Renungkan, Tiga Sifat Orang yang Jangan Diikuti

FIRMAN Allah Taala (surat Al Kahfi: 28) yang artinya: “Dan janganlah kamu menuruti orang yang Kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, dan mengikuti hawa nafsunya, dan urusannya furuth (suka menyia nyiakan).”

Renungkanlah ayat ini. Allah menyebutkan tiga sifat orang yang tidak boleh diikuti:
1. Yaitu orang yang hidupnya diwarnai oleh kelalaian dari mengingat Allah.
2. Ia pun selalu memperturutkan hawa nafsunya.
3. Dan suka menyia-nyiakan perintah dan larangan Rabbnya.

Sebaliknya. Orang yang selalu mengingat Allah dalam hidupnya. Ia pun menahan hawa nafsu dan bersungguh-sungguh menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah.

Itulah yang menjadi dambaan setiap mukmin. Duduk bersama mereka adalah ganimah. Menjadikan mereka sebagai teman adalah berkah.

Bahkan memberi semangat untuk senantiasa istiqomah. [Ust. Badrusalam LC]

INILAH MOZAIK

Etika Berpendapat

Ada beberapa pelajaran yang dapat kita jadikan contoh dalam menyampaikan pendapat.

Diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik, suatu ketika Rasulullah SAW berjalan-jalan bersama para sahabat berkeliling Madinah. Di tengah perjalanan, Rasulullah SAW bertemu dengan sekelompok kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma. Seketika melihat hal itu, Rasulullah SAW memberikan tanggapan kepada para penduduk tersebut.

Saat memberikan tanggapan, Rasulullah SAW tidak menggunakan kata-kata yang menyebutkan kepastian. Rasulullah SAW menyampaikan: Sekiranya mereka tidak melakukan hal itu, pohon kurma itu juga akan tumbuh baik. Karena yang mengatakan hal itu adalah seorang Nabi, masyarakat Madinah pun menaatinya dan akhirnya meninggalkan kebiasaan yang sudah dilakukan turun-temurun.

Selang beberapa waktu berlalu, ternyata pohon kurma yang biasanya tumbuh bagus tak sesuai dengan ekspektasi dan kebiasaan. Hingga akhirnya Rasulullah SAW pun mengetahui bahwa usulannya kepada masyarakat Madinah tersebut malah membuat pohon kurma rusak dan tak tumbuh seperti biasanya.

Dengan segala kerendahan hati, Rasulullah SAW pun berkata kepada para kaum di Madinah tersebut. Antum a’lamu bi amri dunyakum (kalian lebih mengetahui urusan tersebut). (HR Muslim). Dari kisah interaksi antara Rasulullah SAW dan kaum Madinah tersebut, setidaknya ada beberapa pelajaran yang dapat kita jadikan contoh dalam menyampaikan pendapat secara etik.

Pertama, memberikan pendapat dalam bentuk kritik, saran, dan tanggapan merupakan hak setiap orang. Dalam berpendapat seharusnya disampaikan dengan cara-cara yang santun, baik, dan tepat. Sehebat dan sebaik apa pun pendapat yang akan disampaikan, kalau cara penyampaiannya tidak baik, pen dapat tersebut tidak berguna untuk suatu kebaikan. Selain itu, pendapat yang disampaikan dengan cara yang tidak baik, juga akan dapat menyakiti orang lain dan berujung pada malapetaka.

Kedua, berpendapatlah sesuai dengan kadar kemampuan dan pengetahuan yang kita miliki. Ketika suatu pokok permasalahan yang kita tanggapi bukan merupakan bidang kompetensi yang kita kuasai, pilihan yang terbaik bagi kita adalah bersikap diam.

Fenomena yang sering terjadi, seseorang dengan mudah asal berpendapat dan menghakimi orang lain yang berbeda pandangan, hanya karena keterbatasan pengetahuan dan kapasitas yang dimilikinya. Allah SWT berfirman, Dan, janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabannya. (QS al-Isra’: 36).

