Serial Fikih Zakat Pengaruh Utang terhadap Kewajiban Zakat

Serial Fikih Zakat (Bag. 13): Pengaruh Utang terhadap Kewajiban Zakat

Dalam membiayai proyek investasi atau membeli rumah, tidak jarang masyarakat melaksanakannya dengan bermodalkan utang yang bersumber dari akad komersil yang dibayarkan secara kredit kepada kreditur. Hal ini membutuhkan penjelasan apakah utang tersebut dapat menghalangi kewajiban zakat atau mengurangi kadar zakat. Boleh jadi berakibat pada nihilnya kewajiban zakat karena sisa harta yang dimiliki oleh debitur tidak lagi mencapai nisab. Oleh karena itu, menghalangi kewajiban zakat yang dimaksud di sini juga berarti mengurangi nisab harta.

Apakah Utang Menghalangi Kewajiban Zakat pada Harta Debitur?

Ahli fikih bersepakat bahwa utang[1] tidak menghalangi kewajiban zakat dalam dua kondisi, yaitu:

Pertama, utang tersebut menjadi tanggungan debitur setelah harta yang wajib ditunaikan zakatnya.[2]

Kedua, besaran utang tidak mengurangi nisab harta zakat.[3]

Selain dua kondisi di atas, ahli fikih berbeda pendapat dalam menentukan apakah utang menghalangi kewajiban zakat pada harta yang dimiliki debitur.

Pendapat pertama

Utang tidak menghalangi kewajiban zakat secara mutlak. Pendapat ini merupakan pendapat yang terpilih di kalangan Syafi’iyah[4] dan merupakan salah satu pendapat di kalangan Hanabilah.[5]

Dalil bagi pendapat ini adalah sebagai berikut:

Pertama, keumuman dalil yang mewajibkan zakat pada harta yang dimiliki seperti firman Allah Ta’ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)

Kedua, tidak terdapat dalil dari Al-Qur’an, Al-Hadis, dan ijmak yang menunjukkan zakat atas harta yang menjadi obyek utang dapat digugurkan.[6]

Ketiga, penguasaan debitur atas harta menunjukkan kepemilikan. Utang yang ada tidaklah mengeluarkan harta itu dari kepemilikannya, sehingga zakat atas harta itu tetap harus ditunaikan debitur.[7]

Pendapat Kedua

Utang menghalangi kewajiban zakat pada harta batin, tetapi hal ini tidak berlaku pada harta zahir. Pendapat ini merupakan mazhab Malikiyah[8], salah satu pendapat di kalangan Syafi’iyah[9], dan Hanabilah.[10]

Pendapat ini menyatakan bahwa utang tidak menghalangi kewajiban zakat atas harta zahir seperti hewan ternak, hasil pertanian, dan buah-buahan. Namun, utang menghalangi kewajiban zakat atas harta batin seperti emas, perak, dan komoditi yang setara dengan emas dan perak.[11]

Di antara dalil yang digunakan untuk mendukung pendapat ini adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat para petugas zakat dan mengutus mereka untuk mengambil zakat berupa hewan ternak, hasil pertanian, dan buah-buahan tanpa mereka bertanya kepada pemilik apakah mereka memiliki utang atau tidak. Hal ini menunjukkan bahwa utang tidaklah menghalangi kewajiban atas harta zahir.[12][13]

Pendapat ketiga

Utang menghalangi kewajiban zakat secara mutlak, baik harta itu berupa harta zahir maupun batin, baik utang itu telah jatuh tempo atau belum, baik utang itu merupakan utang kepada Allah atau utang kepada makhluk, baik utang itu merupakan jenis harta yang wajib dizakati atau tidak. Pendapat ini merupakan qaul qadim Asy-Syafi’i[14] dan pendapat terkuat Hanabilah.[15] Sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah mempersyaratkan utang yang menghalangi kewajiban zakat adalah utang yang telah jatuh tempo.[16]

Dalam Kasyaf Al-Qina disebutkan,

ومعنى قولنا: يمنع الدينُ وجوبَ الزكاة بقدره: أنا نُسقِط من المال بقدر الدين المانع، كأنه غير مالك له؛ لاستحقاق صرفه لجهة الدين، ثم يزكي المدين ما بقي من المال إن بلغ نصابًا تامًّا، فلو كان له مائة من الغنم، وعليه مالٌ؛ أي: دَين يقابل ستين منها، فعليه زكاة الأربعين الباقية؛ لأنها نصاب تام، فإن قابل الدين إحدى وستين، فلا زكاة عليه؛ لأنه – أي الدين – ينقص النصاب، فيمنع الزكاة

Makna perkataan kami ‘utang menghalangi kewajiban zakat sesuai dengan besaran utang tersebut’ adalah kami menggugurkan sejumlah harta sesuai dengan kadar utang yang menghalangi kewajiban zakat, seolah-olah pemiliknya tidak memiliki harta tersebut karena harta itu harus dialokasikan untuk pembayaran utang. Kemudian debitur menunaikan zakat dari harta yang tersisa jika mencapai nisab. Sebagai contoh, jika ia memiliki harta sebanyak 100 ekor domba dan utang yang setara dengan 60 ekor domba, maka dalam kasus ini dia berkewajiban menunaikan zakat dari 40 ekor domba yang tersisa karena itulah nisab yang sempurna bagi domba. Jika ternyata utangnya setara dengan 61 ekor domba, maka tidak ada kewajiban zakat yang mesti ditunaikan karena utang tersebut telah mengurangi nisab sehingga kewajiban zakat terhalangi.

Dalil bagi pendapat ini adalah sebagai berikut:

Pertama, perkataan ‘Utsman ibn ‘Affan radhiyallahu ‘anhu,

هَذَا شَهْرُ زَكَاتِكُمْ، فَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ، فَلْيُؤَدِّ دَيْنَهُ حَتَّى تَحْصُلَ أَمْوَالُكُمْ، فَتُؤَدُّوا مِنْهَا الزَّكَاةَ

Bulan ini adalah bulan zakat kalian. Siapa yang berutang hendaknya segera melunasi utangnya, sehingga dapat diketahui harta yang tersisa untuk kemudian ditunaikan zakatnya.[17]

Dalam riwayat lain, Utsman berkata,

فمن كان عليه دين فليقضه وزكوا بقية أموالكم

Setiap orang yang berutang hendaknya melunasi dan menzakati harta yang tersisa.[18]

‘Utsman ibn ‘Affan radhiyallahu ‘anhu mengucapkan perkataan di atas di hadapan sahabat Nabi yang lain dan tidak ada yang mengingkari perkataan beliau. Hal ini menunjukkan mereka sepakat dengan apa yang dikatakan ‘Utsman.[19]

Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat atas orang kaya dan memerintahkan mereka menyalurkan zakat kepada orang fakir seperti dalam sabda beliau,

أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ

Aku diperintahkan mengambil zakat dari orang kaya lalu mengembalikannya kepada orang fakir.” (HR. Al-Bukhari no. 1395, Muslim no. 19)

Debitur juga butuh melunasi utang sebagaimana orang fakir membutuhkan zakat. Dengan demikian, atribut kaya yang mewajibkan penunaian zakat tidak terwujud pada diri debitur. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا صَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى

Zakat hanya diwajibkan atas pihak yang kaya.” [HR. al-Bukhari no: 1426, Muslim no: 1034]

Bahkan, sebenarnya atribut fakir yang membolehkan seorang memperoleh zakat, terwujud pada diri debitur sehingga statusnya tercakup dalam kelompok Al-Gharim.[20]

Ketiga, kepemilikan debitur terhadap hartanya lemah karena adanya tuntutan kreditur untuk melunasi utang dan ia lebih berhak memilikinya.[21]

Keempat, kreditur dituntut untuk menunaikan zakat atas piutangnya. Jika debitur juga menunaikan zakat, maka hal ini memungkinkan terjadinya dua kali penunaian zakat untuk satu harta, di mana kreditur dan debitur menunaikan zakat. Hal ini tentu tidak diperbolehkan.[22]

Kelima, syariat zakat diwajibkan sebagai bentuk simpati pada orang fakir dan bentuk syukur dari orang kaya atas nikmat yang dianugerahkan. Dalam hal ini, debitur juga membutuhkan harta untuk melunasi utang. Ketika utang dikatakan tidak menghalangi kewajiban zakat, maka hal itu berarti menihilkan kebutuhan debitur terhadap hartanya sendiri untuk melunasi utang sehingga tetap diserahkan pada orang fakir. Tentu hal itu tidaklah bijak dan atribut kaya yang melazimkan bentuk syukur dengan menunaikan zakat tidak tercapai pada diri debitur.[23]

Pendapat yang Terpilih

Pendapat terpilih dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa utang dapat menghalangi kewajiban zakat atas harta debitur. Alasannya adalah sebagai berikut:

Pertama, keumuman dalil yang mewajibkan zakat pada harta yang dimiliki di-takhshis dengan dalil-dalil yang menunjukkan utang dapat menghalangi kewajiban zakat.[24]

Kedua, dalil dari Al-Hadis menunjukkan bahwa zakat atas harta yang menjadi obyek utang dapat digugurkan.

