Sirah Nabawiyah, Kondisi Arab Sebelum Islam

Sebelum mengkaji sirah nabawiyah lebih lanjut, kita mulai dari bagaimana kondisi Arab sebelum Islam. Mengetahui ini, kita akan memahami betapa luar biasa dakwah Rasulullah mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islami.

Umumnya, buku-buku sirah nabawiyah dimulai dengan pembahasan ini. Kondisi Arab sebelum Rasulullah diutus. Kondisi masyarakat Makkah sebelum diutusnya Rasulullah. Makkah sebelum Islam. Dan berbagai judul yang senada dengan itu.

Gambaran dari Al Qur’an

Al Quran menggambarkan kondisi masyarakat Arab sebelum Islam dengan istilah dholalun mubin (ضلال مبين), kesesatan yang nyata. Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Al Jumu’ah: 2)

Buya Hamka menjelaskan dalam Tafsir Al Azhar, kesesatan yang nyata (ضلال مبين) yang dialami bangsa Arab diutusnya Rasulullah antara lain:

• Menguburkan anak perempuan hidup-hidup
• Orang kaya memeras orang miskin dengan riba
• Menyembah berhala
• Perang antar kabilah

Kondisi Sosial Masyarakat

Sebelum Rasulullah diutus, terdapat beberapa kelas masyarakat di Arab, khususnya Makkah. Yang paling dihormati adalah kelas bangsawan. Wanita bangsawan bisa mengumpulkan kabilah untuk perdamaian atau peperangan. Namun kepemimpinan tetap di tangan laki-laki.

Hubungan laki-laki dan perempuan mencapai kerusakan yang sangat parah. Pada masa jahiliyah itu, di Arab dikenal empat model pernikahan:

1. Pernikahan spontan

Yakni laki-laki datang ke wali perempuan untuk melamar lalu pernikahan dilangsungkan. Model pernikahan ini yang disetujui dalam Islam. Bedanya, pada masa jahiliyah sering kali pernikahan ini berlangsung spontan, dilakukan di hari itu juga.

2. Nikah istibdha’

Yakni suami menyuruh istrinya mendatangi bangsawan agar mendapatkan keturunan darinya. Hal ini dimotivasi oleh keinginan suami tersebut mendapatkan anak yang lebih baik. Dengan bibit dari bangsawan, ia berharap cita-cita itu bisa tercapai.

Pernikahan istibdha’ ini termasuk zina dalam pandangan Islam. Dan hukuman zina sangat keras sebagaimana dijelaskan dalam Surat An Nur ayat 2.

3. Poliandri

Yakni seorang wanita berhubungan dengan sejumlah laki-laki. Setelah anaknya lahir, wanita itu kemudian mengundang seluruh lak-laki tersebut dan bebas menunjuk siapa ayah bayi itu.

“Ini hidungnya mirip kamu Fulan, maka kamulah ayahnya.” Semudah itu kalimat wanita tersebut dan yang ditunjuk tidak boleh menolak. Demikian tradisi Arab jahiliyah.

4. Pelacuran

Ditandai dengan adanya bendera khusus di rumah tertentu. Adanya bendera itu menunjukkan bahwa di dalam rumah tersedia wanita untuk dinikmati siapa saja. Ini tak ubahnya dengan lokalisasi di zaman modern.

Selain itu, perzinaan meraja lela dan poligami tidak memiliki batasan. Bahkan tidak sedikit yang menikahi dua wanita yang bersaudara.

Dari sisi pendidikan, kebodohan mendominasi lapisan masyarakat. Sedangkan perjudian dan minuman keras juga menjangkiti semua kalangan mulai dari kelas bawah hingga bangsawan.

Kondisi Ekonomi Arab Sebelum Islam

Kemiskinan, kelaparan dan orang-orang yang tidak punya pakaian merupakan pemandangan yang biasa di masyarakat Arab jahiliyah. Kesenjangan ekonomi sangat tinggi, karena bangsawan sangat kaya dengan perdagangan.

Riba menguasai seluruh kehidupan orang-orang Arab. Hal ini semakin mencekit kaum dhu’afa yang terpaksa berhutang untuk menutupi kebutuhan hidup mereka. Orang-orang kaya para pemilik modal, mereka semakin kaya dengan riba berlipat ganda. Sementara orang miskin semakin miskin dan terlilit hutang yang menggunung.

Akhlak Masyarakat Arab Sebelum Islam

Banyak kebejatan dan amoral di masyarakat Arab jahiliyah. Namun masih ada akhlak terpuji yang terjaga dan menjadi kelebihan bangsa Arab:

  1. Kedermawanan
    2. Memenuhi janji
    3. Harga diri
    4. Pantang mundur
    5. Menolong orang lain
    6. Kesederhanaan Arab Badui

Agama dan Keyakinan Arab Sebelum Islam

Awalnya masyarakat Arab bertauhid pada masa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Sejak Nabi Ismail, tidak ada lagi Nabi yang turun dari kalangan mereka hingga 20 generasi.

Semakin lama semakin banyak penyimpangan. Terutama ketika Amr bin Luhay membawa berhala Hubal dari Syam dan diletakkan di dalam Ka’bah.

Sebelum Rasulullah diutus, mayoritas penduduk Makkah menyembah berhala. Demikian pula penduduk Yatsrib, meskipun di sana juga ada Yahudi dan Nasrani.

Selain Hubal, berhala-berhala terbesar mereka adalah Manat (di Musyallal, tepi laut merah), Lata (di Thaif), dan Uzza (di Wadi Nakhlah). Di sekitar Ka’bah sendiri ada sekitar 360 berhala.

Orang-orang Arab jahiliyah memiliki sejumlah ritual penyembahan berhala, antara lain:
• Mendatangi berhala, berkomat-kamit berdoa dan minta pertolongan
• Thawaf di sekeliling berhala dan sujud di hadapannya
• Menyembelih qurban untuk berhala
• Membawakan sesaji dari makanan pilihan kepada berhala
• Bernadzar menyajikan hasil ternak kepada berhala
• Al Bahirah (onta yang dimuliakan karena beranak betina 10), As Sa’ibah (onta yang dilepaskan karena nadzar), Al Washilah (domba yang punya anak kembar 5 betina), dan Al Hami (onta yang dimuliakan karena membuntingi 10 betina).

Khurafat meraja lela di masyarakat Arab jahiliyah. Mereka mengundi nasib dengan anak panah (azlam), percaya kepada peramal, dukun dan ahli nujum.

Namun masih ada pula sisa-sisa ajaran Ibrahim yang tidak hilang, di antaranya:
• Memuliakan ka’bah
•  Thawaf mengelilingi ka’bah
•  Haji dan umrah
•  Wuquf di arafah

Intinya, paganisme telah menguasai jazirah Arab. Mayoritas masyarakat menyembah berhala. Sisa-sia ajaran tauhid Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail masih ada, di antaranya mereka masih kenal dengan nama Allah. Bahkan yakin bahwa Allah adalah Sang Pencipta. Namun mereka menyekutukan Allah dengan menyembah berhala yang mereka yakini sebagai perwujudan malaikat atau orang shalih untuk menjadi perantara kepada Allah.

Demikian kondisi Arab sebelum Islam. Mereka benar-benar terpuruk dalam masa jahiliyah, benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata. Kepada masyarakat seperti itulah Rasulullah diutus. Mengubah dari jahiliyah menuju cahaya Islam.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]


Perintah Pertama dan Wasiat Terakhir (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Perintah Pertama dan Wasiat Terakhir (Bag. 1)

Wasiat terahir juga berisi tentang tauhid

Betapa pentingnya tauhid ini, sampai-sampai para Nabi ‘alaihish shalatu wassalaam menjadikan tauhid sebagai wasiat penting mereka sebelum meninggal dunia. Hal ini tentunya menunjukkan perhatian mereka yang sangat besar terhadap masalah tauhid. Karena perhatian seseorang itu bermacam-macam, namun semua itu dapat diketahui dari wasiat apa yang mereka katakan menjelang akhir hidupnya kepada orang-orang yang akan ditinggalkannya. Ketika yang mereka wasiatkan adalah pembagian harta, maka berarti harta-lah yang menjadi perhatian utama dalam hidupnya. Ketika yang mereka wasiatkan adalah masalah jabatan dan kekuasaan, maka berarti itulah yang menjadi perhatian utama dalam hidupnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ؛ أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata), ’Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam.’ Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya,’Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ’Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (QS. Al-Baqarah [2]: 132-133)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menceritakan kisah Nabi Nuh ‘alaihi salaam,

إِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ نُوحاً صلى الله عليه وسلم لَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ قَالَ لاِبْنِهِ إِنِّى قَاصٌّ عَلَيْكَ الْوَصِيَّةَ آمُرُكَ بِاثْنَتَيْنِ وَأَنْهَاكَ عَنِ اثْنَتَيْنِ آمُرُكَ بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَإِنَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعَ وَالأَرْضِينَ السَّبْعَ لَوْ وُضِعَتْ فِى كَفَّةٍ وَوُضِعَتْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فِى كَفَّةٍ رَجَحَتْ بِهِنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَوْ أَنَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعَ وَالأَرْضِينَ السَّبْعَ كُنَّ حَلْقَةً مُبْهَمَةً قَصَمَتْهُنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ فَإِنَّهَا صَلاَةُ كُلِّ شَىْءٍ وَبِهَا يُرْزَقُ الْخَلْقُ وَأَنْهَاكَ عَنِ الشِّرْكِ وَالْكِبْرِ

“Sesungguhnya ketika Nabi Nuh hendak meninggal dunia, beliau berkata kepada anaknya, ’Sesungguhnya aku akan menyampaikan wasiat kepadamu. Aku memerintahkanmu kepada dua hal dan melarangmu dari dua hal. Aku memerintahkan kepadamu (untuk bersaksi bahwa) tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. Karena sesungguhnya jika langit dan bumi yang tujuh diletakkan pada sebuah daun timbangan dan kalimat ‘laa ilaaha illallah’ diletakkan pada daun timbangan yang lain, maka akan lebih berat daun timbangan ‘laa ilaaha illallah’. Dan seandainya langit dan bumi yang tujuh itu sebuah cincin, maka kalimat ‘laa ilaaha illallah’ akan membuatnya terbelah. Sedangkan (kalimat) ‘Subhanallah wa bihamdihi’ [Maha Suci Allah dan segala puji untuk-Nya] adalah doa segala sesuatu dan dengannya para makhluk diberi rizki. Dan aku melarangmu dari syirik dan kesombongan’.” (HR. Ahmad no. 6583. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 6295)

Tauhid pula yang menjadi wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelang detik-detik akhir kehidupannya. Jundub bin ‘Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika lima hari sebelum beliau wafat,

إِنِّى أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِى مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِى خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Sesungguhnya aku berlepas diri kepada Allah untuk memiliki seorang kekasih di antara kamu. Karena bahwasannya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya. Seandainya aku menjadikan seorang umatku sebagai kekasih, niscaya Abu Bakar-lah yang aku jadikan sebagai kekasih. Ketahuilah, bahwasannya umat-umat sebelummu telah menjadikan kubur para Nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid. Ketahuilah, jangan kalian jadikan kubur-kubur sebagai masjid. Aku melarang kalian dari perbuatan itu.” (HR. Muslim no. 1216)

Dan bukti bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan hal ini adalah beliau mengulangi lagi wasiat tersebut menjelang beliau wafat. Dan tidaklah seseorang berwasiat tentang sesuatu hal, kecuali hal tersebut adalah perkara yang sangat penting dan harus diperhatikan. ‘Aisyah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ”Ketika Nabi menjelang wafat, beliau menutupkan kain ke wajahnya, lalu beliau buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan nafas. Ketika dalam kondisi seperti itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena mereka menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. Bukhari no. 435, 436 dan Muslim no. 1215)

Nabi menyampaikan larangan tersebut lima hari sebelum wafat dan menyampaikan berita laknat Allah Ta’ala ketika hendak wafat. Ini adalah bukti bahwa tauhid adalah masalah yang sangat diperhatikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka benarlah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah Ta’ala. Bahkan para ulama seluruhnya bersepakat bahwa yang pertama kali diperintahkan kepada seorang hamba adalah dua kalimat syahadat. Maka tauhid inilah yang pertama kali memasukkan seseorang ke dalam Islam, dan yang terakhir kali mengeluarkan seseorang dari dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Barangsiapa yang akhir perkataan dalam hidupnya adalah ‘laa ilaaha illallah’, maka pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud no. 3116, shahih)

Maka, tauhid inilah yang merupakan kewajiban pertama sekaligus terakhir.

Melihat hadits tersebut, penulis teringat pada sebuah kisah yang sangat menarik dan menakjubkan. Kisah ini diceritakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah, dalam kitab Tarikh Baghdad (10/335). Berikut ini kisah tersebut.

Abu Ja’far At-Tusturi mengatakan, ”Kami pernah mendatangi Abu Zur’ah Ar-Razi yang sedang berada dalam keadaan sakaratul maut di Masyahron. Di sisi Abu Zur’ah terdapat Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, Al-Munzir bin Syadzan, dan sekumpulan ulama lainnya. Mereka ingin men-talqin-kan Abu Zur’ah dengan mengajari hadits talqin sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan ’laa ilaha illallah’.” (HR. Muslim no. 2162 dan 2164)

Namun mereka malu dan takut kepada Abu Zur’ah untuk men-talqin-kannya. Lalu mereka berkata, ”Mari kita menyebutkan haditsnya (dengan sanadnya/ jalur periwayatannya).”

Muhammad bin Muslim lalu mengatakan, ”Adh-Dhahak bin Makhlad telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih … ”. Kemudian Muhammad tidak meneruskannya.

Abu Hatim kemudian mengatakan, ”Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ’Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih … ”. Lalu Abu Hatim juga tidak meneruskannya dan mereka semua terdiam.

Kemudian Abu Zur’ah yang sedang berada dalam sakaratul maut mengatakan, ”Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ’Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih bin Abu ’Arib, (beliau berkata), dari Katsir bin Murroh Al-Hadhramiy, (beliau berkata), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu, (beliau berkata) Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

Setelah itu, Abu Zur’ah rahimahullah langsung meninggal dunia. Abu Zur’ah meninggal pada akhir bulan Dzulhijjah tahun 264 H.

Marilah kita merenungkan kisah Abu Zur’ah rahimahullah di atas. Beliau menutup akhir nafasnya dengan kalimat syahadat laa ilaha illallah. Bahkan beliau rahimahullah mengucapkan kalimat tersebut sambil membawakan sanad dan matan haditsnya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kebanyakan orang yang berada dalam sakaratul maut.

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk dapat beribadah hanya kepada-Nya di sepanjang hidup kita serta menutup hidup kita di dunia ini di atas tauhid. Semoga Allah Ta’ala meneguhkan hati kita untuk tetap konsisten di jalan ilmu dan amal shalih.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50984-perintah-pertama-dan-wasiat-terakhir-bag-2.html

Said bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu

Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang mulia. Bahkan yang termulia di tengah umat ini. Jumlah mereka lebih dari seratus ribuan. Tapi yang paling mulia di antara mereka ada sepuluh orang. Kita mengenal kesepuluh orang ini dengan sebutan al-mubasyiruna bil jannah (orang-orang yang diberitakan masuk surga). Di antara sepuluh orang itu tersebutlah nama Said bin Zaid radhiallahu ‘anhu.

Said bin Zaid tak seterkenal al-mubasyiruna bil Jannah yang lain. Seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Abdurrahman bin Auf. Tapi hal itu tidak mengurangi kemuliaannya. Kali ini kita akan menyimak catatan ringkas tentang biografi Said bin Zaid radhiallahu ‘anhu. Agar kita lebih mengenal sahabat yang mulia ini.

Said bin Zaid adalah seorang yang pertama-tama memeluk Islam. Ia memeluk Islam sebelum Nabi berdakwah di rumah al-Arqam bin Abi al-Aqram. Ia turut serta dalam semua peperangan Rasulullah. Bahkan ia turut ambil bagian juga dalam Perang Yarmuk dan pengepungan Damaskus.

Nasab dan Kedudukannya

Nama dan nasabnya adalah Said bin Zaid bin Amr bin Nufail bin Abdul Uzza al-Adawi. Satu kabilah dengan Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Ia dilahirkan di Mekah 22 tahun sebelum hijrah. Termasuk salah seorang yang pertama-tama memeluk dengan perantara dakwah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.

Said bin Zaid menikah dengan adik Umar, Fatimah binti al-Khattab radhiallahu ‘anha. Sementara Umar menikahi saudarinya, yaitu Atikah binti Zaid. Ayahnya, Zaid bin Amr bin Nufail, adalah seorang yang hanif. Meskipun hidup di masa jahiliyah ia tak pernah sujud kepada selain Allah. Di tengah kegelapan jahiliyah, menjelang wafat ayahnya berkata, “Ya Allah, jika Engkau memang tidak menghendaki kebaikan ini (agama Islam) untukku, maka janganlah Engkau halangi anakku (Sa’id) darinya.” Ia tidak tahu harus mengikuti siapa. Karena di zaman itu belum ada Rasul yang diutus.

