggil seseorang dengan nama ayah angkatnya. Ada seseorang yang mengangkat orang lain sebagai anak angkatnya, anak itu memiliki ayah kandung yang sudah dikenal. Kemudian (setelah dijadikan sebagai anak angkat), dia tutupi (hilangkan) nama ayah kandungnya, dan dia nasabkan kepada dirinya sendiri. Atau anak itu tidak diketahui siapa ayah kandungnya, kemudian dia beri nama yang dia sandarkan kepada dirinya dan dia nasabkan kepada dirinya.” (Duruus li Syaikh Muhammad Al-Munajjid, 3: 184 [Maktabah Syamilah])

Islam Berlepas Diri dari Tradisi Jahiliyyah

Tradisi jahiliyah itu pun kemudian dihapus dalam syariat Islam. Berikut penjelasan dari Al Qur’an dan Sunnah:

Menasabkan Anak Angkat pada Bapak Angkat

Allah Ta’ala dengan menurunkan ayat,

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ؛ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا 

“Dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (hamba sahayamu). Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab [33]: 4-5)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala melarang seorang anak angkat dipanggil (dinasabkan) kepada ayah angkat mereka. Dan sungguh karena keimanan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan setelah turunnya ayat ini, “Saya (bernama) Zaid bin Haritsah.” Beliau radhiyallahu ‘anhu tidak lagi menyebut dirinya dengan Zaid bin Muhammad. Hal ini menunjukkan tingginya iman para sahabat, sehingga mudah bagi mereka untuk bersegera melaksanakan perintah Allah Ta’ala.

‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ، مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا كُنَّا نَدْعُوهُ إِلَّا زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ القُرْآنُ، {ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ}

“Sesungguhnya Zaid bin Haritsah, budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dulu, tidaklah kami memanggilnya kecuali dengan nama Zaid bin Muhammad, sampai turun Al-Qur’an (yang artinya), “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 5).” (HR. Bukhari no. 4782)

Menikahi Mantan Istri dari Anak Angkat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab, setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah

Menegaskan dihapusnya tradisi jahiliyah tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menikahi Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah mantan istri Zaid bin Haritsah. Di masa jahiliyah, menikahi mantan istri anak angkat adalah hal yang tabu (terlarang), karena sekali lagi, anak angkat dianggap sebagai anak kandung sendiri. 

Kisah menikahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab ini tercantum dalam firman Allah Ta’ala,

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

“Maka tatkala Zaid [2] telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia (Zainab), supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri dari anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab [33]: 37) [3]

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid berkata,

وتزوج النبي صلى الله عليه وسلم زينب زوجة زيد ، وكان من أكبر العيوب في الجاهلية، أن يتزوج الإنسان زوجة ابنه بالتبني، فكان تحطيمها بتزويج زينب للنبي عليه الصلاة والسلام، لإزالة تلك العادة الجاهلية، ونسخ ذلك

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab, (mantan) istri Zaid (bin Haritsah). Pernikahan semacam itu termasuk aib besar dalam tradisi jahiliyyah, yaitu seseorang menikahi istri dari anak angkatnya. Beliau menghapus tradisi itu dengan menikahi Zainab, untuk menghilangkan adat kebiasaan jahiliyah tersebut dan menghapusnya.” (Duruus li Syaikh Muhammad Al-Munajjid, 3: 184 [Maktabah Syamilah])

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52453-hukum-adopsi-anak-dalam-islam-bag-1.html

Benarkah Jin Bisa Menutup Jodoh dan Rezeki Orang?

BEBERAPA kali saya mendapati pertanyaan tentang hal ini yakni klaim sebagian orang bahwa mereka mampu melakukan hal yang sangat luar biasa yakni menutup jodoh dan rezeki orang lain.

