dua kalimat syahadat

Syahadat Ketika Sakaratul Maut, Apakah Masuk Islam?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang syahadat ketika sakaratul maut, apakah masuk islam?
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Ustadz mau bertanya, apakah sudah bisa dikatakan masuk Islam bila ada seorang non islam bersyahadat saat sakaratul maut namun hanya dibimbing oleh anaknya dan hanya disaksikan 1 anak lainnya?

(Disampaikan oleh Fulanah, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Kita bagi masalah ini ke dalam 3 bagian;

Masalah Pertama

Jika seorang non muslim yang sakaratul maut itu tahu bahwa yang diikrarkan dan diucapkan dalam akhir hidupnya adalah syahadatain, persaksian syahadat dengan mengucapkan kalimat,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

ASYHADU ALLAAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH…

“Aku bersaksi bahwa Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan aku juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”

Dan dia ingin menjadi seorang muslim, masuk kepada agama Islam, maka dia telah masuk Islam menurut syariat agama Allah Ta’ala, walaupun kenyataannya dia dikuburkan oleh keluarganya dalam agama selain Islam.

Dahulu ada raja Najasyi, dia adalah seorang muslim pada zaman Nabi, walaupun dikuburkan bukan dengan tata cara Islami. Maka Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam menyelenggarakan shalat ghaib kepada raja Najasyi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah menjelaskan,

الصواب أن الغائب إن مات ببلدٍ لم يصلَّ عليه فيه، صلي عليه صلاة الغائب، كما صلى النبي صلى الله عليه وسلم على النجاشي

“Pendapat yang benar adalah shalat ghaib dilakukan bagi mayit berada di daerah yang tidak ada yang menshalatkannya, maka kita shalat ghaib baginya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam shalat ghaib untuk raja Najasyi.”
(lihat Zadul Ma’ad, 1/301).

Masalah Kedua

Dan Jika kasusnya, orang yang sakaratul maut hilang akal secara zhahir (koma), dan kita tidak tahu pasti, dia sadar atau tidak, tatkala mau mengikuti ucapan talqin syahadat, maka yang tampak dia dihukumi belum masuk Islam (Wallahu Ta’ala A’lam), karena sesuatu yang ragu tidak bisa mengangkat yang yakin, bahwa dia masih berada pada agama yang lama. Perkara pastinya, kita serahkan kepada Allah Ta’ala.

Kasus di atas berbeda dengan keadaan paman Nabi Abu Thalib, yang pada saat menjelang ajalnya masih sadar dengan apa yang diucapkan keponakannya Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam ketika itu,

عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ أَبَا طَالِبٍ لَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ دَخَلَ عَلَيْهِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَعِنْدَهُ أَبُو جَهْلٍ فَقَالَ « أَىْ عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ » . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ ، تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَالاَ يُكَلِّمَانِهِ حَتَّى قَالَ آخِرَ شَىْءٍ كَلَّمَهُمْ بِهِ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ » . فَنَزَلَتْ ( مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِى قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ) وَنَزَلَتْ ( إِنَّكَ لاَ تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ)

Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, ia berkata, “Ketika menjelang Abu Thalib meninggal dunia, Rasulullah shallallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Ketika itu di sisi Abu Thalib terdapat Abu Jahl. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada pamannya ketika itu,
“Wahai pamanku, katakanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di hadapan Allah (kelak).”

Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata,
“Wahai Abu Tholib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muththalib?” Mereka berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah ia berada di atas ajaran Abdul Muththalib.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan :
“Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang oleh Allah”

Kemudian turunlah ayat,
“Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.”
(lihat QS. At-Taubah: 113)

Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufik) kepada orang-orang yang engkau cintai.” (lihat QS. Al-Qashshash: 56).
(HR. Bukhari, no. 3884 dan Muslim, no. 24).

Masalah Ketiga

Berkenaan dengan saksi, maka minimal ada 2 orang muslim baik-baik yang mumayyiz (bisa membedakan, usia paham perintah dan larangan). Tujuan dari 2 saksi ini (termasuk boleh dari saksi anak sendiri) adalah agar muallaf ini diakui telah pindah agama oleh masyarakat muslim lainnya. Sehingga selanjutnya, dia disikapi sebagaimana layaknya seorang muslim.

Misalkan ada orang yang mentalqin syahadat dan saksi satu orang lainnya, maka dianggap 2 orang saksi, Jika saksinya dari non muslim, atau dari anak yang belum sampai usia paham (mumayyiz), maka tidak dianggap sebagai saksi.

Semoga Allah Ta’ala Memberikan Taufiq kepada semuanya.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Senin, 17 Shafar 1442 H / 05 oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM