Rezim Apartheid Zionis di Palestina

Rezim Apartheid Zionis di Palestina

Situasi di Palestina memanas dalam beberapa hari terakhir ini. Hal ini bermula sejak penghujung bulan Ramadan yang baru lalu, ketika berlaku pengusiran dan pengambilalihan paksa atas beberapa rumah milik penduduk Palestina di kawasan Syeikh Jarrah di Yerusalem (Baitul Maqdis) Timur serta terjadinya serangan oleh petugas keamanan ‘Israel’ atas Masjid al-Aqsha (Frykberg, 11 Mei 2021).

Serangan di bulan Ramadhan oleh ‘Israel’ terhadap masyarakat Palestina telah terjadi berulang kali dan menimbulkan korban yang tidak sedikit, terutama di pihak Palestina.  Dengan bahasa kekuasaan dan diplomasinya, negara zionis ‘Israel’ tak pernah mengubris kecaman masyarakat internasional terhadap berbagai pelanggaran dan kekerasan yang dilakukannya. Negara zionis yang bisa disifati sebagai kolonialisme pemukim (settler colonialism) ini terus meluaskan pengaruhnya di seluruh dunia untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat internasional.

Walaupun banyak masyarakat dunia yang marah terhadap perilaku zionis ‘Israel’, tidak sedikit pula yang menutup mata dan memberikan dukungan. Negara-negara Arab yang membuka hubungan diplomatik dengan ‘Israel’ juga bertambah dalam beberapa tahun terakhir.

Di samping itu, ada pula anggota masyarakat Muslim yang bersimpati terhadap zionis Yahudi dan beranggapan bahwa mereka sebenarnya berhak atas Yerusalem dan Palestina. Sementara orang-orang Arab Muslim yang ada di tempat itu dianggap sebagai penyerobot yang tidak memiliki hak untuk berada di sana.

Benarkah anggapan seperti itu?

Fokus utama tulisan kali ini adalah pada klaim hak Yahudi atas Palestina serta sifat kekuasaan mereka di negeri itu. Tulisan ini menggunakan pandangan orang-orang Yahudi sendiri.

Pada tahun 1922, Leopold Weiss tengah berada di Baitul Maqdis (Yerusalem). Ia adalah seorang Yahudi Austro-Hungaria yang kelak masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad Asad. Walaupun ketika itu ia belum masuk Islam, rasa simpatinya terhadap orang-orang Arab Muslim di negeri itu cukup besar.

Ia bersikap sangat kritis terhadap Deklarasi Balfour (1917), begitu pula terhadap misi zionis untuk mendirikan ‘negara Yahudi’ di Palestina.

Pada satu kesempatan, ia mendengarkan Chaim Weizmann berbicara dalam salah satu kunjungan rutinnya ke Yerusalem.

Weizmann merupakan salah satu pemimpin penting Zionis yang berbasis di Inggris dan nantinya menjadi presiden pertama negara zionis ‘Israel’. Di akhir pembicaraannya yang berapi-api bagi perjuangan zionis, Leopold Weiss mengajukan pertanyaan.

Ia mengkritik zionisme yang bermasalah secara moral karena telah mengabaikan masyarakat Arab Palestina yang jumlahnya mayoritas ketika itu dan merupakan penduduk asli negeri itu.

Dengan ringan Weizmann menjawab bahwa di masa depan orang-orang Arab Palestina tak akan lagi menjadi penduduk mayoritas di sana. Di bawah ini kami kutip dialog lanjutan dari kedua orang tersebut secara lebih lengkap, dimulai dari komentar Weiss (Asad).

“… tidakkah aspek yang lebih besar dari pertanyaan itu pernah mengganggu Anda? Tidakkah menurut Anda menggusur orang-orang yang selama ini tinggal di negeri ini merupakan satu kesalahan?”

“Tapi ini adalah negara kita,” sergah Weizmann. “Kita melakukan tidak lebih dari mengambil kembali apa yang kita telah tercerabut darinya secara salah.”

“Tapi kalian telah meninggalkan Palestina selama hampir dua ribu tahun! Sebelum itu kalian telah memerintah negeri ini, dan hampir tidak pernah seluruh bagiannya, selama kurang dari lima ratus tahun. Tidakkah kalian berfikir bahwa dengan pembenaran yang sama orang-orang Arab dapat menuntut Spanyol bagi diri mereka – karena, bagaimanapun, mereka memegang kendali Spanyol selama hampir tujuh ratus tahun dan kehilangan negeri itu sepenuhnya hanya lima ratus tahun yang lalu?”