Ketiga, menghargai pendapat orang lain. Sebagai mukmin yang baik, kita harus mampu menghargai setiap pendapat yang disampaikan oleh orang lain, terlepas dalam bentuk perbedaan pemikiran dan pandangan yang berasal dari siapa saja. Menghargai pendapat orang lain sama halnya dengan menghormati keberadaan hak-hak orang lain dan mengakui adanya sunatullah perbedaan sebagai rahmat.

Keempat, hendaknya kita bersegera meminta maaf apabila pendapat yang kita sampaikan ternyata tidak sesuai dengan permasalahan yang ada. Meminta maaf atas kesalahan dalam berpendapat merupakan tindakan yang sportif karena kita mampu menurunkan ego, mengakui keterbatasan kemampuan diri, dan menyadari kesalahan pendapat yang kita sampaikan.

Dengan meminta maaf, setidaknya dapat meredam ketegangan dan kekacauan dalam menyikapi setiap permasalahan. Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh: Muqorobin

KHAZANAH REPUBLIKA

Keutamaan Khatam Alquran

Banyak keutamaan mengkhatamkan Alquran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Suatu hari Abdullah bin Amru bin Ash bertanya kepada Rasulullah SAW. ”Wahai Rasulullah, berapa lama aku sebaiknya membaca Alquran?” Beliau menjawab, ”Khatamkanlah dalam satu bulan.” Abdullah berkata lagi, ”Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Khatamkanlah dalam dua puluh hari.” Abdullah berkata lagi, ”Aku masih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, ”Khatamkanlah dalam lima belas hari.” Abdullah berkata lagi, ”Aku masih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, ”Khatamkanlah dalam sepuluh hari.” Abdullah menjawab, ”Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, ”Khatamkanlah dalam lima hari.” Abdullah menjawab, ”Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Namun beliau tidak memberikan izin. (HR Tirmidzi). 

Banyak keutamaan mengkhatamkan Alquran. Di antaranya adalah, pertama, dengan banyak mengkhatam Alquran kita akan mendapatkan rahmat, ketenteraman, dan didoakan oleh malaikat, serta mendapatkan pujian dari Allah SWT. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ”Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah-rumah Allah untuk melantunkan ayat-ayat suci Alquran dan mempelajarinya, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, akan dilingkupi pada diri mereka dengan rahmat, akan dilingkari oleh para malaikat, dan Allah pun akan menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di dekat-Nya.” (HR Muslim). 

Kedua, membaca dan mengkhatam Alquran adalah amalan yang paling dicintai Allah. Ibnu Abbas RA menceritakan bahwa suatu hari, ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW. ”Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, ”Al-hal wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi, ”Apa itu al-hal wal murtahal, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Yaitu yang membaca Alquran dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR Tirmidzi). 

Ketiga, dengan membaca Alquran, maka kita akan mendapatkan syafaat di akhirat nanti. Dari Abu Amamah RA, ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Bacalah Alquran, karena sesungguhnya ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya di hari kiamat.” (HR Muslim). Dengan keutamaan-keutamaan ini, semoga kita semakin termotivasi untuk selalu membaca Alquran selain tentunya dengan terus berusaha memahami isi kandungannya dan juga mengamalkannya. Wallahu a’lam bish-shawab

KHZANAH REPUBLIKA

Modal Usaha dari Bank, Hasilnya Haram?

Pertanyaan:

Ustadz, ana ada pertanyaan; apakah boleh membangun usaha yang modalnya dari pinjaman bank dan apabila sudah maju apakah hasilnya haram?

Syukran.

Jawaban:

Bismillaah, alhamdulillaah wassholaatu wassalaamu ‘alaa rasuulillaah. Ammaa ba’du:

Saudara penanya –semoga Allah selalu melimpahkan rahmatNya kepada kita semua- meminjam uang ke bank apabila dengan cara syar’i maka diperbolehkan. Adapun meminjam ke bank dengan bunga -sedikit ataupun banyak- maka ini adalah hakikat riba dan hukumnya adalah haram berdasarkan Alqur’an, Sunnah dan ijma’ (kesepakatan ulama).

Didalam bab ini terdapat kaidah yang sangat populer, yaitu:

كل قرض جر نفعا فهو ربا

“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat/keuntungan adalah riba.”

Ibnu Qudamah (682 H) berkata:

كل قرض شرط فيه الزيادة فهو حرام بغير خلاف.

“Setiap piutang yang disyaratkan didalamnya sebuah tambahan maka itu adalah haram tanpa ada perselisihan.” (Asy-syarhul kabir: 4/360)

Hal itu berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)

Al-Jashshash (370 H) berkata dalam menafsirkan ayat diatas:

والربا الذي كانت العرب تعرفه وتفعله إنما كان قرض الدراهم والدنانير إلى أجل بزيادة على مقدار ما استقرض على ما يتراضون به

“Dan riba yang orang arab dahulu ketahui serta kerjakan yaitu hutang beberapa dirham dan (atau) beberapa dinar sampai batas waktu yang ditentukan dengan tambahan berdasarkan besar pinjaman sesuai keridhoan(kesepakatan). (Ahkamul qur’an: 2/184(

Nabi Muhammad ﷺ melaknat seluruh orang yang terkait didalam praktik riba dan beliau mengatakan bahwa mereka adalah sama. Tentunya hal ini menunjukkan betapa bahayanya riba.

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوْكلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ. وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah melaknat orang yang makan(mengambil) riba, pemberi makan riba, yang mencatat transaksi riba dan dua orang saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka semua adalah sama.” (HR. Muslim: 1598)

Didalam hadits yang lain disebutkan bahwa pemberi riba dan yang mengambilnya terancam neraka:

الزَّائِدُ وَالْمُسْتَزِيدُ فِي النَّارِ

“Yang memberi tambahan dan yang meminta tambahan tempatnya di neraka.” (Mushannaf Abdur Razzaq: 14569)

Praktik riba merupakan dosa besar yang amat besar. Riba adalah sebab hilangnya keberkahan karena riba adalah penghancur.

Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan haram dan bahayanya riba, diantaranya dapat dibaca dalam kitab Al Kabair (dosa-dosa besar) karya Imam Adz-Dzahabi (748 H), dosa besar ke-10.

Dengan demikian haram bagi kita semua untuk masuk dalam transaksi riba, baik sebagai pemberi ataupun sebagai penerima. Keduanya didalam dosa adalah sama, karena keduanya telah melangsungkan transaksi yang diharamkan. Maka hendaknya segera bertaubat kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat Lagi Maha Penyayang.

Berdasarkan hal diatas, meminjam uang dari bank dengan cara riba apapun tujuannya maka hukumnya adalah haram dan pelakunya berhak menerima ancaman yang telah disebutkan didalam Alqur’an maupun hadits.

Dan adapun keuntungan hasil usaha yang modalnya dari uang pinjaman tersebut maka hukumnya berkaitan dengan halal atau haramnya usaha yang ia bangun. Selama usaha yang dia jalankan halal maka hasilnya adalah halal dan sebaliknya. Karena uang pinjaman tersebut bukanlah uang riba. Uang riba adalah uang tambahan dari pokok hutang yang diberikan kepada pemberi pinjaman. Oleh karena itu taubatnya peminjam yang memberikan tambahan riba tidaklah harus menginfakkan sesuatu apapun karena dia tidaklah mengambil riba, melainkan ia adalah pemberi riba.

