Serba-serbi Haji (17): Jangan Merasa Lebih Unggul

RASULULLAH yang menyatakan pada waktu haji Wada’ bahwa tak ada keutamaan orang Arab atas non Arab. Keutamaan seseorang itu ditentukan oleh kadar ketakwaannya.

Dalil ini dihafal betul oleh Mat Kelor semenjak dia mendengarnya dari khatib khutbah Arafah. Maka dia tak pernah kecil hati terlahir sebagai orang Madura dari kampung terpencil di desa terpencil. “Tuhan kita sama, mari berlomba untuk lebih dekat,” ujarnya dengan semangat.

Tadi pagi Mat Kelor terlibat dalam sebuah diskusi yang agak mengolok-ngoloknya sebagai orang Madura. Saya tak tahu asal-muasalnya. Namun Mat Kelor berkata bahwa orang Madura itu pekerja keras dan yakin bahwa dunia ini memang milik Allah, Tuhan mereka. Karena itu orang Madura itu ada di mana-mana termasuk di Saudi ini. Tak masalah bahwa pekerjaannya adalah pekerjaan “bawahan” yang penting penghasilannya “atasan.” Orang-orang tertawa mendengar pilihan kata atasan bawahan itu.

“Bagaimana kok bahasanya kok gak jelas Pak Haji,” kata sebagian pendengar. Mat Kelor menjawab: “Begitulah ciri khas orang Madura kalau bicara bahasa Indonesia, yang penting kalian paham. Lagian bahasa itu kan berubah-ubah. Dulu orang tulis “okay” lalu menjadi “oke” lalu menjadi “ok.” Semakin pendek kan?” Orang-orang tertawa.

Banyak yang heran akan pengamatan Mat Kelor tentang perkembangan bahasa. Belajar dari mana dia. Mat Kelor semakin percaya diri menjelaskan bahasa bagi masyarakat Madura bahwa orang Madura istiqamah memberikan E di awal banyak kata.

Itu punya makna tersembunyi, katanya. SIP menjadi ESSIP, TEH menjadi ETTEH, TEST menjadi ETTEST, SAH menjadi ESSAH, dan sebagainya. “Tapi tak sembarangan, ada grammarnya. Nikmati keragaman, jangan saling menghina,” tutup Mat Kelor. Sebagai pendengar, saya nyeletuk: “Essiiiiip.” Semua tertawa.

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK