Ensiklopedi Hukum Islam: Ittiba’ (Mengikuti)

Definisi Ittiba’ (mengikuti):
Dari segi bahasa, ittiba’ berarti berjalan di belakang orang lain, mengikuti perkataan dan perbuatan orang lain, atau tuntutan untuk mengikuti orang lain.

Dalam segi istilah, ittiba’ berarti kembali kepada kata-kata yang telah terbukti menjadi hujjah (argumen), sebagaimana ditetapkan para ulama bahasa (linguistik) dalam beberapa bab dan telah menjadi suatu ketetapan.

Kata-kata yang relevan:

Kata yang serupa dengan ittiba’ adalah taklid (tradisi). Taklid adalah adalah melakukan suatu perbuatan berdasarkan perkataan orang lain tanpa argumen (hujjah)

Dalam perbuatan, taklid adalah melakukan sesuatu sebagaimana yang digambarkan dalam sebuah resep (dokter atau lainnya). Dalam perkataan, taklid adalah memenuhi kehendak orang yang menuntut dilakukannya suatu perbuatan.

Kata lain yang sama dengan ittiba’ adalah iftida’ (meniru). Iftida’ adalah mengikuti jejak seseorang. Ia melakukan suatu perbuatan sebagaimana yang dicontohkan orang lain.

Selain itu, kata yang sama maknanya dengan ittiba’ adalah qudwah (teladan). Qudwah adalah asal (pokok) yang menciptakan sejumlah cabang.

Hukum umum:

Terdapat perbedaan hukum dalam taklif (pembebanan) ittiba’. Kadangkala ia menjadi wajib, jika itu menyangkut ketaatan kepada Allah SWT, menegakkan syariat-Nya, dan mengikuti sunnah Rasulullah Saw dalam urusan agama. Tidak ada perbedaan dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan ini bagi seluruh umat.

Adapun perbuatan-perbuatan Nabi Saw yang dilakukan berdasarkan tabiat (watak) beliau, maka para ulama sepakat bahwa hukum mengikutinya adalah mubah (boleh). Sedangkan apa yang dijelaskan Rasulullah dan menjadi hukum (yang tegas), jika itu wajib maka hukumnya wajib, jika itu anjuran maka hukumnya anjuran (sunnah).

Adapun jika hukum perbuatan Rasulullah tersebut tidak diketahui, maka jika ia mendekati kesengajaan, maka hukumnya bersifat anjuran. Dan jika tidak, maka hukum ittiba’ perbuatan itu ada beberapa pendapat: Mazhab Maliki mengatakan wajib, Syafi’i mengatakan anjuran (sunnah), sedangkan kebanyakan pengikut mazhab Hanafi mengatakan mubah (boleh).

Demikian pula, wajib ittiba’ pada penguasa atau para pemimpin. Dan tidak ada perselisihan (ikhtilaf) dalam menaati mereka, selama mereka tidak bermaksiat kepada Allah. Demikian pula, seorang makmum wajib mengikuti (ittiba’) imam dalam shalat. Ittiba’ kadang menjadi sunnah (anjuran), seperti dalam kasus mengantarkan jenazah. Namun ittiba’ bisa juga menjadi haram, seperti mengikuti hawa nafsu.

KHAZANAH REPUBLIKA

Memilih Ittiba’ atau Taklid?

Syariat Islam yang telah diturunkan Allah SWT melalui nabinya sudah sempurna seutuhnya. Umat Islam tidak diperkenankan lagi membuat-buat syariat baru (bid’ah). Membuat bid’ah sama artinya meragukan kesempurnaan Islam dari Allah sehingga butuh penambahan atau penyempurnaan dari manusia.

Umat Islam hanya diperbolehkan mengikut aturan-aturan syariat yang telah ada. Syariat Islam yang sudah sempurna tersebut sudah cukup sebagai sumber hukum dan aturan bagi seluruh aspek kehidupan manusia. Namun, dalam mengikuti syariat tersebut juga dipahami dengan cerdas.

Dalam mengikuti syariat, ada dua kelompok yang dikenal, yaitu taklid dan ittiba’. Secara bahasa, taklid diambil dari kata-kata qiladah (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain.

Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaklid dengan taklidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid. Demikian seperti diterangkan Syekh Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya,  Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Turath wa al-Tamazhub wa al-Ikhtilaf.

Jadi, taklid artinya mengikut tanpa alasan atau meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memegang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.

Mengenai hukum taklid ini, Khairul Umam dan A Achyar Aminudin dalam buku Ushul Fiqih II membaginya kepada dua macam, yaitu taklid yang diperbolehkan dan taklid yang dilarang atau haram.

Khairul Umam menerangkan, hukum taklid bisa dipandang mubah (boleh) bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Pendapat ini juga diamini oleh Imam Hasan al-Banna yang membolehkan taklid bagi orang awam.

Namun, hukum taklid yang mubah tidak berlaku bagi Muslim yang sampai pada tingkatan an-nazhr atau memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Jadi, hanya diperuntukkan bagi mereka yang awam sekali yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari Alquran dan sunah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.

Taklid buta diharamkan dalam syariat, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlak dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran Alquran dan hadis. Terkadang, orang taklid buta tidak memperhatikan lagi apa yang diikutinya walau sudah bertentangan dengan Alquran dan hadis.

Hal ini serupa dengan Firman Allah SWT, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS al-Baqarah [2]: 170).

Para ulama mensyaratkan, orang awam yang ingin bertaklid kepada suatu pendapat harus melihat betul pendapat siapa yang akan ia ikuti. Taklid hanya dibolehkan kepada para mujtahid yang benar-benar mengerti hukum-hukum Islam. Demikian juga perkara yang boleh ditaklidi hanya hal-hal yang berhubungan dengan syara (hukum). Adapun dalam hukum akal tidak boleh bertaklid kepada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.

Adapun ittiba‘ pada dasarnya sama dengan taklid karena sama-sama mengikut. Menurut Nazar Bakry dalam bukunya Fiqh dan Ushul Fiqhittiba‘ adalah menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu Alquran maupun hadis yang dapat dijadikan hujah.

Definisi ini sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan, ittiba’ berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.

Di sinilah perbedaan antara taklid dengan ittiba’. Ittiba’ mengikuti dengan ilmu, sedangkan taklid mengikuti tanpa ilmu. Dede Rosyada dalam buku Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis menyimpulkan, dalam taklid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba’ ada unsur kreativitas. Kreativitas yang dimaksudkan adalah studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.

Ittiba‘ didapatkan dengan mengkaji nas-nas kemudian meng-istinbat-kan hukum darinya. seorang tabi’ (orang yang ber-ittiba‘) dapat mengemukakan dalil beserta hujah (alasan) mengapa ia memilih pendapat tersebut. Inilah yang diajarkan dalam Islam agar umatnya mengikuti suatu pendapat dengan mempunyai argumentasi-argumentasi. Islam mencela orang yang sanggup ber-ittiba‘ namun memilih untuk taklid. Orang seperti ini adalah orang pemalas yang tak mau mengkaji agamanya.

Allah SWT berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS an-Nahl[16]: 43). 

REPUBLIKA

Tempat-Tempat Wajib dalam Ibadah Haji

Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dikerjakan bagi setiap muslim yang mampu dan telah memenuhi syarat. Pada 2019 ini, Indonesia mendapatkan kuota sebanyak 231 ribu jemaah. Rinciannya adalah haji reguler 214 ribu dan haji khusus 17 ribu.

Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada 8 Zulhijah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Zulhijah.