Akan tetapi seandainya uang pinjaman dengan akad riba tersebut belum ia gunakan maka hendaknya ia segera mengembalikannya untuk membatalkan transaksi tersebut. Dan sekiranya uang itu telah ia gunakan maka menjadi tanggungannya sebagai pinjaman dan jika memungkinkan, hendaknya ia tidak membayar kecuali sebatas pokok hutangnya saja, yaitu tanpa membayar bunganya karena itulah ribanya. Dan lebih baik segera melunasinya agar lekas terbebas dari transaksi yang haram.

Mari kita bertakwa kepada Allah dengan menjalankan perintahNya dan menjahui laranganNya, niscaya Allah akan menjadikan kemudahan dalam segala urusan kita, memberikan jalan keluar dari segala permasalahan yang kita hadapi dan melimpahkan rizki dari arah yang tak kita perkirakan. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah akan menggantinya dengan yang jauh lebih baik.

Wallahu Ta’ala a’lam.

Dijawab Oleh: Ustadz Idwan Cahyana, Lc.

Read more https://pengusahamuslim.com/6865-modal-usaha-dari-bank-hasilnya-haram.html

Lidah yang Berucap untuk Kemaksiatan

LIDAH memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berzikir kepadanya, tetapi juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara berlebihan. Semestinya kita mampu mengendalikan lidah untuk berzikir dan taat kepada Allah, sehingga bisa meninggikan derajat kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa zikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan diri dari Allah Azza wa Jalla.

Menuju surga cepat dengan lisan, menuju nerakapun cepat dengan lisan. Lisan bagai jaring kalau menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya jika tidak hasilnya akan sedikit dan melelahkan. Kata orang lidah tidak bertulang, maka lebih senang mengatakan apa-apa tanpa berpikir. Bahaya lidah ini sebenarnya besar sekali.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda, “Tiada akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya dan seorang hamba tidak akan memasuki surga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya.”

Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita bermanfaat dan berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi shodaqoh atau berbuat maruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS Annisa: 114)

INILAH MOZAIK

Terlepasnya Lidah dan Tertutupnya Hati

ORANG-ORANG sufi lebih tekun menggunakan mulutnya untuk berzikir dari pada berbincang-bincang, memperingatkan dengan prihatin; Manusia paling sering tertimpa bahaya dan paling banyak mendapatkan kesusahan adalah lidahnya terlepas dan hatinya tertutup. Ia tidak dapat berdiam diri, dan kalau berkata tidak bisa mengungkapkan yang baik-baik.

Hasan Al Bashri semasa mudanya pernah merayu seorang wanita cantik di tempat sepi, perempuan itu menegur, “Apakah engkau tidak malu? “Hasan Al Bashri menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mengawasi pula sekelilingnya, setelah ia yakin di tempat itu hanya ada mereka berdua, dan tidak terlihat siapapun, Hasan Al Bashri bertanya, “Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang lain yang menyaksikan perbuatan kita. “Wanita itu menjawab, “Malu kepada Dzat yang mengetahui khianatnya mata dan apa yang disembunyikan di dalam hati “

Lemas sekujur tubuh Hasan Al Bashri. Ia menggigil ketakutan hanya karena jawaban sederhana itu, sehingga ia bertobat tidak ingin mengulangi perbuatan jeleknya lagi. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, ucapkanlah yang bermanfaat, atau lebih baik diam saja”.

INILAH MOZAIK

Lidahmu, Surga atau Nerakamu…

RASULULLAH shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga.” ( Muttafaq alaih, dari Sahl bin Saad)

Kita hendaknya hanya mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena ucapan yang mubah dapat mengarah kapada hal yang makruh atau haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau diam”. (Muttafaq alaih, dari Abu Hurairah)

Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala ucapan lidahnya, maka dia akan tahu bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan dia pun akan mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan.

