Sifat Allah: Apakah hanya Tujuh atau Dua Puluh? (Bag. 1)

Di antara ilmu yang paling agung dan paling mulia adalah ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala (tauhid asmaa’ wa shifaat). Hal ini sebagaimana yang telah kami uraikan panjang lebar di serial tulisan sebelumnya. [1] Masalah aqidah, termasuk dalam masalah tauhid asmaa’ wa shifaat, haruslah diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sesuai dengan pemahaman generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, seiring dengan berpalingnya kaum muslimin dari agamanya, maka aqidah yang lurus, yaitu aqidah ahlus sunnah, seolah menjadi aqidah yang aneh dan terasing di tengah-tengah umat Islam sendiri. Sebaliknya, aqidah yang tersebar dan lebih dikenal adalah aqidah yang menyimpang dari jalan dan pemahaman sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara contoh kesalahan dalam masalah nama dan sifat Allah yang sudah tersebar luas di kalangan kaum muslimin adalah keyakinan mereka bahwa Allah Ta’ala hanya memiliki tujuh atau dua puluh sifat saja. Kedua puluh sifat tersebut juga telah dihafal oleh banyak kaum muslimin sehingga sering pula kita dengarkan melalui masjid-masjid di antara adzan dan iqomah. Pemahaman seperti ini sebetulnya berasal dari para tokoh yang menisbatkan diri kepada madzhab Asy’ariyyah.

Mengenal ‘Aqidah (Madzhab) Asy’ariyyah

Madzhab Asy’ariyyah adalah madzhab yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullahu Ta’ala (wafat tahun 324 H)Pada fase awal (fase pertama) kehidupan beliau, beliau tenggelam dalam aqidah Mu’tazilah. Dalam masalah nama dan sifat Allah Ta’ala, madzhab Mu’tazilah ini hanya menetapkan nama untuk Allah Ta’ala, namun menolak sifat-sifat Allah Ta’ala seluruhnya. Dengan kata lain, bagi kaum Mu’tazilah, nama Allah Ta’ala hanyalah sekedar nama, namun tidak menunjukkan sifat yang mulia. Beliau tenggelam dalam madzhab Mu’tazilah karena pengaruh didikan ayah tirinya selama 40 tahun, yaitu Abu ‘Ali Al-Juba’i, seorang tokoh besar Mu’tazilah ketika itu yang berdomisili di kota Bashrah (Irak).

Sayangnya, setelah bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah, beliau justru terjerumus dalam madzhab Kullabiyah, yaitu madzhab yang dinisbatkan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab Al-Bashri (wafat tahun 240 H). Namun, Allah Ta’ala ternyata menghendaki kebaikan (hidayah) untuk beliau. Sehingga pada akhir-akhir kehidupannya, beliau menyatakan bertaubat dari pemikirannya tersebut (Kullabiyah) dan kembali mengikuti aqidah ahlus sunnah, yaitu aqidah yang dipegang oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal rahimahullahu Ta’ala dan para imam ahli hadis yang lainnya. [2]

Dalam salah satu kitab terakhir karya beliau, yaitu kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuul Ad-Diyaanah, sangat jelas pernyataan dari beliau bahwa beliau bertaubat dari madzhab Mu’tazilah dan Kullabiyah dan rujuk (kembali) ke ‘aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Beliau rahimahullahu Ta’ala dengan sangat jelas dan tegas berkata,

قولنا الذي نقول به، وديانتنا التي ندين بها، التمسك بكتاب ربنا عز وجل، وسنة نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، وما روى عن الصحابة والتابعين وأئمة المحدثين، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل – نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته – قائلون، ولما خالف قوله مخالفون؛ لأنه الإمام الفاضل، والرئيس الكامل، الذي أبان الله به الحق، ودفع به الضلال، وأوضح به المنهاج، وقمع به بدع المبتدعين، وزيع الزائغين، وشك الشاكين …