Pemerintah Arab Saudi, Jumat (2/8), menetapkan pelaksanaan wukuf di Arafah akan dilaksanakan pada 10 Agustus 2019, waktu setempat.  Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara’, haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Dalam definisi tersebut, selain Kakbah dan Mas’a (tempat sai), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. 

Berikut tempat-tempat yang diwajibkan dalam proses ibadah haji, seperti dikutip dari berbagai sumber.

Makkah Al Mukaromah 

Makkah. Sumber: Fahmina Institute

Di kota inilah berdiri pusat ibadah umat Islam sedunia, Kakbah, yang berada di pusat Masjidil Haram. Dalam ritual haji, Mekkah menjadi tempat pembuka dan penutup ibadah ini ketika jemaah diwajibkan melaksanakan niat dan tawaf haji.

Arafah 

Arafah. Sumber: Dream

Kota di sebelah timur Mekkah ini juga dikenal sebagai tempat pusatnya haji. Yakni tempat wukuf yang dilaksanakan pada 9 Zulhijah tiap tahunnya.

Daerah berbentuk padang luas ini adalah tempat berkumpulnya sekitar dua juta jemaah haji dari seluruh dunia dan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di luar musim haji, daerah ini tidak dipakai.

Muzdalifah

Muzdalifah. Sumber: Islamic Landmarks

Tempat di dekat Mina dan Arafah  ini dikenal sebagai tempat jemaah haji melakukan Mabit (bermalam) dan mengumpulkan bebatuan untuk melaksanakan ibadah jumrah di Mina.

Mina 

Mina. Sumber: TSN World

Tempat berdirinya tugu jumrah, yaitu tempat pelaksanaan kegiatan melontarkan batu ke tugu jumrah sebagai simbolisasi tindakan nabi Ibrahim ketika mengusir setan. Di masing-maising tempat itu berdiri tugu yang digunakan untuk pelaksanaan: Jumrah Aqabah, Jumrah Ula, dan Jumrah Wustha. Di tempat ini jemaah juga diwajibkan untuk menginap selama satu malam.

Madinah

Adalah kota suci kedua umat Islam. Di tempat inilah panutan umat Islam, Nabi Muhammad dimakamkan di Masjid Nabawi. 

Madinah. Sumber: Medium

Tempat ini sebenarnya tidak masuk ke dalam ritual ibadah haji, namun jemaah haji dari seluruh dunia biasanya menyempatkan diri berkunjung Madinah, untuk berziarah dan melaksanakan salat di Masjid An-Nabawi.

Haji Arbain 

Haji Arbain (artinya “empat puluh”) adalah ibadah haji yang disertai dengan salat fardu sebanyak 40 kali di Masjid An-Nabawi Madinah tanpa terputus. Ibadah ini sering dikerjakan oleh jemaah haji dari Indonesia. 

Arbain. Sumber: Tribun

Dalam pelaksanaannya, mereka setidak tinggal di Madinah saat haji selama delapan atau sembilan hari. Dengan perhitungan sehari salat wajib lima kali. Dengan demikian, selama delapan atau sembilan hari akan tercukupi jumlah 40 kali salat wajib tanpa terputus.

Dengan mengenali tempat-tempat utama dalam pelaksanaan ibadah haji, moga-moga para jemaah makin semangat dalam menjalankan rukun kelima di Tanah Suci. 

Selamat menunaikan ibadah haji, semoga menjadi Haji Mabrur. 

IHRAM REPUBLIKA

Keutamaan Shaf Pertama

Alhamdulillah, segala puji hanya tertuju kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang telah memberikan berbagai keutamaan di dalam shalat berjamaah bagi seorang muslim. Di antaranya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Ganjaran 27 Kali Lipat

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Shalat berjama’ah (di masjid) lebih utama 27 derajat dibanding shalat sendirian (di rumah)” (HR. Bukhari no. 609)

Anggaplah ada orang yang akan memberi Anda Rp 1.000.000 jika shalat di rumah, dan Rp 27.000.000 dengan syarat Anda mau pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Hal apakah yang pertama kali Anda lakukan? Berangkat ke masjid? Jelas. Namun kira-kira, Anda akan berangkat dengan bersegera, atau dengan santai, menunggu sampai iqamat dikumandangkan (sebagaimana kebiasaan sebagian besar kaum muslimin, Allahul musta’an!). Ini baru permisalan dunia, belum ganjaran akhirat yang tentunya jauh lebih besar daripada itu. Sedangkan Allah sungguh telah memperingatkan, tentang apa yang akan kita bawa esok di hari akhir.

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ()وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Wahai orang-orang yang ber­iman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah se­tiap diri merenungkan, apalah yang telah diper­buatnya untuk hari esok (yaitu hari akhir). Dan bertakwalah kepada Allah! Sesung­guhnya Allah Maha Menge­tahui apapun yang kamu kerjakan. Dan janganlah keadaan kamu seperti orang-orang yang me­lupakan Allah, lalu Allah pun membuatnya lupa kepada dirinya sendiri; itulah orang-orang yang fasik.” (Al Hasyr : 18-19)

Kebiasaan Nabi Ketika Mendengar Adzan

Itulah sikap yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam contohkan. Apapun kesibukan beliau, ketika adzan telah berkumandang, maka beliau bergegas menuju masjid dan shalat berjamaah dengan kaum muslimin. Perhatikan kesaksian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang beliau,

كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا سَمِعَ الْأَذَانَ خَرَجَ

Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa membantu pekerjaan istrinya, dan jika beliau mendengar adzan, beliau segera keluar (untuk pergi menuju masjid)” (HR. Bukhari 4944)

Kesibukan yang mulia, yaitu membantu pekerjaan istri beliau. Akan tetapi ketika adzan, beliau langsung bergegas menuju masjid. Apatah lagi dengan kita yang hanya disibukkan dengan perkara duniawi, terkadang bercanda, menonton televisi, bola, namun ketika adzan sungguh panggilan itu kita abaikan.Nas’alullaha salamah wal ‘afiyah!

Andai Shaf Awal Harus Diundi, Sungguh Akan Diundi!

Maka bersegeralah menuju masjid, dan carilah shaf pertama. Sungguh, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا

Seandainya manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari 580).

Allah dan Para Malaikat Bershalawat Kepada Orang-Orang Di Shaf Awal(!)

Dan tidakkah Anda ingin shalat bersama dengan para malaikat?! Diriwayatkan dari Al Barra’ bin ‘Adzib bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“إن الله وملائكته يصلون على الصف المقدم، والمؤذن يغفر له مدى صوته ويصدقه من سمعه من رطب ويابس وله مثل أجر من صلى معه”

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang di shaf awal, dan muadzin itu akan diampuni dosanya sepanjang radius suaranya, dan dia akan dibenarkan oleh segala sesuatu yang mendengarkannya, baik benda basah maupun benda kering, dan dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang shalat bersamanya” (HR. Ahmad dan An Nasa’i dengan sanad yang jayyid)

Dalam hadits lain dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Aku mendengar Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن الله وملائكته يصلون على الصف الأول أو الصفوف الأول

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang di shaf pertama, atau di beberapa shaf yang awal” (HR. Ahmad dengan sanad yang jayyid, diperoleh dari fatwa Syaikh Sulaiman Al Majid di http://www.salmajed.com/node/6237)

Ancaman Bagi Mereka yang Mengakhirkan Berangkat Jama’ah

Maka, wahai saudaraku seiman, bergegaslah menuju masjid jika adzan telah dikumandangkan. Segera tinggalkan segala keperluan duniawimu, segeralah mengambil air wudhu’, sebab Allah dan Rasul-nya telah mengancam dengan tegas lewat sabda Nabi-Nya.

Dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat diantara shahabat ada yang mengakhirkan berangkat ke masjid, maka beliau bersabda :

  لا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمْ اللَّهُ

Tidaklah suatu kaum mengakhirkan (yaitu menuju masjid) hingga Allah akan mengakhirkan mereka

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

وعلى هذا فيخشى على الإنسان إذا عود نفسه التأخر في العبادة أن يبتلى بأن يؤخره الله عز وجل في جميع مواطن الخير اهـ

“Oleh karena itu hendaklah orang-orang merasa takut apabila mereka mengakhirkan suatu ibadah, mereka akan diuji dalam bentuk Allah ‘azza wa jalla akhirkan dalam segala bentuk kebaikan” (Ikhtishar Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 13/54)

Sebagai penutup, hendaklah kita selalu mengingat firman Allah Ta’ala,

 سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاء وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

“Berlomba-lombalah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Hadiid : 21)

(diringkas dari khutbah Dr ‘Isham bin Hasyim Al Jufri di http://www.saaid.net/Doat/aljefri/153.htm).

Tambahan : Bagaimana Jika di Masjid Hanya Ada Satu Shaf Saja?

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mendefinisikan apa yang dimaksud dengan shaf awal, ketika beliau ditanya hal serupa.

 والصف الأول : المراد به ما يلي الإمام مطلقا ، سواء تخلله شيء كمقصورة أو لا . وقيل : هو أول صف تام يلي الإمام ، وقيل : المراد به من سبق إلى الصلاة ولو صلى آخر الصفوف .

قال النووي رحمه الله : ” القول الأول هو الصحيح المختار ، وبه صرح المحققون ، والقولان الآخران غلط صريح ” انتهى نقلا عن “فتح الباري” (2/244) .

ولا فرق بين أن يكون في المسجد صف واحد أو صفوف ، فما يلي الإمام هو الصف الأول ، الموعود أهله بذلك الفضل ، إن شاء الله ، لعموم الأحاديث .

والله أعلم

“Yang dimaksud dengan shaf awal ialah shaf yang berada pertama di belakang imam, sama saja apakah itu untuk masjid besar maupun kecil. Pendapat lain mengatakan : satu shaf penuh yang berada di belakang imam. Pendapat lain : siapa saja yang lebih dulu berada di masjid meskipun ia di akhir shaf.

An Nawawi rahimahullah berkata : ‘Pendapat pertamalah yang shahih dan kami pilih, dan dua pendapat terakhir telah jelas tidak tepat. -sekian perkataan beliau dalam Fathul Bari 2/244-

Sehingga tidak ada perbedaan antara masjid yang shafnya hanya satu saja, atau yang shafnya banyak (yaitu jamaah shalatnya hingga bershaf-shaf -pent).Siapa saja yang berada di barisan tepat di belakang imam, itulah shaf awal, dan itulah yang dijanjikan keutamaan, insya Allah, berdasarkan keumuman hadits. Wallahu a’lam.” (sumber: http://www.islamqa.com/ar/ref/67797)

Penulis: Yhouga Pratama, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/7492-keutamaan-shaf-pertama.html

Hindari Mempersilahkan Orang Lain Mengisi Shaf Depan Dalam Shalat!

Maksudnya adalah hindari mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah. Sebagaimana kita ketahui bahwa shalat adalah ibadah dan shaf yang terdepan memiliki keutamaan, jadi sudah selayaknya kita berlomba-lomba mengisi shaf terdepan. Tidak mempersilahkan orang lain mengisi shaf terdepan, tetapi kitalah yang segera mengisi shaf tersebut.

Shaf depan memiliki keutamaan yang tinggi, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ تَعْلَمُونَ أَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لَكَانَتْ قُرْعَةً

Seandainya kalian atau mereka mengetahui keutamaan yang terdapat pada shaf yang terdepan, niscaya akan menjadi undian1.

Beliau juga bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ

Allah dan para malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf terdepan2.

Makruh mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah

Ini yang dikenal dengan kaidah yang dijelaskan ulama,

الإيثار في القرب مكروه وفي غيرها محبوب

“Mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah adalah makruh, sedangkan dalam masalah lainnya (masalah dunia) disukai”

Atau kadiah dengan redaksi ini,

القُرُبَاتُ لَيْسَتْ مَحَلاًّ لِلْإِيْثَارِ

“Tidak mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah”

Syaikh ‘Izziddin rahimahullah berkata,

لا إيثار في القربات فلا إيثار بماء الطهارة و لا بستر العورة و لا بالصف الأول لأن الغرض بالعبادات

“Tidak boleh mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah (iitsar), maka tidak boleh iitsar dalam menggunakan air untuk thaharah, menutup aurat dan menempati shaf terdepan karena tujuannya adalah ibadah.”3.

Contoh lainnya:

  • Jika ada air yang hanya cukup bagi dia untuk berwudhu, maka dia memakainya dan hendaknya tidak diberikan pada yang lainnya, yang lain silahkan bertayamum
  • Jika hanya ada kain untuk menutup aurat, maka dia yang memakainya, hendaknya jangan diberikan kepada yang lainnya.

Masalah dunia dianjurkan mendahulukan orang lain

Ini merupakan puncak akhlak seseorang, karena seseorang itu cenderung suka mementingkan diri sendiri baru orang lain. Allah Ta’ala memerintahkan agar kita meniru kaum Anshar yang mendahulukan kaum Muhajirin diatas kepentingan mereka walaupun mereka juga membutuhkan hal tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

 “Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri sangat membutuhkan/dalam kesusahan” (Al-Hasyr: 9).

Jika kita membaca bagaimana sejarah islam mengenai mendahulukan saudaranya. Maka ini ibarat dongeng yang mungkin kita katakan akan mustahil terjadi di zaman ini. Abdurrahman bin ‘Auf ketika beliau dipersaudarakan dengan penduduk Anshar yaitu Saad bin Rabi’ (ketika itu, untuk memperat hubungan antara Muhajirin dan Anshar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka satu dengan yang lain).

Saad bin Rabi’ dan penduduk Anshar lainnya paham benar bahwa kaum muhajirin meninggalkan harta dan keluarga mereka di Mekkah sehingga mereka tidak memiliki apa-apa ketika sampai di madinah dan juga mereka aslinya adalah para pedagang dan belum mempunyai ilmu bercocok tanam sebagaimana orang Madinah.

Sa’ad pun berkata kepada Abdurrahman, “Wahai saudaraku, sesungguhnya aku adalah di antara penduduk Madinah yang terkaya, aku memiliki dua kebun dan dua istri. Lihatlah salah satu dari dua kebun itu yang terbaik hingga akan aku berikan kepadamu dan lihatlah salah satu istriku yang engkau suka maka aku akan ceraikan dia lalu engkau bisa menikahinya”. Namun, Abdurrahman bin ‘Auf menjawab tawaran baik saudaranya, “Tidak, semoga Allah memberkahimu, harta, dan juga keluargamu. Tetapi tunjukkan saja aku di mana letak pasar kalian”. Lalu ditunjukkan kepada beliau, kemudian beliau bekerja dan berdagang, dan dapat mengais Rizki Allah yang melimpah.

Hikmah yang bisa diambil adalah Abdurrahman bin ‘Auf tidak “aji mumpung” dan “memanfatkan kesempatan. Beliau juga punya harga diri dan ingin makan dengan hasil jerih payah sendiri. Berikut kisah lanjutannya:

Tidak berselang lama, Abdurrahman bin ‘Auf telah meminang seorang wanita Anshar lalu menikahinya, kemudian beliau datang menemui Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam dengan wangi-wangian khas pengantin. Maka Rasulullah bertanya keheranan, “Ada apa ini?” Ia menjawab, “Aku baru saja menikahi wanita Anshar.” Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam bertanya lagi, “Berapa besar mahar yang engkau berikan?” Ia menjawab, “Seukuran satu nawat emas.” Lalu terucaplah dari bibir Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam sebuah sunnah dari ummat ini di hari yang paling bahagia, yang sunnah itu akan tetap hingga hari kiamat, “Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing”.

