Riya Adalah Syirik Kecil

PADA dasarnya, sifat manusia sangatlah senang untuk ingin dipuji, ingin dihormati dan dihargai. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Fatawa mengatakan bahwa sifat ingin dipuji merupakan syahwat khofiyyah manusia.

Sebagaimana seseorang jika lapar dia akan bersyahwat dengan makanan, jika melihat wanita akan bersyahwat dengan wanita tersebut, maka demikian juga jika ada kesempatan untuk menonjolkan kebaikan atau kelebihan yang ada pada dirinya maka dia akan lakukan apapun untuk memenuhi syahwat ingin dipujinya tersebut. Maka tak heran jika ada seseorang yang rela berkorban besar untuk memuaskan syahwat ingin mendapat ketenaran, sanjungan dan penghormatan tersebut.

Betapa banyak para dermawan yang ingin disanjung yang kemudian dia rela mengerluarkan uangnya hanya agar mendapat pujian. Tak peduli seberapa banyak uang yang dia keluarkan yang terpenting dia mendapat sanjungan. Betapa banyak juga para ustadz yang ingin dikenal memiliki ilmu yang tinggi, dia rela menghabiskan banyak waktu menghafal dalil ini itu hanya untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain.

Jangankan waktu, jangankan harta, bahkan nyawa pun tak segan ia pertaruhkan untuk meraih pujian. Dalam sebuah hadist shahih riwayat muslim dikatakan bahwa seorang mujahid rela mempertaruhkan nyawanya hanya agar mendapat julukan sang pemberani dari manusia. Seakan dia mujahid pemburu pujian itu tak peduli walaupun harus mati yang terpenting dia bisa merasakan kelezatan dipuji-puji dihadapan manusia. Naudzubillah min dzalik.

Sifat ingin dipuji, ingin dihargai, dan ingin dihormati oleh manusia itulah pangkal dari penyakit riya. Maka sungguh riya inilah penyakit hati yang sangat berbahaya. Samar namun mematikan. Riya mengakibatkan amalan ibadah tak diterima oleh Allah swt. Bahkan Rasullullah shollallahualaihi wasallam mengatakan bahwa riya adalah syirik kecil.

“Sesungguhnya riya adalah syirik kecil”

(HR. Ahmad & Al-Hakim)

Begitu berbahayanya penyakit riya ini maka banyak orang berbondong-bondong mencari ilmu dan pelajaran tentangnya, apa saja kerugiannya, dalil-dalil yang melarangnya dan bagaimana cara agar terhindar dari penyakit riya ini. Meski demikian, manusia tetaplah manusia yang tak luput dari tipu daya syaitan.

Sebagai ilustrasi, mungkin pernah kita mendengar seseorang berkata,”Bukannya saya riya, tapi kesuksesan ini adalah hasil dari kerja keras saya”. “Bukannya saya riya, tapi sejak saya rajin bersedekah saya merasa lebih tenang”

“Bukannya saya riya, tapi memang saya merasa ada yang kurang jika tidak bangun sholat malam”

Kalimat pembuka bukannya saya riya inilah yang sesungguhnya membuka pintu riya tanpa sadar. Sebelum dirinya dituduh riya dia berupaya membela diri dengan mengatakan kata-kata ini. Dia ingin menutup-nutupi riya-nya tersebut dengan mengatakan bukannya saya riya.

Tanpa disadari seseorang yang merasa aman dengan kalimat-kalimat seperti ini sesungguhnya dia telah terjebak oleh talbis (perangkap) syaitan. Walaupun dia telah berusaha menutup dan mencegah riya dengan kata-kata itu namun hati manusia sangatlah lemah. Bahkan tidak menutup kemungkinan seseorang bisa menjadi lebih leluasa mengatakan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya karena merasa telah mendapat perlindungan dari kata-kata itu. Dan tentu ini berbahaya karena semakin membuka peluang munculnya riya.

Oleh karena itu saudaraku, hendaklah seorang beriman itu hati-hati terhadap jebakan syaitan yang memang dibuat indah di mata manusia. Jangan sampai karena kita ingin terhindar dari riya kita mengatakan bukannya saya riya. Jangan sampai karena kita tak ingin berbuat sombong kemudian kita mengatakan bukannya saya sombong dan berbagai jenis kata basa basi lainnya yang sejatinya malah menegaskan bahwa seseorang itu hendak melakukan riya atau kesombongan.

Meskipun demikian, hal ini bukan berarti kita menuduh saudara kita yang mengatakan bukannya saya riya dia pasti riya. Namun ini hanyalah sebagai renungan sekaligus pengingat bagi diri kita bahwa sangat mungkin hati kita tergelincir pada perkara-perkara halus yang mengantar kepada riya. Terkadang kita mengucapkan bukannya saya riya, tapi ternyata itu hanyalah sebagai muqoddimah untuk diri kita melakukan riya. Terkadang kita mengatakan bukannya saya sombong ternyata itu hanyalah sebagai pengantar dari diri kita untuk kemudian menyombongkan diri. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari jebakan penyakit hati dan memberikan kita hati yang bersih. [Ahmad Fauzan ‘Adziimaa/bersamadakwa]

 

MOZAIK