Perkara yang Banyak Memasukkan Seseorang ke Surga atau Neraka

Dua tempat yang menjadi tujuan seluruh manusia di Kampung Akhirat kelak adalah surga dan neraka. Namun tentu saja surga menjadi tempat paling favorit, meski ada juga yang menghendaki neraka sebagai persinggahannya.

Hanya tak banyak diketahui bahwa ada dua perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk surga. Pun demikian ada dua perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka. Apa sajakah itu?

Jawabannya dapat diketahui dari sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini.

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang perkara yang menyebabkan banyak memasukkan seseorang ke dalam surga. Beliau menjawab, ‘Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik’. Beliau ditanya juga mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka. Beliau menjawab, ‘Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan’,” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Takwa kepada Allah Ta’ala, secara umum dimaknai sebagai upaya seorang hanba untuk menjalankan semua perkara yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan semua larangan yang dilarang oleh-Nya.

Inilah makna umum takwa, karena takwa diambil dari kata ‘wiqoyah’, yang berarti bahwa semua manusia meminta perlindungan dari adzab Allah dan tidak ada sesuatupun yang dapat melindungi dari adzab Allah kecuali menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Sementara perkara kedua yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga adalah akhlak yang baik. Akhlak dimaknai sebagai tolok ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.”

Adapun dua perkara yang banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam neraka adalah mulut dan kemaluan. Makna dari mulut di sini adalah lisan atau ucapan yang sesungguhnya manusia seringkali berbicara tanpa peduli kalau hal tersebut akan menyebabkan ia masuk ke dalam neraka.

Aktifitas lidah itu tidak melelahkan, maka sering didapatkan orang banyak bicara sesuatu yang membahayakan dirinya, seperti ghibah, namimah, melaknat, mencela, dan mencaci, akan tetapi ia tidak menyadari hal itu, sehingga ia memperoleh dosa yang banyak karena perbuatannya itu.

Adapun farj (kemaluan) maksudnya di sini adalah zina, dan lebih keji dari itu adalah liwath (homo seksual). Hal yang demikian itu banyak menjerumuskan manusia karena seringkali embuat mereka terbuai, sedikit demi sedikit hingga mereka terjerumus pada kemaksiatan dan mereka tidak menyadarinya.

Ketika telah mengetahui hal-hal yang banyak menyebabkan seseorang masuk ke dalam surga yaitu takwa dan berbuat baik, maka seorang muslim yang baik tentu akan berusaha mendapatkannya.

Begitu juga sebaliknya, ketika mengetahui hal-hal yang menyebabkan seseorang masuk ke dalam neraka yaitu, mulut dan kemaluan, maka seorang muslim yang baik akan berusaha untuk menjauhinya.

Lantas, bagaimana caranya?

Allah ‘Azza wa Jalla menganjurkan hamba-hamba-Nya agar segera bertaubat ketika berbuat dosa dan mengerjakan kebajikan dan berlomba untuk memperoleh derajat muttaqin.

Firman Allah, “Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” (QS. Ali Imran: 133).

Sementara akhlak, maka tolok ukur akhlak yang agung, tentu saja ahlak Nabi Saw., dimana beliau merupakan teladan paripurna bagi seluruh manusia.

Dari manusia agung ini setiap manusia dapat belajar bagaimana menjaga mulut, anggota tubuhnya, termasuk kemaluan agar tidak mendatangkan murka Allah Ta’ala.

Wallahu A’lam.

MUSLIM OBSESSION

Waktu Tidur Ideal Seorang Muslim

Waktu Tidur Setelah Shalat Isya

Waktu tidur ideal bagi seorang muslim adalah langsung tidur sebisa mungkin setelah shalat Isya, akan tetapi apabila ada kegiatan yang lebih mashlahat dan untuk kebaikan, ia boleh melakukan aktivitas yang bermanfaat setelah shalat isya seperti belajar, menerima tamu, berbincang-bincang dengan  keluarganya, tentu hendaknya tidak begadang sampai larut.

Dalil tidur setelah isya berdasarkan hadits makruhnya berbincang-bincang setelah shalat Isya, Dari Abu Barzah radhiallahu ‘anhu

أنَّ رسولَ الله – صلى الله عليه وسلم – كان يكرهُ النَّومَ قَبْلَ العِشَاءِ والحَديثَ بَعْدَهَا

 “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai tidur sebelum shalat ‘Isya’ dan berbincang-bincang setelahnya.” [HR. Bukhatri & Muslim]

Syaikh Abdulah Al-Faqih menjelaskan,

فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم ينام أول الليل بعد العشاء، إذ كان يكره النوم قبل العشاء والحديث بعدها

“Adalah kebiasaan Nabis shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di awal malam setelah salat Isya, karena dimakruhkan tidur sebelum shalat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” [Fatawa As-Syabakiyyah no. 251950]

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa tidur di awal malam bermanfaat bagi kesehatan, beliau berkata:

وأنفع النوم : ما كان عند شدة الحاجة إليه ، ونوم أول الليل أحمد وأنفع من آخره

“Tidur yang paling bermanfaat adalah tidur ketika sangat mengantuk, tidur di awal malam paling baik dan paling bermanfaat dari lainnya.” [Madarijus Salikin 1/459-460]

Berbincang-Bincang Setelah Isya

An-Nawawi menjelaskan bahwa hukum asal berbincang-bincang setelah isya adalah makruh, akan tetapi apabila ada mashlahat dengan berbincang-bincang maka tidak diperbolehkan. Beliau berkata:

قال العلماء : والمكروه من الحديث بعد العشاء هو ما كان في الأمور التي لا مصلحة فيها ، أما ما فيه مصلحة وخير فلا كراهة فيه ، وذلك كمدارسة العلم وحكايات الصالحين ومحادثة الضيف والعروس للتأنيس ومحادثة الرجل أهله وأولاده للملاطفة والحاجة ومحادثة المسافرين

“Para ulama berkata: makruh hukumnya berbincang-bincang setelah Isya, apabila pada perkara yang tidak ada mashlahatnya. Adapun apabila ada mashlahatnya maka baik dan bukan makruh. Misalnya seperti mempelajari ilmu, menceritakan kisah orang shlaih, berbincang-bincang dengan tamu, acara pernikahan, berbincang-bincang dan beramah-tamah dengan istri dan anak-anaknya dan perbincangan antar musafir.” [Syarah Muslim, 5/149]

Catatan Penting

  1. Hendaknya berbincang-bincang setelah Isya tidak sampai begadang, karena Allah menjadikan malam sebagai waktu istirahat utama.

Allah berfirman,

 وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاساً

“dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. [An Naba’ : 10]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان يكره النوم قبل صلاة العشاء والحديث بعدها وإذا أطال الإنسان السهر فإنه لا يعطي بدنه حظه من النوم، ولا يقوم لصلاة الصبح، إلا وهو كسلان تعبان، ثم ينام في أول نهاره عن مصالحة الدينية والدنيوية، والنوم الطويل في أول النهار يؤدي إلى فوات مصالح كثيرة

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum isya dan berbincang-bincang (tidak bermanfaat) setelahnya. Jika seseorang begadang semalaman dan tidak memberikan hak tidur kepada badannya, bahkan tidak shalat subuh kecuali bangn dengan tubuh yang lelah dan malas, kemudian tidur di awal hari, maka ia telah kehilangan mashlahat yang banyak.”[ Liqaa’ Asy syahri 1/333] 

  1. Pola kehidupan kita di zaman ini menyebabkan tidak memungkinkan melakukan sunnah ini terus-menerus, yaitu langsung tidur setelah isya, akan tetapi hendaknya seorang muslim pernah sesekali melakukan sunnah tidur setelah isya agar lebih mudah bangun shalat malam

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51745-waktu-tidur-ideal-seorang-muslim.html

Tafsir Ayat Proses Persalinan Maryam binti Imran

Hikmah Kisah Persalinan Maryam binti Imran

Dalam proses persalinan maryam binti Imran ketika melahirkan Nabi Isa ‘alaihi wa sallam terdapat pelajaran yang cukup berharga, yaitu keikhlasan, kesabaran dan prinsip tawakkal. Maryam binti Imram yang hamil menjauh dari manusia karena ujian berat dari Allah yaitu hamil tanpa disentuh sekalipun oleh manusia. Kaumnya menuduh ia telah berzina padahal ia dikenal seroang yang ahli ibadah. Maryam pun menjauh dari manusia dan melahirkan sendiri.

Allah ta’ala berfirman,

فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا

“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.” (QS:Maryam | Ayat: 22).

Dalam keadaan susah payah dan lemah, ketika akan tiba waktu melahirkan serta datang nyeri menjelang melahirkan, Maryam menuju ke pohon kurma. Syaikh As-Sa’diy menjelaskan dalam tafsirnya,

فلما قرب ولادها، ألجأها المخاض إلى جذع نخلة، فلما آلمها وجع الولادة

“Tatkala waktu melahirkan sudah dekat, rasa sakit menjelang melahirkan membuat Maryam menuju ke bawah pohon kurma dan merasakan nyeri melahirkan.” (Lihat Tafsir As-Sa’diy terhadap surat Maryam ayat 22).

Maryam Menggoyangkan Pohon Kurma dengan Tangan

Dengan tubuh yang lemah Maryam mengoyangkan kurma dengan tangannya dengan goyangan yang sangat lemah sambil menahan rasa sakit, dengan harapan agar buah kurma bisa jatuh. Maryam tahu bahwa kurma ini tidak mungkin jatuh dengan goyangan tangan yang lemah sambil menahan sakit menjelang melahirkan, akan tetapi ini bentuk tawakkal yang besar dari Maryam, tetap berusaha mengambil sebab untuk terjadi sesuatu, tidak pasrah saja tanpa berbuat apa-apa.
Allah berfirman,

وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا.

“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu” (QS. Maryam 26).

Gerakan tangan Maryam menggoyangkan kurma sangat lemah, tetapi kurma bisa jatuh ke bawah. Dalam kamus Al-Ma’aniy makna /huzziy/ (وَهُزِّي) yaitu:

هَزَّ أَغْصَانَ الشَّجَرَةِ : حَرَّكَهَا بِشَيْءٍ مِنَ الْقُوَّةِ

“Menggerakkan dahan pohon: menggerakkan dengan sedikit kekuatan” (Kamus Al-Ma’aniy).

Dalam tafsir Al-Wasith karya Ath Thanthawi dijelaskan bahwa gerakan tersebut yaitu ke kanan-kiri dan depan-belakang:

أى : وحركى نحوك أو جهة اليمين أو الشمال جذع النخلة

“Yaitu menggerakkan kearah dia (menarik) atau ke arah kanan dan kiri dari pohon kurma.” (Tafsir Al-Wasith terhadap surat Maryam ayat 26).
Al-Baghawi menjelaskan gerakannya seperti menarik ke depan dengan tangan. Beliau mengatakan,

حركي ( بجذع النخلة ) تقول العرب : هزه وهز به ، كما يقول : حز رأسه وحز برأسه

“Menggerakan pohon kurma sebagaimana perkataan orang Arab, yaitu menarik kepala (dengan tangan)” (Lihat Tafsir Al-Baghawi terhadap surat Maryam ayat 26).

Mengambil Sebab Sebagai Bentuk Tawakal

Meskipun Maryam tahu gerakan tangan yang lemah sambil menahan rasa sakit melahirkan tidak akan bisa membuat kurma jatuh, tetapi inilah bentuk tawakkal dan tidak meninggalkan sebab (daripada pasrah total). Syaikh Abdul Aziz Bin Baz berkata,

وهذا أمرٌ لها بالأسباب، وقد هزت النخلة وتعاطت الأسباب، حتى وقع الرطب فليس في سيرتها ترك الأسباب

“Ini adalah perkara yang memiliki sebab. Maryam menggoyangkan kurma dan menempuh terjadinya sebab sehingga kurma jatuh. Tidaklah ia meninggalkan sebab/usaha (tidak pasrah total).” (Majmu’ Fatawa 4/427).

Tentunya kita memahami dengan jelas bahwa tujuan Maryam menggoyang pohon kurma ini adalah untuk mendapatkan kurma agar bisa dimakan. Gerakan bukanlah gerakan yang khusus atau gerakan yang dimaksudkan untuk ta’abbud (ibadah) atau tujuan lainnya. Ini jelas tersirat dalam firman Allah:

تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا

“Niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu” (QS. Maryam 26).

Syaikh Abdurrahman As- Sa’diy menjelaskan akhirnya kurma yang jatuh adalah kurma yang bermanfaat. Beliau berkata:

أي: طريا لذيذا نافعا

“Yaitu kurma yang segar, enak dan bermanfaat.” (Lihat Tafsir as-Sa’diy terhadap surat Maryam ayat 26).

Sebagian ulama menafsirkan bahwa ucapan tersebut adalah ucapan hiburan agar Maryam tidak bersedih hati, yang diucapkan oleh Nabi Isa ‘alaihissalam setelah lahir. Disebutkan dalam ayat,

فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا. وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا. فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا

“Maka menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu.” (QS:Maryam | Ayat: 24-26).

Ibnu Katsir berkata,

وقال مجاهد : ( فناداها من تحتها ) قال : عيسى ابن مريم ، وكذا قال عبد الرزاق ، عن معمر ، عن قتادة قال : قال الحسن : هو ابنها . وهو إحدى الروايتين عن سعيد بن جبير : أنه ابنها

“Mujahid berkata bahwa yang menyeru dari arah bawah adalah Isa bin Maryam. Demikian juga pendapat Abdurrazzaq dari Ma’mar dari Qatadah dari Al-Hasan bahwa yang berkata demikian adalah anaknya Maryam (Nabi Isa). Salah satu dari dua riwayat Sa’id bin Jubair juga menegaskan bahwa itu adalah anak Maryam (nabi Isa).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir).

Karenanya beberapa ulama menafsirkan bahwa kurma itu makanan yang baik bagi ibu yang sedang menjalani masa nifas. Ahli Tafsir Al-Baghawi membawakan perkataan Ar-Rabi’ bin Khutsaim dalam tafsirnya,

ما للنفساء عندي خير من الرطب ، ولا للمريض خير من العسل

“Makanan terbaik bagi wanita nifas adalah kurma dan makanan terbaik bagi orang sakit adalah madu.” [Lihat Tafsir Al-Baghawi]

Demikian semoga bermanfaat.

@ Lombok, Pulau seribu Masjid

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK

Artikel ini telah dimuraja’ah dan diedit oleh:
Ustadz Yulian Purnama, S.Kom

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51821-tafsir-ayat-proses-persalinan-maryam-binti-imran.html

Jangan Suka Melaknat (Bag. 2)

Berhati-Hati dalam Melaknat

An-Nawawi rahimahullah berkata,

“Ketahuilah bahwa melaknat seorang muslim yang terjaga (kehormatannya) itu haram berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Namun boleh melaknat orang-orang yang memiliki sifat tercela, seperti ucapanmu, “Laknat Allah untuk orang-orang dzalim, laknat Allah untuk orang-orang kafir, laknat Allah untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani, laknat Allah untuk orang-orang fasik, laknat Allah untuk tukang gambar (makhluk bernyawa, pen.), dan semacamnya.” (Al-Adzkar, hal. 303)

Hukum Melaknat dengan Bahasa General

Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan bolehnya melaknat dengan bahasa general. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Laknat Allah untuk orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Bukhari no. 435, 436 dan Muslim no. 529)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ

“Laknat Allah untuk orang yang menyembelih untuk selain Allah, dan laknat Allah untuk orang yang melindungi penjahat (buron) [1], laknat Allah untuk orang yang melaknat kedua orang tuanya, dan laknat Allah untuk orang yang memindahkan (mengubah) tanda patok batas tanah.” (HR. Muslim no. 1978)

Hukum Melaknat dengan Menyebut Person Tertentu

Adapun melaknat dengan menyebutkan nama person tertentu (misalnya, “Laknat Allah untuk si fulan A si pencuri itu”), maka terdapat perselisihan pendapat di antara ulama apakah diperbolehkan ataukah tidak. Sebagian ulama membolehkan, sebagian yang lain tidak membolehkannya. 

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,

“Adapun melaknat person tertentu yang melakukan maksiat, seperti Yahudi, Nashrani, orang zalim, pezina, tukang gambar, pencuri, pemakan riba, maka makna yang ditangkap dari hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa hal itu tidaklah haram. Namun Al-Ghazali rahimahullah mengisyaratkan haramnya hal tersebut, kecuali pada orang-orang yang kita ketahui bahwa dia meninggal di atas kekafiran, seperti Abu Lahab, Abu Jahal, Fir’aun, Haman, dan orang-orang semisal mereka. Al-Ghazali berkata, “Karena laknat itu berarti (berdoa) menjauhkan seseorang dari rahmat Allah Ta’ala. Sedangkan kita tidak mengetahui bagaimana kondisi akhir hidup orang fasik atau orang kafir ini. Al-Ghazali juga berkata, “Yang mendekati kalimat laknat adalah mendoakan kejelekan untuk orang lain, meskipun orang zalim. Seperti ucapan seorang yang terzalimi, “Semoga Allah tidak memberikan badan yang sehat untukmu, semoga Allah tidak menyelamatkanmu, dan ucapan semisal itu.” (Al-Adzkar, hal. 304)

Setelah membawakan perkataan An-Nawawi di atas, Syaikh Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani rahimahullah menguatkan pendapat Al-Ghazali dengan berkata,

“Yang benar, wallahu a’lam, adalah pendapat Al-Ghazali yang mengatakan bahwa tidak boleh melaknat orang-orang yang telah diketahui memiliki maksiat tertentu, kecuali pada orang tertentu yang kita ketahui bahwa dia mati di atas kekafiran. Hal ini karena kita tidak mengetahui bagaimana akhir hidup orang fasik atau orang kafir ini. Betapa banyak kita melihat atau betapa banyak kita mendengar orang-orang yang terjerumus dalam maksiat dan kekafiran, kemudian Allah Ta’ala beri hidayah dan menutup hidupnya dengan kebaikan. Mereka menjadi penolong kebenaran setelah sebelumnya menjadi penolong kebatilan.” (Afaatul Lisaan, hal. 94)

Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, dengan alasan yang sama, yaitu adanya kemungkinan orang tersebut untuk bertaubat.

Namun, wallahu a’lam, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendapat ulama yang menyatakan bolehnya melaknat person tertentu sekalipun, namun dengan syarat bahwa mereka memang berhak untuk mendapatkan laknat. Jika tidak, maka yang mendoakan laknat tersebut telah berbuat kezaliman.

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seekor keledai yang diberi cap (diberi tanda atau wasm) mukanya [2], beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَعَنَ اللهُ الَّذِي وَسَمَهُ

“Laknat Allah untuk orang yang melakukannya.” (HR. Muslim no. 2117)

Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat person tertentu, yaitu orang yang memberi cap (wasm) pada binatang tersebut. Tentu bahasa di atas mengarah kepada person pelakunya, bukan laknat secara umum (general).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah sebagian suku Arab membantai sahabat-sahabatnya terbaiknya secara licik dan culas,

اللهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ، وَرِعْلًا، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُولَهُ

“Ya Allah, laknatlah bani Lihyan, bani Ri’l, bani Dzakwaan dan bani ‘Ushayyah. Mereka telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim no. 675)

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat secara spesifik, dengan menyebutkan kabilah-kabilah Arab yang telah membantai sahabat terbaik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Wallahu Ta’ala a’lam. [3]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51763-jangan-suka-melaknat-bag-2.html

Jangan Suka Melaknat (Bag. 1)

Salah satu akhlak buruk yang harus kita jauhi adalah suka melaknat. Laknat adalah (berdoa) menjauhkan orang lain dari rahmat Allah Ta’ala. Sifat suka melaknat merupakan akhlak tercela yang dapat mengurangi kesempurnaan iman. 

Hadits-Hadits Tentang Larangan Melaknat

Dari sahabat Tsaabit bin Adh-Dhakhak radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ

“Melaknat seorang mukmin itu seperti membunuhnya.” (HR. Bukhari no. 6105 dan Muslim no. 110)

Yang dimaksud dengan “seperti” dalam hadits di atas adalah sama-sama perbuatan dosa, meskipun level dosanya tentu saja berbeda di antara dua perbuatan dosa tersebut.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَنْبَغِي لِصِدِّيقٍ أَنْ يَكُونَ لَعَّانًا

“Tidak selayaknya orang yang jujur itu suka melaknat.” (HR. Muslim no. 2597)

Dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَكُونُ اللَّعَّانُونَ شُفَعَاءَ وَلَا شُهَدَاءَ، يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya para pelaknat itu tidak akan dapat menjadi syuhada’ (orang-orang yang menjadi saksi) dan tidak pula dapat memberi syafa’at pada hari kiamat kelak.” (HR. Muslim no. 2598)

Dari sahabat Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَلَاعَنُوا بِلَعْنَةِ اللَّهِ، وَلَا بِغَضَبِ اللَّهِ، وَلَا بِالنَّارِ

“Janganlah saling melaknat dengan laknat Allah, jangan pula dengan murka-Nya, jangan pula dengan neraka.” (HR. Abu Dawud no. 4906 dan Tirmidzi no. 1976) [1]

Jenis-Jenis Ucapan Laknat

Dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu di atas, kita bisa memahami bahwa ada dua jenis ucapan laknat.

Ucapan Laknat yang Sharih

Ucapan laknat yang sharih (jelas-jelas mengucapkan laknat). Misalnya ucapan seseorang, “Semoga laknat Allah ditimpakan kepada si fulan.”

Ucapan Laknat Kinayah

Ucapan laknat kinayah (kiasan). Maksudnya, teks atau kalimatnya memang tidak mengatakan laknat, tetapi secara makna, sama saja dengan melaknat. Misalnya ucapan seseorang, “Murka Allah atasmu” atau “Semoga Engkau masuk neraka.”

Dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا لَعَنَ شَيْئًا صَعِدَتِ اللَّعْنَةُ إِلَى السَّمَاءِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ دُونَهَا، ثُمَّ تَهْبِطُ إِلَى الْأَرْضِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُهَا دُونَهَا، ثُمَّ تَأْخُذُ يَمِينًا وَشِمَالًا، فَإِذَا لَمْ تَجِدْ مَسَاغًا رَجَعَتْ إِلَى الَّذِي لُعِنَ، فَإِنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلًا وَإِلَّا رَجَعَتْ إِلَى قَائِلِهَا

“Jika seorang hamba melaknat sesuatu, maka laknat itu akan naik ke langit, dan tertutuplah pintu-pintu langit di bawahnya. Kemudian laknat itu akan turun lagi ke bumi, namun pintu-pintu bumi telah tetutup. Laknat itu kemudian bergerak ke kanan dan ke kiri. Jika tidak mendapatkan tempat berlabuh, ia akan menghampiri orang yang dilaknat, jika orang itu memang layak dilaknat. Namun jika tidak, maka laknat itu akan kembali kepada orang yang melaknat.” (HR. Abu Dawud no. 4905, dinilai hasan oleh Al-Albani) 

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ada seseorang yang melaknat angin karena selendangnya diterbangkan oleh angin tersebut. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَلْعَنْهَا، فَإِنَّهَا مَأْمُورَةٌ، وَإِنَّهُ مَنْ لَعَنَ شَيْئًا لَيْسَ لَهُ بِأَهْلٍ رَجَعَتِ اللَّعْنَةُ عَلَيْهِ

“Janganlah Engkau melaknatnya, karena sesungguhnya dia diperintah (oleh Allah). Sungguh, orang yang melaknat sesuatu padahal dia tidak pantas mendapatkan laknat, maka laknat tersebut akan kembali kepada dirinya sendiri.” (HR. Abu Dawud no. 4908, Tirmidzi no. 1978) [2]

Dari sahabat ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, ada seorang wanita Anshar yang tengah mengendarai unta. Namun, unta yang sedang dikendarainya itu memberontak dengan tiba-tiba. Lalu dengan serta-merta wanita itu melaknat untanya. Ketika Rasulullah mendengar ucapan wanita itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, 

خُذُوا مَا عَلَيْهَا وَدَعُوهَا، فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ

“Turunkanlah beban di atas unta dan lepaskanlah unta tersebut, karena ia telah dilaknat.”

‘Imran berkata, “Sepertinya sekarang saya melihat unta tersebut berjalan di tengah-tengah manusia, tanpa ada seorang pun yang mengganggunya.” (HR. Muslim no. 2595)

Dari sahabat Abu Barzah Al Aslami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Pada suatu ketika, seorang budak wanita sedang mengendarai unta dengan membawa perbekalan kaumnya. Lalu wanita tersebut melewati pegunungan yang sempit, hingga ketika dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata, “Hus, hus, Ya Allah, laknatlah unta ini!”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَا تُصَاحِبْنَا نَاقَةٌ عَلَيْهَا لَعْنَةٌ

“Kita tidak boleh menyertai unta yang (didoakan) mendapatkan laknat Allah.” (HR. Muslim no. 2596)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51737-jangan-suka-melaknat-bag-1.html

Benarkah Safar Bulan Sial? Ini Penjelasannya!

Dalam penanggalan Hijriyah atau kalender Islam, bulan Safar adalah bulan kedua setelah Muharram. Safar sendiri dalam bahasa Arab artinya kosong.

Mengapa disebut kosong? Sebab sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab jahiliyah zaman dulu, meninggalkan rumah mereka sehingga menjadi kosong. Dalam artian, hal ini menunjukkan bahwa Safar diyakini sebagai bulan yang harus diwaspadai karena banyak memiliki kesialan.

Namun, ada pula yang mengatakan jika Safar diambil dari nama penyakit seperti yang juga diyakini orang Arab jahiliyah di masa lampau, yakni penyakit safar yang ada di perut. Sehingga akan membuat seseorang menjadi sakit karena terdapat ulat besar yang sangat berbahaya.

Safar juga dinyatakan sebagai jenis angin berhawa panas yang terjadi pada perut serta banyak tafsiran lainnya dari kata Safar tersebut.

Lebih lanjut, pendapat yang menyatakan jika bulan Safar adalah bulan sial dan tidak baik untuk mengadakan sebuah acara penting merupakan khurafat atau tahayul dan mitos.

Khurafat adalah bentuk penyimpangan dalam akidah Islam. Beberapa keyakinan dalam hal ini meliputi beberapa larangan seperti melakukan pernikahan, khitan dan berbagai perbuatan lain yang apabila dilakukan akan menimbulkan musibah atau kesialan.

Pemikiran semacam ini terus saja berkembang dari setiap generasi bahkan hingga sekarang yang dianggap sebagai bulan tidak menguntungkan.

Mitos akan hal ini sebenarnya sudah dipatahkan oleh Rasulullah Saw. yang bersabda jika bulan Safar bukanlah bulan yang sial dan sudah jelas tidak masuk dalam dasar hukum Islam.

Rasulullah Saw. juga bersabda: “Tidak ada wabah dan tidak ada keburukan binatang terbang dan tiada kesialan bulan Safar dan larilah (jauhkan diri) daripada penyakit kusta sebagaimana kamu melarikan diri dari seekor singa,” (HR. Bukhari).

Karenanya, beranggapan sial pada bulan Safar ini masuk kedalam jenis tathayyur yang dilarang dan masuk ke dalam jenis amalan jahiliyyah yang sudah dibatalkan atau dihapus dalam Islam dan ini menjadi kebiasaan dari jahiliyyah.

Sebab pada dasarnya, di bulan ini juga terdapat keutamaan bulan Shafar seperti pada bulan bulan lainnya yakni keutamaan bulan Muharram, keutamaan bulan Dzulhijjah, keutamaan bulan Rabiul akhir dan sebagainya.

Seperti halnya bulan yang lain, bulan Safar juga terdapat kebaikan serta keburukan. Kebaikan yang ada hanya semata-mata datang dari Allah dan keburukan terjadi karena takdir-Nya.