Kemudian kisah lain yang dinuikl oleh Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya, beliau berkata,

أن رجلا بات به ضيف فلم يكن عنده إلا قوته وقوت صبيانه، فقال لامرأته: نومي الصبية وأطفئي السراج وقربي للضيف ما عندك، فنزلت هذه الآية ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة

“Ada seorang yang kedatangan tamu yang hendak menginap, ia tidak mempunyai makanan kecuali makanan untuk anak-anaknya. Maka ia katakan kepada istrinya, “tidurkanlah anak-anak, matikan lampu dan sajikan makanan untuk tamu kita. Maka turunlah ayat “Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri sangat membutuhkan/dalam kesusahan.”4.

Dan masih banyak kisah lainnya yang sangat menyentuh hati dan menyindir kita. Kita yang sedang santai saja atau tidak membutuhkan serta tidak susah, sangat malas atau enggan membantu orang lain apalagi mendahulukan orang lain. Kita bisa lihat beberapa kenyataan di masyarakat kita, orang sudah mulai mementingkan diri sendiri. Rasa sosial itu sudah hampir punah. Misalnya:

  • Ada nenek tua atau orang cacat di bus atau kereta dibiarkan berdiri oleh orang sehat dan muda yang duduk
  • Ada yang kesusahan malah cuek dan tidak mau membantu
  • Ada orang atau bahkan tetangga yang sakit tidak mau menjenguk

Demikian semoga bermanfaat.

***

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27903-hindari-mempersilahkan-orang-lain-mengisi-shaf-depan-dalam-shalat.html

Siapakah yang Berhak Berdiri di Shaf Pertama?

عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم

يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ اسْتَوُوا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ لِيَلِنِى مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Dari Abu Mas’ud ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya mengusap pundak-pundak (untuk meluruskan) kami ketika hendak salat, beliau bersabda:

“Luruskan dan jangan berselisih niscaya hati kalian akan berselisih. Hendaklah yang berada di dekatku orang orang yang berilmu dan berakal kemudian setelahnya, kemudian setelahnya.” (HR Muslim).

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

“Hadis ini menunjukkan bahwa hendaknya yang didahulukan adalah orang-orang yang lebih utama (dalam ilmu dan takwa) lalu setelahnya.” (Syarah Shahih Muslim, 4/155).

Inilah yang diamalkan oleh para sahabat. Imam An-Nasai dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan, bahwa Abbad bin Qais berkata, “Aku pernah salat di saf pertama di Madinah. Tiba-tiba ada orang yang menarikku ke belakang lalu ia berdiri di tempatku.

Qais berkata, “Demi Allah aku tidak bisa memahami salatku (karena kesal)”.

Setelah selesai salat, ternyata ia adalah Ubayy bin Ka’ab. Ia berkata, “Hai pemuda, jangan menyusahkanmu. Sesungguhnya ini adalah perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kami agar berada di belakang imam.”

Cobalah renungkan dan bandingkan dengan di zaman ini..

Terkadang anak-anakpun berada di saf pertama..

Orang-orang yang tidak punya hafalan Al-Qur’an dan orang-orang yang notabene awampun berdiri di saf pertama..

Sementara para penghafal Al-Qur’an dan orang berilmu berdiri di belakang…

Ini perkara yang tak sesuai sunah tentunya

***

Penulis: Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/30825-siapakah-yang-berhak-berdiri-di-shaf-pertama.html

Meneladani Para Sahabat Nabi Dalam Meluruskan Shaf Shalat

Imam shalat hendaknya menaruh perhatian terhadap perkara meluruskan shaf shalat. Berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

استووا ولا تختلفوا فتختلف قلوبكم

Luruskanlah (shaff kalian) dan jangan bercerai-berai sehingga akan tercerai berai hati kalian” (HR. Muslim).

Syaikh Rabi ibn Hadi Al Madkhali hafizhahullah menjelaskan, “Shaf yang tidak lurus akan membawa pada tercerai berainya hati, hati yang tercerai berai membawa pada berbagai perkara serius, diantaranya perpecahan dalam aqidah dan manhaj, yang akan membawa pada permusuhan dan pertumpahan darah, sebagaimana telah banyak terjadi di zaman ini. Maka wajib bagi imam masjid untuk menaruh perhatian besar pada kelurusan shaf shalat, mengingatkan jamaah shalat untuk selalu meluruskan shaf. Semoga Allah memberi taufik bagi imam masjid untuk menegakkan kewajiban ini, dan tidak bermudah-mudahan di dalamnya” -selesai nukilan

Berikut ini beberapa praktek para shahabat dalam meluruskan shaf.

Perhatian Khalifah ‘Umar ibn Al Khattab terhadap Shaf Shalat

1. Mengeluarkan anak kecil dari shaf shalat

Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (4188) meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibrahim (putra Abdurrahman ibn ‘Auf) berkata,

أن عمر بن الخطاب كان إذا رأى غلاما في الصف أخرجه

Sesungguhnya ‘Umar ibn Al Khattab apabila melihat anak kecil dalam shaf shalat beliau mengeluarkannya dari shaf”

Berkata Syaikh Rabi’ ibn Hadi Al Madkhali hafizhahullah, “Praktek ini merupakan pengamalan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

ليلِني منكم أولو الأحلام والنهى ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

Hendaknya yang berada di belakangku ialah ulul ahlam wa nuha (orang yang sempurna akal dan fikirannya) kemudian yang setelah itu kemudian yang setelah itu” (HR Muslim).

Huruf lam dalam hadits tersebut bermakna perintah, perintah berkonsekuensi wajib, dan tidak ada hadits yang memalingkannya ke hukum anjuran (istihbab).

Praktek ‘Umar ibn Al Khattab ini ditegaskan melalui praktek tabi’in yaitu Dzar ibn Hubaisy dan Abu Wa’il Syaqiq ibn Salamah, keduanya termasuk tabiin senior. Keduanya meriwayatkan dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan selain mereka dari kalangan shahabat, dan praktek mereka nampaknya terambil dari hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan praktek khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu”.

2. Memeriksa shaf dengan mendatangi makmum

Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (3550) membawakan riwayat dari Abu Utsman,

كنت فيمن يقيم عمر بن الخطاب قدامه لإقامة الصف

Aku pernah berhadapan dengan ‘Umar ibn Al Khattab yang berdiri dalam rangka beliau meluruskan shaf”.

Sanad atsar ini shahih.

3. Memberi perintah untuk meluruskan apabila shaf bengkok

Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushannaf (3551) dari Abdullah ibn Syaddad, seorang tabiin senior yang tsiqah,

أن عمر رأى في الصف شيئا، فقال بيده هكذا، يعني وكيع، فعدله

Bahwasanya ‘Umar melihat dalam shaf ada sesuatu (yang kurang rapat atau lurus -pent) maka beliau memberi isyarat dengan tangannya agar meluruskannya”.

Sanad atsar ini shahih.

4. Mengutus petugas khusus meluruskan shaf

Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushannaf (3557) dari jalur Abu ‘Utsman, seorang tabi’in yang masuk Islam ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup namun belum pernah bertemu Nabi,

ما رأيت أحدا كان أشد تعاهدا للصف من عمر، إن كان ليستقبل القبلة حتى إذا قلنا قد كبر، التفت فنظر إلى المناكب والأقدام، وإن كان يبعث رجالا يطردون الناس حتى يلحقوهم بالصفوف

Aku tidak pernah melihat seseorang yang begitu besar perhatiannya terhadap shaf, melebihi ‘Umar ibn Al Khattab. Terkadang kami semua telah menghadap kiblat hingga kami kira akan bertakbir, beliau masih menoleh ke belakang dan melihat pundak-pundak dan kaki kami. Kadang beliau mengutus seseorang untuk menertibkan orang-orang hingga mereka semua saling menempel dalam shaf shalat”.

Perhatian Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan terhadap Shaf Shalat

Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (3552) meriwayatkan dari jalur Malik ibn ‘Amir, kakek Imam Malik ibn Anas dengan sanad yang shahih, beliau berkata,

سمعت عثمان وهو يقول: استووا وحاذوا بين المناكب، فإن من تمام الصلاة إقامة الصف، قال: وكان لا يكبر حتى يأتيه رجال قد وكلهم بإقامة الصفوف

Aku mendengar ‘Utsman ibn ‘Affan berkata, ‘Luruskan dan rapatkan antara pundak kalian, karena diantara kesempurnaan shalat ialah lurusnya shaf’. Beliau tidak memulai takbir sampai mengutus seorang yang bertugas sebagai wakil dalam meluruskan shaf”

Syaikh Rabi ‘ibn Hadi Al Madkhali hafizhahullah menjelaskan, “Inilah khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan radhiyallahu ‘anhu yang memerintahkan jamaah shalat agar :

  1. Meluruskan shaf shalat
  2. Meluruskan pundak-pundak dan ini tidak akan tercapai hingga lurusnya tumit ke tumit
  3. Menegaskan bahwa lurusnya shaf ialah kesempurnaan shalat
  4. Masih belum cukup dengan perhatian tersebut, beliau masih menambah dengan mengutus seorang yang bertugas meluruskan shaf-shaf, baru beliau mulai bertakbir”

Formasi Shaf dalam Shalat Berjamaah

Imam Ahmad dalam Musnad-nya (37/531) membawakan riwayat dengan sanad yang hasan dari Abu Malik Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu yang mengajari kaumnya,

أَلَا أُصَلِّي لَكُمْ صَلَاةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَفَّ الرِّجَالُ ثُمَّ صَفَّ الْوِلْدَانُ خَلْفَ الرِّجَالِ ثُمَّ صَفَّ النِّسَاءُ خَلْفَ الْوِلْدَانِ

Aku akan shalat untuk kalian dengan shalatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka aturlah shaf paling depan shaf lelaki dewasa, kemudian shaf anak kecil, kemudian shaf wanita”.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi taufik.

***

Diambil dari artikel http://rabee.net/ar/articles.php?cat=8&id=302 oleh Syaikh Rabi ibn Hadi Al Madkhali hafizhahullah

Penyusun: Yhouga Mopratama Ariesta

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/28822-meneladani-para-sahabat-nabi-dalam-meluruskan-shaf-shalat.html

Merapatkan dan Meluruskan Shaf Shalat Jama’ah

embaca yang semoga dirahmati oleh Allah, dalam shalat berjama’ah kita diperintahkan untuk merapatkan dan meluruskan shaf. Karena lurus dan rapatnya shaf adalah bentuk kesempurnaan dalam shalat berjama’ah. Sangat membantu shalat kita lebih khusyuk, lebih aman dari gangguan, menyatukan hati para jama’ah dan meraih pahala yang lebih besar. Hal ini juga membuat shalat berjamaah menjadi indah.

Perintah untuk Meluruskan Shaf

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita untuk meluruskan shaf dalam shalat. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاةِ

“Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah kesempurnaan shalat” (HR. Bukhari no.690, Muslim no.433).

Dalam riwayat lain:

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاةِ

“Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah bentuk menegakkan shalat (berjama’ah)” (HR. Bukhari no.723).

Hikmah dalam Meluruskan Shaf

Lurusnya shaf adalah sebab terikatnya hati orang-orang yang shalat. Dan bengkoknya shaf dapat menyebabkan berselisihnya hati mereka. Dari Abu Mas’ud radhiallahu’anhu, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاةِ وَيَقُولُ : ( اسْتَوُوا , وَلا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ 

“Dahulu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memegang pundak-pundak kami sebelum shalat, dan beliau bersabda: luruskanlah (shaf) dan jangan bengkok, sehingga hati-hati kalian nantinya akan bengkok (berselisih) pula” (HR. Muslim, no. 432).

Ancaman Bagi yang Tidak Meluruskan Shaf

Meluruskan shaf hukumnya wajib. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengancam orang yang tidak meluruskan shaf dalam shalat berupa terjadinya perselisihan hati di antara mereka. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsamin mengatakan:

المعتبر المناكب في أعلى البَدَن ، والأكعُب في أسفل البَدَن

“Yang menjadi patokan meluruskan shaf adalah pundak untuk bagian atas badan dan mata kaki untuk bagian bawah badan” (Asy Syarhul Mumthi’, 3/7-13).

Dalam kesempatan lain, beliau menjelaskan:

وهذا بلا شكٍّ وعيدٌ على مَن تَرَكَ التسويةَ ، ولذا ذهب بعضُ أهل العِلم إلى وجوب تسوية الصَّفِّ . واستدلُّوا لذلك : بأمْرِ النبي صلى الله عليه وسلم به ، وتوعُّدِه على مخالفته ، وشيء يأتي الأمرُ به ، ويُتوعَّد على مخالفته لا يمكن أن يُقال : إنه سُنَّة فقط .  ولهذا كان القولُ الرَّاجحُ في هذه المسألة : وجوب تسوية الصَّفِّ ، وأنَّ الجماعة إذا لم يسوُّوا الصَّفَّ فهم آثمون ، وهذا هو ظاهر كلام شيخ الإِسلام ابن تيمية

“Ini tidak diragukan lagi merupakan ancaman keras bagi orang yang tidak meluruskan shaf. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa meluruskan shaf hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits ini. Dan beliau mengancam orang yang menyelisihi perintah ini. Maka perkara yang diperintahkan dan diancam pelakunya ketika meninggalkannya, ini tidak mungkin dikatakan hukumnya sunnah saja. Oleh karena itu pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah bahwa meluruskan shaf hukumnya wajib. Dan jama’ah yang tidak meluruskan shaf mereka berdosa. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah” (Syarhul Mumthi’, 3/6).

Cara Meluruskan Shaf

Dan cara meluruskan shaf adalah dengan menyamakan mata kaki dan pundak. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsamin menjelaskan:

المساواة إنما هي بالأكعب لا بالأصابع؛ لأن الكعب هو الذي عليه اعتماد الجسم؛ حيث إنه في أسفل الساق، والساق يحمل الفخذ، والفخذ يحمل الجسم، وأما الأصابع فقد تكون رجل الرجل طويلة فتتقدم أصابع الرجل على أصابع الرجل الذي بجانبه وقد تكون قصيرة

“Meluruskan shaf adalah dengan meluruskan mata kaki bukan meluruskan jari-jari. Karena mata kaki itu yang menjadi tumpuan badan, sebab ia berada di bawah betis, dan betis yang menjadi tumpuan paha, dan paha yang menjadi tumpuan badan. Adapun jari jemari, terkadang ada orang yang tinggi badannya sehingga panjang jarinya, dan orang yang disebelahnya terkadang pendek” (Majmu’ Fatawa war Rasa’il, jilid 13, https://ar.islamway.net/fatwa/11956).

