Puasa dan Fitrah Manusia

Puasa dan Fitrah Manusia

Puasa bukan sekedar riyadhah (latihan), akan tetapi jihad (perang), perang melakukan pembebasan jiwa dengan cara mengendalikan anggota tubuh manusia

Oleh: Dr. Kholili Hasib

SEGALA jenis peribadatan (ubudiyah) sejatinya tidak lain bentuk khidmah seorang hamba (‘abd) kepada Allah Swt.

Manusia dalam pandangan agama Islam disebut ‘abd (hamba), yaitu istilah yang menunjukkan statusnya, keharusan tunduk kepada Tuhan. Karena Allah Swt adalah Tuhan Pemilik apa yang ada di alam. 

Termasuk ‘abd itu adalah milik Tuhan. Maka, kewajiban-kewajiban yang ditunaikan oleh ‘abd adalah khidmat. Sebagaimana seorang budak/hamba sahaya yang berkewajiban melayani tuannya.

Oleh sebab itu, seorang ‘abd harus menyadari sepenuhnya tentang status dirinya ini.  Seorang ‘abd tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan.

Tetapi memiliki pertalian dengan sifat ketuhanan. Salah satu syarat seorang ‘abd untuk memiliki kesadaran yang sempurna adalah ia harus bersifat shidiq  (sungguh-sungguh).

Shidiq  itu tidak ada syak dan rayb (keraguan) dalam melaksanakan khidmat. Pengkhidmatan kepada Allah Swt hamba yang shidiq  tidak dipengaruhi oleh manusia lain atau alam.

Maka, ia tidak peduli celaan dan pujian manusia. Tidak terpikat oleh keindahan dunia. Hidup semata-mata berkhidmat.

Tetapi godaan paling sulit dalam berkhidmat secara shiddiq itu berasal dari jiwa manusia itu sendiri. Biang semua jenis kerusakan manusia itu tidak lain adalah hawa nafsu.

Syahwat sesungguhnya salah satu sifat basyariyah manusia. Justru syahwat diperlukan oleh manusia.

Syahwat  tidaklah dicela oleh agama, tetapi yang tercela adalah syahwat berlebihan melampaui batas. Syahwat yang melampaui batas itu oleh Imam al-Ghazali disebut hawa.

Secara umum, dalam diri manusia terdapat dua sifat yang menjadi quwwah (potensi) jiwa. Pertama, potensi natiqah (berakal) dan kedua, potensi hewani. Dua potensi ini selalu bersaing untuk saling menguasai. Syahwat dinamakan hawa ketika potensi hewani berhasil menguasai potensi natiqah-nya.

Kesenangan (sa’adah) potensi hewani adalah makan, minum, istirahat, dan seks. Maka, ada syahwat makan, syahwat minum dan syahwat seks.

Kesesangan dan syahwat ini merupakan sifat basyariyah  manusia. Maka, agar kesenangan itu tidak menjadi hawa, maka syahwat itu harus dikendalikan.

Pengkhidmatan secara shiddiq memiliki pertalian erat dengan pengendalian potensi natiqah atas potensi hewani. Semua bentuk khidmat  – yang dilakukan secara shiddiq – tidak lain agar potensi ini senantiasa di bawah kendali potensi natiqah.

Semua ubudiyah seorang ‘abd dilakukan secara ikhlas apabila syahwat itu dalam kendali penuh potensi natiqah. Akan tetapi, pengendalian potensi natiqah atas potensi hewani itu memerlukan latihan, istilahnya riyadhatu an-nafs (oleh jiwa).

Salah satu jenis ibadah yang cukup lengkap mendidik jiwa dengan riyadhah, melatih syahwatnya adalah ibadah puasa. Secara bahasa, shoum (puasa) bermakna kaffu (menahan).

Secara istilah ibadah puasa itu mengandung fungsi yang strategis bagi jiwa. Kaffu itu berarti memiliki fungsi pengendalian atau pembebasan.

Jiwa yang baik adalah jiwa yang telah menjalani pembebasan dari sifat-sifat buruk hewani.  Imam al-Ghazali menjelaskan filosofi hakikat puasa, yaitu menahan perut, kelamin, mulut, telinga, tangan, mata, kali dan seluruh anggota tubuh.

Jadi bukan hanya menahan perut dan kelamin saja. Semua anggota tubuh dibebaskan dari hawa yang dikendalikan oleh potensi hewani itu dengan cara puasa.

Maka, kita harus memahami bahwa puasa bukan sekedar riyadhah (latihan), akan tetapi jihad (perang). Peperangan untuk melakukan pembebasan jiwa dengan cara mengendalikan anggota tubuh manusia. Maka, disinilah ada pertalian erat antara dzahir dan batin manusia.

Batin manusia (yaitu jiwa) dapat dibebaskan setelah dzahir manusia itu dikendalikan dengan baik. Ketika dzahir manusia di bawah kendali potensi natiqah maka batin manusia akan menjadi batin yang merdeka (bebas).

Dengan pemahaman ini, maka sejatinya orang beriman itu sejatinya orang yang bebas. Bukan orang yang terkekang atau terpenjara.

Sebaliknya orang kafir atau ahli maksiat sejatinya orang yang terpenjara, terkekang, dan tidak merdeka. Khidmat dengan bentuk-bentuk ubudiyah adalah kegiatan pembebasan. Bukan aktifitas yang terpenjara.

Maksiat dan inkar kepada hukum Tuhan justru merupakan kegiatan yang tidak bebas menjadikan jiwanya dipenjara.

Bagi orang kafir atau ahli maksiat, pengkhidmatan seorang ‘abd adalah kegiatan yang tidak bebas. Logika ini justru sesat.

Karena, pengkhidmatan itu bebas dari pengaruh kekuatan hawa nafsu.Sedangkan kekufuran dan kemaksiatan itu sedang dalam dekapan hawa nafsu.

Dalam kekufuran jiwa manusia dilarang-larang untuk tidak beribadah, dilarang untuk berakhlak mulya. Jadi dalam kekufuran banyak sekali larangan-larangan. Ironinya, larangan-larangan itu menyeret manusia menjadi berjiwa hewan.

Supaya manusia itu tidak berjiwa hewan, maka ia harus berjihad dan berriyadhah. Puasa ini membunuh sifat-sifat liar hewani penuh hawa, mencabut sifat-sifat buruk manusia agar jiwanya sadar hakikat dirinya yang suci yang pernah berjanji di “alam alastu” untuk beriman kepada Allah Swt.

Sebagaimana firman Allah Swt:

وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّكَ مِنۡۢ بَنِىۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُهُوۡرِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَ اَشۡهَدَهُمۡ عَلٰٓى اَنۡفُسِهِمۡ‌ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡ‌ ؕ قَالُوۡا بَلٰى‌ ۛۚ شَهِدۡنَا ‌ۛۚ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنۡ هٰذَا غٰفِلِيۡنَ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (QS: Al-A’raf: 172).

Puasa bisa bermakna melatih hamba untuk menjadi yang fitri, yaitu jiwa yang mentaati undang-undang Allah Swt sesuai dengan tujuan dasar penciptaan manusia di muka bumi. Fitrah manusia bermakna sifat yang merujuk kepada perilaku yang bersesuaian dengan tujuan penciptaan.

Jiwa dan pikiran yang Islami -yaitu yang bersih- selalu patuh dan tunduk kepada syariat Allah Swt, beradab, bermoral dan terbebas dari kekuasaan nafsu untuk membenci agama. Jiwa dan pikiran yang patuh kepada-Nya terisi nilai-nilai suci, tiada nilai lain kecuali nilai Islam dan kebenaran.

Jika seorang ‘abd percaya bahwa Allah Swt itu wujud, maka sangat mungkin ia percaya bahwa di sana ada arti dan tujuan hidup. Jika ia konsisten, ia akan percaya bahwa sumber nilai moral bukanlah berdasarkan kesepakatan manusia tapi merujuk kepada kehendak Allah Swt dan Allah merupakan nilai tertinggi.

Karena itu, ia menjadi orang yang bertakwa dengan sebenarnya. Dalam al-Qur’an, manusia bertakwa itu manusia yang paling mulia (QS. 49:13).  Jadi, orang bertakwa itu adalah orang mukmin yang kondisi pikiran dan jiwanya merasakan kehadiran Allah Swt di mana saja ia berada. Wallahu a’lam bisshowab.*

Penulis adalah dosen UII Dalwa

HIDAYATULLAH