Atau pernyataan sebagian orang bahwa jin telah menutup jodoh dan rezeki seseorang. Klaim ini terdengar sangat menakutkan terutama bagi orang-orang yang kebetulan sedang mengalami kesulitan rezeki, terlilit utang atau mereka yang kebetulan belum bertemu dengan jodohnya padahal usia telah beranjak semakin tua.

Sedemikian luar biasanya kah kemampuan jin dan dukun itu hingga mampu mencegah datangnya rezeki dan jodoh padahal keduanya adalah takdir alias wilayah kekuasaan Allah. Mungkinkah jin dan dukun itu mengintervensi kekuasaan Allah swt ? Disinilah pemahaman dan akidah kita dipertaruhkan.

Baiklah, mari kita lihat penjelasan Alquran tentang fenomena mencegah atau menutup rezeki, dan jodoh.

QS. Al Mulk : 21 “Atau siapakah yang dapat memberimu rezeki jika Dia menahan rezeki-Nya? bahkan mereka terus menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri dari (kebenaran).

QS. Al Fajr : 16 “Namun apabila Tuhan mengujinya dan membatasi rezekinya, maka dia berkata, Tuhanku telah menghinakanku.

QS An Naba : 8 “Dan kami menciptakan kamu berpasang-pasangan.

Jika kita renungkan 3 ayat di atas, maka akan terlihat dengan sangat jelas bahwa rezeki dan jodoh adalah wilayah kekuasaan Allah SWT, Dia-lah yang memiliki rezeki, Dia yang membagikannya dan Dia pulalah yang berkuasa menahan atau membatasinya. Demikian juga dengan jodoh adalah kekuasaan-Nya. Keduanya mutlak milik-Nya tanpa ada yang dapat mengintervensi. Tiga ayat di atas sangat gamblang bagi kita.

Fenomena terhalanginya rezeki memang benar adanya dan terlihat dari ayat di atas, tetapi yang mampu melakukannya adalah Allah SWT, sang Pemilik rezeki, bukan jin apalagi dukun. Ayat-ayat tersebut sangat jelas menyebutkan siapa penguasa rezeki dan jodoh itu. Kemampuan dukun dan jin untuk menutup rezeki tidak pernah disinggung dalam ayat itu atau ayat ayat lain. Karena memang mereka tidak pernah mampu melakukannya.

Terhalangnya rezeki, benar adanya dan dijelaskan dalam ayat di atas. Pertanyaannya, mengapa Allah menutup, menghalangi atau membatasi rezeki kita?

QS Nuh : 10-12″Maka aku berkata kepada mereka, “mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sungguh, Dia Maha Pengampun.” “Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu” “Dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.”

Ayat di atas menjawab pertanyaan kita mengapa jodoh dan rizki kita terhalang. Ayat tersebut menjelaskan hikmah istighfar dan memohon ampun yakni dapat mendatangkan hujan, mendatangkan rezeki, memiliki keturunan, menyuburkan lahan. Intinya adalah kemudahan dan jalan keluar atas permasalahan hidup kita terselesaikan dengan istigfar dan tobat kita.

Jika pemahaman ini kita balik maka sebenarnya yang menyebabkan rezeki kita terhalang, munculnya kesulitan hidup adalah karena dosa dan kesalahan kita kepada Allah SWT. Jika kita membaca keseluruhan ayat dalam Surat Nuh mulai ayat 1, maka kita akan mendapati bahwa perintah istigfar tersebut karena adanya dosa dan kedurhakaan yang dilakukan oleh umat Nabi NUH as.

Silahkan anda buka kitab kitab para ulama tentang hikmah tobat dan istigfar, maka kita akan menemukan hikmah yang kurang lebih akan senada dengan surat Nuh di atas.

Inilah penghalang rezeki yang hakiki. Karena dosa kitalah, yang membuat Pemilik rezeki menahan rezeki-Nya.

Lalu bagaimana penjelasan terhadap anggapan bahwa jin dapat menghalangi jodoh dan rezeki kita?

