Serial Fiqh Zakat (Bag. 10): Penggunaan Kalender Masehi dalam Penetapan Haul Zakat

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fiqh Zakat (Bag. 9): Zakat Uang Kartal

Mayoritas ulama berpendapat bahwa tercapainya haul merupakan syarat yang wajib terpenuhi bagi obyek zakat yang berupa emas dan perak, hewan ternak, dan barang perdagangan.

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan,

السَّائمةُ من بهيمةِ الأنعامِ، والأثمانُ؛ وهي الذهب والفضَّة، وقِيَمُ عُروضِ التِّجارة، وهذه الثلاثة الحَوْلُ شرطٌ في وجوبِ زكاتِها. لا نعلم فيه خلافًا). ((المغني)) (2/467).

“(Untuk) hewan ternak yang berkategori saa-imah; emas dan perak; dan nilai barang perdagangan, haul merupakan syarat wajib zakat bagi ketiganya. Kami tidak mengetahui ada pendapat yang berbeda dalam hal ini.” (al-Mughni, 2: 467)

Dalam Bidayatul Mujtahid (1: 270), Ibnu Rusyd Rahimahullah menginformasikan bahwa syarat haul tersebut merupakan kesepakatan al-Khulafa ar-Rasyidin dan telah luas dipraktikkan di masa sahabat Radhiallahu ‘anhum. Keterangan Ibnu Rusyd tersebut didukung oleh riwayat Malik dari Abu Bakr ash-Shiddiq dan Utsman bin ‘Affan dalam al-Muwaththa’ no. 638, yang menetapkan pensyaratan haul.

Di masa ini, timbul persoalan baru terkait pensyaratan haul untuk kewajiban zakat, yaitu penggunaan kalender solar (kalender surya) dalam penentuan haul zakat. Hal ini karena dalam berbagai interaksi, mayoritas masyarakat telah bergantung pada penanggalan Masehi yang berpatokan pada kalender solar.

Apakah penentuan haul zakat diperbolehkan berpatokan pada kalender solar ataukah tetap wajib berpatokan pada kalender lunar yang terwujud dalam penanggalan Hijriyah?

Sekilas tentang kalender olar dan kalender lunar

Kalender solar adalah sistem penanggalan yang didasarkan atas revolusi bumi mengelilingi matahari [Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_surya].

Hal ini mengakibatkan tahun dalam kalender solar terbagi ke dalam empat musim, yaitu musim panas, musim dingin, musin semi, dan musim gugur, dimana dalam setahun terdiri dari sekitar 365,2422 hari. Adapun pembagian tahun dalam kalender solar menjadi beberapa bulan, hal itu merupakan kreasi sebagian bangsa yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Dari kalender solar inilah kemudian tercipta penanggalan Masehi. (at-Tarikh al-Hijriy, hlm. 22)

Adapun kalender lunar (as-sanah al-qamariyah) yang juga dikenal dengan al-haul al-qamariy merupakan sistem penanggalan yang didasarkan pada revolusi bulan yang mengelilingi bumi dan itulah yang menjadi sebab penetapan bulan-bulan dalam setahun. Waktu total revolusi bulan mengelilingi bumi merepresentasikan satu bulan dalam kalender lunar yang membutuhkan waktu sekitar 29,52 hari. Jumlah bulan dalam kalender lunar ini sebanyak 12 bulan, yang dalam penanggalan Hijriyah dikenal dengan 12 bulan Arab yang terkenal, dimulai dari bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah. Berdasarkan hal itu, dalam kalender lunar, khususnya dalam penanggalan Hijriyah, terdapat 354,36 hari dalam setahun, yang jika dibandingkan dengan kalender solar terdapat selisih 10,88 hari. (at-Tarikh al-Hijriy, hlm. 23)

Dapat diperhatikan dari uraian di atas bahwa kalender lunar berpatokan pada pergerakan dan perputaran bulan di sekitar bumi dan tidak berkaitan dengan pergerakan bumi di sekitar matahari.

Kalender lunar adalah patokan dasar dalam penentuan waktu

Penentuan waktu dalam Islam berpatokan pada kalender lunar atau penanggalan Hijriyah, bukan berpatokan pada kalender solar atau penanggalan Masehi. Ibnu Taimiyah Rahimahullah menuturkan,

فجعل اللهُ الأهلَّةَ مواقيتَ للناس في الأحكام الثابتة بالشرع ابتداءً، أو سببًا من العبادة، وللأحكامِ التي تثبُتُ بشروط العَبدِ. فما ثبت من المؤقتاتِ بشرع أو شرط فالهلالُ ميقاتٌ له، وهذا يدخُلُ فيه الصيام والحجُّ، ومدةُ الإيلاءِ والعدَّة، وصومُ الكفَّارة… وكذلك صوم النذر وغيره. وكذلك الشروط من الأعمال المتعلِّقة بالثَّمن ودَين السَّلَم، والزَّكاة، والجِزية، والعقل، والخيار، والأيمان، وأجَل الصَّداق، ونجومُ الكتابة، والصُّلح عن القِصاص، وسائر ما يُؤجَّلُ منِ دَين وعَقدٍ وغيرهما

“Maka Allah menjadikan hilal (bulan sabit) sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh syariat, baik sebagai permulaan suatu ibadah atau sebagai sebab suatu ibadah. Juga sebagai tanda-tanda waktu bagi hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan persyaratan manusia. Dengan demikian, setiap ketentuan waktu yang ditetapkan oleh syariat atau syarat, maka yang menjadi patokan adalah hilal. Hal ini mencakup ibadah puasa; haji; jangka waktu ilaa dan ‘iddah; dan puasa kaffarah … termasuk puasa nadzar dan selainnya. Demikian pula syarat-syarat dari aktifitas yang berkaitan dengan uang, utang salam, zakat, jizyah, pembatalan, khiyar, sumpah, utang mahar, pembebasan status budak dengan tebusan, perdamaian dalam qishash, dan seluruh perkara lain yang ditunda, baik berupa utang, akad, dan selainnya” (Majmu’ al-Fatawa, 25: 133, 134).

Dalil yang mendasari penggunaan kalender lunar

Hal ini didasarkan pada sejumlah dalil berikut:

Dalil pertama

Dalil-dalil agama menunjukkan kewajiban menggunakan penentuan waktu yang berdasarkan kalender lunar yang direpresentasikan dalam penanggalan Hijriyah dan bukan menggunakan kalender solar yang direpresentasikan dalam penanggalan Masehi.

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji” (QS. al-Baqarah: 189).

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjadikan hilal sebagai tanda awal dan akhir bulan, sehingga hal ini berarti hilal merupakan tanda waktu, sebagaimana hitungan bulan itu tepat bila berpatokan pada kalender lunar karena terkait dengan hilal yang merupakan salah satu fase bulan.

Asy-Syafi’i Rahimahullah mengatakan,

فـأعلم الله تعالى بالأهلة جمل المواقيت… ولم يـجعل علماً لأهل الإسلام إلا بها، فمن أعلم بغيرها، فبغير مـا أعلم الله أعلم

“Maka Allah Ta’ala menjadikan hilal sebagai tanda bagi berbagai ketentuan waktu … Dia tidak menjadikan hal lain sebagai tanda-tanda waktu bagi kaum muslimin. Maka setiap orang yang menjadikan hal selain hilal sebagai tanda waktu, maka ia telah menjadikan hal lain yang tidak digunakan Allah sebagai tanda waktu.” (al-Umm, 3: 118)

Allah Ta’ala juga berfirman,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” (QS. Yunus: 5).

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjadikan bilangan tahun dan perhitungan waktu berpatokan pada fase-fase bulan, dimana hal itu hanya bisa terwujud jika menggunakan bulan-bulan Hijriyah yang awal dan akhir bulannya diketahui berdasarkan pada rukyah hilal. (at-Tafsir al-Kabir, 16: 50)

Dalil kedua

Menghitung dan menggunakan kalender lunar sebagai patokan selaras dengan kelapangan, kemudahan, dan keuniversalan agama Islam. Karena penghitungan dan pengenalan terhadap hari dan bulan dalam kalender lunar (kalender Hijriyah) dapat dilakukan oleh setiap orang sehingga tidak membutuhkan bantuan seorang pakar.

Ibnu al-Qayyim Rahimahullah menuturkan,

ولذلك كان الحساب القمري أشهر وأعرف عند الأمم، وأبعد عن الغلط، وأصح للضبط من الحساب الشمسي، ويشترك فيه الناس دون الحساب الشمسي

“Oleh karena itu, penghitungan yang berpatokan pada kalender lunar lebih populer dan lebih terkenal di kalangan umat manusia; minim alat dan akurat daripada penghitungan yang berpatokan pada kalender solar. Setiap orang dapat menguasainya, berbeda dengan penghitungan kalender solar” (Miftaah Daar as-Sa’adah, 2: 272).

Dengan demikian, kalender lunar (kalender Hijriyah) sesuai untuk setiap orang, baik yang terpelajar maupun bodoh, penduduk kota maupun penduduk desa, di masa silam maupun masa modern, yang menegaskan berpatokan pada kalender lunar adalah sebuah keharusan, bukan berpatokan pada kalender solar. Hal ini dikarenakan kalender lunar memiliki karakteristik yang sesuai dengan karakteristik agama Islam, terlebih lagi kebutuhan masyarakat untuk berpatokan pada penghitungan yang bisa digunakan dalam kehidupan mereka dengan beragam tempat dan waktu hanya terwujud dengan menggunakan penanggalan Hijriyah yang berdasarkan kalender lunar. (at-Tarikh al-Hijriy, hlm. 52)

Menggunakan penanggalan masehi dalam menunaikan zakat

Al-Lajnah ad-Daimah Kerajaan Arab Saudi memfatwakan bahwa penanggalan yang menjadi patokan dalam menunaikan zakat adalah penanggalan Hijriyah dan bulan-bulan Qamariyah, bukan menggunakan penanggalan Masehi (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta, 9: 200, Fatwa no. 9410).

Agak berbeda dengan al-Lajnah ad-Damimah, Bait az-Zakat di Kuwait memang berpandangan bahwa dalam menunaikan zakat hendaknya berpatokan pada penanggalan Hijriyah (kalender lunar). Namun, jika hal itu sulit dilakukan, semisal karena keterkaitan anggaran perusahaan atau yayasan dengan penanggalan Masehi (kalender solar), maka dalam kondisi tersebut boleh menggunakan penanggalan Masehi (kalender solar) dalam menunaikan zakat. Dengan catatan besaran zakat bertambah menjadi 2,575% akibat adanya selisih hari antara penanggalan Masehi dan penanggalan Hijriyah. (Ahkam wa Fatawa az-Zakah wa ash-Shadaqat wa an-Nudzur wa al-Kaffarat tahun 1423 H)

Empat alasan tidak menggunakan penanggalan masehi Sebagai patokan

Jika diteliti, perbedaan di atas hanyalah perbedaan dalam redaksi kata, karena keduanya sama-sama sepakat tetap menggunakan penanggalan Hijriyah (kalender lunar) dalam menunaikan zakat. Bait az-Zakat Kuwait memang membolehkan penghitungan haul zakat berdasarkan penanggalan Masehi, tetapi dengan tetap menyetarakannya dengan penanggalan Hijriyah. Yaitu adanya tambahan pada besaran zakat sebagai kompensasi atas selisih hari yang terjadi ketika menggunakan penanggalan Masehi.

Bait az-Zakat Kuwait juga membatasi penggunaan penanggalan Masehi dalam menunaikan zakat jika memang sulit menggunakan penanggalan Hijriyah. Dengan demikian, pada dasarnya yang disepakati adalah menghitung haul zakat sesuai dengan penanggalan Hijriyah dan bukan berpatokan pada penanggalan Masehi. Hal itu dikarenakan sejumlah alasan berikut:

Alasan pertama

Dalil-dalil agama dan kutipan ulama yang menunjukkan kewajiban menggunakan penanggalan Hijriyah sebagai patokan dalam menunaikan zakat. Apalagi penanggalan Masehi merupakan kreasi umat sebelum datangnya Islam, yang bisa ditambah ataupun dikurangi, sehingga penanggalan ini tidak berpijak pada standar yang baku.

Alasan kedua

Telah ditetapkan bahwa tidak boleh menggunakan kalender solar yang direpresentasikan dalam penanggalan Masehi. Demikian pula, tidak boleh menghitung tanda-tanda waktu berdasarkan penanggalan tersebut, sehingga tidak boleh berpatokan pada penanggalan Masehi dalam menghitung haul zakat.

Alasan ketiga

Menggunakan kalender solar yang direpresentasikan dalam penanggalan Masehi sebagai patokan justru akan menyebabkan penunaian zakat tertunda selama kurang lebih 11 hari. Sehingga dalam rentang waktu sekitar 30 tahun, hal ini bisa mengakibatkan seorang muslim tidak menunaikan kewajiban zakatnya selama satu tahun penuh. Artinya semasa hidup mereka, jutaan kaum muslimin bisa melewatkan kewajiban menunaikan zakat sebanyak satu atau dua kali. Tentu saja hal ini merugikan kepentingan umat secara umum dan merugikan delapan pihak yang berhak menerima zakat secara khusus.

Alasan keempat

Berpatokan pada kalender solar mengakibatkan hilangnya tanggung jawab wajib zakat (muzakki) ketika harta belum mencapai nisab atau ketika wajib zakat wafat setelah haul penanggalan Hijriyah terpenuhi, sementara haul penanggalan Masehi belum terpenuhi. Artinya, jika menggunakan penanggalan Masehi, tanggung jawab wajib zakat untuk menunaikan zakat menjadi tidak ada dalam rentang waktu sekitar 11 hari yang merupakan selisih antara penanggalan Masehi dan penanggalan Hijriyah. Hal ini menimbulkan kerugian yang nyata dan menyia-nyiakan hak Allah dan hak hamba-Nya.

Apabila dalam menghitung haul zakat berdasarkan penanggalan Hijriyah terdapat kesulitan karena alasan yang logis, maka boleh menghitung haul zakat berdasarkan penanggalan Masehi berdasarkan pendapat yang membolehkan penundaan zakat karena adanya kebutuhan. Misalnya, kondisi yang dialami sebagian perusahaan yang membangun anggaran keuangan berdasarkan penanggalan Masehi. Perusahaan tersebut berpatokan pada penanggalan Masehi karena memiliki cabang-cabang perusahaan di luar negeri yang menggunakan penanggalan Masehi, dimana penanggalan itulah yang menjadi standar internasional. Patut diperhatikan bahwa hal ini dibolehkan dengan tetap memperhatikan sejumlah batasan berikut:

Pertama, keterkaitan zakat dengan tanggung jawab wajib zakat (muzakki) tetap mengacu pada kesempurnaan haul yang berdasarkan penanggalan Hijriyah. Artinya, apabila wajib zakat wafat setelah haul penanggalan Hijriyah tercapai, ia tetap wajib menunaikan zakat meskipun haul berdasarkan penanggalan Masehi belum tercapai. Dengan demikian, besaran zakat itu menjadi utang yang wajib ditunaikan dan dibayar dari harta peninggalannya sebelum dibagikan kepada ahli waris.

Kedua, wajib memperhitungkan selisih yang timbul dari penundaan penunaian zakat akibat menggunakan penanggalan Masehi. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam fatwa Bait az-Zakat Kuwait sebelumnya.

Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

Artikel ini disadur dari Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta-shiliyah li Mustajaddat az-Zakat, karya Dr. ‘Abdullah ibn Manshur al-Ghufailiy hlm. 81-88.