Rasulullah Saw. telah bersabda, “Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Safar.” (HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad (II/327).

Namun juga tidak terdapat amalan istimewa yang dikhususkan untuk dirayakan pada bulan Safar dan amalan yang ada dalam bulan Safar juga sama dengan bulan lainnya. Kepercayaan tentang keburukan pada sebuah hari, bulan atau pun tempat hanyalah kepercayaan jahiliyyah sebelum datangnya Islam.

Wallahu ‘Alam bish Shawab..

(Vina – Berbagai Sumber)

MUSLIM OBSESSION

Baca Dua Ayat Al-Baqarah Hidup Akan Kecukupan

SIAPA yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada waktu malam, maka ia akan diberi kecukupan. Sebagian ulama ada yang mengatakan, ia dijauhkan dari gangguan setan.

Ada juga yang mengatakan, ia dijauhkan dari penyakit. Ada juga ulama yang menyatakan bahwa dua ayat tersebut sudah mencukupi dari salat malam. Benarkah?

Dua ayat tersebut, Allah Taala berfirman,

“Rasul telah beriman kepada Alquran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286)

Disebutkan dalam hadis dari Abu Masud Al-Badri radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka ia akan diberi kecukupan.” (HR. Bukhari no. 5009 dan Muslim no. 808)

Hadis di atas menunjukkan tentang keutamaan dua ayat terakhir surat Al-Baqarah.

Para ulama menyebutkan bahwa siapa yang membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, maka Allah akan memberikan kecukupan baginya untuk urusan dunia dan akhiratnya, juga ia akan dijauhkan dari kejelekan. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa dengan membaca ayat tersebut imannya akan diperbaharui karena di dalam ayat tersebut ada sikap pasrah kepada Allah Taala. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ayat tersebut bisa sebagai pengganti dari berbagai dzikir karena di dalamnya sudah terdapat doa untuk meminta kebaikan dunia dan akhirat. Lihat bahasan Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dalam Nuzhah Al-Muttaqin, hal. 400-401.

Al-Qadhi Iyadh menyatakan bahwa makna hadits bisa jadi dengan membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah akan mencukupkan dari shalat malam. Atau orang yang membacanya dinilai menggantungkan hatinya pada Alquran.

Atau bisa pula maknanya terlindungi dari gangguan setan dengan membaca ayat tersebut. Atau bisa jadi dengan membaca dua ayat tersebut akan mendapatkan pahala yang besar karena di dalamnya ada pelajaran tentang keimanan, kepasrahan diri, penghambaan pada Allah dan berisi pula doa kebaikan dunia dan akhirat. (Ikmal Al-Muallim, 3: 176, dinukil dari Kunuz Riyadhis Sholihin, 13: 83).

Imam Nawawi sendiri menyatakan bahwa maksud dari memberi kecukupan padanya menurut sebagian ulama- adalah ia sudah dicukupkan dari shalat malam. Maksudnya, itu sudah pengganti shalat malam. Ada juga ulama yang menyampaikan makna bahwa ia dijauhkan dari gangguan setan atau dijauhkan dari segala macam penyakit. Semua makna tersebut kata Imam Nawawi bisa memaknai maksud hadits. Lihat Syarh Shahih Muslim, 6: 83-84.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan tentang keutamaan dua ayat tersebut ketika dibaca di malam hari, “Ketahuilah para ikhwan sekalian, kedua ayat ini jika dibaca di malam hari, maka akan diberi kecukupan. Yang dimaksud diberi kecukupan di sini adalah dijaga dan diperintahkan oleh Allah, juga diperhatikan dalam doa karena dalam ayat tersebut terdapat doa untuk maslahat dunia dan akhirat.” (Ahkam Al-Quran Al-Karim, 2: 540-541).

Semoga bisa mengamalkan untuk membaca dua ayat terakhir Al-Baqarah ini mulai dari malam ini. Semoga kita meraih kebaikan dan keberkahan. Semoga Allah memberi taufik. [rumaysho]

INILAH MOZAIK

Menutupi Aib

Setiap orang memiliki aib masing-masing

Dikisahkan bahwa suatu ketika Bani Israel dilanda kekeringan yang panjang. Tanah kering, cadangan air habis, dan rerumputan pun layu. Kondisi seperti itu menjadikan masyarakat kepayahan. Melihat kondisi yang sedemikian itu, Nabi Musa mengajak kaumnya tersebut untuk menunaikan Istisqa, doa bersamasama memohon hujan kepada Allah.

Setelah beberapa kali dilakukan, ternyata hujan tan kunjung turun. Allah mengabarkan kepada Nabi Musa bahwa di antara kaumnya, masyarakat Bani Israel, ada salah seorang yang gemar berbuat maksiat. Oleh karenanya, Allah enggan menurunkan hujan. Nabi Musa pun menyampaikan kabar dari Allah tersebut dan menghendaki agar ia yang merasa gemar berbuat maksiat segera keluar dari kaum Bani Israel. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka yang keluar. Maka, hujan pun tak kunjung turun.

Mendengar yang disampaikan oleh Nabi Musa, seseorang yang gemar berbuat maksiat tersebut malu. Ia akan dilecehkan dan dihinakan jika ia menuruti apa yang diperintahkan oleh Nabi Musa untuk keluar dari kaum mereka. Akan tetapi, jika ia tidak keluar, hujan tidak akan kunjung turun dan kekeringan akan semakin panjang saja entah sampai kapan berakhirnya.

Orang yang gemar berbuat maksiat itu kemudian mengadu kepada Allah dalam hati bahwa jika ia keluar dari kaum tersebut maka semua orang akan tahu bahwa dialah yang menyebabkan hujun tak kunjung turun. Jika semua orang tahu, ia akan merasa sangat malu dan akan dipermalukan sedemikian rupa.