Jaminan Surga Sejak Masih Tinggal di Dunia

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ada sepuluh orang sahabatnya yang paling utama. Mereka semua dijamin surga. Sejak mereka hidup di dunia. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: “أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ، وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ”.

Dari Abdurrahman bin Auf, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Abu Bakar di surga. Umar di surga. Utsman di surga. Ali di surga. Thalhah (bin Ubaidillah) di surga. Az-Zubair (bin al-Awwam) di surga. Abdurrahman bin Auf di surga. Saad (bin Abil Waqqash) di surga. Said (bin Zaid) di surga. Dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga.” (HR. Ahmad dan at-Turmudzi).

Seorang Yang Mustajab Doanya

Di antara keutamaan Said bin Zaid adalah ia memiliki doa yang mustajab. Ini menunjukkan kedekatannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Suatu hari ada seorang wanita yang memfitanah Said. Ia mengatakan bahwa Said telah mencuri tanahnya dan memasukkan tanah itu ke bagian miliknya. Fitnah tersebut benar-benar menyakitkan Said. Hingga ia mendoakan orang tersebut,

اللَّهُم إِنْ كَانَتْ كَاذِبَةً فَأَعْمِ بَصَرَهَا، وَاجْعَلْ قَبْرَهَا فِي دَارِهَا

“Ya Allah, kalau dia dusta, buatlah matanya buta. Dan jadikanlah tempat wafatnya, tanahnya sendiri.”

Selang beberapa hari, wanita tersebut mengalami kebutaan. Ia meraba-raba berjalan di dinding. Wanita itu berkata, “Aku telah tertimpa musibah dengan sebab doanya Said bin Zaid.” Saat ia berjalan di tanahnya, ia melewati sumur dan terjatuh di dalamnya. Di situlah kuburnya.

Selain turut serta bersama Rasulullah dalam semua perang setelah Perang Badar. Said juga memiliki keutamaan sebagai periwayat hadits. Memang tidak banyak hadits yang ia riwayatkan. Ia meriwayatkan sejumlah 48 hadits.

Wafat

Said bin Zaid wafat di daerah Aqiq pada tahun 50-an Hijriyah. Kemudian jenazahnya dibawa ke Madinah. Saat wafat usianya 70-an tahun.

Sumber: https://islamstory.com/ar/artical/33895/الصحابي_سعيد_بن_زيد

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6386-said-bin-zaid-radhiallahu-anhu.html

Bulan Muharram: Sejarah, Peristiwa Penting, Keutamaan dan Amalan Sunnah

Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender hijriyah. Bagaimana sejarah bulan muharram, apa saja keutamaan dan amalan sunnah di dalamnya? Berikut ini pembahasannya.

Kalender hijriyah dimulai dari bulan Muharram. Ia merupakan bulan yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia memiliki berbagai keutamaan dan mempunyai sejarah penting dalam sejarah umat Islam.

Sejarah Bulan Muharram

Bulan Muharram (المحرم) berasal dari kata haram (حرم) yang artinya suci atau terlarang. Dinamakan Muharram, karena sejak zaman dulu, pada bulan ini dilarang berperang dan membunuh. Larangan itu terus berlaku hingga masa Islam. Bahkan bulan Muharram termasuk salah satu bulan haram.

Orang-orang Arab baik sebelum masa Rasulullah maupun pada masa beliau tidak memiliki angka tahun. Mereka biasa menamakan tahun dengan peristiwa besar yang terjadi di dalamnya.

Misalnya ada tahun yang disebut tahun gajah (amul fil) karena di tahun tersebut terjadi peristiwa pasukan gajah di bawah pimpinan Abrahah yang akan menghancurkan Ka’bah. Ada tahun yang disebut sebagai tahun fijar (amul fijar) karena saat itu terjadi perang fijar. Ada tahun yang disebut tahun nubuwah karena di tahun itu Rasulullah menerima wahyu.

Pada tahun ketiga masa pemerintahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, datang satu masalah yang dialami oleh pejabat pemerintah. Ketiadaan angka tahun membuat sebagian pejabat pemerintah kesulitan. Salah satunya adalah Gubernur Basrah Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.

Atas aduan Abu Musa, Umar kemudian menerbitkan kalender Islam. Setelah bermusyawarah dengan para sahabat terkemuka, diputuskan bahwa awal kalender Islam dimulai dari tahun hijrahnya Rasulullah. Karenanya kalender Islam dikenal dengan nama kalender hijriyah.

Selanjutnya, bulan apa yang dijadikan bulan pertama tahun hijriah? Utsman bin Affan mengusulkan Muharram. Mengapa? Sebab sejak dulu orang Arab menganggap Muharram adalah bulan pertama. Kedua, umat Islam telah menyelesaikan ibadah haji pada bulan Dzulhijjah. Ketiga, bulan Muharram merupakan bulan munculnya tekad hijrah ke Madinah setelah pada Dzulhijjah terjadi Baiat Aqabah II.

Maka jadilah Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender hijriyah. 1 Muharram adalah tahun baru hijriyah.

Peristiwa Penting pada Bulan Muharram

Banyak peristiwa penting terjadi pada bulan Muharram. Mulai dari masa Nabi terdahulu hingga masa Islam.

Beberapa peristiwa penting pada bulan Muharram sebelum masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai berikut:

  1. Nabi Adam ‘alaihis salam bertaubat kepada Allah dari dan diterima taubatnya.
  2. Berlabuhnya kapal Nabi Nuh ‘alaihis salam di bukit Zuhdi setelah banjir dahsyat yang menenggelamkan mayoritas penduduk bumi saat itu.
  3. Selamatnya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dari siksaan api Raja Namrud.
  4. Dibebaskannya Nabi Yusuf ‘alaihis salam dari penjara Mesir.
  5. Keluarnya Nabi Yunus ‘alaihis salam dari perut ikan dengan selamat.
  6. Disembuhkannya Nabi Ayyub ‘alaihis salam dari penyakitnya.
  7. Selamatnya Nabi Musa ‘alaihis salam dan umatnya dari pengejaran Fir’aun di Laut Merah.

Sedangkan peristiwa penting pada bulan Muharram yang terjadi masa Islam antara lain sebagai berikut:

  1. Pada Muharram 1 H, muncul tekad hijrah ke Madinah setelah pada Dzulhijjah terjadi Baiat Aqabah II.
  2. Pada Muharram 7 H, terjadi perang Khaibar. Perang ini kemudian dimenangkan kaum muslimin dengan gemilang.
  3. Pada 1 Muharram 24 H, Umar bin Khattab dimakamkan setelah syahid dibunuh oleh Abu Lu’lu’ah seorang Majusi.
  4. Pada 10 Muharram 61 H, terjadi musibah besar. Husain, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan keluarganya dibunuh di Karbala.

Keutamaan Bulan Muharram

Muharam merupakan bulan yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beberapa keutamaan yang dimilikinya. Berikut ini tiga keutamaan Bulan Muharram:

1. Bulan Haram

Bulan Muharam merupakan salah satu bulan haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. (QS. At Taubah : 36)

Empat bulan haram yang dimaksud dalam Surat At Taubah ayat 36 ini adalah bulan Dzulqidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

Ashurul haram (bulan haram), termasuk bulan Muharam ini adalah bulan yang dimuliakan Allah. Bulan-bulan ini memiliki kesucian, dan karenanya menjadi bulan pilihan. Di antara bentuk kesucian dan kemuliaan bulan-bulan ini adalah kaum muslimin dilarang berperang, kecuali terpaksa; jika diserang oleh kaum kafir. Kaum muslimin juga diingatkan agar lebih menjauhi perbuatan aniaya pada bulan haram.

2. Bulan Allah

Keutamaan bulan Muharram yang kedua adalah, bulan ini disebut sebagai syahrullah (bulan Allah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim)

Az Zamakhsyari menjelaskan, ”Bulan Muharram disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan ini. Sebagaimana kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Ahlullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan ini.”

Sedangkan Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iraqiy menjelaskan, Muharram disebut syahrullah karena pada bulan ini diharamkan pembunuhan dan ia merupakan bulan pertama dalam setahun.

3. Waktu Puasa Tasu’a dan Asyura

Kemuliaan ketiga dari bulan ini adalah, disunnahkannya puasa tasu’a dan ayura. Bahkan puasa tasu’a dan asyura serta puasa sunnah lainnya (senin kamis, ayamul bidh, puasa daud), nilainya menjadi puasa yang paling mulia setelah Ramadhan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah (berpuasa) di bulan Allah, Muharam. (HR. Muslim)

Secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan puasa asyura dalam sabdanya :

سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Rasulullah ditanya mengenai puasa asyura, beliau menjawab, “ia bisa menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

Sedangkan mengenai puasa tasu’a, Rasulullah berazam untuk menjalankannya, meskipun beliau tidak sempat menunaikan karena wafat sebelum Muharam tiba. Lalu para sahabatnya menjalankan puasa tasu’a seperti keinginan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إذا كان العام المقبل صمنا يوم التاسع

“Apabila tahun depan (kita masih diberi umur panjang), kita akan berpuasa pada hari tasu’a (kesembilan). (HR. As-Suyuthi dari Ibnu Abbas, dishahihkan Al Albani dalam Shahihul Jami’)

Baca juga: Khutbah Jumat Muharram

Amalan Sunnah di Bulan Muharram

Lalu apa saja amalan sunnah di bulan Muharram yang keutamaan waktunya telah dijelaskan di atas? Berikut ini beberapa di antaranya:

1. Memperbanyak puasa sunnah

Amalan sunnah pertama pada bulan ini adalah memperbanyak puasa sunnah. Sebab puasa sunnah paling utama adalah puasa sunnah di bulan ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah (berpuasa) di bulan Allah, Muharam. (HR. Muslim)

Ibnu Rajab mengisyaratkan, puasa yang dimaksud adalah puasa sunnah mutlak, bukan puasa sunnah muqayyad. Umar, Aisyah dan Abu Tholhah termasuk para shahabat yang banyak berpuasa di bulan-bulan haram termasuk bulan Muharram.

2. Puasa Asyura

Yakni puasa pada tanggal 10 Muharram. Ini adalah amal yang paling utama dan puasa sunnah terbaik di bulan Muharram yang keutamaannya bisa menghapus dosa setahun.

سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Rasulullah ditanya mengenai puasa asyura, beliau menjawab, “ia bisa menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

3. Puasa Tasu’a

Yakni puasa pada tanggal 9 Muharram. Rasulullah berazam untuk mengerjakannya, meskipun beliau tidak sempat menunaikan karena wafat sebelum waktu itu tiba. Lalu para sahabatnya menjalankan puasa tasu’a seperti keinginan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إذا كان العام المقبل صمنا يوم التاسع

“Apabila tahun depan (kita masih diberi umur panjang), kita akan berpuasa pada hari tasu’a (kesembilan). (HR. As-Suyuthi; shahih)

4. Membantu orang lain

Amalan sunnah berikutnya adalah memberikan kelapangan kepada keluarga, termasuk istri dan anak-anak, di hari asyura. Memberikan kelapangan ini maksudnya adalah membantu mereka dan menyenangkan hati mereka. Misalnya buka bersama di rumah makan, memberikan hadiah, dan sejenisnya.

Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah membuat judul khusus التوسعة يوم عاشوراء (Bagaimana merayakan hari Asyura). Sayyid Sabiq mencantumkan hadits ini di bawah judul tersebut:

مَنْ وَسَّعَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi dirinya dan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan baginya sepanjang tahun itu” (HR. Baihaqi)

“Hadits tersebut memiliki riwayat lain, tetapi semuanya lemah,” kata Sayyid Sabiq. “Hanya saja apabila digabungkan antara satu dengan lainnya, maka bertambah kuat sebagaimana yang telah dikatakan Sakhawi.”

Berikut ini sebagian hadits-hadits yang dimaksud oleh Sayyid Sabiq sebagai penguat hadits di atas:

مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي سَنَتِهِ كُلِّهَا

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan melapangkannya di keseluruhan tahun itu” (HR. Thabrani dan Hakim)

مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِي سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka ia takkan kesulitan di waktu lain sepanjang tahun itu” (HR. Thabrani)

مَنْ وَسَّعَ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ أَهْلِهِ طَوْلَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan kepada keluarganya sepanjang tahun itu” (HR. Baihaqi)

مَنْ وَسَّعَ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan baginya sepanjang tahun itu” (HR. Baihaqi)

Demikian pembahasan tentang bulan Muharram mulai dari sejarah, keutamaan hingga amalan sunnah di dalamnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]

Mengucapkan Salam pada Rumah Kosong

Apakah mesti mengucapkan salam saat memasuki rumah kosong atau memasuki rumah yang tanpa penghuni? Bagaimana bentuk salamnya jika ada?

Kita diperintahkan mengucapkan salam pada rumah yang akan kita masuki sebagaimana disebutkan dalam ayat,

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً

Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.” (QS. An Nur: 61).

Sedangkan mengucapkan salam pada rumah yang tidak berpenghuni atau tidak ada seorang pun di rumah tersebut tidaklah wajib, namun hanya disunnahkan saja.

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

إذا دخل البيت غير المسكون، فليقل: السلام علينا، وعلى عباد الله الصالحين

Jika seseorang masuk rumah yang tidak didiami, maka ucapkanlah “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin (salam bagi diri kami dan salam bagi hamba Allah yang sholeh)” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod 806/ 1055. Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fath, 11: 17).

Hal di atas diucapkan ketika rumah kosong. Namun jika ada keluarga atau pembantu di dalamnya, maka ucapkanlah “Assalamu ‘alaikum”. Namun jika memasuki masjid, maka ucapkanlah “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin”. Sedangkan Ibnu ‘Umar menganggap salam yang terakhir ini diucapkan ketika memasuki rumah kosong.

Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al Adzkar berkata, “Disunnahkan bila seseorang memasuki rumah sendiri untuk mengucapkan salam meskipun tidak ada penghuninya. Yaitu ucapkanlah “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin”. Begitu pula ketika memasuki masjid, rumah orang lain yang kosong, disunnahkan pula mengucapkan salam yang salam “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin. Assalamu ‘alaikum ahlal bait wa rahmatullah wa barakatuh”. (Al Adzkar, hal. 468-469).

Maksud kalimat “Assalamu ‘alainaa” menunjukkan seharusnya do’a dimulai untuk diri sendiri dulu baru orang lain. Sedangkan kalimat “wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin”, yaitu salam pada hamba yang sholeh, maksud sholeh adalah orang yang menjalani kewajiban, hak Allah dan juga hak hamba. (Syarh Shahih Al Adabil Mufrod, 3: 186).

Hanya Allah yang memberi hidayah.

Referensi:

Al Adzkar An Nawawiyah, Abu Zakariya, Yahya bin Syarf An Nawawi Ad Dimasyqi, terbitan Dar Ibnu Khuzaimah, cetakan pertama, tahun 1422 H.

Rosysyul Barod Syarh Al Adabil Mufrod, Dr. Muhammad Luqman As Salafi, terbitan Darud Da’i, cetakan pertama, tahun 1326 H.

Syarh Shahih Al Adabil Mufrod, Husain bin ‘Audah Al ‘Uwaisyah, terbitan Al Maktabah Al Islamiyyah, cetakan kedua, tahun 1425 H.

Oleh -akhukum fillah- Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/6018-mengucapkan-salam-pada-rumah-kosong.html

Mengucapkan Salam Ketika Memasuki Rumah Sendiri

Ketika memasuki rumah sendiri jangan lupa tetap mengucapkan salam, biar rumah kita tambah berkah.

Kumpulan Hadits Kitab Riyadhush Sholihin karya Imam Nawawi

Kitab As-Salam

Bab 135. Sunnahnya Salam Apabila Memasuki Rumah (Sendiri)

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً

Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.” (QS. An-Nuur: 61)

Ayat lengkapnya,

لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَىٰ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا ۚ فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu, dirumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya atau dirumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.” (QS. An-Nuur: 61)

Faedah Ayat

Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan, “Tidak ada dosa bagi orang buta yang kehilangan penglihatannya, tidak pula ada dosa bagi orang pincang, dan tidak pula bagi orang sakit; bila meninggalkan kewajiban yang mereka tidak sanggup laksanakan seperti jihad di jalan Allah. Dan tidak ada dosa bagi diri kalian -wahai orang-orang beriman- makan di rumah kalian sendiri, termasuk juga rumah anak laki-laki kalian, atau makan di rumah bapak-bapak kalian, di rumah ibu-ibu kalian, di rumah saudara laki-laki kalian, di rumah saudari kalian, di rumah saudara laki-laki bapak kalian, di rumah saudari bapak kalian, di rumah saudara laki-laki ibu kalian, di rumah saudari ibu kalian, di rumah yang kalian miliki kuncinya seperti penjaga kebun. Tidak ada dosa untuk kalian makan di rumah kawan-kawan kalian karena biasanya hal itu terjadi lantaran kerelaannya untuk itu, tidak ada pula dosa bagi kalian makan bersama-sama atau sendirian. Maka apabila kalian memasuki suatu rumah seperti rumah-rumah yang di sebutkan di atas, atau rumah selainnya; hendaklah kalian memberi salam kepada penghuninya dengan mengucapkan, ASSALAAMU ‘ALAIKUM”, dan apabila di dalamnya tidak terdapat seorang pun penghuninya, maka ucapkanlah salam kepada dirimu sendiri dengan mengucapkan, “ASSALAAMU ‘ALAINAA WA A’ALA ‘IBADILLAHISH SHOLIHIIN” sebagai ucapan salam dari sisi Allah yang disyariatkan-Nya untuk kalian, yang diberi berkah; karena ia menebarkan sikap saling mencintai, dan persatuan di antara kalian, juga baik karena bisa menenangkan hati pendengarnya. Dengan penjelasan-penjelasan seperti ini yang juga disebutkan sebelumnya dalam surah ini, Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya agar kalian memahaminya, dan mengamalkan kandungannya.”


