Shalat, Obat Hati dan Bekal Rohani

SHALAT yang khusyu’  mewujudkan ubudiah yang benar-benar karena Allah, ikhlas, pasrah, rendah diri terhadap Zat Yang Mahasuci. Di dalam shalat, mereka meminta segala sesuatu kepada Allah dan meminta dari Nya hidayah untuk menuju jalan yang lurus, dan Allah Mahakaya lagi mulia. Kepada-Nyalah, seseorang berkenan memohon ijabah dan mencurahkan segala sesuatu, baik dalam hal cahaya hidayah, limpahan rahmat, maupun ketenangan.

Shalat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan memperbarui semangat dan sekaligus sebagai peyucian akhlak. Bagi pelakunya sendiri, shalat merupakan tali penguat yang dapat mengendalikan diri. Ia adalah pelipur lara dan pengaman dari rasa takut dan cemas, juga memperkuat kelemahan dan senjata bagi yang merasa terasing.

Dengan shalat, kita dapat memohon pertolongan atas ujian zaman, tekanan-tekanan orang lain, dan kekejaman pada durjana. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Hai orang-orang beriman, jadikanlah shalat dan sabar sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS: Al- Baqarah: 153 )

Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam ketika menghadapi persoalan genting, beliau berlindung melalui shalat. Ruku dan sujud dalam shalatnya dilakukan secara khusyu’  , membawa rasa dekat kepada Allah. Bersama Allah pula, beliau merasa berada di suatu tempat atau sandaran yang kokoh, sehingga merasakan aman tenteram, percaya diri, dan penuh keyakinan, dan memperoleh perasaan damai, sabar terhadap segala bentuk ujian dan cobaan, serta rela terhadap takdir Allah atas dasar kesetiaan sejati dan kejujuran, dan memperkokoh cita-cita yang besar dalam kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya bagi hamba-Nya yang beriman dan bekerja secara jujur tanpa pamrih.

Shalat itu membersihkan jiwa dan menyucikan dari sifat-sifat buruk, khususnya sifat-sifat yang dapat mengalahkan cara hidup materialis, seperti: menjadikan dunia itu lebih penting daripada segala-galanya, mengomersialkan ilmu, dan mencampakkan rohaninya. Kasus semacam ini dicontohkan Allah Subhanahu Wata’ala dalam ayat,

إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً

إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعاً

وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً

إِلَّا الْمُصَلِّينَ

الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ

Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” ( QS:Al–Ma’aarij :19-23)

Dalam ayat lain,

 “… Sesunguhnya shalat itu mencegah dari [ perbuatan-perbuatan ] keji dan mungkar…”  ( Al-Ankabuut : 45 )

Orang yang benar-benar melaksanakan shalat, dari shalat yang satu ke shalat lain, merasakan sempitnya waktu di dalam bersimpuh di bawah kekuasaan Allah. Ia memohon kepada-Nya untuk ditunjukkan jalan yang lurus dalam keadaan pasrah dan khusyu’  . Begitulah seterusnya dalam menyambut shalat berikutnya, sehingga terasa taka da putus-putusnya hubungan dengan-Nya, dan tidak putus-putusnya pula mengingat Allah, diantara shalat yang satu dengan yang lain, sehingga tak sempat lagi melakukan maksiat. Demikianlah Allah menaungi hamba-Nya yang memelihara shalatnya karena merindukan perjumpaan dengan-Nya dan sama sekali tidak mungkin menjauhkan-Nya.

Bagi siapa saja yang memelihara waktu-waktu shalat dan tujuan shalatnya benar-benar karena Allah, melatih dirinya menentang dan mengalahkan arus kesibukan hidup, tidak mendahulukan kepentingan materi, dengan demikian jiwanya mampu menaklukkan ujian dunia beserta kesenangannya, begitu pula dalam menumpuk-numpuk harta.

Allah berfirman,

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak [pula] oleh jual beli dari mengingat Allah, dan [dari] mendirikan shalat, dan [dari] membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari yang [di hari itu] hati dan penglihatan menjadi gonjang.”  (QS: An-Nuur : 37 )

Dalam shalat terdapat bekas dan kesan pendidikan lainnya. Misalnya, mendidik jiwa seseorang, yang dengan shalat itu, ia mampu merasakan wujud dari kesatuan umat di kalangan kaum muslimin diseluruh penjuru dunia yang mengarahkan sasaran shalat mereka ke satu tempat yang sama, yaitu Baitullah al-Haram. Perasaan persatuan ini juga menimbulkan saling pengertian dan saling melengkapi sesame kaum muslimin dalam kehidupan atau tanah air yang satu, yang terhimpun di dalam masjid setiap shalat.

Setiap shalat, mereka selalu memperhatikan tibanya waktu shalat dan menjaga atau berusaha keras untuk menunaikan secara tepat pada waktunya, sesuai dengan ketentuan syara. Mereka juga menaklukkan nafsunya untuk tidak tenggelam dalam kesibukan-kesibukan demi terlaksananya kewajiban-kewajiban terhadap Rabb-Nya.

Juga menyangkut tertibnya shalat berjamaah yang barisnya lurus di belakang imam tanpa adanya celah kosong ( antara makmum yang satu dan makmum lainnya, di kanan dan di kirinya ), hal ini berarti mengembalikan kaum muslimim pada perlunya Nizham  ( tertib organisasi ).

Adapun yang berkaitan dengan disiplin terhadap imam yaitu tidak mendahuluinya, menunjukkan adanya ketaatan mutlak dan komitmen atau loyal, serta meniadakan penolakan terhadap perintah-perintahnya.

Kemudian berkaitan dengan imam yang lalai ( dalam bacaan, misalnya ) diharuskan bagi makmum untuk mengingatkannya (dengan membaca subhanallah) ini menunjukkan keharusan  makmum menegur atau mengingatkan pemimpinnya jika lalai atau melakukan kesalahan.

Demikian juga pada shalat berjamaah, agar diperhatikan dalam pengisian shaf , yaitu agar tidak didasarkan atas status social jamaah, juga tidak memandang  kekayaan atau pangkat walaupun dalam shaf  terdepan sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak ( al-musaawah) tanpa mempedulikan tingginya kedudukan maupun tuanya umur.

Shalat pun memberikan kesan kesehatan, yang terwujud dalam gerakan-gerakan pada setiap rakaatnya, yaitu pada shalat fardhu, lima kali sehari (17 Rakaat) secara seimbang. Hal ini menunjukkan suatu olahraga fisik pada waktu yang teratur, dengan cara yang sangat sederhana dan mudah dalam gerakan-gerakannya.*/Ziyad Makareem, dari buku Berjumpa Allah lewat Shalat karya Syekh Mustafa

 

HIDYATULLAH