Menjamak shalat adalah menggabungkan pelaksanaan dua shalat wajib di satu waktu, yaitu shalat dzuhur digabung dengan shalat ashar; atau shalat maghrib digabung dengan shalat isya’. Dua shalat tersebut bisa digabungkan untuk dikerjakan di waktu shalat yang pertama (yaitu dzuhur atau maghrib, disebut dengan jamak taqdim), atau di waktu shalat yang ke dua (ashar atau isya’, disebut dengan jamak ta’khir). Sedangkan shalat subuh tidak diperbolehkan untuk dijamak, baik dengan shalat sebelumnya (shalat isya’) atau dengan shalat sesudahnya (shalat dzuhur).
Hukum asal shalat adalah dikerjakan pada waktunya masing-masing
Hukum asal ibadah shalat adalah dikerjakan sesuai dengan waktunya masing-masing, dan haram untuk dijamak. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Kemudian apabila kamu telah merasa aman, dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’ [4]: 103)
Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟ – أَوْ – يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟
“Bagaimana pendapatmu jika Engkau dipimpin oleh para penguasa yang mengakhirkan shalat sampai keluar dari waktunya? Atau meninggalkan shalat dari waktunya?”
Abu Dzarr berkata, “Lalu apa yang Engkau perintahkan kepadaku?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ، فَصَلِّ، فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ
“Kerjakanlah shalat sesuai dengan waktunya. Jika Engkau menjumpai mereka shalat, maka shalatlah lagi, sebab hal itu dihitung sebagai pahala shalat sunnah bagi kalian.” (HR. Muslim no. 648)
Setiap shalat memiliki batasan waktu sendiri-sendiri, kapan waktu masuk dan kapan waktu shalat tersebut berakhir. Siapa saja yang shalat sebelum waktunya, atau melaksanakannya setelah waktu shalat tersebut berakhir, maka dia telah melanggar batas ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat. Sehingga orang tersebut telah berbuat dosa atau maksiat, shalatnya pun tidak akan Allah Ta’ala terima.
Dikecualikan dalam masalah ini adalah orang-orang yang melaksanakannya setelah waktu shalat tersebut berakhir karena ada ‘udzur tertentu, seperti ketiduran atau lupa. Disyariatkan atas orang tersebut untuk shalat ketika ‘udzurnya telah hilang. Misalnya, orang yang ketiduran sebelum waktu dzuhur dan bangun ketika waktu ashar. Ketika bangun (ketika udzur hilang), wajib atas orang tersebut untuk mendirikan shalat dzuhur meskipun di waktu ashar.
Boleh menjamak shalat jika terdapat masyaqqah
Sebab dan kondisi yang memperbolehkan menjamak shalat itu banyak sekali, namun semua kondisi tersebut memiliki satu karakteristik yang sama, yaitu masyaqqah (adanya kesulitan). Maksudnya, ketika sulit atau berat atas seorang hamba untuk shalat sesuai dengan waktunya, maka diperbolehkan untuk menjamak shalat.
Hal ini berbeda dengan sebab yang memperbolehkan untuk meng-qashar (meringkas shalat). Yaitu, melaksanakan shalat yang asalnya empat raka’at (shalat dzuhur, shalat ashar dan shalat ‘isya) menjadi dua raka’at saja. Adapun sebab qashar hanya satu, yaitu safar (melakukan perjalanan jauh). Selain dalam kondisi safar, tidak boleh meng-qashar shalat.
Diperbolehkannya menjamak shalat adalah berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan atas kalian, dan tidak menghendaki kesulitan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Juga firman Allah Ta’ala,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam beragama.” (QS. Al-Hajj [22]: 78)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
“Sesungguhnya agama ini mudah.” (HR. Bukhari no. 39)
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا
“Mudahkanlah, jangan dipersulit.” (HR. Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734)
Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menjamak shalat. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَالعَصْرِ، إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat dzuhur dan ashar ketika safar, ketika beliau berada di tengah perjalanan, dan juga menjamak antara shalat maghrib dan ‘isya.” (HR. Bukhari no. 1107)
Inilah pendapat jumhur atau mayoritas ulama, yaitu diperbolehkan menjamak shalat. Yang menyelisihi jumhur ulama dalam masalah ini adalah ulama Hanafiyyah. Ulama madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa tidak boleh menjamak shalat, semua shalat harus dikerjakan sesuai dengan waktunya, kecuali di dua keadaan saja pada saat haji, selain itu tidak boleh. Keadaan pertama adalah pada saat wukuf di ‘Arafah, dimana jamaah haji menjamak antara shalat dzuhur dan ashar di waktu dzuhur (jamak taqdim). Keadaan ke dua adalah malamnya di Muzdalifah, dimana jamaah haji menjamak shalat maghrib dan isya’ di waktu isya’ (jamak ta’khir). Pendapat ulama Hanafiyyah ini tidak tepat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjamak shalat dalam safar-safar beliau yang lain, tidak hanya safar haji saja, sebagaimana hadits riwayat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu di atas.
Tidak boleh (haram) bermudah-mudah dalam menjamak shalat
Karena hukum asal shalat adalah dikerjakan pada waktunya masing-masing, maka bermudah-mudah dalam menjamak shalat hukumnya haram, tanpa ada keraguan di dalamnya. Sebagian orang ketika turun hujan gerimis (hujan tipis) di waktu maghrib, dengan mudahnya langsung menjamak shalat isya’ di waktu maghrib. Perbuatan ini tidak tepat, dan harus diingkari karena dia berarti melaksanakan shalat isya’ sebelum waktunya tanpa memiliki alasan (‘udzur) yang diperbolehkan oleh syariat. Hujan yang menyebabkan shalat maghrib dan isya’ dijamak adalah hujan lebat, sehingga terdapat masyaqqah (kesulitan) jika mendirikan shalat isya’ pada waktunya bagi jamaah laki-laki di masjid. Adapun hujan gerimis tipis, maka tidak boleh menjadi alasan untuk menjamak shalat. Hal ini karena, sekali lagi, hukum asal shalat wajib adalah dikerjakan sesuai dengan waktunya masing-masing.
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44793-sebab-yang-membolehkan-untuk-menjamak-shalat-bag-1.html