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21345-mengucapkan-salam-ketika-memasuki-rumah-sendiri.html

Tips Supaya Iman Kuat

Beberapa hal di bawah ini menjadi peningkat kekuatan iman.

1. Memperbanyak baca Alquran dan merenungi maknanya

Ayat-ayat Alquran memiliki target yang luas dan spesifik sesuai kebutuhan masing-masing orang yang sedang mencari atau memuliakan Rabbnya. Sebagian ayat Alquran mampu menggetarkan hati seseorang yang sedang mencari kemuliaan Allah, selain itu Alquran mampu membuat menangis orang yang berdosa dan membuat ketenangan hati.

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS, Shaad 38:29)

Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang lalim selain kerugian. (QS, al-Israa 17:82)

2. Mempelajari Asmaul Husna

Bila seseorang memahami sifat Allah yang Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Mengetahui, maka ia akan menahan lidahnya, anggota tubuhnya dan gerakan hatinya dari apapun yang tidak disukai Allah.

Bila seseorang memahami sifat Allah yang Maha Indah, Maha Agung dan Maha Perkasa, maka semakin besarlah keinginannya untuk bertemu Allah di hari akhirat sehingga iapun secara cermat memenuhi berbagai persyaratan yang diminta Allah untuk bisa bertemu dengan-Nya (yaitu dengan memperbanyak amal ibadah).

Bila seseorang memahami sifat Allah yang Maha Santun, Maha Halus dan Maha Penyabar, maka iapun merasa malu ketika ia marah, dan hidupnya merasa tenang karena tahu bahwa ia dijaga oleh Tuhannya secara lembut dan sabar.

3. Mempelajari sirah Nabawiyah

Dengan memahami perilaku, keagungan dan perjuangan Rasulullah, akan menumbuhkan rasa cinta kita terhadapnya, kemudian berkembang menjadi keinginan untuk mencontoh semua perilaku beliau dan mematuhi pesan-pesan beliau selaku utusan Allah.

Seorang sahabat r.a. mendatangi Rasulullah saw dan bertanya, Wahai Rasul Allah, kapan tibanya hari akhirat?. Rasulullah saw balik bertanya: Apakah yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi hari akhirat?. Si sahabat menjawab , Wahai Rasulullah, aku telah salat, puasa dan bersedekah selama ini, tetap saja rasanya semua itu belum cukup. Namun didalam hati, aku sangat mencintai dirimu, ya Rasulullah. Rasulullah saw menjawab, Insya Allah, di akhirat kelak engkau akan bersama orang yang engkau cintai. (HR Muslim)

Inilah hadis yang sangat disukai para sahabat Rasulullah SAW. Jelaslah bahwa mencintai Rasulullah adalah salah satu jalan menuju surga, dan membaca riwayat hidupnya (sirah) adalah cara terpenting untuk lebih mudah memahami dan mencintai Rasulullah SAW.

4. Mempelajari nilai-nilai agama Islam

Renungan terhadap syariat Islam, hukum-hukumnya, akhlak yang diajarkannya, perintah dan larangannya, akan menimbulkan kekaguman terhadap kesempurnaan ajaran agama Islam ini. Tidak ada agama lain yang memiliki aturan dan etika yang sedemikian rincinya seperti Islam, di mana untuk makan dan ke WC pun ada adabnya, untuk aspek hukum dan ekonomi ada aturannya, bahkan untuk berhubungan suami istripun ada aturannya.

5. Mempelajari Kehidupan para sahabat Rasulullah SAW, tabiin dan tabiut tabiin

Mereka adalah generasi-generasi terbaik dari Islam. Mereka adalah orang-orang yang kadar keimanannya diibaratkan sebesar gunung Uhud sementara manusia zaman kini diibaratkan kadar keimananya tak lebih dari sebutir debu dari gunung Uhud.

Umar r.a. pernah memuntahkan makanan yang sudah masuk ke perutnya ketika tahu bahwa makanan yang diberikan padanya kurang halal sumbernya. Sejarah lain menceritakan tentang lumrahnya seorang tabiin meng-khatamkan Quran dalam satu kali salatnya.

Atau cerita tentang seorang saleh yang lebih dari 40 tahun hidupnya berturut-turut tidak pernah salat wajib sendiri kecuali berjemaah di mesjid. Atau seorang saleh yang menangis karena lupa mengucap doa ketika masuk masjid. Inilah cerita-cerita teladan yang mampu menggetarkan hati seorang yang sedang meningkatkan keimanannnya.

B. Merenungi tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam (marifatullah)

Menyingkirkan sifat sombong akal kita, kemudian merenungkan secara tulus bagaimana alam ini diciptakan. Sungguh ada kekuatan luar biasa yang mampu menciptakan alam yang sempurna ini, sebuah struktur dan sistem kehidupan yang rapi, mulai dari tata surya, galaksi hingga struktur pohon dan sel-sel atom.

Renungkan pula rahasia dan mukjizat Quran. Salah satu keajaiban Alquran adalah struktur matematis Alquran. Meskipun wahyu Allah diturunkan bertahap namun ketika seluruh wahyu lengkap maka ditemukan bahwa terdapat mukjizat yang luar biasa.

Kata tunggal yaum disebut sebanyak 365 kali, sebanyak jumlah hari pada satu tahun syamsiyyah (masehi). Kata jamak hari disebut sebanyak 30 kali, sama dengan jumlah hari dalam satu bulan. Sedang kata Syahrun (bulan) dalam Alquran disebut sebanyak 12 kali sama dengan jumlah bulan dalam satu tahun. Kata Saaah (jam) disebutkan sebanyak 24 kali sama dengan jumlah jam sehari semalam. Dan semua kata-kata itu tersebar di 114 surat dan 6666 ayat dan ratusan ribu kata yang tersusun indah.

Dan masih banyak lagi keajaiban dan mukjizat Alquran dari sisi pandang lainnya yang membuktikan bahwa itu bukan karya manusia. Masih banyak pula mukjizat lainnya di alam ini yang membuktikan bahwa alam ini memiliki struktur yang sangat sempurna dan tidak mungkin tercipta dengan sendirinya.

Adalah lumrah, bahwa sesuatu yang tidak mungkin diciptakan manusia, pastilah diciptakan sesuatu yang Maha Kuasa, Maha Besar. Inilah yang menambah kecilnya diri kita dan menambah kekaguman dan cinta serta iman kita kepada Sang Pencipta alam semesta ini.

C. Berusaha keras melakukan amal perbuatan yang baik secara ikhlas.

Amal perbuatan perlu digerakkan. Dimulai dari hati, kemudian terungkap melalui lidah kita dan kemudian anggota tubuh kita. Selain ikhlas, diperlukan usaha dan keseriusan untuk melakukan amalan-amalan ini.

1. Amalan Hati

Dilakukan melalui pembersihan hati kita dari sifat-sifat buruk, selalu menjaga kesucian hati. Ciptakan sifat-sifat sabar dan tawakal, penuh takut dan harap akan Allah. Jauhi sifat tamak, kikir, prasangka buruk dan sebagainya.

2. Amalan Lisan

Perbanyak membaca Alquran, zikir, bertasbih, tahlil, takbir, istighfar, bersalawat kepada Rasulullah dan mengajak orang lain kepada kebaikan, dan melarang pada kemungkaran.

