Tafsir Ayat Puasa (11): Kisah Shirmah yang Tidak Kuat Puasa

Kisah Shirmah yang tidak kuat puasa dan Umar bin Khaththab yang melanggar saat malam hari berhubungan intim jadi kisah yang menarik untuk diambil pelajaran. Dan ini berkaitan dengan tafsir ayat puasa.

Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits berikut.

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, shalat dibagi menjadi tiga periode, puasa juga dibagi menjadi tiga periode. Adapun periode shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, lantas beliau shalat selama tujuh belas bulan menghadap Baitul Maqdis. Kemudian turunlah firman Allah,

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabbnya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 144). Maka ketika itu Allah memerintahkan untuk menghadap Makkah. Inilah periode pertama.

Lalu mereka berkumpul untuk shalat, lantas sebagian mereka mengumumkan kepada sebagian lainnya, sambil mengeraskan suara. Kemudian ada seseorang dari Anshar yaitu ‘Abdullah bin Zaid mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat seperti orang yang tertidur, yaitu antara orang yang tertidur dan sadar, aku melihat ada seseorang dengan dua baju berwarna hijau, ia menghadap kiblat lantas mengucapkan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu alla ilaaha illallah, Asyhadu alla ilaaha illallah, dua kali dua kali.” Bacaan itu diucapkan sampai selesai azan. Lalu berlalu waktu tanpa tergesa-gesa, ia mengucapkan seperti kalimat pertama, namun ia tambahkan kalimat “qad qaamatish shalaah, qad qaamatish shalaah”.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan, “Suruhlah Bilal untuk mengumandangkan azan seperti itu.” Maka Bilal adalah orang pertama yang mengumandakan azan dengan kalimat tadi. Lantas Umar bin Al-Khaththab datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh ia (‘Abdullah bin Zaid) telah bermimpi seperti mimpiku, namun ia telah mendahuluiku dalam menyampaikannya.” Inilah periode kedua.

Lantas orang-orang mendatangi shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahului sebagian mereka. Ketika itu ada seseorang berisyarat kepada lainnya, “Berapa shalat?” Dijawab, “Satu atau dua.” Lantas dilaksanakanlah shalat, kemudian ia masuk pada kaum dengan shalat mereka. Mu’adz kemudian datang lantas berkata, “Aku tidaklah menemui satu periode selamanya melainkan aku melakukannya.” Kata Mu’adz, “Aku menunaikan apa yang telah aku didahului.” Ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendahuluinya.” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalatnya, ia berkata, “Inilah yang telah dilakukan oleh Mu’adz, maka lakukanlah.” Inilah periode ketiga.

Adapun periode puasa, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtiba di Madinah, beliau puasa setiap bulannya tiga hari. Kemudian beliau menambah puasa hingga 17 bulan dari Rabi’ul Awwal sampai Ramadhan (Yazid mengatakan 19 bulan dari Rabi’ul Awwal hingga Ramadhan), setiap bulannya tiga hari puasa. Kemudian beliau juga puasa Asyura (sepuluh Muharram). Kemudian Allah mewajibkan puasa dengan menurunkan ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Hingga ayat,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِين

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Maka barangsiapa ingin puasa, silakan. Siapa yang mau tunaikan fidyah dengan memberi makan orang miskin, dibolehkan pula. Kemudian diturunkan ayat,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚفَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Maka diwajibkan puasa bagi yang mukim, sehat, dan diberikan keringanan bagi orang sakit, musafir. Sedangkan untuk yang sudah berusia lanjut yang tidak sanggup lagi untuk berpuasa, maka dikenakan fidyah dengan memberi makan pada orang miskin. Inilah periode kedua.

Maka orang-orang saat itu makan, minum, dan menggauli istri mereka selama mereka belum tidur malam. Ketika sudah tidur, maka tidak boleh melakukan hal-hal tadi lagi.

Diceritakan bahwa ada seseorang bernama Shirmah, siang hari ia bekerja hingga petang. Kemudian ia mendatangi keluarganya, kemudian ia shalat Isya, kemudian langsung tertidur dan tidak sempat makan maupun minum hingga datang Shubuh, maka ia dari tertidur tadi sudah dalam keadaan berpuasa. Lantas di pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya yang sudah dalam keadaan letih berat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan kepadanya,

مَا لِى أَرَاكَ قَدْ جَهَدْتَ جَهْداً شَدِيداً

“Sepertinya engkau dalam keadaan letih berat.” Ia menjawab,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى عَمِلْتُ أَمْسِ فَجِئْتُ حِينَ جِئْتُ فَأَلْقَيْتُ نَفْسِى فَنِمْتُ وَأَصْبَحْتُ حِينَ أَصْبَحْتُ صَائِماً

“Iya wahai Rasulullah. Aku kemarin bekerja berat. Aku pulang lantas tertidur hingga aku berpuasa pada pagi hari.”

Umar pun menggauli budak wanitanya atau istrinya setelah Umar tidur, kemudian ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kasus yang ia alami. Lantas turunlah firman Allah,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚهُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗعَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖفَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚوَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187).” (HR. Ahmad, 5:246).

 

Takhrij hadits dari Musnad Imam Ahmad (5:247):

 

Perawi hadits ini tsiqah (terpercaya), termasuk perawi Syaikhain (Bukhari-Muslim), selain Al-Mas’udi. Al-Mas’udi di sini adalah ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, Bukhari juga menyebutkan riwayat secara istisyhad dan begitu pula ashabus sunan.

Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim, 2:274 dari jalur Abu An-Nadhr sendirian dengan sanad ini. Juga hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud (507), Ibnu Khuzaimah (381), Asy-Syasyi (1362), dan dari jalur Yazid bin Harun sendirian dengan sanad yang sama.

Semoga bermanfaat.

Sumber https://rumaysho.com/20331-tafsir-ayat-puasa-11-kisah-shirmah-yang-tidak-kuat-puasa.html