Allah berfirman: “Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan Atid.” (QS. Qoof: 18)

INILAH MOZAIK

Keutamaan Belajar Ilmu Agama (Bag. 3)

Binatang pun Menjadi Lebih Mulia karena Ilmu

Karena kemuliaan ilmu syar’i dan keutamaannya pula, Allah Ta’ala menghalalkan bagi kita untuk memakan binatang hasil buruan yang diburu oleh anjing ‘berilmu’ (yaitu anjing yang sudah terlatih untuk berburu) dan mengharamkan memakan binatang hasil buruan yang diburu oleh anjing yang tidak ‘berilmu’. Ini adalah bukti nyata bahwa binatang dibedakan kedudukannya karena ilmu. Maka bagaimana lagi dengan manusia? 

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

“Mereka menanyakan kepadamu, ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah,’Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).’” (QS. Al-Maidah [5]: 4)

Maka, marilah kita merenungkan ayat ini dengan seksama. Kalaulah bukan karena kemuliaan dan keutamaan ilmu, niscaya buruan anjing ‘berilmu’ dan anjing ‘bodoh’ akan sama saja.

Penuntut Ilmu adalah Manusia yang Terbaik

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

النَّاسُ مَعَادِنُ كَمَعَادِنِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ خِيَارُهُمْ فِى الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِى الإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوا 

“Manusia itu ibarat logam dari emas dan perak. Orang yang terbaik ketika jahiliyyah akan menjadi yang terbaik ketika Islam, jika mereka berilmu.” (HR. Bukhari no. 3496 dan Muslim no. 6877. Lafadz hadits di atas adalah milik Muslim) 

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata ketika memberi komentar terhadap hadits ini,

وَأَمَّا قَوْله إِذَا فَقِهُوا فَفِيهِ إِشَارَة إِلَى أَنَّ الشَّرَف الْإِسْلَامِيّ لَا يَتِمّ إِلَّا بِالتَّفَقُّهِ فِي الدِّين

“ … adapun perkataan beliau, ‘jika mereka berilmu’ maka di dalamnya terdapat isyarat bahwa kemuliaan Islam tidaklah sempurna kecuali dengan memahami agamanya, … “ (Fathul Baari, 10: 295) 

An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits ini,

وَمَعْنَاهُ أَنَّ أَصْحَاب الْمُرُوءَات وَمَكَارِم الْأَخْلَاق فِي الْجَاهِلِيَّة إِذَا أَسْلَمُوا أَوْ فَقُهُوا فَهُمْ خِيَار النَّاس

“Maknanya, orang-orang yang menjaga kehormatannya dan memiliki akhlak yang mulia di masa jahiliyyah, jika mereka masuk Islam atau memahami agamanya, maka merekalah manusia yang paling baik.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 112)

Yang Lebih Didahulukan dalam Memimpin adalah Orang Berilmu

Termasuk dalam hal-hal yang menunjukkan atas kemuliaan ilmu syar’i adalah mengetahui bahwa yang lebih didahulukan baik dalam memimpin suatu jabatan maupun kedudukan dalam syar’iat adalah yang lebih berilmu dan lebih bertakwa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا 

“Yang menjadi pemimpin suatu kaum adalah yang paling faham terhadap kitabullah. Jika masih sama, maka yang paling faham terhadap As-Sunnah. Jika masih sama, maka yang lebih dahulu berhijrah. Jika masih sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam.” (HR. Muslim no. 1564) 

Keutamaan ilmu lebih didahulukan dalam masalah kepemimpinan daripada statusnya yang lebih dahulu masuk Islam atau berhijrah. Ketika ilmu tentang Al Qur’an lebih mulia daripada ilmu tentang As-Sunnah karena kemuliaan ilmu Al Qur’an dibandingkan ilmu As-Sunnah, maka yang lebih didahulukan adalah yang memiliki ilmu tentang Al Qur’an. Ini menunjukkan atas keutamaan ilmu dan kemuliaannya. Dan pemiliknya lebih didahulukan (lebih diprioritaskan) untuk memegang jabatan keagamaan. (Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah, 1: 73-74) 