Perintah untuk Merapatkan Shaf

Selain meluruskan shaf, kita juga diperintahkan untuk merapatkan shaf, sehingga tidak ada celak-celah di antara orang yang shalat. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

اقيمو صفوفكم وتراصوا, فانيِّ اراكم من وراء ظهري

“luruskan shaf kalian dan hendaknya kalian saling menempel, karena aku melihat kalian dari balik punggungku” (HR. Al Bukhari no.719).

dalam riwayat lain, terdapat penjelasan dari perkataan dari Anas bin Malik,

كان أحدُنا يَلزَقُ مَنكِبَه بمَنكِبِ صاحبِه، وقدمَه بقدمِه

“Setiap orang dari kami (para sahabat), merapatkan pundak kami dengan pundak sebelahnya, dan merapatkan kaki kami dengan kaki sebelahnya” (HR. Al Bukhari no.725).

Dan wajib menempelkan kaki dengan kaki orang disebelahnya, serta pundak dengan pundak di sebelahnya. Inilah hakekat merapatkan shaf. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله

“Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, Allah akan menyambungnya. Barangsiapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Demikian juga ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik di atas. Al Imam Bukhari membuat judul bab:

بَاب إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ  وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ

“Bab menempelkan pundak dengan pundak dan kaki dengan kaki dalam shaf. An Nu’man bin Basyir berkata: aku melihat seorang di antara kami menempelkan pundaknya dengan pundak sahabatnya”.

Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al Albani berdasarkan zhahir dari dalil-dalil. Namun sebagian ulama mengatakan maksud dari hadits-hadits ini bukanlah menempel lahiriyah, namun maksudnya agar tidak ada celah. Sehingga tidak harus menempel. Syaikh Ibnu Al Utsaimin mengatakan:

ولكن المراد بالتَّراصِّ أن لا يَدَعُوا فُرَجاً للشياطين ، وليس المراد بالتَّراص التَّزاحم ؛ لأن هناك فَرْقاً بين التَّراصِّ والتَّزاحم … لا يكون بينكم فُرَج تدخل منها الشياطين ؛ لأن الشياطِين يدخلون بين الصُّفوفِ كأولاد الضأن الصِّغارِ ؛ من أجل أن يُشوِّشوا على المصلين صلاتَهم

“Namun yang dimaksud dengan merapatkan adalah hendaknya tidak membiarkan ada celah untuk setan. Namun maksudnya rapat yang sangat rapat. Karena ada perbedaan antara at tarash (merapatkan) dan at tazahum (rapat yang sangat rapat) … maka hendaknya tidak membiarkan ada celah yang bisa membuat setan masuk. Karena setan biasa masuk ke shaf-shaf, berupa anak kambing yang kecil, sehingga bisa membuat shalat terganggu” (Asy Syarhul Mumthi’, 7/3-13).

Dari penjelasan beliau di atas, rapatnya shaf tidak harus saling menempel namun sekedar bisa menghalangi anak kambing kecil untuk bisa lewat.

Namun wallahu a’lam, dari penjelasan Anas bin Malik di atas juga zhahir hadits Abdullah bin Umar menunjukkan bahwa para sahabat dahulu menempelkan kaki dan pundak. Maka tetaplah berusaha menempelkan kaki dan pundak sebisa mungkin sebagaimana ditunjukkan oleh zahir hadits. Namun tidak boleh sampai berlebihan dalam merapatkan sehingga membuat shaf menjadi sempit dan menyulitkan.

Jika Ada yang Enggan Merapatkan Shaf

Namun pernahkah ketika shalat, saudara kita di sebelah enggan merapatkan kakinya dengan kaki kita? Ketika kita coba merapatkan, dia malah bergeser dan menjauh. Apa yang kita lakukan ketika itu? Alhamdulillah kami tanyakan hal ini kepada Syaikh Ali Ridha Al Madini hafizhahullah,

Wahai Syaikh, ketika shalat, kami berusaha menutup celah diantara kaki-kaki. Namun ada orang awam di sebelah kami menolak untuk dirapatkan. Ia terus menjauh setiap kali kami mencoba merapatkan kaki. Apa yang seharusnya kami lakukan?

Syaikh menjawab:

@kangaswad ينبه بعد الصلاة بالتي هي أحسن للتي هي أقوم ؛ فيقال له : يا أخانا السنة أن تلزق القدم بالقدم في الجماعة ؛ فإن قبل وإلا فاتركه

— علي رضا المدني (@alireda1961) December 27, 2013

Hendaknya dijelaskan kepada dia setelah shalat dengan cara yang baik dan sesuai dengan yang dipahaminya, katakanlah: “wahai saudaraku, yang sesuai sunnah itu hendaknya kita merapatkan kaki dengan kaki dalam shalat berjama’ah”. Jika ia menerima, itu yang diharapkan, jika tidak maka tinggalkan saja.

Adapun dalam keadaan ketika shalat hendak dimulai, jika kita terus mencoba merapatkan dan ia terus menolak, apakah kita diberi udzur untuk shalat dalam keadaan ada sedikit celah antara  kami dengannya? Ataukah kami harus terus mencoba merapatkan sampai ia tidak bisa bergeser lagi?

Syaikh menjawab:

@kangaswad لا مانع من الصلاة مع وجود فرجة ما دام هو الذي يبعد رجله ويتباعد عنكم ؛ فإثم مخالفته للسنة عليه !

— علي رضا المدني (@alireda1961) December 27, 2013

Tidak mengapa anda shalat walaupun ada celah (shaf tidak rapat, pent.) selama kejadiannya adalah ia yang menjauhkan kakinya dari anda. Dosa atas penyelisihan terhadap sunnah ditanggung olehnya.

Jika Ada Tiang Diantara Shaf

Wajib bagi para makmum untuk berusaha menyambung shaf, dan tidak boleh memutusnya. Karena Allah ta’ala mengancam orang yang memutus shaf. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله

“Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, Allah akan menyambungnya. Barangsiapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Diantara bentuk memutus shaf adalah shalat di shaf yang terputus oleh tiang-tiang masjid. Dan terdapat larangan khusus mengenai hal ini. Dari Mu’awiyah bin Qurrah dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

كُنَّا نُنْهَى أَنْ نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُطْرَدُ عَنْهَا طَرْدًا

“Dahulu di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kami dilarang untuk membuat shaf di antara tiang-tiang. Dan kami menerapkan larangan ini secara umum” (HR. Ibnu Majah no. 1002, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Demikian juga perkataan Anas bin Malik radhiallahu’anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdul Hamid bin Mahmud, ia berkata:

صَلَّيْنَا خَلْفَ أَمِيرٍ مِنْ الْأُمَرَاءِ ، فَاضْطَرَّنَا النَّاسُ فَصَلَّيْنَا بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ ، فَلَمَّا صَلَّيْنَا قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ : (كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) 

“Kami pernah shalat bermakmum kepada salah seorang umara, ketika itu kami terpaksa shalat di antara dua tiang. Ketika kami selesai shalat, Anas bin Malik berkata: dahulu kami (para sahabat) menjauhi perkara seperti di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. At Tirmidzi no.229, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Hadits-hadits ini menunjukkan terlarang shalat di antara tiang yang menyebabkan terputusnya shaf. Ibnu Muflih mengatakan:

وَيُكْرَهُ لِلْمَأْمُومِ الْوُقُوفُ بَيْنَ السَّوَارِي , قَالَ أَحْمَدُ : لِأَنَّهَا تَقْطَعُ الصَّفّ

“Dimakruhkan bagi para makmum untuk berdiri di antara tiang-tiang. Imam Ahmad berkata: karena hal tersebut membuat shaf terputus” (Al Furu’, 2/39).

