harta

Penjelasan Hadits “Kemuliaan Bagi Penduduk Dunia adalah Harta”

Terdapat sebuah hadis yang menyebutkan bahwa kemuliaan penduduk dunia adalah dengan memiliki banyak harta. Bagaimana maksud hadis ini? Apakah hadis ini adalah motivasi untuk mengumpulkan harta? Simak penjelasan singkat dalam artikel ini.

Dari Buraidah Al Aslami Radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَحْسَابَ أَهْلِ الدُّنْيَا هَذَا الْمَالُ

“Sesungguhnya ahsab (kemuliaan) bagi penduduk dunia adalah harta” (HR. Ahmad no. 23059, Syekh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “hadis ini sanadnya qawiy [kuat]”).

Dalam riwayat lain,

إنَّ أحسابَ أهلِ الدنيا الذين يذهبونَ إليه هذا المالُ

“Sesungguhnya ahsab (kemuliaan) bagi penduduk dunia, yang mereka senantiasa kejar-kejar, adalah harta” (HR. An Nasa’i no.3225, disahihkan oleh Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).

Al Hafizh Al Iraqi Rahimahullah menjelaskan makna ahsab dalam hadis ini,

الْحَسَبُ بِفَتْحِ السِّينِ أَصْلُهُ الشَّرَفُ بِالْآبَاءِ وَمَا يُعِدُّهُ الْإِنْسَانُ مِنْ مَفَاخِرِهِمْ وَجَمْعُهُ أَحْسَابٌ

Al hasab dengan huruf sin di-fathah, maknanya adalah kemuliaan terhadap nenek moyang dan hal-hal yang dianggap kebanggan oleh manusia. Bentuk jamaknya: ahsab” (Tharhu at-Tatsrib, 7/19).

Kemudian beliau menjelaskan,

هَذَا الْحَدِيثُ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ خَرَجَ مَخْرَجَ الذَّمِّ لِذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْأَحْسَابَ إنَّمَا هِيَ بِالْإِنْسَانِ لَا بِالْمَالِ فَصَاحِبُ النَّسَبِ الْعَالِي هُوَ الْحَسِيبُ، وَلَوْ كَانَ فَقِيرًا وَالْوَضِيعُ فِي نَسَبِهِ لَيْسَ حَسِيبًا وَلَوْ كَانَ ذَا مَالٍ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ خَرَجَ مَخْرَجَ التَّقْرِيرِ لَهُ وَالْإِعْلَامِ بِصِحَّتِهِ وَإِنْ تَفَاخَرَ الْإِنْسَانُ بِآبَائِهِ الَّذِينَ انْقَرَضُوا مَعَ فَقْرِهِ لَا يَحْصُلُ لَهُ حَسَبٌ وَإِنَّمَا يَكُونُ حَسَبُهُ وَشَرَفُهُ بِمَالِهِ فَهُوَ الَّذِي يَرْفَعُ شَأْنَهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ طَيِّبَ النَّسَبِ

“Hadis ini bisa bermakna celaan (terhadap harta). Karena kemuliaan sesungguhnya dimiliki oleh orang yang bernasab mulia, walaupun dia fakir. Orang yang nasabnya rendah, maka ia bukan orang yang punya ahsab walaupun dia kaya raya.

Atau hadis ini bermakna pemberitahuan tentang benarnya suatu fakta. Karena orang yang berbangga dengan nasabnya ketika dia miskin, maka ia tidak mendapatkan kemuliaan. Ia akan mendapatkan kemuliaan dengan hartanya, inilah yang akan meninggikan dia di dunia, walaupun ia tidak baik nasabnya” (Tharhu at-Tatsrib, 7/20).

Beliau lalu juga mengatakan,

وَيَتَرَتَّبُ عَلَى هَذَيْنِ الِاحْتِمَالَيْنِ أَنَّ الْمَالَ هَلْ هُوَ مُعْتَبَرٌ فِي كَفَاءَةِ النِّكَاحِ حَتَّى لَا يَكُونَ الْفَقِيرُ كُفُؤًا لِلْغَنِيَّةِ أَوْ لَيْسَ مُعْتَبَرًا … وَفِي ذَلِكَ خِلَافٌ لِأَصْحَابِنَا الشَّافِعِيَّةِ وَالْأَصَحُّ عِنْدَهُمْ عَدَمُ اعْتِبَارِهِ، وَقَدْ فَهِمَ النَّسَائِيّ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ هَذَا الْمَعْنَى فِي الْجُمْلَةِ

“Dengan dua kemungkinan makna di atas, memberikan satu pertanyaan yaitu apakah harta menjadi pertimbangan dalam kafa’ah nikah sehingga lelaki yang fakir sebaiknya tidak menikahi wanita kaya? Ataukah tidak perlu menjadi pertimbangan? Dalam masalah ini ada khilaf di antara ulama. Ulama mazhab Syafi’i mengatakan, yang sahih harta tidak perlu menjadi pertimbangan. An Nasa’i juga memahami hadis ini dengan makna tersebut secara umum” (Tharhu at-Tatsrib, 7/20).