Dunia Ini Terlaknat kecuali Orang yang Menuntut Ilmu Syar’i

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencela dunia dan apa-apa yang di dalamnya kecuali hamba-Nya yang berdzikir kepada Allah dan yang menuntut ilmu syar’i. Ini merupakan petunjuk yang sangat jelas atas kemuliaan dan keutamaan ilmu syar’i di sisi Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا 

“Dunia itu terlaknat. Terlaknat apa-apa yang ada di dalamnya kecuali yang berdzikir kepada Allah, dan apa yang diamalkannya, orang yang berilmu dan yang mengajarkan ilmunya.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 4112)

Inilah sekelumit pelajaran tentang motivasi bagi para penuntut ilmu. Semoga yang sedikit ini bisa menyalakan semangat mereka dalam berjuang membela agama-Nya dari serangan musuh-musuh-Nya. Sesungguhnya pada masa yang penuh dengan fitnah semacam ini, kehadiran para penuntut ilmu yang sejati sangatlah dinanti-nanti. Para penuntut ilmu yang berhias dengan adab-adab Islami, yang tidak tergoda oleh gemerlapnya dunia dengan segala kepalsuan dan kesenangannya yang fana. Para penuntut ilmu yang bisa merasakan nikmatnya berinteraksi dengan Al Qur’an sebagaimana orang yang lapar menyantap makanan. Para penuntut ilmu yang senantiasa berusaha meraih keutamaan di waktu-waktunya. Para penuntut ilmu yang bersegera dalam kebaikan dan mengiringi amalnya dengan rasa harap dan cemas. Para penuntut ilmu yang mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya di atas kecintaannya kepada segala sesuatu. [1]

Catatan Penting (!!)

Satu catatan penting yang perlu penulis tambahkan adalah kesalahan sebagian di antara kita yang membawakan dalil-dalil tentang keutamaan ilmu, baik dari Al Qur’an dan As-Sunnah, namun yang dimaksudkan adalah untuk memotivasi belajar ilmu duniawi. Ini adalah sebuah kesalahan. Karena ilmu yang mendapatkan pujian dan memiliki banyak keutamaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil tersebut adalah ilmu syar’i. 

Hal ini sebagaimana perkataan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah yang telah penulis kutip sebelumnya, 

”Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf untuk dapat mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah …” (Fathul Baari, 1: 92) 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

”Ilmu yang mendapatkan pujian adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu tentang memahami kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Kitaabul ‘Ilmi, hal. 14)

Demikian pula dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَنْ يُرِدْ اللَّه بِهِ خَيْرًا يُفَقِّههُ فِي الدِّين

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436) 

Dalam hadits tersebut Rasulullah mengatakan,”memahamkan dia dalam urusan agamanya.” Rasulullah tidak bersabda,”memahamkan dia dalam urusan dunianya.”

Bahkan Allah Ta’ala mencela orang-orang yang sangat pandai tentang seluk-beluk ilmu dunia dengan segala permasalahannya, namun lalai terhadap ilmu agamanya. Allah Ta’ala berfirman,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat.” (QS. Ar-Ruum [30]: 7)

Maksudnya, sebagian besar manusia tidaklah mempunyai ilmu kecuali ilmu tentang dunia, dan segala yang terkait dengannya. Mereka sangat pandai dengan hal tersebut, namun lalai dalam masalah-masalah agama mereka dan apa yang bisa memberikan manfaat bagi akhirat mereka. [2] 

Namun, bukan berarti kita mengingkari manfaat belajar ilmu duniawi. Karena hukum mempelajari ilmu duniawi itu tergantung pada tujuannya. Apabila digunakan dalam kebaikan, maka baik. Dan apabila digunakan dalam kejelekan, maka jelek. [3] [4]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51587-keutamaan-belajar-ilmu-agama-bag-3.html

Rahasia Penamaan dan Manfaat Kurma Ajwa Favorit Rasulullah

Kurma ajwa merupakan jenis kurma kesukaan Rasulullah SAW.