Dan shalat di antara tiang yang menyebabkan terputusnya shaf hukumnya makruh namun tetap sah shalatnya, sebagaimana ditunjukkan oleh atsar dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu di atas. Beliau tidak mengingkari dengan keras dan tidak memerintahkan untuk mengulang shalat. 

Namun dibolehkan shalat di antara tiang walaupun menyebabkan terputusnya shaf jika dalam kondisi sulit semisal karena masjid yang sempit. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjelaskan:

يكره الوقوف بين السواري إذا قطعن الصفوف ، إلا في حالة ضيق المسجد وكثرة المصلين

“Dimakruhkan shalat di antara tiang-tiang jika bisa memutuskan shaf. Kecuali jika masjidnya sempit sedangkan orang yang shalat sangat banyak” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 5/295).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan,

ولا تقطع الصفوف إلا عند الضرورة، إذا ازدحم المسجد، وضاق المسجد، وصف الناس بين السواري؛ فلا حرج للحاجة

“Jangan memutus shaf kecuali jika kondisi darurat. Semisal jika masjid sangat penuh dan sempit. Maka para makmum boleh membuat shaf di antara tiang-tiang, ini tidak mengapa karena ada kebutuhan” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/17874).

Namun dalam kondisi normal, tidak ada kesempitan dan juga tidak ada kebutuhan, maka hendaknya jauhi shalat di antara tiang yang bisa memutus shaf. Jika datang ke masjid lalu menemukan shaf terakhir adalah shaf yang terputus oleh tiang, maka sikap yang tepat adalah membuat shaf baru setelahnya, yang tidak terputus oleh tiang. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid mengatakan,

فإذا جئت إلى المسجد ، وقد وقف الناس في الصف ، ولم تجد مكاناً في الصف إلا بعد العمود فلا حرج في ذلك ، وليس هذا من الصلاة خلف الصف منفردا

“Jika anda datang ke masjid dan orang-orang sudah berdiri di shaf, kemudian anda tidak menemui tempat di shaf kecuali setelah tiang, maka tidak mengapa shalat di sana. Dan tidak tergolong shalat sendirian di belakang shaf” (Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/135898).

Namun dalam rangka berhati-hati, hendaknya menunggu orang lain agar tidak bersendirian di shaf yang baru. Mengingat sebagian ulama berpendapat batalnya orang yang shalat sendirian di belakang shaf.

Adapun shalat di antara tiang tanpa memutus shaf, maka ini tidak mengapa. Syaikh Masyuhur Hasan Alu Salman menjelaskan,

وأما صلاة المنفرد بين السواري أو الإمام فلا حرج فيها، والصلاة بين الساريتين دون تتميم الصف عن اليمين والشمال أيضاً لا حرج فيها لأن التراص وعدم الانقطاع حاصل

“Adapun jika seseorang shalat sendiri atau sebagai imam, di antara dua tiang, maka tidak mengapa. Demikian juga shalat para makmum di antara dua tiang, tanpa melanjutkan shaf di kanan tiang dan juga di kiri tiang, maka tidak mengapa. Karena meluruskan shaf dan menyambungnya sudah terwujud” (Sumber: https://ar.islamway.net/fatwa/30674).

Demikian yang sedikit ini semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52382-merapatkan-dan-meluruskan-shaf-shalat-jamaah.html

Ketika Jin Ikut Salat Berjemaah

JIN ada yang kafir dan ada yang mukmin. Jin yang mukmin bisa juga (dimungkinkan) melakukan ibadah bersama-sama dengan manusia. Banyak para ulama yang mengatakan bahwa ketika salat malam, maka dibelakangnya diikuti jin, untuk ikut berjemaah.

Jin juga mendengarkan Alquran apabila kitab itu dibacakan oleh manusia, terutama oleh kiai di waktu malam yang sunyi. Bahkan tak sedikit para kiai di negara kita ini yang mempunyai santri jin. Anak-anak jin mukmin disekolahkan ke kiai itu dengan maksud menimba ilmu pengetahuan agama.

Tersebutlah dalam suatu riwayat bahwa suatu hari Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya pergi ke pasar Ukaz. Saat itu ia menjumpai setan-setan yang membawa berita dari langit dan terkirim juga pancaran api. Namun setan-setan yang membawa kabar dari langit itu secepat kilat kembali lagi menemui kaumnya.

“Mengapa kalian tergopoh-gopoh?” tanya di antara kaum setan itu.

“Berita kita terhalang karena tidak sampai ke bumi,” jawab setan yang telah kembali tersebut.

“Berita dari langit terhalang karena mungkin ada suatu kegiatan atau peristiwa yang menghalang-halanginya. Untuk itu cobalah kalian memeriksa ke segala penjuru dunia, dan berkelilinglah ke penjuru barat dan timur!” perintah iblis kepada anak buahnya.

Maka setan-setan (tentara Iblis) itu pun berkeliling ke penjuru barat dan timur. Mereka melintasi jalan Thiamah lewat di mana Nabi Muhammad sedang mengerjakan salat subuh bersama para sahabat. Saat itu Rasulullah membacakan ayat-ayat Alquran dan setan-setan itu mendengarkan. Setelah ayat Alquran itu selesai dibaca, maka setan berkata kepada temannya, “Kiranya inilah yang menyebabkan kita semua terhalang mendapatkan berita langit.”

Kemudian setan-setan itu kembali kepada kaumnya seraya berkata: “Wahai kaum kami, kita telah mendengarkan Alquran yang amat mengagumkan dibaca. Ia memberi petunjuk kepada kebenaran, maka kitapun harus beriman kepadanya dan kita tidak akan menyekutukan sesuatu pun dengan Tuhan kita!”

Sesungguhnya Nabi tidak mengetahui kalau jin-jin itu mendengarkan bacaan Alquran yang beliau lakukan. Namun karena Allah berfirman: yang artinya Katakanlah (wahai Muhammad) “Telah diwahyukan kepadaku bahwa telah mendengar sekelompok jin akan bacaan Alquran.”

Sahibul hikayat menerangkan bahwa suatu ketika Shofwan bin Mahrozi Al Mazini pernah sembahyang malam (tahajud). Tiba-tiba terdengar di belakangnya suara rebut-ribut. Hal ini membuat Shofwan jadi tidak tenang. Namun tiba-tiba ada suara yang menyerukan kepada dirinya: “Wahai hamba Tuhan, janganlah engkau merasa takut kami adalah saudara-saudara sendiri yang ingin beribadah bersamamu. Yakni salat tahajud. “Setelah itu ia merasa tenang kembali.

Suatu ketika jin Ifrit datang dan berusaha membatalkan salat Rasulullah. Sebab saat itu Rasulullah sedang melakukan salat. Tetapi Rasulullah tak tergoda sama sekali bahkan bisa memegang jin Ifrit tadi. Rasulullah bermaksud mengikat pada tiang masjid namun dibatalkan dan jin Ifrit itu pun dilepaskan.

Cerita ini bersumber dari sabdanya sendiri yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra sebagai berikut: “Sesugguhnya Ifrit berusaha dengan penuh kesungguhan untuk membatalkan salatku. Tetapi Allah Swt memberikan kemenangan kepadaku atasnya (atas godaan tersebut). Dengan demikian aku dapat menolaknya dengan keras. Setelah aku dapat memegangnya aku bermaksud mengikatnya pada tiang masjid sehingga kamu semua dapat melihat jin Ifrit itu. Tetapi tiba-tiba aku teringat doa sahabatku Nabi Sulaiman: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkan kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku.” Maka jin yang kupegang itu kulepaskan.”

Dari hadis dan riwayat di atas, maka tidak menutup kemungkinan apabila jin yang mukmin mengikuti kita salat di belakang. Lalu bagaimana hukumnya jika jin turut beribadah bersama manusia? Apabila suatu ketika jin ikut bersembahyang jamaah dengan manusia maka hukumnya boleh atau sah.