Ketiga, meski debitur memiliki dan menguasai harta, namun kepemilikan tersebut tidak sempurna (naqish) karena kreditur berhak menuntut dan memaksa utang dilunasi menggunakan harta tersebut.[25]

Keempat, pada dasarnya seorang terbebas dari utang dan tidak memiliki tanggungan. Oleh karena itu, seorang yang menyerahkan kewajiban zakat kepada petugas zakat dan mengaku ia berutang perlu membuktikan pengakuan tersebut. Pengakuan bahwa dirinya berutang tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan adanya bukti.[26] Oleh karena itu, ketika mengambil zakat, petugas memang tidak perlu bertanya apakah yang bersangkutan memiliki utang ataukah tidak. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara harta batin dan zahir karena keumuman dalil mencakup keduanya.[27]

Namun, ahli fikih mengemukakan terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi sehingga utang bisa menghalangi kewajiban zakat atas harta debitur. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, utang tersebut telah jatuh tempo dan debitur tidak mampu melunasinya. Artinya, utang yang belum jatuh tempo tidak menghalangi kewajiban zakat atas harta debitur. Hal ini dikemukakan oleh sejumlah ahli fikih Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.[28] Dalam hal ini, ketika utang telah jatuh tempo, maka tidak ada lagi kepemilikan yang sempurna oleh debitur terhadap hartanya karena adanya tagihan dari kreditur untuk melunasi utang. Alasan ini tentu tidak terdapat pada utang yang belum jatuh tempo.

Sebagai contoh dalam kasus angsuran. Seorang membeli mobil secara kredit, di mana dia harus membayar angsuran sebesar Rp5.000.000 setiap bulan. Saat ini, ia telah membayar angsuran pertama. Lantas, apakah angsuran pertama itu menghalangi kewajiban zakat atau tidak? Dalam hal ini, angsuran yang belum jatuh tempo tidak menghalangi kewajiban zakat, namun yang menghalangi kewajiban zakat adalah angsuran pertama yang telah dibayarkan itu.[29]

Kedua, debitur tidak memiliki aset tetap (arudh qinyah) di luar kebutuhan primer yang bisa dijual untuk melunasi utang saat bangkrut. Artinya, dalam kondisi debitur memiliki aset tetap di luar kebutuhan primer, maka utangnya tidak menghalangi kewajiban zakat. Hal ini dikemukakan oleh sejumlah ahli fikih Hanafiyah, mazhab Malikiyah, salah satu pendapat di kalangan Hanabilah, dan merupakan pendapat yang didukung oleh Abu Ubaid Al-Qasim.[30]

Pertimbangan bagi syarat ini adalah sebagai berikut:

  • Aset itu berasal dari harta debitur yang berada dalam kepemilikannya.
  • Aset itu memiliki nilai komersil yang memungkinkan debitur menjual atau mengelolanya jika diperlukan.
  • Kreditur berhak menuntut debitur menjual aset itu untuk melunasi utang jika ternyata debitur tak mampu melunasi utang dari sumber lain.
  • Terdapat pendapat yang menyatakan aset semacam itu tidak bisa digunakan untuk melunasi utang yang menghalangi kewajiban zakat, namun pendapat ini justru akan berakibat menihilkan kewajiban zakat dari orang kaya yang menginvestasikan harta mereka pada aset tetap atau barang investasi seperti pabrik. Dengan demikian, sebagai contoh, seorang yang memiliki sebuah pabrik dengan hasil yang mampu mencukupi kebutuhan primer, lalu membeli pabrik lain menggunakan utang yang besarnya melebihi hasil kedua pabrik tersebut, maka ia tidak lagi berkewajiban menunaikan zakat berdasarkan pendapat tadi, padahal statusnya kaya karena memiliki banyak aset dan pabrik.[31]

Ketiga, debitur bukanlah orang kaya yang gemar menunda pelunasan utang. Jika karakter debitur seperti itu, maka utangnya tidak menghalangi kewajiban zakat. Itulah kandungan perkataan ‘Utsman ibn ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, entah debitur melunasi utang atau menunaikan zakat tanpa menjadikan utang sebagai parameter yang mengurangi nisab. Dengan demikian, seluruh dalil dapat dipraktikkan, di mana kewajiban zakat dari debitur semacam ini tidaklah gugur semata-mata karena utang yang mengurangi nisab. Padahal ia memiliki harta yang dapat dimanfaatkan, namun ia enggan untuk melunasi utang kepada yang berhak.

Bagaimana utang yang digunakan untuk membiayai proyek investasi atau membeli rumah? Hal ini akan diuraikan dalam artikel selanjutnya seizin Allah.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Sumber: https://muslim.or.id/72594-serial-fikih-zakat-bag-13-pengaruh-utang-terhadap-kewajiban-zakat.html