3. Amalan anggota tubuh

Dilakukan melalui kepatuhan dalam salat, pengorbanan untuk bersedekah, perjuangan untuk berhaji hingga disiplin untuk salat berjemaah di masjid (khususnya bagi pria).[]

INILAH MOZAIK

Menyemarakkan Membaca Alquran di Rumah

Adakah kebutuhan manusia yang melebihi kebutuhan makan dan minum? Jawabnya: ada, yaitu kebutuhan manusia terhadap petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala (baca: al-Qur-an) untuk membaca, memahami dan mengamalkan kandungannya.

Al-Qur-an adalah pedoman hidup untuk kebahagiaan manusia dunia dan akhirat, petunjuk kepada jalan yang lurus, obat bagi penyakit hati manusia, penyubur keimanan dan fungsi-fungsi kebaikan lain yang dibutuhkan oleh manusia untuk kebahagiaan hidup mereka, dan ini jelas lebih dari fungsi makanan dan minuman bagi manusia.

Coba renungkan makna firman-firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut ini:

{إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا}

“Sesungguhnya al-Qur-an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS al-Israa’).

{وَنُنزلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِين}

“Dan Kami turunkan di dalam al-Qur’an suatu yang menjadi obat (penyakit manusia) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS al-Israa’: 82).

{الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan (membaca) petunjuk Allah (al-Qur-an). Ingatlah, hanya dengan (membaca) petunjuk Allah (al-Qur-an) hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).

Artinya: dengan membaca dan merenungkan al-Qur-an  segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan[1].

Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi bacaan al-Qur-an[2].

Dalam ayat lain, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

{قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى}

“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku (wahai manusia), lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (QS Thaahaa: 123).

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “Allah ‘Azza wa Jalla memberikan jaminan bagi orang yang membaca al-Qur-an dan mengamalkan kandungannya bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat (kelak)”[3].

Oleh karena itu, ketika menggambarkan besarnya kebutuhan manusia terhadap petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla dalam al-Qur-an, yang ini melebihi kebutuhan mereka terhadap makan dan minum, Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Manusia butuh kepada ilmu (petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an) lebih dari kebutuhan mereka kepada makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan (oleh manusia) dalam sehari sekali atau dua kali, sedangkan ilmu (petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an) dibutuhkan sesuai dengan hitungan (tarikan) nafas (dibutuhkan setiap saat)”[4].

Manfaat tilawah al-Qur-an bagi rumah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan rumah yang disebut nama Allah[5] di dalamnya dan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya adalah seperti perumpaan orang yang hidup dan orang yang mati”.

Imam an-Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk (banyak) berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla (termasuk membaca al-Qur-an dan zikir-zikir lainnya) di rumah dan hendaknya rumah jangan dikosongkan dari berzikir (kepada-Nya)”[6].

Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa rumah yang selalu disemarakkan dengan bacaan al-Qur-an dan zikir akan selalu hidup dan bercahaya, serta menjadi motivasi bagi para penghuninya untuk giat melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[7].

Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan fungsi diturunkannya al-Qur-an kepada manusia, yaitu sebagai pemberi kehidupan bagi hati manusia dan sumber cahaya yang menerangi hidupnya. Allah ‘Azza wa Jallaberfirman:

{وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا}

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (al-Qur’an) dari perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Alkitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu sebagai cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami” (QS asy-Syuura: 52).

Ketika menafsirkan ayat ini, Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Ini adalah (fungsi) al-Qur-an yang mulia, Allah menyebutnya sebagai ruh karena ruh yang menjadikan tubuh manusia hidup. (Demikian) pula al-Qur-an yang menjadikan hati dan jiwa manusia hidup, sehingga hiduplah (terwujudlah) dengan al-Qur-an semua kebaikan (dalam urusan) dunia dan agama, karena di dalamnya banyak kebaikan dan ilmu yang luas”[8].

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا}

“Dan apakah orang yang tadinya mati (kafir) kemudian dia Kami hidupkan (dengan petunjuk Kami) dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita dan sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya” (QS al-An’aam: 122).

Imam Ibnul Qayyim berklata: “(Dalam ayat ini) Allah menjelaskan bahwa kitab-Nya (al-Qur-an) yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandung dua perkara (manfaat), yaitu (sebagai) ruh untuk menghidupkan hati manusia dan (sebagai) cahaya untuk menyinari dan menerangi (hidupnya)”[9].

Mengusir setan dari rumah

Di antara manfaat besar bacaan al-Qur-an di rumah adalah untuk mengusir setan, musuh utama yang selalu mengajak manusia berbuat buruk.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ}

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS Faathir: 6).

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu menjadikan rumahmu (seperti) kuburan (dengan tidak pernah mengerjakan shalat dan membaca al-Qur’an di dalamnya), sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah”[10].

Dalam lafazh riwayat at-Tirmidzi: “…Sesungguhnya setan tidak akan masuk ke rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah”[11].

Manfaat ini tentu sangat besar, karena bagaimana mungkin akan terwujud kebaikan dan kebahagiaan dalam rumah yang dipenuhi setan, sebagai akibat tidak disemarakkan bacaan al-Qur-an di dalamnya, padahal sifat setan sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala gambarkan dalam firman-Nya:

{إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ}

“Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah: 169).

Imam al-Munawi menjelaskan bahwa termasuk makna hadits di atas adalah bahwa setan berputus asa dari upaya untuk menyesatkan para penghuni rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah, karena dia melihat kesungguhan dan semangat mereka dalam melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla[12].

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan petunjuk kebaikan kepada umatnya yang berkenaan dengan rumah, selain membaca surat al-Baqarah, untuk mengusir setan darinya, karena keburukan yang timbul dari godaannya. Misalnya zikir ketika masuk rumah, Dari Jabir bin abdillah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seseorang masuk ke dalam rumahnya dan menyebut (nama) Allah ketika masuk dan ketika makan (maka pada waktu itu) setan berkata (kapada teman-temannya): “Tidak ada tempat menginap dan makanan bagi kalian”. Tapi jika dia masuk (rumahnya) dan tidak menyebut (nama) Allah ketika masuk, maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap”. Dan jika dia tidak menyebut (nama) Allah ketika makan maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap dan makanan”[13].

Pemimpin keluarga memotivasi anggota keluarganya untuk gemar dan tekun membaca al-Qur-an

Seorang pemimpin keluarga berkewajiban untuk mengajak anggota keluarganya mengerjakan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, terutama ketika mereka berada di rumah, termasuk yang paling utama di antaranya adalah memotivasi mereka untuk gemar dan tekun membaca al-Qur-an di rumah.

Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan kewajiban ini dalam firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[14].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”[15].

Dalam sebuah hadits shahih, ketika shahabat yang mulia, Malik bin al-Huwairits radhiallahu ‘anhu dan kaumnya mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama dua puluh hari untuk mempelajari al-Qur-an dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Pulanglah kepada keluargamu, tinggallah bersama mereka dan ajarkanlah (petunjuk Allah/al-Qur-an) kepada mereka”[16].

Sebagian di antara para ulama salaf ada yang mempraktekkan ini dengan mentalqinkan al-Qur-an (mendikte dan menuntun orang lain dengan membacakan al-Qur-an secara langsung lalu orang itu mengikutinya) kepada anaknya dari ayat pertama sampai terakhir, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal. Putra beliau yang bernama ‘Abdullah berkata: “Bapakku (Imam Ahmad) telah mentalqinkan al-Qur-an seluruhnya kepadaku dengan keinginan beliau sendiri”[17].

Beberapa cara praktis untuk mengajak anggota kelurga agar semangat membaca dan menghafal ayat-ayat al-Qur-an

1- Menjelaskan keutamaan membaca dan menghafal ayat-ayat al-Qur-an yang disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih, karena sebaik-baik nasehat untuk memotivasi adalah nasehat dari al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang yang paling baik (di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala) di antara kamu adalah orang yang mempelajari dan mengajarkan al-Qur-an”[18].

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Pada hari kiamat nanti) dikatakan kepada orang yang tekun membaca al-Qur-an (sewaktu di dunia): Bacalah (al-Qur-an), naiklah (ke tingkatan surga yang lebih tinggi), dan bacalah dengan perlahan-lahan sebagaimana (dulu) kamu membacanya di dunia, karena sesungguhnya kedudukan/tempatmu (di surga nanti) sesuai dengan ayat terakhir yang engkau baca (sewaktu di dunia)”[19].

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang yang ahli (membaca)al-Qur-an adalah orang yang terdekat dan istimewa (di sisi) Allah”[20].

2- Mentalqin/menuntun mereka secara langsung dengan membacakan ayat-ayat al-Qur-an kepada mereka kemudian mereka mengikutinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad. Cara ini sangat mudah dan disukai terutama oleh anak-anak.