Anda mungkin akan mengernyitkan dahi membaca penjelasan saya setelah ini, atau bahkan tertawa. Iya, karena memang diluar dugaan kita..inilah yang sebenarnya dilakukan oleh jin itu. Jin itu tidak sedramatis yang kita bayangkan.

1. Menghalangi jodoh

Sebenarnya yang dilakukan jin pada dua orang laki-laki dan wanita yang akan menikah atau sedang taaruf adalah seperti ketika anda sedang dimintai pendapat teman anda tentang wanita yang ingin dinikahinya atau ingin didekatinya. Apakah anda bisa membayangkannya?

Ok contoh riil begini. Teman wanita anda sedang minta pendapat anda tentang seorang laki-laki yang akan meminangnya. Padahal anda menyukai wanita itu, dan anda tidak termasuk orang yang jujur. Kira-kira apa yang akan anda katakan ? Saya yakin anda akan mengatakan pada wanita itu bahwa lelaki yang akan meminangnya bukanlah jodoh yang tepat, bahkan bila perlu anda akan menjelek-jelekkannya. Intinya agar wanita itu semakin ragu dan mengurungkan niatnya.

Jika anda kebetulan mengenal si laki-laki maka mungkin anda akan mendatangi rumah si laki-laki itu dan berusaha untuk membuat laki-laki tersebut membatalkan pinanganya, dengan cara menyampaikan berita bohong dan keragu-raguan. Targetnya sama yakni si laki-laki itu mengurungkan niatnya.Nah, pahamkah anda sekarang?Jadi, sebenarnya persis seperti itulah yang dilakukan jin untuk menghalangi perjodohan.

Jika gangguan jin terjadi pada salah satu, yaitu si lelaki atau wanitanya saja maka jin itu akan berupaya membuat ragu agar pernikahan tidak terjadi, mungkin membuatnya selalu bimbang, membuatnya sulit memahami orang lain hingga sulit berteman, sulit bergaul, lebih nyaman berteman dengan sesama jenis, atau membuatnya tiba-tiba membenci laki-laki yang berusaha mendekatinya.

Jika gangguan jin terjadi pada kedua orang tersebut sekaligus maka jin itu tidak hanya membisikkan keraguan tetapi jin itu bisa menampakan diri dalam wajah si laki-laki atau si perempuan sehingga ketika mereka bertemu wajah seolah berubah. Jika jin berulah di tubuh si perempuan maka mungkin si laki-laki akan melihat wajah wanita tersebut aneh atau menakutkan, atau mengeluarkan bau tidak sedap, atau bahkan jin si perempuan itu akan datang dalam mimpi si laki-laki dan jin itu mengancam jika sampai pernikahan terjadi.

Jika si laki-laki termasuk orang yang baik dan tidak ada gangguan jin dalam tubuhnya maka laki-laki itu tidak akan melihat penampakan wajah yang dilakukan oleh jin yang ada dalam tubuh wanita itu.

Saya pernah menemui seorang wanita yang salah satu keluhannya adalah wajahnya terlihat tua oleh sebagian orang. Tetapi selama proses ruqyah saya tidak melihat wajah tua itu, wajahnya terlihat biasa saja. demikian pula dengan orang-orang yang hadir di dalam ruqyah itu, mereka tidak melihatnya.

Dari kejadian itu saya mengambil kesimpulan bahwa jin lebih mudah berulah pada orang yang sudah ada jin dalam tubuhnya. Oleha karena itu, jika anda seorang wanita yang sedang mengalami gangguan jin, dan suatu saat ada seorang laki-laki ingin melamar anda, tiba tiba dia mengurungkan niat karena melihat wajah anda aneh, atau tiba-tiba ia membenci anda maka bersyukurlah. Karena laki-laki tersebut termasuk mudah dikerjai oleh jin dan kemungkinan besar dalam tubuhnya juga sedang terdapat jin.