Kurma merupakan salah satu makanan favorit masyarakat di kawasan Jazirah Arab. Dari sekian banyak jenis kurma, Rasulullah memiliki satu jenis kurma favorit yaitu kurma ajwa. Kurma ini berasal dari Madinah, dan biasa tumbuh di dataran tinggi. Kurma Ajwa memiliki ciri khusus dibanding kurma lain, yaitu berwarna lebih hitam dan berukuran lebih kecil.    

Nama ajwa, nyatanya berasal dari nama seorang putri dari sahabat Nabi Muhammad asal Persia, Salman Al-Farisi. Salman adalah seorang sahabat yang sangat loyal dan cinta kepada Islam dan Nabi Muhammad SAW. Salman mewakafkan sebidang kebun kurmanya untuk sumber biaya perjuangan kaum Muslim dalam membela Islam.  

Rasulullah pun menamakan kurma pemberian Salman sebagai kurma ajwa yang terinspirasi dari nama putri Salman yaitu Ajwah. Kurma ini juga tidak pernah absen dari menu harian Rasulullah terlebih saat berbuka puasa. 

Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda bahwa, sesungguhnya dalam kurma ajwah yang berasal dari Aliyah, arah Kota Madinah di dataran tinggi dekat Najed itu mengandung obat penawar ataud ia merupakan obat penawar racun apabila dikonsumsi pada pagi hari.   

Adapun alasan Nabi menjadikan kurma ajwa sebagai kurma andalan yang selalu menemani Beliau mengakhiri puasa, karena kurma ini dipercaya mampu menangkal racun dan ilmu hitam. Seperti yang diterangkan Rasulullah dalam hadis riwayat Bukhari.      Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang makan pagi dengan tujuh butir kurma ajwa, maka tak akan mencelakainya racun dan sihir dihari itu. (HR Bukhari).  

Selain sebagai penawar sihir, menurut penelitian, kurma Ajwa ternyata memiliki kandungan protein sebesar 1.8 hingga 4.0 persen, serta serat sebanyak 2.0 hingga 4.0, dan kandungan glukosa sebanyak 50-70. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Badan Kesahatan Dunia (WHO), zat glukosa dalam kurma berbeda dengan gula pada buah-buahan lain, karena dapat langsung diserap oleh tubuh. Sedangkan kandungan gula dalam buah lain, seperti tebu adalah sukrosa yang harus dipecahkan terlebih dahulu oleh enzim sebelum berubah menjadi glukosa dan mampu diserap tubuh.  Namun yang paling istimewa dari buah ini adalah, bibitnya ditanam langsung oleh Rasulullah pada 14 abad lalu dan masih dibudidayakan hingga saat ini. 

MOZAIK REPUBLIKA


Bahaya Kebiasaan: Banyak Komentar, Malas Membaca

Suatu kebiasaan dan budaya yang berkembangan di zaman internet dan sosmed ini adalah budaya berkomentar. Semua orang punya “panggung” untuk berbicara ke publik, komentar apa saja, tentang apa saja dan kapan saja. Dengan mudahnya orang banyak berkomentar sekarang, semua hal dan semua kejadian bisa dikomentari. Sebaliknya era internet dan sosmed bisa jadi mematikan budaya yang baik yaitu membaca, dalam artian membaca sebuah ilmu yang bermanfaat atau membaca dengan tujuan belajar, memahami dan menghasilkan perbaikan yang bermanfaat. Buku-buku bermanfaat ditinggalkan karena manusia lebih suka memegang gadget mereka.

Agama Islam yang mulia ini telah mengarahkan kita pada kebiasaan yang sebaliknya yaitu sedikit berbicara/komentar dan banyak membaca. Ini adalah kebiasaan dan budaya yang baik dan ditekankan dalam agama Islam.

Tidak banyak berkomentar bahkan diam jika tidak tahu/berilmu

Banyak berkomentar dan berbicara membuat kita mudah tergelincir dalam berbagai kesalahan. Sangat bernar ungkapan bahwa “lidah tidak bertulang”. Agar selamat hendaknya kita mampu menahan diri agar tidak banyak berkomentar, terlebih kita tidak tahu atau berilmu mengenai hal tersebut.

Ungakapan “diam itu emas” juga cukup tepat sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda,

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت

”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik,atau hendaknya dia diam.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Perlu diingat pula, lidahlah yang banyak menyebabkan seseorang masuk ke neraka. Luka karena pukulan tangan bisa sembuh dalam waktu beberapa hari atau minggu akan tetapi luka karena ungkapan lidah yang menusuk bisa jadi sulit atau susah sembuh. Sangat banyak “kejahatan” lidah jika tidak bisa dikendalikan.

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,

ثكلتك أمك يا معاذ. وهل يكبّ الناس في النار على وجوههم إلا حصائدُ ألسنتهم

“Engkau telah keliru wahai Mu’adz, tidaklah manusia dilemparkan ke Neraka di atas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka.” [HR.Tirmidzi]

Beliau juga bersabda,

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya (maksudnya janggut dan kumis) dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga” [HR. Al-Bukhari]

Hendaknya kita ingat bahwa setiap perkataan kita pasti akan di catat, baik banyak maupun sedikit, banyak keluhan dengan teriakan atau sekedar mengeluh dengan ungkapan kecil. Karena akan ada malaikat yang mencatat segala amal kita.

Allah Ta’ala berfirman,

عن اليمين وعن الشمال قعيد. ما يلفظ من قولٍ إلا لديه رقيب عتيد

“Seorang duduk disebelah kanan, dan yang lain duduk disebelah kiri. tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Qaaf:17-18).

Rajin membaca dan belajar

Rajin membaca dan belajar adalah ciri dan kebiasaan baik seorang mukmin. Bukankah ayat pertama yang turun adalah “iqra’” yaitu perintah membaca? Orang yang paham akan pentingnya membaca akan merasakan lezatnya ilmu dan membaca adalah suatu kebutuhan primer baginya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

ولا ريب أن لذة العلم أعظم اللذات، و اللذة التي تبقى بعد الموت وتنفع في الآخرة هي لذة العلم بالله والعمل له وهو الإيمان به

“Tidak diragukan lagi bahwasanya kelezatan ilmu itu adalah sebesar-besarnya kelezatan, dan kelezatan yang akan tetap ada setelah meninggal dan akan bermanfaat di akhirat ialah kelezatan ilmu kepada Allah dan beramal dengannya dan dia beriman kepadanya.” (Majmu’ Al-Fatawa 14/162)

Di antara ulama yang terkenal rajin membaca di zaman ini adalah syaikh Al-Albani rahimahullah, beliau membaca sehari bisa sampai 12 jam. Berikut kisah beliau membaca di atas tangga selama 6 jam karena sedang berlezat-lezat dengan ilmu. Berikut kisahnya,

يقول أحد تلامذة الشيخ ويقول:
ومما يدل على صبره وجلده في طلب العلم… أن الشيخ ناصر صعد على السلم في المكتبة الظاهرية ليأخذ كتابًا مخطوطًا، فتناول الكتاب وفتحه، فبقي واقفًا على السلم يقرأ في الكتاب لمدة تزيد على الست ساعات

Salah satu murid syaikh Al-Albani berkata,
“Di antara yang menunjukkan kesabaran dan kegigihan beliau (syaikh Al-Albani) dalam menuntu ilmu..
Syaikh naik ke tangga di perpustakaan Dzahiriyah untuk mengambil kitab manuskrip. Beliau mengambil kitab tersebut dan membukanya, beliau tetap berdiri di atas tangga membaca kitab tersebut lebih dari 6 jam” (Maqaalaat Al-Albani)

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/46442-bahaya-kebiasaan-banyak-komentar-malas-membaca.html