3- Memotivasi dengan memberi hadiah bagi anggota keluarga yang rajin membaca atau menghafal ayat-ayat al-Qur-an. Ini diperbolehkan[21] dan dilakukan oleh sebagian dari ulama salaf terhadap anak-anak mereka.

Imam al-Khathiib al-Bagdaadi menukil ucapan salah seorang ulama salaf dari generasi Atbaa’ut taabi’iin, Ibrahim bin Adham, beliau berkata: “Bapakku berkata kepadaku: “Wahai anakku, tuntutlah (ilmu) hadits, setiap kali kamu mendengar sebuah hadits dan menghafalnya maka untukmu (uang) satu dirham”. Maka akupun menuntut (ilmu) hadits karena motivasi tersebut”[22].

4- Mengadakan perlombaan di antara anggota keluarga untuk membaca/menghafal surat-surat tertentu dalam al-Qur-an dan memberi hadiah kepada anggota keluarga yang bacaan dan hafalannya benar[23].

Penutup

Termasuk sebab penting yang harus dilakukan pemimpin keluarga untuk menyemarakkan bacaan al-Qur-an di rumah, setelah banyak berdoa memohon taufik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, adalah menjauhkan rumah dari perbuatan-perbuatan maksiat dan mungkar yang akan menjadikan Malaikat rahmat menjauh dari rumah, sehingga Setanlah yang akan  meramaikannya.

Misalnya nyanyian dan alat musik yang keduanya diharamkan dalam Islam[24], bahkan dalam hadits yang shahih[25] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan penamaan nyanyian dan alat musik sebagai “seruling setan”[26].

Demikian pula gambar atau patung makhluk yang bernyawa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Malaikat (rahmat) tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambar (makhluk hidup)”[27].

Juga perbuatan tidak menyebut nama Allah ‘Azza wa Jalla ketika masuk rumah dan makan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seseorang masuk ke dalam rumahnya dan menyebut (nama) Allah ketika masuk dan ketika makan, (maka pada waktu itu) setan berkata (kapada teman-temannya): “Tidak ada tempat menginap dan makanan bagi kalian”. Tapi jika dia masuk (rumahnya) dan tidak menyebut (nama) Allah ketika masuk, maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap”. Dan jika dia tidak menyebut (nama) Allah ketika makan maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap dan makanan”[28].

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat untuk kebaikan bagi keluarga muslim di dunia dan akhirat.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Ditulis oleh: Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Read more https://konsultasisyariah.com/35490-menyemarakkan-membaca-alquran-di-rumah.html

Haji Wada’, Perpisahan Rasulullah dengan Umatnya

Segala sesuatu akan ada akhirnya. Setiap kisah, ada penutupnya. Manusia datang, kemudian mereka pergi. Awalnya mereka mengucapkan salam pertemuan, lalu kemudian mereka berlalu dengan perpisahan. Hal demikian terjadi pada setiap orang, tidak terkecuali nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau datang dengan risalah dari sisi Rabnya, setelah sempurna apa yang diperintahkan kepada beliau. Saat itulah beliau kembali menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah satu momen besar yang menjadi perpisahan beliau dengan umatnya adalah peristiwa haji wada’, haji perpisahan.

Saat itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperlihatkan sebagian buah dari dakwah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum beliau berpulang ke Rafiqul A’la, beliau diperlihatkan hampir semua wilayah di Jazirah Arab telah menerima cahaya Islam. Orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Allah. Agama Islam telah kokoh. Bendera-bendera tauhid telah berkibar di berbagai tempat. Dan Mekah telah kembali kepada hakikatnya, dimana Allah ditauhidkan dan tidak disekutukan dengan sesuatu apapun.

Tanda Wafat Nabi Sebagai Peringan Musibah

Pada akhir tahun 10 H, tampaklah beberapa tanda yang mengindikasikan bahwa ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dekat. Hal ini merupakan salah satu bentuk rahmat dan kasih sayang Allah kepada kaum muslimin. Dengan tanda-tanda tersebut mereka bisa mempersiapkan jiwa mereka untuk menerima suatu musibah berat yang akan menimpa mereka. Karena tidak ada musibah yang lebih berat bagi para sahabat melebihi musibah ditinggal oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara tanda-tanda tersebut adalah ditaklukkannya Kota Mekah, masuk Islamnya tokoh-tokoh Bani Tsaqif di Thaif, kedatangan delegasi dan utusan negara-negara non-Islam menuju Madinah untuk memeluk Islam, dll. Ini beberapa tanda yang menunjukkan sudah dekatnya ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam an-Nasa-i meriwayatkan dalam kitab Tafsirnya, bahwa Ibnu Abbas mengatakan tentang surat an-Nashr ini: “Ketika diturunkan, ia (surat an-Nashr) mengabarkan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lebih meningkatkan ketekunan dalam urusan akhirat” (Tafsir an-Nasa-i).

Sebelumnya, pada bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf selam 20 hari, padahal di tahun-tahun sebelumnya beliau hanya melakukannya 10 hari saja. Saat i’tikaf adalah saat dimana seseorang menyibukkan diri beribadah kepada Allah dan mengurangi interaksi dengan orang di sekitarnya. Ini merupakan pembelajaran dan persiapan bagi para sahabat. Beliau mengurangi dan sedikit berinteraksi dengan mereka, sebelum nanti beliau akan meninggalkan mereka selamanya.

Demikian juga di bulan Ramadhan di tahun tersebut, Jibril yang biasanya menyimak bacaan Alquran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam satu kali khatam. Namun pada tahun itu Jibril menyimak dengan dua kali khatam.

Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam menyimak Alquran yang dibacakan Nabi sekali pada setiap tahunnya, dan pada tahun wafatnya Nabi, Jibril menyimaknya dua kali. (Muttafaqun ‘alaihi).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan kepada Muadz bin Jabal yang beliau utus ke Yaman. Beliau bersabda,

يَا مُعَاذُ، إِنَّكَ عَسَى أَنْ لا تَلْقَانِي بَعْدَ عَامِي هَذَا، أَوْ لَعَلَّكَ أَنْ تَمُرَّ بِمَسْجِدِي هَذَا أَوْ قَبْرِي

“Wahai Muadz sesungguhnya engkau mungkin tidak bertemu aku lagi setelah tahun ini, dan mungkin saja engkau akan melewati masjidku ini dan kuburanku ini.” Maka Mu’adz pun menangis takut berpisah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (HR. Ahmad).

Pada bulan Dzul Qa’dah tahun 10 H, mulailah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan diri untuk menunaikan haji yang pertama sekaligus yang terakhir dalam kehidupan beliau. Yang kemudian dicatat sejarah dengan istilah haji wada’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kaum muslimin dari berebagai kabilah untuk menunaikan ibadah haji bersamanya. Diriwayatkan, jamaah haji pada tahun itu berjumlah lebih dari 100.000 orang bahkan lebih.

Haji Wada’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat dari Madinah menuju Mekah saat bulan Dzul Qa’dah tersisa empat hari lagi. Beliau berangkat setelah menunaikan shalat zuhur dan sampai di Dzil Hulaifah sebelum ashar. Di tempat itu, beliau menunaikan shalat ashar dengan qashar, kemudian mengenakan pakaian ihram.

Setelah menempuh delapan hari perjalanan, sampailah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tanah kelahirannya, tanah suci Mekah al-Mukaramah. Beliau berthawaf di Ka’bah, setelah itu sa’i antara Shafa dan Marwa.

Pada tanggal 8 Dzul Hijjah 10 H, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju Mina. Beliau shalat zuhur, ashar, maghrib, dan isya di sana. Kemudian bermalam di Mina dan menunaikan shalat subuh juga di tempat itu.

Setelah matahari terbit, beliau berangkat menuju Arafah. Setelah matahari mulai bergeser, condong ke Barat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai memberikan khotbah. Dan tempat dimana beliau berkhothbah, dibangun sebuah masjid pada pertengahan abad ke-2 H oleh penguasa Abbasiyah dan diberi nama masjid Namirah. Di akhir khotbahnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّى فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ « اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

Kalian akan ditanya tentangku, apakah yang akan kalian katakan? Jawab parahabat: kami bersaksi bahwa sesungguhnya engkau talah menyampaikan (risalah), telah menunaikan (amanah) dan telah menasehati. Maka ia berkata dengan mengangkat jari telunjuk kearah langit, lalu ia balikkan ke manusia: Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, sebanyak 3x” (HR. Muslim).

Setelah beliau berkhotbah, Allah Ta’ala menurunkan ayat:

اليَومَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. Al-Maidah: 3).