Jika kita perhatikan penjelasan diatas maka sebenarnya yang dilakukan oleh jin itu tidak lebih canggih dari yang kita lakukan untuk menggagalkan niat seseorang. Jin itu sama sekali tidak bisa mencegah takdir. Jin itu hanya berupaya agar tubuh yang ditempatinya selalu ragu, tidak mantap, membenci setiap lawan jenis yang berusaha mendekatinya, membuatnya mudah salah paham dengan lawan jenis hingga tidak bisa berteman dengan lawan jenis. Atau dia berusaha menampakan diri pada orang yang berusaha mendekati tubuh yang ditempatinya. Terutama jika orang yang ditampaki tersebut sedang mengalami gangguan jin pula. Karena jin jauh lebih mudah menampakkan diri pada orang yang ada gangguan jin dalam tubuhnya.

Namun jika wanita atau laki-laki itu berpegang teguh pada syariat, mengikuti pendapat hasil musyawarah, mengikuti orang tua dan istikhoroh maka pernikahan tetap bisa terjadi walaupun bujukan jin itu tetap ada. Jadi jin itu hanya membisikan sedangkan keputusan ada ditangan wanita atau lelaki itu. Jika pemahamannya kuat, maka dia akan mengabaikan bisikan itu.

Misalnya, bisikan jin dalam batinnya mengatakan batalkan pernikahan, tiba-tiba membenci si pelamar bahkan dia melihat wajah lelaki itu menakutkan. Tetapi semua orang mengatakan bahwa lelaki itu sholih, nasabnya baik, orang tua juga berpendapat baik, musyawarah keluarga mengatakan laki-laki itu baik, semua teman mengatakan lelaki itu baik. Maka jika wanita itu berpegang teguh pada syariat yakni mengikuti hasil musyawarah, maka dia tetap akan menerima lelaki itu menjadi suaminya walaupun bisikan jin itu ingin menggagalkan dan walaupun wajah lelaki itu nampak buruk. Musyawarah adalah bagian dari syariat dan dapat menjadi hujjah/dasar perbuatan sedangkan perasaan tidak dapat menjadi dasar perbuatan. Tentu dengan catatan bahwa musyawarah tersebut dilakukan dengan ikhlas, memohon pertolongan Allah, jernih, obyektif dan dengan data informasi yang lengkap dan valid.

Jadi kemampuan jin itu hanyalah sebatas memberikan keraguan dalam batin kita sebagaimana bujuk rayu seseorang pada diri kita, dia tidak pernah mampu menghalangi jodoh kita dalam arti sebenarnya. Karena jodoh adalah ketetapan dan kekuasaan Allah SWT.

2. Menghalangi rezeki

Jika kita memahami pembahasan diatas maka kita akan memahami cara kerja jin untuk menghalangi rezeki kita. Cara kerjanya sama seperti menghalangi jodoh.

Jin itu berupaya membisikkan keraguan, kebimbangan dalam melangkah dan memulai usaha, sulit untuk berpikir jernih dalam mencari rezeki, ada dorongan sangat kuat untuk mencari rizki dari kerja yang haram, sulit bergaul, sulit konsentrasi, mudah putus asa, fisik lemah, mudah salah paham, mendorong agar tidak amanah, dan lain-lain. Intinya jin itu berupaya agar kita lemah dalam berikhtiar mencari rezeki.

Jadi itulah ulah yang dilakukan jin, sungguh mereka tidak pernah bisa menghalangi rezeki kita dalam arti sebenarnya. Karena rezeki ada dalam kekuasaan-Nya. Maka jika kita sedang menghadapi kesulitan, sebenarnya bukanlah ulah jin tetapi mungkin karena ada dosa dan kedurhakaan kita kepada sang Pemilik Rizki baik dosa yang kita sadari maupun tidak kita sadari. Langkah terbaik adalah memperbanyak taubat dan istighfar bukan melakukan ritual tolak bala, ritual membuang sial, ruwatan atau menggunakan jimat keberuntungan. [konsultasiruqyah]

INILAH MOZAIK