Sahkah Halal bi Halal tanpa Makan Bersama?

Baru-baru ini, tepatnya pada Jumat, 22 April 2022, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 003/2219/SJ tentang pelaksanaan Halal bi halal pada Idul Fitri Tahun 1443 H/2022. Dalam Surat Edaran tersebut terdapat point yang cukup menarik, yakni larangan makan dan minum untuk acara halal bi halal yang dihadiri lebih dari 100 orang. (Baca: Menelusuri Dalil Halal Bihalal dalam Islam)

Menarik untuk dikaji, apakah halal bi halal yang dilaksanakan tanpa makan dan minum bisa dihukumi sah? Untuk menjawabnya terlebih dahulu kita akan membahas apa itu halal bi halal dan apa yang dimaksud sebagai “sah” dalam syariat Islam.

Secara kebahasaan, halal bi halal berarti halal dengan halal atau saling menghalalkan antara satu sama lain. Halal sendiri sebagaimana kita ketahui merupakan kebalikan daripada haram, dimana dengan halal bi halal diharapkan segala keharaman yang telah kita lakukan dengan sesama saudara kita bisa menjadi halal.

Dalam sejarahnya, sebenarnya halal bi halal sebagai sebuah istilah untuk acara tertentu tidak pernah ada baik itu di zaman Nabi, para Sahabat maupun para ulama. Istilah ini digagas oleh Kiai Wahab Chasbullah. Dikisahkan bahwa pada tahun 1948, di pertengahan bulan puasa, Bung Karno meminta nasehat Kiai Wahab Chasbullah tentang bagaimana caranya mengatasi situasi politik negeri yang semakin memanas.

Kiai Wahab kemudian mengusulkan untuk mengadakan acara silaturrahim besar-besaran di hari raya Idul Fitri. Istilah silaturrahim tersebut ternyata kurang disukai oleh Bung Karno yang menginginkan istilah yang lebih intens ketimbang silaturrahim. Kiai Wahab berargumen bahwasanya alasan perpolitikan Indonesia tidak sehat adalah karena antar elit politik saling menyalahkan. Menyalahkan itu haram. Haram itu dosa. Supaya tidak dosa, maka yang haram perlu dihalalkan dengan cara saling memaaafkan. Pada akhirnya, silaturrahim tersebut kemudian diistilahkan dengan halal bi halal oleh Kiai Wahab.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa bersilaturrahim di hari raya idul fitri merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Dengan dalil sebuah hadis yang menyatakan bahwa pada Zaman Nabi, para Sahabat saling bertemu dan mendoakan di hari raya id.

فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك

Artinya: “Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minka” (Semoga Allah menerima amalku dan amalmu).”

Selain itu, ketika melaksanakan salat id, kita disunnahkan untuk menempuh jalan yang berbeda saat pergi dan pulang menuju salat id dengan tujuan agar semakin banyak saudara yang kita temui dan sapa di hari raya id.

Selain dalil-dalil di atas, dalil yang secara spesifik mengajak kita untuk meminta “halal” kepada saudara sesama kita ialah hadis berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ رواه البخاري.

Artinya: “Dari Abu Hurairah Ra.., ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yang mempunyai tanggungan kepada saudaranya baik berupa harta benda atau sesuatu yang lainnya, maka mintalah halal darinya hari ini juga, sebelum dinar dan dirham tidak berlaku lagi, jika tidak maka ketahuilah bahwa orang yang punya tanggungan pada orang dan belum terselesaikan di dunia, maka di hari hisab  kebaikannya diberikan pada orang yang didzalimi di dunia, jika amal baiknya habis, maka amal buruk orang yang didzaliminya dilimpahkan padanya.

Di dalam hadis tersebut, Nabi saw. sangat jelas bersabda “Falyatahallalhu” yang artinya maka mintalah halal darinya”. Beliau memerintahkan kepada kita agar segera meminta halal kepada saudara kita atas segala hak adami yang kita cederai dari saudara kita.

Tradisi di Indonesia, setiap acara halal bi halal selalu diselingi dengan acara makan dan minum bersama serta tidak jarang pula mengundang penceramah untuk memberikan tausyiah. Hal-hal tersebut tentu saja hanyalah merupakan tambahan saja dalam acara halal bi halal dan bukan merupakan substansinya.

Dari berbagai keterangan di atas tidak ada satupun yang menyebutkan bahwa silaturrahim, saling memaafkan dan halal bi halal harus disertai dengan makan dan minum bersama. Hal yang terpenting dari acara tersebut ialah kerelaan hati dan kesediaan kepala untuk menunduk saling memaafkan dan saling menghalalkan antar sesama. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa sah hukumnya melaksanakan acara halal bi halal meskipun tanpa makan minum.

BINCANG SYARIAH