“Omong kosong,” jawab Weizman yang mulai kehilangan kesabarannya. “Orang-orang Arab hanya menaklukkan Spanyol; negeri itu tidak pernah menjadi tanah air (homeland) mereka yang asli, jadi sudah sepantasnya jika pada akhirnya mereka diusir keluar oleh orang-orang Spanyol.”

“Minta maaf,” ujar Weiss, “tapi menurut saya ada kekeliruan sejarah di sini. Bagaimanapun, orang-orang Yahudi juga datang sebagai penakluk di Palestina. Jauh sebelum mereka sudah ada suku-suku Semitik dan non-Semitik yang berdiam di sini – orang-orang Amori, Edomit, Filistin, Moabite, Hittite. Suku-suku itu terus hidup di sini bahkan di era kerajaan-kerajaan ‘Israel’ dan Yudea. Mereka tetap hidup di sini setelah orang-orang Romawi mengusir nenek moyang kita. Mereka hidup di sini sekarang. Orang-orang Arab yang menetap di Suriah dan Palestina setelah penaklukkan mereka di abad ketujuh selalunya hanya menjadi minoritas kecil dari populasi yang ada; selebihnya dari apa yang kita gambarkan sekarang ini sebagai orang-orang Palestina atau “Arab” Suriah pada realitasnya hanyalah penduduk asli negeri ini yang telah terarabkan. Sebagian dari mereka menjadi Muslim dalam beberapa abad, sebagian lainnya tetap beragama Kristen; orang-orang Islam secara natural melakukan kawin campur dengan rekan-rekan seagama mereka dari Arabia. Namun dapatkah kamu menolak bahwa sebagian besar penduduk Palestina, yang berbicara Arab, baik Muslim ataupun Kristen, merupakan keturunan langsung dari penduduk asli [negeri ini]; asli dalam arti telah hidup di negeri ini beberapa abad sebelum orang-orang Yahudi datang ke sini?”

Chaim Weizman hanya tersenyum mendengar argumen itu dan kemudian mengalihkan pembicaraan ke topik lainnya. Walaupun memenangkan perdebatan itu, Leopold Weiss tidak merasa gembira, karena kritiknya itu sama sekali tidak menimbulkan rasa gelisah di kalangan pendukung zionis. Sebaliknya, “I found myself facing a blank wall of staring eyes” (Asad, 2004: 94-96).

Demikianlah “tembok” itu terus berdiri, bersikap masa bodoh terhadap berbagai argumentasi dan kritik yang ada, hingga negara ‘Israel’ akhirnya berdiri pada tahun 1948. Sejak saat itu, berbagai konflik berdarah dan perampasan tanah semakin meningkat di negeri itu.

Sedikit demi sedikit wilayah Palestina diambil alih. Dunia hanya bisa mengutuk dan mengeluarkan resolusi, tanpa ada satupun yang mampu menghentikan apa yang dilakukan oleh ‘Israel’.

kiri: Warga palestina melarikan diri dari Galilea selama bencana Al-Nakba, 4 November 1948 | kanan: Warga Palestina di Gaza utara melarikan diri setelah serangan udara dan artileri Israel 14 Mei 2021

Zionis ‘Israel’ mengklaim Yerusalem (Baitul Maqdis) dan Palestina atas nama agama Yahudi, tetapi diskriminasi dan kekerasan yang mereka lakukan terhadap masyarakat Palestina tidak mencerminkan perilaku orang-orang yang memiliki agama.  Orang-orang zionis Yahudi menyanyikan secara berulang-ulang lagu holocaust untuk mendapatkan simpati dunia. Tetapi kaum zionis yang sama kini dilihat oleh banyak orang tengah memainkan peranan mirip NAZI di Palestina.

Sebenarnya sebagian tokoh zionis sendiri secara langsung atau tidak langsung telah menerima ideologi NAZI dan berusaha untuk menerapkannya terhadap penduduk Palestina.

Belum lama ini sebuah rekaman telah dipublikasikan, yang di dalamnya dua orang rabbi Yahudi di pemukiman Tepi Barat menyampaikan “komentar-komentar rasis tentang orang-orang Arab, membela pandangan dunia Adolf Hitler (Adolf Hitler’s worldview), dan secara terbuka mempromosikan supremasi Yahudi” (Pileggi, 30 April 2019).

