Penyimpangan Kaum Musyrikin Terdahulu dalam Tauhid Asma’ wa Shifat (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Penyimpangan Kaum Musyrikin Terdahulu dalam Tauhid Asma’ wa Shifat (Bag. 2)

Celaan kaum musyrikin terhadap sifat hikmah Allah Ta’ala

Allah Ta’ala memiliki sifat al-hikmah, yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai. Di antara nama Allah Ta’ala adalah Al-Hakiim, sehingga maknanya adalah Dzat yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya masing-masing yang sesuai dengannya.

Sehingga penciptaan makhluk seluruhnya itu dibangun di atas sifat hikmah Allah Ta’ala. Tidaklah Allah Ta’ala menciptakan sesuatu, kecuali karena hikmah. Allah Ta’ala tidaklah menciptakan sesuatu karena main-main dan perbuatan sia-sia semata. Allah Ta’ala menciptakan langit karena hikmah. Allah Ta’ala menciptakan langit karena hikmah. Allah Ta’ala menciptakan bumi karena hikmah. Allah Ta’ala menciptakan pohon-pohon karena hikmah. Allah Ta’ala menciptakan lautan karena hikmah. Allah Ta’ala menciptakan gunung karena hikmah. Allah Ta’ala menciptakan jin dan manusia karena hikmah. Dan semuanya, Allah Ta’ala ciptakan karena hikmah.

Oleh karena itu, ketika kita merenungkan keteraturan makhluk Allah Ta’ala, kita akan dapatkan hikmah Allah Ta’ala, kita menjadi yakin bahwa Dzat yang menciptakan semua itu memiliki hikmah yang sempurna.

 

Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى

“Musa berkata, “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaaha [20]: 50)

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ

“Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (QS. Shaad [38]: 27)

Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha bijaksana dalam penciptaan-Nya. Demikian pula, Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha bijaksana dalam perintah, larangan, dan syariat-Nya. Tidaklah Allah Ta’ala memerintahkan sesuatu kecuali karena adanya maslahat yang murni atau maslahat yang lebih dominan. Sebaliknya, tidaklah Allah Ta’ala melarang sesuatu kecuali karena adanya madharat yang murni atau madharat yang lebih dominan.

Dan di antara konsekuensi dari sifat hikmah Allah Ta’ala adalah Allah Ta’ala akan memberikan balasan kepada hamba-hambaNya sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing. Allah Ta’ala memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dan ketakwaan, sebagaimana Allah Ta’ala membalas orang-orang yang berbuat kejelekan dan kerusakan. Allah Ta’ala tidaklah membiarkan manusia begitu saja, mereka berbuat apa pun di dunia, lalu tidak diberikan balasan atas amal perbuatannya. Hal ini tentu saja bertentangan dengan hikmah.

 

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ

“Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 16)

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 115)

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ

“Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (QS. Shaad [38]: 27)

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

“Apakah manusia mengira, bahwa dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al-Qiyaamah [75]: 36)

Demikianlah orang-orang jahiliyyah dahulu, mereka mengingkari sifat hikmah Allah Ta’ala dalam penciptaan dan perintah-Nya. Dan keyakinan orang-orang jahiliyyah ini diikuti oleh golongan menyimpang semisal Mu’tazilah dan Asy’ariyyah. Kedua kelompok tersebut mengingkari sifat hikmah Allah Ta’ala. Asy’ariyyah mengatakan bahwa Allah Ta’ala tidaklah berbuat sesuatu karena hikmah, akan tetapi hanya karena adanya kehendak (masyi’ah) saja, bukan karena hikmah. Karena menurut Asy’ariyyah, hikmah itu berarti berbuat karena tujuan tertentu. Sedangkan Allah Ta’ala itu tersucikan dari adanya tujuan (ghardhun).

 

Karena alasan tersebut, Asy’ariyyah menolak dan mengingkari sifat hikmah Allah Ta’ala, dan mereka menyangka bahwa mereka sedang mensucikan Allah Ta’ala dengan pengingkarannya tersebut. Oleh karena itu, menurut Asy’ariyyah, sah-sah saja jika Allah Ta’ala memerintahkan kekafiran, memerintahkan kefasikan, dan memerintahkan kemaksiatan secara umum. Demikian pula, sah-sah saja bagi Allah Ta’ala melarang dari ketaatan, melarang dari mendirikan shalat, atau melarang dari berbuat baik secara umum. Karena itu semua kembali kepada masyi’ah (kehendak) Allah Ta’ala, Allah Ta’ala bebas berbuat apa saja yang Allah Ta’ala kehendaki.

Maka kita katakan kepada Asy’ariyyah, betul bahwa Allah Ta’ala melakukan apa pun yang Allah Ta’ala kehendaki. Akan tetapi, Allah Ta’ala tidaklah melakukan sesuatu pun kecuali karena ada hikmah di dalamnya.

Asy’ariyyah pun mengatakan bahwa boleh-boleh saja atau sah-sah saja Allah Ta’ala memasukkan orang kafir ke dalam surga atau memasukkan orang beriman ke dalam neraka selamanya. Karena semua itu terserah Allah Ta’ala, dan Allah Ta’ala tidak bisa diatur-atur dengan hikmah.

Kita katakan kepada Asy’ariyyah bahwa ini adalah ucapan dusta, tidak sesuai dengan hikmah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ

“Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang salih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (QS. Shaad [38]: 28)

أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 21)

Inilah keyakinan orang-orang jahiliyyah yang menolak dan mengingkari sifat hikmah Allah Ta’ala, dan kemudian diikuti oleh Asy’ariyyah dan yang semisal dengan mereka.

 

[Selesai]

***

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47306-penyimpangan-kaum-musyrikin-terdahulu-dalam-tauhid-asma-wa-shifat-bag-3.html