Penyimpangan Kaum Musyrikin Terdahulu dalam Tauhid Asma’ wa Shifat (Bag. 1)

Sebagaimana kita ketahui bahwa inti dakwah para rasul adalah dalam masalah pemurnian ibadah kepada Allah Ta’ala semata, dan melarang umatnya untuk beribadah kepada selain Allah Ta’ala. Dengan kata lain, inti dakwah para nabi dan rasul adalah dalam masalah tauhid uluhiyyah (tauhid ibadah). Namun hal ini bukanlah berarti bahwa mereka tidak memiliki penyimpangan dalam masalah tauhid yang lain, yaitu tauhid asma’ wa shifat.

Oleh karena itu, dalam tulisan serial ini, akan kami paparkan sebagian penyimpangan kaum musyrikin terdahulu dalam masalah tauhid asma’ wa shifat.

Baca Juga: Ketidaksempurnaan Iman Kaum Musyrikin Terhadap Rububiyyah Allah

Menihilkan, mengingkari, atau menolak sebagian sifat Allah Ta’ala

Di antara penyimpangan kaum musyrikin terdahulu adalah mereka menolak, menihilkan, atau mengingkari sebagian sifat Allah Ta’ala. Dalil masalah ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ

“Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu kepadamu. Bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Fushilat [41]: 22)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menceritakan bahwa mereka memiliki persangkaan bahwa Allah Ta’ala tidak memiliki sifat ilmu (Maha mengetahui). Mereka mengingkari sifat ilmu dari Allah Ta’ala. Sehingga mereka itu berani berbuat dosa secara terang-terangan. Karena mereka menyangka bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan mereka dan mereka tidak mengetahui bahwa pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka akan menjadi saksi di akhirat kelak atas perbuatan mereka.

 

Sifat ilmu (Maha mengetahui) adalah sifat Allah Ta’ala yang sangat agung, Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu. Tidak ada satu pun perkara yang tersembunyi dari-Nya atau yang tidak Allah ketahui. Allah Ta’ala berfirman,

يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan yang kamu perlihatkan. Dan Allah Maha mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Taghaabun [64]: 4)

Dalam lanjutan ayat dalam surat Fushilat di atas, Allah Ta’ala kemudian berfirman,

وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu. Dia Telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Fushilat [41]: 23)

Ancaman Allah Ta’ala dalam ayat di atas menunjukkan bahwa siapa saja yang menolak atau mengingkari sebagian -atau bahkan seluruh sifat Allah Ta’ala- maka dia terkena ancaman yang sangat keras ini.

Oleh karena itu, penjelasan ini menunjukkan bahwa para pengingkar sifat Allah Ta’ala, baik itu Jahmiyyah, Mu’tazilah, Al-Asya’irah, atau Al-Maturidiyyah, pada hakikatnya mereka adalah pewaris agama jahiliyyah. Dan mereka pun berhak untuk mendapatkan ancaman tersebut di atas.

 

Menihilkan, mengingkari, atau menolak sebagian nama Allah Ta’ala

Selain menolak sebagian sifat Allah Ta’ala, mereka juga mengingkari sebagian nama Allah Ta’ala. Di antara dalil dalam masalah ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ

“Padahal mereka kafir kepada Ar-Rahman (Dzat yang Maha Penyayang).” (QS. Ar-Ra’du [13]: 30)

Ar-Rahmaan adalah salah satu dari nama Allah Ta’ala. Sebab turunnya ayat di atas adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menulis perjanjian damai antara kaum muslimin dan kaum musyrikin di Hudaibiyyah, datanglah Suhail bin ‘Amr. Suhail berkata, “Marilah kita tulis perjanjian antara kami dan kalian.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memanggil juru tulis beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اكْتُبْ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Tulislah bismillaahi ar-rahmaan ar-rahiim.”

Suhail berkata, “Adapun nama Allah Ar-Rahmaan, maka demi Allah, aku tidak mengenal siapa dia.”

Mereka (orang-orang musyrik) berkata, “Kami tidaklah mengenal nama Ar-Rahman, kecuali Rahmaan Al-Yamaamah.” (HR. Bukhari no. 2731, 2732, secara ringkas)

 

Yang mereka maksud adalah Musailimah Al-Kadzdzaab, karena Musailimah (sang Nabi palsu), dijuluki dengan Ar-Rahmaan.

Lalu turunlah ayat,

وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ قُلْ هُوَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ مَتَابِ

“Padahal mereka kafir kepada Ar-Rahmaan (Tuhan yang Maha Penyayang). Katakanlah, “Dia-lah Tuhanku, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku kembali.” (QS. Ar-Ra’du [13]: 30)

Demikian juga ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Mekah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dan berdoa dengan mengatakan, “Ya Allah, wahai Ar-Rahman”, orang-orang musyrik mengatakan, “Lihatlah laki-laki ini (yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dia menyangka bahwa dia menyembah kepada Tuhan yang satu saja, padahal dia mengatakan, “Ya Allah, wahai Ar-Rahman”; dia menyembah dua Tuhan.”

Lalu turunlah firman Allah Ta’ala,

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى

“Katakanlah, “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.” Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al-asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).” (QS. Al-Israa’ [17]: 110)

Artinya, meskipun Allah Ta’ala memiliki banyak nama, yang kita kenal dengan Asmaul Husnaa, hal ini tidaklah menunjukkan berbilangnya Tuhan. Karena semua nama-nama itu dimiliki oleh satu pemilik nama saja, yaitu Allah Ta’ala. Dan karena setiap nama itu mengandung sifat yang mulia, maka berbilangnya nama tersebut menunjukkan kesempurnaan sifat Sang Pemilik Nama, yaitu Allah Ta’ala.

Oleh karena itu, golongan yang menyimpang dalam masalah ini yaitu Jahmiyyah (yang mengingkari semua nama Allah Ta’ala) atau Mu’tazilah (yang meyakini nama Allah Ta’ala, namun nama yang kosong dari kandungan sifat), pada hakikatnya mereka adalah pewaris agama jahiliyyah. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

“Hanya milik Allah asmaa-ul husnaa, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husnaa itu.” (QS. Al-A’raf [7]: 180)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَة وَتِسْعِينَ اِسْمًا ، مِائَة إِلَّا وَاحِدًا ، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّة

”Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, yaitu seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghitungnya, niscaya masuk surga.” (HR. Bukhari no. 2736, 7392 dan Muslim no. 6986)

Menamai sesembahan mereka dengan derivat dari nama Allah Ta’ala

Kelancangan kaum musyrikin berikutnya adalah mereka menamai sesembahan-sesembahan mereka dengan membuat derivat dari nama Allah Ta’ala. Sehingga di sisi lain, perbuatan mereka ini menunjukkan bahwa mereka tidaklah mengingkari semua nama Allah Ta’ala, namun sebagian nama Allah Ta’ala saja.

Contohnya, mereka menamai sesembahan mereka di Tha’if dengan Al-Laata (اللات)yaitu derivat dari nama Allah Ta’ala Al-Ilaah (الإله).

Atau menamai sesembahan mereka di kota Mekah dengan nama Al-‘Uzza (العزى)yaitu derivat dari nama Allah Ta’ala Al-‘Aziiz (العزيز).

Atau menamai sesembahan mereka di Madinah dengan nama Manaat (منات), yaitu derivat dari nama Allah Ta’ala Al-Mannaan (المنان).

 

***

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47294-penyimpangan-kaum-musyrikin-terdahulu-dalam-tauhid-asma-wa-shifat-bag-1.html