Salah satu dari rabbi tersebut, Eliezer Kashtiel, kepala Akademi Bnei David, telah terdengar berkata-kata seperti berikut:

Kaum kafir (gentiles) ingin menjadi budak kita. Menjadi budak seorang Yahudi adalah yang terbaik. Mereka senang menjadi budak, mereka ingin menjadi budak. Alih-alih hanya berjalan-jalan dan menjadi bodoh dan kejam serta saling menyakiti, begitu mereka menjadi budak, kehidupan mereka bisa mulai terbentuk.

Ia bahkan secara terang-terangan menerima rasisme.

Ya, kami memang rasis. Kami percaya pada rasisme…. Ada ras-ras di dunia dan masyarakat memiliki sifat genetik, dan itu mengharuskan kami untuk mencoba membantu mereka. Orang-orang Yahudi adalah ras yang lebih sukses.

Rabbi yang satunya lagi, Giora Redler, terdengar berbicara di depan murid-murid di akademi yang sama:

Mari kita mulai dengan apakah Hitler benar atau tidak. Dia adalah orang yang paling benar yang pernah ada, dan benar dalam setiap kata yang dia ucapkan… dia hanya berada di sisi yang salah. Holocaust yang sebenarnya bukanlah ketika mereka membunuh orang-orang Yahudi, bukan itu. Semua alasan ini – bahwa itu ideologis atau sistematis – tidak masuk akal. Humanisme, dan budaya sekuler ‘Kami percaya pada manusia’, itulah Holocaust.

Kritik terhadap zionis ‘Israel’ tidak jarang datang dari orang-orang Yahudi sendiri. Sikap diskriminatif dan aksi perampasan tanah penduduk Palestina oleh orang-orang Yahudi garis keras, misalnya, dinilai oleh sebagian Yahudi lainnya sebagai hal yang memalukan dan berpotensi menimbulkan kehancuran bagi negeri zionis tersebut (Benvenisti, 10 Februari 2005).

Pada akhirnya, tidak salah jika ada yang menilai sistem pemerintahan zionis ‘Israel’ sebagai tidak ada bedanya dengan pemerintahan Apartheid. Sistem pemerintahan Apartheid pernah berlaku beberapa dekade yang lalu di Afrika Selatan, dimana kebijakan politik dan ekonomi yang diskriminatif serta pemisahan rasial dilakukan secara resmi oleh penguasa kulit putih terhadap penduduk kulit hitam (britanica.com).

Istilah apartheid telah digunakan baru-baru ini dalam laporan yang dibuat oleh B’Tselem (12 Januari 2021), sebuah lembaga hak asasi ‘Israel’ di kawasan pendudukan (occupied territories). Laporan itu menyebutkan alasan mengapa kebijakan pemerintah zionis ‘Israel’ layak disebut Apartheid:

Di seluruh wilayah antara Laut Mediterania dan Sungai Jordan, rezim ‘Israel’ menerapkan hukum, praktik, dan kekerasan negara yang dirancang untuk memperkuat supremasi satu kelompok – Yahudi – atas yang lain – Palestina. Metode utama untuk mencapai tujuan ini adalah merekayasa ruang yang berbeda untuk setiap kelompok.

Berlakunya kebijakan apartheid di ‘Israel’ juga diakui oleh seorang rabbi Yahudi, Brian Walt, walaupun pada awalnya ia cenderung menutup mata terhadap hal itu. Brian Walt (17 Februari 2021) menjalani masa kecilnya di Afrika Selatan. Ia menyaksikan kebijakan apartheid di negeri itu dan kemudian ikut berjuang menentangnya. Ia mengkritik apartheid di Afrika Selatan sebagai seorang Yahudi dan penganut zionis progresif. Namun belakangan ia terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa negara ‘Israel’ yang menjadi kebanggaannya ternyata menerapkan kebijakan yang kurang lebih sama terhadap masyarakat Palestina. Ia antara lain menulis:

Selama beberapa dekade, dalam tur dan aktivisme di Tepi Barat dengan organisasi seperti Komite ‘Israel’ Melawan Penghancuran Rumah, saya telah menyaksikan kenyataan mengganggu yang sangat mempengaruhi saya: pembongkaran rumah Palestina, perampasan tanah Palestina untuk permukiman Yahudi, kebun zaitun yang dicabut oleh pemukim, dan orang Palestina diusir dari rumah di Yerusalem yang telah mereka miliki selama beberapa generasi. Pengalaman ini sangat mengejutkan sehingga, jika saya tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri, saya tidak akan pernah percaya bahwa itu benar. Pengalaman ini mengingatkan saya pada ketidakadilan yang sangat mirip yang pernah saya lihat di Afrika Selatan. … Saya dibesarkan di Afrika Selatan, dan apa yang saya saksikan di Hebron dan di seluruh ‘Israel’ dan tanah yang didudukinya, juga merupakan apartheid – sistem dominasi dan kontrol yang secara sistemik memberi hak istimewa bagi kehidupan Yahudi atas kehidupan Palestina.

Walt kemudian mengutip laporan B’Tselem tentang berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh zionis ‘Israel’ terhadap penduduk Palestina:

penyitaan tanah, pembunuhan orang-orang Palestina oleh pasukan keamanan atau pemukim, pemindahan paksa orang-orang Palestina, pembatasan pergerakan, penyiksaan dan pelecehan dalam interogasi, dan penahanan administratif. Lembaga itu juga melaporkan pelanggaran oleh orang-orang Palestina terhadap hak-hak warga sipil ‘Israel’. … Laporan tersebut menjelaskan bagaimana ‘Israel’ secara sistematis memberikan hak istimewa kepada orang Yahudi atas orang Palestina: mengizinkan imigrasi hanya untuk orang Yahudi; mengambil alih tanah untuk orang-orang Yahudi sambil menyesakkan orang-orang Palestina di daerah kantong; membatasi kebebasan bergerak Palestina; dan menolak hak warga Palestina untuk berpartisipasi politik. Laporan tersebut juga menunjuk pada hukum negara-bangsa 2018, yang menetapkan “pemukiman Yahudi sebagai nilai nasional” dan mengabadikan hak “unik” orang-orang Yahudi untuk menentukan nasib sendiri dengan mengesampingkan semua yang lain.

Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa proyek zionisme sebenarnya telah gagal, bahkan sejak awalnya; ia telah kehilangan segenap alasan moral maupun keagamaan bagi eksistensinya. Semakin ia menyalahgunakan kekuasaannya dalam mendiskriminasi dan menindas warga Palestina, semakin ia kehilangan legitimasinya.

Zionisme sama sekali tidak menghasilkan negara ideal yang layak dikagumi, sekalipun ia memiliki berbagai capaian sains dan teknologi. Negara zionis ‘Israel’ tak lebih hanyalah mimpi buruk kemanusiaan. Mereka yang mendukung dan memuja ‘Israel’ kemungkinan tengah mengalami delusi atau telah menjadi bagian dari mimpi buruk tersebut. Cepat atau lambat bangunan negara zionis itu akan runtuh juga. Ia sebenarnya sudah mulai runtuh, dari dalam dirinya sendiri.  (Kuala Lumpur,5 Syawal 1442/ 17 Mei 2021)

Penulis adalah staf pengajar di Departemen Sejarah dan Peradaban, International Islamic University Malaysia (IIUM)

Referensi

Asad, Muhammad. 2004. The Road to Makkah. New Delhi: Islamic Book Service.

B’Tselem. 12 Januari 2021. “A regime of Jewish supremacy from the Jordan River to the Mediterranean Sea: This is Apartheid.” https://www.btselem.org/publications/fulltext/202101_this_is_apartheid

Benvenisti, Meron. 10 Februari 2005. “A shameful kind of Zionist.” https://www.haaretz.com/1.4742326

Frykberg, Mel. 11 Mei 2021. “Occupied East Jerusalem: Forced expulsion and raids on al-Aqsha.” https://www.aljazeera.com/news/2021/5/11/forced-expulsion-’Israel’i-mosque-raid-ignite-middle-east-conflict

Pileggi, Tamar. 30 April 2019. “Embracing racism, rabbis at pre-army yeshiva laud Hitler, urge enslaving Arabs.” https://www.timesof’Israel’.com/embracing-racism-rabbis-at-pre-army-yeshiva-laud-hitler-urge-enslaving-arabs/

Walt. Brian. 17 Februari 2021. “As a rabbi raised in South Africa, I can’t ignore ‘Israel’ is an Apartheid State.” https://truthout.org/articles/as-a-rabbi-raised-in-south-africa-i-cant-ignore-’Israel’-is-an-apartheid-state/


HIDAYATULLAH