“Pendapat yang kami nyatakan, dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah dan sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, (juga berpegang teguh dengan) apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in, para imam ahli hadits. Kami berpegang teguh dengan prinsip tersebut. (Kami juga berpegang teguh) dengan (aqidah) Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Semoga Allah Ta’ala mengelokkan wajah beliau, mengangkat derajat beliau, melimpahkan pahala bagi beliau. Kami juga menyelisihi orang-orang yang menyelisihi aqidah beliau. Karena beliau adalah imam yang fadhil (memiliki keutamaan) dan pemimpn yang sempurna. Melalui diri beliau, Allah Ta’ala membuat terang (jalan) kebenaran dan menolak kesesatan, menjelaskan manhaj, memberantas bid’ah yang dilakukan oleh ahli bid’ah, (serta memberantas) penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang dan keraguan orang-orang yang ragu … ” [3]

Kembalinya beliau ke aqidah ahlus sunnah juga ditegaskan di dua kitab beliau lainnya, yaitu Maqaalat Islamiyyin wa Ikhtilaafil Musholliin [4] dan kitab Risaalah ila Ahli Tsaghr [5].

Salah seorang ulama besar madzhab Asy-Syafi’i, yaitu Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa di antara sebab kembalinya Abul Hasan Al-‘Asy’ari ke dalam aqidah ahlus sunnah adalah pertemuan beliau dengan Zakaria As-Saaji (wafat tahun 307 H), yaitu ulama ahli hadits yang tinggal di kota Bashrah dan beraqidah ahlus sunnah. [6]

Adz-Dzahabi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata ketika menyebutkan biografi Zakaria As-Saaji,

وَكَانَ مِنْ أَئِمَّةِ الحَدِيْثِ. أَخَذَ عَنْهُ: أَبُو الحَسَنِ الأَشْعَرِيّ مَقَالَة السَّلَف فِي الصِّفَات، وَاعتمد عَلَيْهَا أَبُو الحَسَنِ فِي عِدَّة تآلِيف.

“Beliau adalah imam ahli hadits. Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil pendapat ulama salaf (ahlus sunnah) darinya dalam masalah terkait sifat-sifat (Allah). Abul Hasan Al-Asy’ari juga berpegang dengannya (As-Saaji) dalam beberapa karya tulis beliau.” [7]

Dan telah kita maklumi bersama, bagaimanakah aqidah ahlus sunnah dalam masalah nama dan sifat Allah. Ahlus sunnah menetapkan seluruh nama dan sifat yang telah Allah Ta’ala tetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan dzahirnya, tanpa tahrif (takwil), ta’thil, takyif, dan tasybih. Ahlus sunnah meyakini dan menetapkan sifat as-sam’u (mendengar) bagi Allah, sesuai keagungan dan kebesaran Allah, tidak serupa dengan makhluk-Nya. Ahlus sunnah juga menetapkan sifat dua tangan (yadain) yang hakiki (bukan majas yang ditakwil menjadi nikmat atau kekuatan), sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan makhluk-Nya. Dan demikian seterusnya. [8]

Namun sangat disayangkan, bahwa aqidah yang tersebar sampai saat ini adalah ‘aqidah beliau pada fase kedua, yaitu fase Kullabiyah. Dan dalam beberapa masalah, justru mirip dengan aqidah Mu’tazilah. Namun mereka menyangka bahwa aqidah mereka saat ini (yang hakikatnya adalah ‘aqidah Kullabiyah, namun mereka sebut dengan ‘aqidah Asy’ariyyah) masih mengikuti ‘aqidah Abul Hasan Al-Asy’ari. Padahal beliau sendiri telah bertaubat dari ‘aqidah Kullabiyah dan kembali jalan ahlus sunnah, sebagaimana yang telah beliau tegaskan sendiri dalam tiga kitab tersebut. Oleh karena itu, kaum (golongan) Asy’ariyyah (Asyaa’irah) pada hakikatnya bukanlah pengikut sejati dari Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah, sebagaimana yang akan kami bahas di seri-seri selanjutnya dari tulisan ini. Contohnya, aqidah Asy’ariyyah yang menetapkan hanya tujuh atau dua puluh sifat saja bagi Allah Ta’ala.

[Bersambung]

***

Diselesaikan ba’da shubuh, Rotterdam NL, 9 Rajab 1439/28 Maret 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/38054-sifat-allah-apakah-hanya-tujuh-atau-dua-puluh-01.html