Oleh karena itu, ia bertobat kepada Allah. Hujan pun turun dengan deras secara tiba-tiba. Nabi Musa heran dengan hujan tersebut karena sejak tadi belum ada seorang pun yang keluar, tapi hujan sudah turun. Allah pun mengabarkan bahwa orang yang gemar berbuat maksiat tersebut sudah bertobat.

Sekelumit kisah di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa aib seseorang itu sudah selayaknya tidak dibongkar. Aib adalah sesuatu hal yang membuat seseorang itu malu jika diketahui oleh orang lain. Oleh karena itu, jika kita mengetahui aib orang lain, hendaklah kita menutupi aibnya dan tidaklah kita mengumbar aib orang lain di depan publik, sehingga ia merasa sangat malu.

Perlu kita ketahui juga bahwa setiap orang itu mempunyai aib sendiri-sendiri, termasuk kita. Kita akan merasa malu jika aib kita tampak oleh orang lain, sehingga kita berusaha menutupi aib kita. Dengan demikian, marilah kita menutupi aib orang lain agar aib kita sendiri juga turut tertutupi.

Allah memberikan kemuliaan bagi orang yang mampu menutupi aib orang lain. Hal itu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (HR Muslim).

Jika kita menutupi aib orang lain sehingga tidak membuatnya malu, Allah kelak akan menutupi aib kita pada hari kiamat. Dengan kata lain, aib kita yang berupa dosa-dosa itu akan diampuni oleh Allah di akhirat kelak. Namun, tentu saja hal ini berbeda jika menyangkut persoalan hukum. Seseorang yang berbuat kriminal hendaklah tidak ditutupi kesalahannya di muka pengadilan hukum. Ini memang aib, tapi ini menyangkut fikih untuk menjatuhkan hukuman. Wallahu a’lam.

Oleh: Supriyadi

KHAZANAH REPUBLIKA

Baca Buku-Buku Sunnah Digital dari HP Adroid Anda, undu dan instal aplikasinya di sini!

Surga Paling Dekat: Rumah Kita

SURGA yang paling terdekat ialah ada di rumah kita.

Banyak yang tidak tahu bagaimana cara meraihnya dan betapa sulitnya untuk mendapatkan Surga yang belum pernah kita lihat dan tidak dapat kita bayangkan bagaimana wujudnya, sedangkan surga terdekat pun kita lupa bahkan tidak mengetahui bahwa surga itu juga ada di dalam rumah kita sendiri.

Kita boleh merantau sejauh kaki melangkah, hingga di ujung belahan dunia sekalipun. Namun jangan pernah melupakan surga yang ada di rumah kita. Jika tidak sempat bertatap muka, bercengkrama manja, merasakan belaian kasih sayang mereka, bersandar di bahu mereka dan duduk di pangkuan mereka, kita yang jauh dari orangtua bisa bercengkrama lewat telepon.

Kedua orangtua adalah surga bagi kita. Tempat kita mengadu pilu, resah dan sedih ialah kedua orangtua. Maka ketika sudah sukses, jangan pernah lupakan mereka. Jangan lupa dan bagilah kabar sukses, bahagiamu, canda tawamu dan bahagiakanlah mereka dengan kata-kata manismu meskipun lewat telepon. Karena cengkramanya anak kepada kedua orangtua bukanlah gombalan, dan tidak akan dibilang gombal oleh kedua orangtua. Bercengkrama kepada kedua orangtua adalah pribahasa yang murni, bukan gombalisasi.

Saya juga suka duduk di samping teman yang sedang menelepon dengan orangtuanya dan ia juga tidak keberatan saya mendekatinya dan duduk di sampingnya. Saya mendengarkan lantunan kata manis-manjanya kepada kedua orangtuanya, kata-kata yang mengunggah jiwa, dan itu murni lagi-lagi bukan gombal alias basi.

Surga yang dirindukan adalah kedua orangtua.

Ada sebuah cerita dari anak yang sukses. Dia seorang pengusaha, karyawannya banyak. Bahkan setiap tahun ia meng-umrohkan karyawannya dan hampir setiap tahunnya ia berangkat haji.

Sehingga seorang pemuda lain pun yang sedang duduk di dekatnya pada sore itu berkata padanya, “Luar biasa ibadahmu!” Pemuda itu pun berkata, “Saya mau masuk surga” Temannya yang duduk di sampingnya tersenyum mendengarnya, dan tidak lama kemudian sedang asiknya mengobrol, handphonenya berdering, tetapi dia tidak mengangkatnya. Berbunyi lagi dan berbunyi lagi tetapi tetap tidak pernah di angkatnya. Temannya berkata, “Angkat…”

Dia menjawab, “Tidak usah, biar saja, ganggu!”. Tidak lama kemudian handphone itu kembali berbunyi, lalu temanya berkata, “Tidak apa-apa, lebih baik di angkat.”

Namun, temanya malah berkata, “Nanti saja saya urus, bisa saya telepon balik kok.”

Karena temannya penasaran, lalu temannya mengambil handphonenya ternyata dilayarnya tertulis ibunya yang menelpon. Lalu ia sodorkan handphone itu kepada temanya, berkata “Angkat!” Maka dengan sangat terpaksa pemuda Pengusaha itu mengambil handphone itu lalu dia mengangkatnya. Dan dia bilang, “Ada apa bu?”

Ibunya menjawab, “Nak, ibu rindu sama kamu, ibu kangen, datang ke rumah sebentar saja. Ibu mau bertemu kamu, ibu ingin melihat wajahmu. ”

Pemuda itu pun menjawab, “Buk, saya lagi banyak urusan, saya sibuk! Saya banyak pekerjaan, kapan-kapan lah saya datang ke rumah.”

