Parameter Keimanan (Habis-2)

Oleh: KH Athian Ali

 

Jadi, pada akhirnya keimanan seseorang harus betul-betul bulat apa yang telah diyakininya, dia tidak boleh memiliki keraguan sedikit pun daripada apa yang diimaninya karena, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” (QS. Al Hujuraat, 49:15).

Maka dari itu, tidak boleh ada seorang mukmin yang ragu dalam Alquran dan hadits shahih. Karena Allah SWT menegaskan, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-dzikra, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al Hijir, 15: 9). Pada dasarnya yang dilindungi bukan hanya Al Qur’an, tetapi termasuk juga Al Hadits. Oleh karena itu disebutlah Adz-Dzikra.

Dengan mengetahui ketiga parameter tersebut di atas, pada gilirannya kita akan mengetahui bahwa tingkat keimanan seseorang itu tidak cukup hanya dengan lisannya, tidak pula hanya cukup dengan penampilannya yang diwujudkan dalam amal perbuatan, tidak cukup juga hanya dia mengetahui dan menguasai pengetahuan tentang keislaman, tetapi dia harus betul-betul menunjukkan keyakinannya, bagaimana kita bisa meyakini bahwa dia sama sekali tidak meragukan kebenaran Al-Islam.

Bukankah keyakinan itu akhirnya akan kembali lagi ke dalam dirinya. Yang akan akan bisa kita lihat adalah kembali yang dzahir dan nyata, yakni ketaatan dia terhadap ajaran Islam yang diyakininya itu. Jadi keimanannya itu akan bisa kita lihat dari apakah dia siap membuktikan dalam kehidupan sehari-hari.

Keimanannya dibuktikan dalam bentuk bukan hanya sekadar ucapan belaka, tapi ditunjukkan dengan amal perbuatan yang betul-betul sama sekali tidak bertentangan dengan keyakinannya. Begitu pula, bukanlah sekadar penampilannya yang hanya sekali atau dua kali, melainkan pembuktiannya secara berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini akan teruji hakikat keimanannya, dalam hal ketaatan manusia di dalam melaksanakan aturan dan hukum Allah SWT: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An Nisaa,4:65)

Bila tidak ikhlas dan merasa terpaksa, maka belum bisa juga dia dikatakan seorang mukmin walaupun dia telah taat kepada hukum Allah. Syaratnya dia harus betul-betul rela dan berserah diri terhadap aturan dan hukum Allah:

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah “Kami mendengar, dan kami patuh” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. An-Nuur,24:51).

Begitu pula tidak pantas bagi seorang yang mengaku mukmin harus memilih yang lain, padahal putusan Allah dan Rasul-Nya sudah ditetapkan: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzaab, 33:: 36).

Jadi tidak boleh terjadi ada seorang yang mengaku mukmin, lantas sampai dia ragu terhadap satu aturan Allah untuk dilaksanakan dalam proses menjalani kehidupan ini. Demikian pula, tidaklah dimungkinkan seorang mukmin mencoba untuk mempersemppit arti ibadah yang sbatas pada ibadah ritual seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.

Namun, semua harus kembalu merujuk kepada tujuan penciptaan awal manusia yakni: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu” (QS. Ad Dzariyat, 51:56)

 

sumber: Republika Online