Pada saat turun ayat tersebut, Umar bin Khattab pun menangis. Lalu ditanyakan kepadanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”

Umar menjawab, “Sesungguhnya tidak ada setelah kesempurnaan kecuali kekurangan.”

Dari ayat tersebut, Umar merasakan bahwa ajal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dekat. Apabila syariat telah sempurna, amak wahyu pun akan terputus. Jika wahyu telah terputus, maka tiba saatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke haribaan Rabnya Jalla wa ‘Ala. Dan itulah kekurangan yang dimaksud Umar, yakni kehilangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sini juga kita mengetahui keagungan Kota Mekah; di sanalah syariat yang suci ini dimulai dan di sana pula syariat disempurnakan.

Dalam kesempatan lainnya, -di Mina- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali berkhotbah:

“Sesungguhnya setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari).

Kemudian beliau bersabda, “Bulan apa ini?” Kami (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau diam sampai-sampai kami mengira beliau akan mengganti nama bulan ini.

Lalu beliau kembali bersabda, “Bukankah ini bulan Dzul Hijjah?” Para sahabat menjawab, “Betul.”

Beliau melanjutkan, “Negeri apa ini?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau kembali diam sampai-sampai kami mengira beliau akan mengganti nama tempat ini.

Lalu beliau bersabda, “Bukankah ini negeri al-haram?” Kami menjawab, “Iya, ini tanah haram.”

Beliau melanjutkan, “Lalu, hari apa ini?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau kembali diam sampai-sampai kami mengira beliau akan mengganti nama hari ini.

Lalu beliau bersabda, “Bukankah ini hari nahr (menyembelih kurban)?” Kami menjawab, “Iya, ini hari nahr.”

Kemudian beliau bersabda,

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ، أَلا هَلْ بَلَّغْتَ؟

“Sesungguhnya darah dan harta kalian haram seperti sucinya hari kalian ini di negeri kalian ini dan di bulan kalian ini sampai hari dimana kalian berjumpa dengan Rabb kalian. Bukankah aku telah menyampaikan?”

Para sahabat menjawab, “Iya, Anda telah menyampaikan.”

فَلْيُبِلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ، فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ، فَلا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

“Maka, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena terkadang yang disampaikan lebih mengerti dari yang mendengar langsung. Janganlah kalian kembali kufur sepeninggalanku, sebagian kalian saling membunuh sebagaian lainnya.”

Setelah khotbah ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukur rambutnya kemudian menunggangi kendaraannya berangkat menuju Mekah untuk melakukan thawaf ifadhah dan shalat zuhur di Mekah. Di sana beliau meminum air zamzam. Setelah itu, kembali lagi ke Mina dan bermalam di sana.

Pada tanggal 11 Dzul Hijjah, saat matahari mulai tergelincir ke barat, beliau menuju jamarat untuk melempar jumrah. Dan di sana beliau kembali berkhotbah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi Nadhrah, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاُس، إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلاَ لأَحْمَرَ عَلىَ أَسْوَدَ، وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

“Ingatlah bahwa Rabb kalian itu satu, dan bapak kalian juga satu. Dan ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang ajam (non-Arab), tidak pula orang ajam atas orang Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak pula orang berkulit hitam di atas orang berkulit merah; kecuali atas dasar ketakwaan.”

Kemudian beliau bertanya, “Bukankah aku telah menyampaikan?”

Para sahabat menjawab, “Rasulullah telah menyampaikan.”

Setelah itu beliau mengingatkan kembali tentang haramnya mengganggu harta, menumpahkan darah, dan menciderai kehormatan. Lalu memerintahkan para sahabat untuk menyampaikannya kepada yang tidak hadir.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Mina di hari tasyrik yang ke-3. Setelah itu menuju ke Mekah untuk melaksanakan thawaf wada’. Kemudian beliau langsung berangkat menuju Madinah. Dan berakhirlah prosesi haji yang beliau lakukan.

Penutup

Inilah momen terbesar berkumpulnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan umatnya untuk terakhir kalinya. Beliau mengulang-ulang ucapan “bukankah aku telah menyampaikan?” persaksian dari umatnya sendiri bahwa beliau telah menyampaikan risalah yang telah Allah amanahkan kepada beliau. Sekaligus sebagai pertanda sudah dekatnya ajal beliau.

Kurang lebih tiga bulan kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan dunia fana ini menuju Rabnya. Beliau berpisah dengan sahabat-sahabatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan amanah, menasihati umat, dan telah berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/4648-haji-wada-perpisahan-rasulullah-dengan-umatnya.html

Hukum Puasa 11 Muharram

Boleh saja dan sah puasa pada 11 Muharram dengan beberapa alasan.

Pertama:

Sebagian ulama menganggap tingkatan puasa yang paling tinggi dari puasa Asyura adalah berpuasa pada 9, 10, dan 11 Muharram (tiga hari sekaligus), di bawah itu adalah berpuasa 9 dan 10 Muharram, di bawah itu adalah berpuasa pada 10 Muharram saja. Tiga tingkatan ini dijelaskan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam Zaad Al-Ma’ad, 2:72.

Kedua:

Jika ragu menentukan awal bulan Muharram. Seperti di tahun 1439 H ini, ada yang mengatakan 10 Muharram itu jatuh pada hari Sabtu, ada yang mengatakan pada hari Ahad. Baiknya puasa saja tiga hari, yaitu 9, 10, dan 11 Muharram.

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, ”Jika ragu mengenai penentuan hilal awal  Muharram, maka boleh berpuasa pada tiga hari sekaligus (hari 9, 10, dan 11 Muharram) untuk kehati-hatian.” Ibnu Rajab menyatakan bahwa Ibnu Sirin juga berpendapat seperti itu. (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 99)

Ketiga:

Berpuasa 9, 10, dan 11 Muharram masuk dalam puasa tiga hari setiap bulannya.

Karena puasa tiga hari setiap bulan hijriyah itu bebas memilih hari apa saja.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

“Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: (1) berpuasa tiga hari setiap bulannya, (2) mengerjakan shalat Dhuha, (3) mengerjakan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari, no. 1178)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ

Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Bukhari, no. 1979)

Dari Mu’adzah Al-‘Adawiyyah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-,

أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ قَالَتْ نَعَمْ. فَقُلْتُ لَهَا مِنْ أَىِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ لَمْ يَكُنْ يُبَالِى مِنْ أَىِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ يَصُومُ

“Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan puasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya”. Ia pun bertanya pada ‘Aisyah, “Pada hari apa beliau berpuasa?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak memperhatikan pada hari apa beliau berpuasa dalam sebulan.” (HR. Muslim, no. 1160).

Ada juga puasa ayyamul bidh, yaitu tanggal 13, 14, 15 Hijriyah yang dianjurkan puasa. Di mana anjurannya seperti hadits berikut ini.

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2425. Abu ‘Isa Tirmidzi mengatakan bahwa haditsnya hasan.).

Dari Ibnu Milhan Al-Qoisiy, dari ayahnya, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُنَا أَنْ نَصُومَ الْبِيضَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ . وَقَالَ « هُنَّ كَهَيْئَةِ الدَّهْرِ »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memerintahkan pada kami untuk berpuasa pada ayyamul bidh yaitu 13, 14 dan 15 (dari bulan Hijriyah).” Dan beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidh itu seperti puasa setahun.” (HR. Abu Daud, no. 2449 dan An-Nasa’i, no. 2434. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Kalau tidak sempat pada tiga hari tersebut bisa memilih di hari lainnya dari bulan hijriyah, bisa memilih 9, 10, dan 11.

Keempat:

Kalau tidak sempat berpuasa pada 9 dan 10 Muharram, bisa memilih berpuasa pada 10 dan 11 Muharram, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Umar Al-Muqbil hafizahullah.

Kelima:

Berpuasa 9, 10, dan 11 Muharram punya maksud untuk menyelisihi Yahudi.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam berkata, “Yang afdal adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dari bulan Muharram karena mengingat hadits (Ibnu ‘Abbas), “Apabila aku masih diberi kehidupan tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Jika ada yang berpuasa pada hari kesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari sekaligus (9, 10 dan 11) maka itu semua baik. Semua ini dengan maksud untuk menyelisihi Yahudi.” (Fatwa Syaikh Ibnu Baz, http://www.binbaz.org.sa/noor/4898)

Di tempat lain, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz menyatakan, “Berpuasa pada 9 dan 10 Muharram lebih utama. Adapun berpuasa 10 dan 11 Muharram, itu pun sudah mencapai maksud untuk menyelisihi Yahudi dalam berpuasa.” (Fatwa di web alifta.net)

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/16502-hukum-puasa-11-muharram.html