Ibunya menjawab, “Sekali-sekali saja nak.”

“Ya nanti saja bu…”

Lalu ia mematikan handphonenya.

Ketika temannya yang duduk dengannya sore itu sampai di rumah, malam tiba dan temannya itu dikagetkan oleh sebuah telepon yang ternyata adalah dari temannya yang bertemu sore itu (Pemuda Pengusaha). Dia bicara dengan nada yang begitu keras, sehingga temannya tidak bisa mendengar bahwa ia bicara apa, dan temannya bertanya, “Ada apa?”

“Ibu saya meninggal dunia,” jawab pemuda Pengusaha itu.

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un…

Para pembaca teman-teman yang InsyaAllah dimuliakan Allah,…

Kita selalu mencari surga-surga yang jauh, pergi haji berkali-kali, memberi makan anak yatim begitu banyak, amal begitu murah hati dan puasa senin kamis setiap minggu, tetapi kita lupa surga kita yang begitu dekat, begitu mudah kita dapatkan, kita lupakan!

Surga tersebut ada di rumah kita, surga yang paling mudah dan paling cepat kita dapatkan adalah orangtua kita.

*Cerita ini diambil (saya tulis kembali) dari sebuah film yang berjudul, ” Ada Surga di Rumahmu”

Teman-teman semuanya, mari kita raih surga terdekat kita.

Yang lagi jauh dari orangtua, ayo…telepon mereka.

Yang lagi rajin ngaji di Pesantren, orangtua gak bisa datang ke pesantren karena jauh, pinjam handphone ustadz/ustadzah atau hp wartel, telpon surga kita.

Yang lagi kuliah dan ngekos, mari kita telpon surga kita.

Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Oleh: Muhammad Daud Farma
ulviyeturk94@gmail.com

ISLAMPOS

Baca Buku-Buku Sunnah Digital dari HP Adroid Anda, undu dan instal aplikasinya di sini!

Shalat Sunat Rawatib, Apa Saja Keutamaan dan Jenisnya?

Shalat sunat rawatib tak pernah ditinggalkan Rasulullah.

Selain melaksanakan shalat fardhu, umat Muslim sebaiknya juga melaksanakan shalat sunat rawatib guna meningkatkan amalannya. 

Yakni shalat yang dikerjakan sebelum ataupun sesudah shalat fardhu (shalat lima waktu).

Nabi Muhammad SAW diketahui selalu melaksanakan shalat sunah rawatib ini. Sejumlah hadis juga menyebutkan keutamaan shalat sunat rawatib.

Imam Muslim meriwayatkan hadis yang mengatakan bahwa, Ummu Habibah RA berkata: ‘Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang shalat 12 rakaat di dalam sehari semalam maka dibangunkan baginya sebuah rumah di dalam surga.” (HR Muslim no 728). 

Dalam hadis riwayat Muslim nomor 725, juga disebutkan keutamaan shalat sunat rawatib. Rasulullah bahkan menyebut bahwa, dua rakaat sebelum Shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya dan dua rakaat sebelum shubuh lebih dia cintai daripada dunia seisinya.

Begitupun shalat sunat rawatib sebelum Zhuhur. Nabi Muhammad bersabda, sebagaimana tercantum dalam hadis at-Tirmidzi Nomor 428, “Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum zhuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan api neraka.

Adapun shalat sunat rawatib terbagi dalam dua jenis. Yakni yang dikerjakan sebelum shalat fardhu disebut qabliyah dan yang dilaksanakan sesudah shalat fadhu disebut ba’diyah.

Sedangkan berdasarkan anjuran untuk melaksanakannya, shalat sunat ini juga dibagi menjadi dua. Yakni, shalat rawatib muakkad atau sangat dianjurkan dan ghairu muakkad atau tidak terlalu ditekankan untuk dilaksanakan.

Untuk shalat rawatib muakkad, sebagaimana tertulis dalam hadist riwayat at-Tirmidzi nomor 414, berikut jumlah rakaat dan waktu pelaksanaannya:

  1. 2 rakaat sebelum shalat Shubuh
  2. 4 rakaat sebelum shalat Zhuhur
  3. 2 rakaat sesudah shalat Zhuhur
  4. 2 rakaat sesudah shalat Maghrib
  5. 2 rakaat sesudah shalat Isya

Sedangkan untuk shalat sunat rawatib yang ghairu muakkad, berikut jumlah rakaat dan waktu pelaksanaannya: 

  1. 2 atau 4 rakaat sebelum shalat Ashar (dikerjakan dua kali salam jika 4 rakaat)
  2. 2 rakaat sebelum shalat Maghrib
  3. 2 rakaat sebelum shalat Isya

Syekh Muhammad bin Utsaimin berkata: “Shalat sunat rawatib terdapat di dalamnya salam. Seseorang yang shalat rawatib empat rakaat maka dengan dua salam bukan satu salam, karena sesungguhnya Nabi bersabda: Shalat (sunah) di waktu malam dan siang dikerjakan dua rakaat salam dua rakaat salam.” (Majmu’ Fatawa, al-Utsaimin 14/288).

Adapun waktu pelaksanaan shalat sunat rawatib ini dijelaskan hadis riwayat al-Mughni 2/554, yang berbunyi sebagai berikut. 

Ibnu Qudamah berkata: “Setiap sunah rawatib qabliyah maka waktunya dimulai dari masuknya waktu shalat fardhu hingga shalat fardhu dikerjakan, dan shalat rawatib ba’diyah maka waktunya dimulai dari selesainya shalat fardhu hingga berakhirnya waktu shalat fardhu tersebut”.

KHAZANAH REPUBLIKA