Dari sini kita ketahui bahwa hadis ini disebutkan oleh para ulama dalam pembahasan kafa’ah (kesetaraan) dalam pernikahan, yaitu apakah perlu mempertimbangkan masalah harta dari calon pasangan ataukah tidak perlu? Menurut sebagian ulama, kesetaraan dalam masalah harta perlu dipertimbangkan, sebagaimana penjelasan Al Iraqi di atas. Sebagaimana juga dalam hadis Fathimah bintu Qais Radhiallahu’anha, ia berkata,

أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت‏:‏ إن أبا الجهم ومعاوية خطباني‏؟‏ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏‏”‏أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه‏

“Aku datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu aku berkata, ‘Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya’” (HR. Muslim no. 1480).

Perkataan beliau “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta” ini menunjukkan masalah harta boleh jadi pertimbangan.

Namun hadis Buraidah di atas bukan berarti memotivasi untuk menjadikan masalah harta sebagai patokan utama atau motivasi untuk menumpuk dan mengejar harta dunia. Karena Al Iraqi menjelaskan, makna hadis ini tidak lepas dari dua:

1. celaan terhadap harta;

2. mengabarkan bahwa yang dianggap kemuliaan oleh penduduk dunia adalah harta.

Ash Shan’ani Rahimahullah juga menjelaskan,

(إن أحساب أهل الدنيا) التي هي همهم (الذين يذهبون إليه) يتفاخرون به (هذا المال) وفيه أن فخر أهل الآخرة هو الدين الذي ليس فوقه من فخر

“[Sesungguhnya kemuliaan bagi penduduk dunia] yang mereka berambisi padanya, [yang mereka semangat mengejarnya], serta mereka berbangga dengannya [adalah harta]. Hadis ini menunjukkan bahwa kebanggaan ahlul akhirah (orang yang ambisinya pada akhirat) adalah agama dan tidak ada kebanggaan yang lebih tinggi dari agama” (At Tanwir Syarhu Jami’is Shaghir, 3/564).

Semakna juga dengan perkataan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ’anhu,

ألا وإن الدنيا قد ترحلت مدبرة ، ألا وإن الآخرة قد ترحلت مقبلة ، ولكل واحدة منهما بنون ، فكونوا من أبناء الآخرة ولا تكونوا من أبناء الدنيا ، فإن اليوم عمل ولا حساب ، وغدا حساب ولا عمل

“Ketahuilah, bahwa dunia sedikit-demi-sedikit kita tinggalkan, sedangkan akhirat sedikit-demi-sedikit akan segera kita temui. Masing-masing mereka memiliki anak-anak. Maka jadilah anak-anak akhirat, dan jangan menjadi anak-anak dunia. Karena hari ini (di dunia) adalah waktunya beramal dan belum ada hisab, sedangkan besok (di akhirat) waktunya hisab dan tidak ada lagi amalan” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/3426).

Anak-anak dunia, merekalah yang menjadikan perkara duniawi sebagai kebanggaan dan patokan kemuliaan.

Maka hadis ini, walaupun bisa bermakna bahwa dianjurkan kafa’ah (setara) dalam masalah harta dalam mencari calon pasangan, namun bukan berarti memuji harta atau menjadikan harta sebagai patokan utama. Patokan utama tetap saja masalah agama. Allah Ta’ala berfirman,

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا  وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ

“Bahkan kalian mengutamakan kehidupan dunia. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal” (QS. Al-A’la: 16-17).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya” (QS. An Nur: 32).

Dalam ayat ini Allah perintahkan untuk menikahkan para bujang walaupun mereka miskin. Ini menunjukkan bahwa masalah harta bukan acuan utama. Lebih jelas lagi hadis dari Abu Hurairah Radhiallahu ’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأرْبَعٍ: لِمالِها ولِحَسَبِها وجَمالِها ولِدِينِها، فاظْفَرْ بذاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَداكَ

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi” (HR. Bukhari no. 5090, Muslim no. 1466).

Dari Zaid bin Tsabit Radhiallahu’ahu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.

“Barangsiapa ambisi terbesarnya adalah dunia, maka Allah akan cerai-beraikan urusannya, Allah jadikan kefaqiran di depan matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali sesuai apa yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang ambisi terbesarnya adalah akhirat, Allah akan memudahkan urusannya, Allah jadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam ia tidak menyangkanya” (HR. Ahmad, disahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah no. 950).

Dalil-dalil ini jelas memotivasi kita untuk menjadikan masalah agama sebagai patokan utama dan sebagai parameter kemuliaan dunia dan akhirat. Bukan masalah dunia.

Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/68803-penjelasan-hadits-kemuliaan-bagi-penduduk-dunia-adalah-harta.html