Sebab suatu waktu (suatu ketika) Nabi Muhammad ditanya oleh jin: “Bagimana keadaan kami yang ingin melakukan sembahyang bersamamu di masjidmu, sedangkan kami jauh dari masjidmu wahai Rasulullah?” Dari pertanyaan itu maka turunlah firman Allah kepada Nabi Muhammad: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun didalamnya disamping (menyembah) Allah.” (QS. Al-Jin : 18)

Riwayat tersebut diatas yakni pertanyaan jin kepada Rasulullah itu dirawikan oleh Said bin Jubair. Dan dari Ibnu Masud bahwasanya ia mengisahkan pertemuan jin dengan Rasulullah ketika melakukan shalat. Diantara cuplikan kisah yang diceritakan Ibnu Masud adalah sebagai berikut:

Ketika pertemuan dengan jin itu berlangsung sampai selesai, maka ada dua orang diantara mereka tertinggal. Lalu berkata kepada Rasulullah:”Wahai Rasulullah kami ingin melakukan salat subuh bersamamu.”

“Apakah engkau membawa air?” tanya Rasulullah kepada Ibnu Masud seraya mengalihkan pandangannya.

“Tidak ada air ya Rasulullah, yang ada satu bejana yang berisi anggur,” jawab Ibnu Masud.

“Buah yang bagus dan air yang suci dan mensucikan,” gumam Rasulullah. Lantas beliau berwudlu dari air itu dan melakukan salat.”

Setelah beliau melakukan salat lantas ada dua orang yang meminta harta benda sebagai bekal mereka. “Apakah belum kuperintahkan untuk mengambil sesuatu yang baik bagimu sebagai bekalmu dan kaummu?” tanya Rasulullah pada dua orang tadi.

“Benar ya Rasulullah, tetapi kami ingin sekali melaksanakan shalat bersamamu,” jawab diantara salah satu orang tersebut.

“Dari daerah mana engkau berasal?” tanya Rasulullah.

“Dari daerah Nashibin,” jawab orang itu, maka Rasulullah pun bersabda:”Berbahagialah sekali dua orang jin ini dan kaumnya, dan diperintahkan kepada mereka untuk menjadikan kotoran tulang sebagai makanan dan lauknya dan melarang bersuci dengan tulang dan kotoran.”

Dengan demikian maka jelaslah bahwa jin itu shalat bersama manusia (kadangkala). Dan hukumnya adalah syah. Jin yang demikian ini berarti jin yang mukmin. Namun adapula jin yang jahat dan kafir. Jin yang jahat dan kafir inilah cikal bakal sebagai pembantu dukun dan tukang sihir untuk mencelakakan dan mengganggu manusia. Jin kafir adalah suatu tenaga-tenaga yang terampil dan sangat cocok sebagai persekutuan dalam ilmu perdukunan.

Jin yang kafir derajatnya sama dengan Iblis atau setan. Dimana pekerjaannya hanya suka menimbulkan kerusakan-kerusakan. Mereka senang melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Jin-jin yang sudah demikian ini akan bersekutu dan bekerja sama dengan dukun-dukun, serta ahli sihir untuk membantu pekerjaannya. Jin ini akan mau diperintahkan dan diminta tolong untuk mengintip rahasia dunia yang berada di langit. Jin yang demikian ini tak segan-segan dan tak akan membantah perintah dukun dalam mencabut nyawa manusia dan mencelakakannya.

Jin kafir senang mengganggu, menyusup pada jiwa raga agar keluarganya menjadi tidak tenang. Cara lain yang sering dilakukan jin ialah dengan memukul, menjerumuskan ketika seseorang sedang berjalan dan membuat ketakutan agar manusia jadi stres. Bahkan jin juga bisa atau mau disuruh mencuri barang-barang milik orang lain. [ ]

Sumber : artikel Yudhistira Adi Maulanadi islampos

INILAH MOZAIK

Pemuda Hebat, Seperti Apa?

Kisah tentang kehebatan pemuda, juga digambarkan dalam Alquran

“Beri kami sepuluh pemuda, maka akan kami guncangkan dulu,” demikian ungkapan populer dari Bung Karno yang menggambarkan betapa hebatnya kaum muda itu. 

Mantan ketua PP Muhammadiyah KH AR Fachrudin mengatakan, bedanya orang muda dengan orang tua adalah orang muda mengangankan dan mencita-citakan masa depannya, sedangkan orang tua membanggakan masa lalunya. Sehingga, kalau ada orang sudah senang dan bangga dengan masa lalunya, berarti pertanda sudah tua, begitupun sebaliknya. 

Imam Syafii mengatakan, “Sungguh pemuda itu distandardisasi dari kualitas ilmu dan ketakwaannya. Jika keduanya tidak melekat pada struktur kepribadiannya, ia tidak layak disebut pemuda. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan (syubbanul yaum rijalul ghadz). Dengan demikian, nasib bangsa Indonesia ke depan ditentukan oleh pemuda saat ini. 

Berdasarkan data Worldometers, saat ini Indonesia memiliki jumlah penduduk 269 juta jiwa penduduk atau 3,49 persen dari total populasi dunia dan berada di peringkat keempat negara berpenduduk terbanyak di dunia setelah Tiongkok (1,42 miliar jiwa), India (1,37 miliar jiwa), dan Ame rika Serikat (328 juta jiwa), dan terbesar di Asia Tenggara. Persentase Populasi Kaum Muda (usia < 35 tahun) di Indonesia 61 persen. Suatu potensi yang luar biasa sehingga Indonesia mendapatkan bonus demografi. 

Kisah tentang kehebatan pemuda, juga digambarkan dalam Alquran yang disebut dengan Ash habul kahfi, yaitu sekelompok anak muda yang memiliki integritas moral (iman). “Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS al-Kahfi 13). 

Lantas apa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pemuda hebat? Pertama, memiliki ilmu dan wawasan yang luas sehingga diangkat derajatnya oleh Allah. (QS al- Mujadalah 11). Karena itu, pemuda harus terus-menerus belajar untuk mencapai jenjang pendidikan tertinggi. 

Kedua, memiliki akhlak yang mulia, sebagaimana telah diteladankan oleh Rasulullah SAW yang pada saat masih muda mendapatkan predikat al-Amin (orang tepercaya) karena keluhuran akhlaknya (QS al-Qolam, 4). Ketiga, men jaga diri dari pergaulan negatif yang dapat membawa nya pada perbuatan dosa dan maksiat. Nabi SAW meng ingat kan; apabila bergaul dengan tukang minyak wangi, akan ketularan bau wangi, sedangkan jika bergaul dengan tukang pandai besi maka akan kena asap dan kecipratan api. 

Keempat, disiplin menggunakan waktu. Sebab, akan menjadi kunci kesuksesan dalam hidup. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Ashr ayat 1-3, yakni tentang pentingnya menggunakan waktu dengan sebaikbaiknya, sehingga kita tak termasuk golongan orang rugi.  

Kelima, memiliki jiwa mandiri dan profesional. Karena itu, Pemuda harus terus-menerus berjuang untuk menguasai ilmu pengetahuan, memperluas spektrum pergaulan untuk memperkaya jejaring serta tak kenal lelah untuk berlatih agar menjadi profesional. 

Jadi, jika pemuda Indonesia mampu memenuhi kelima syarat tersebut, insya Allah Indonesia akan menjadi negara yang adil dan makmur. Baldhatun thoyibatun warrabun ghafur. Wallahu’alam. n 

Oleh: Faozan Omar

KHAZANAH REPUBLIKA