Sejarah Hari Lahir Pancasila

Terkait sejarah hari lahir Pancasila, ini merupakan buntut panjang dari beberapa fakta sejarah yang telah dilalui bangsa ini.Yang dalamnya terdapat perdebatan alot antara golongan Islam dan Kebangsaan. Inilah penjelasan sejarah singkat hari lahir Pancasila.

Sejarah Lahir Pancasila

Sejarah Perumusan Pancasila dimulai dari Pembentukan BPUPKI Jepang yang mana memberi janji kepada Indonesia bahwa akan diberi merdeka pada tanggal 24 Agustus 1945, sehingga untuk mewujudkan janji tersebut berdirilah BPUPKI (Dokuritsu Zyunbii Tioosakai).

Badan ini beranggota 60 orang, diketuai dr. Radjiman Wedjodiningrat, dan wakil ketua Raden Panji Soeroso serta Ichubangasa (Jepang). (Baca: Mendialogkan Hubungan Islam dan Pancasila).

Kelompok ini melakukan Sidang Pertama pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945, Agenda sidang dalam pertemuan ini adalah membicarakan tentang landasan-landasan bernegara, atau dasar-dasar Indonesia merdeka. Dalam kesempatan ini, setidaknya ada beberapa tokoh yang memaparkan gagasan dari dasar negara, yaitu sebagai berikut:

  1. Moh. Yamin (29 Mei 1945) mengusulkan dasar Indonesia merdeka, yaitu: Peri kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri kerakyatan, Kesejahteraan rakyat.
  2. Ir. Soekarno (1 Juni 1945) mengusulkan Dasar yang diusulkan yaitu antara lain: Kebangsaan atau Nasionalisme, Kemanusiaan, Musyawarah, mufakat, perwakilan, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan yang berkebudayaan.

Untuk mengatasi perbedaan ini, dibentuklah Panitia Kecil 9 orang, yang anggotanya berasal dari golongan Islam dan golongan Nasionalis, yaitu : Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Yamin, Mr. A.A. Maramis, Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, A. Wachid Hasyim, dan H. Agus Salim.

Panitia Sembilan bersidang tanggal 22 Juni 1945, menghasilkan kesepakatan dasar negara yang tertuang dalam alinea keempat rancangan Preambule, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Isi selengkapnya kesepakatan itu disebut Rancangan Preambule Hukum Dasar. Mr. Moh. Yamin mempopulerkan kesepakatan tersebut dengan nama “Piagam Jakarta”.

Lalu, BPUPKI melangsungkan sidang Kedua pada tanggal 10-16 Juli 1945, yang menghasilkan beberapa poin seperti: Dasar negara yang disepakati, yaitu Pancasila seperti dalam Piagam Jakarta, Bentuk negara republik (hasil kesepakatan dari 55 suara dari 64 yang hadir), Wilayah Indonesia dan sebagainya.

Dari pertemuan yang kedua ini, dasar negara yang dipilih adalah usulannya Ir Soekarno. Kemudian kelima prinsip tersebut diberi nama Pancasila. Dan pada perkembangannya, ada satu frasa yang dibuang dalam pancasila.

Yaitu pada kalimat “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” mengingat bangsa Indonesia ini juga merupakan tumpah darah dari non muslim yang ada. Hingga disepakatilah isi pancasila menjadi:

  1. Ketuhanan, yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Proses Lahir Pancasila Menurut Gus Wafiq

Menurut penuturan Gus Muwafiq, isi dari Pancasila tersebut disowankan kepada hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Syahdan beliau menyetujuinya, namun beliau tidak serta merta.

Sebelum menyetujuinya, beliau tirakat terlebih dahulu. Di antara tirakat Kiai Hasyim ialah puasa tiga hari. Selama puasa tersebut, beliau meng-khatam-kan Al-Qur’an dan membaca Al-Fatihah.

Setiap membaca Al-Fatihah dan sampai pada ayat iya kana’ budu waiya kanasta’in, Kiai Hasyim mengulangnya hingga 350.000 kali. Kemudian, setelah puasa tiga hari, Kiai Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah dua rakaat.

Rakaat pertama beliau membaca Surat At-Taubah sebanyak 41 kali, sedangkan rakaat kedua membaca Surat Al-Kahfijuga sebanyak 41 kali. Kemudian beliau istirahat tidur. Sebelum tidur Kiai Hasyim Asy’ari membaca ayat terkahir dari Surat Al-Kahfi sebanyak 11 kali.

Paginya, Kiai Hasyim Asy’ari memanggil anaknya Wahid Hasyim dengan mengatakan bahwa Pancasila sudah betul secara syar’i sehingga apa yang tertulis dalam Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) perlu dihapus karena Ketuhanan Yang Maha Esa adalah prinsip ketauhidan dalam Islam. (Ceramah Gus Muwafiq)

Demikianlah sejarah singkat dari hari lahirnya Pancasila, diperingati pada tanggal 1 juni, sebab pada tanggal tersebutlah Ir Soekarno, selaku penggagasnya, menyampaikan isinya. Pancasila sudah sesuai dengan syariat, tidak ada 1 sila pun yang bertentangan.

Jadi apa susahnya untuk menganggap bahwa pancasila adalah dasar negara, dan amat kejauhan jika pancasila dianggap sebagai thagut. Jika tidak percaya dengan Mbah Hasyim, yang mana kealimannya tidak ada yang menyangsikannya, maka silahkan percaya kepada elit agama yang menurut anda lebih alim dari pada Mbah Hasyim.

Demikian penjelasan sejarah hari lahir Pancasila. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

1 Juni, Ingatlah Sukarno, Tapi Jangan Sepelekan Jasa Tokoh Islam

Tak ada yang dapat membantah bahwa esok hari, yakni tanggal 1 Juni, adalah hari kelahiran Pancasila. Siapa penggalinya? Ya, tidak juga dapat dibantah karena tak lain dan tak bukan adalah Ir Sukarno.

Memang, pada awal tahun 1980-an, sempat ada usaha untuk membuang jasa Sukarno terhadap Pancasila. Namun, usaha itu gagal total. Publik tetap sadar dan mengakui bahwa Pancasila itu lahir dari karya pikir Sukarno. Tak urung Bung Hatta pun dengan tegas mengakuinya. Sikap ini sempat diulang kembali oleh putrinya, Meutia Hatta, ketika berpidato pada sebuah acara ormas pemuda beberapa waktu silam.

“Pancasila itu dasar negara kita. Dan yang melahirkannya adalah Bung Karno. Bahkan, penegasan ini dinyatakan langsung Bung Hatta dalam surat wasiatnya kepada putra Bung Karno (Guntur Soekarnoputra). Dan saya yakin surat wasiat itu pun masih ada dan disimpan Mas Guntur,” kata Meutia Hatta.

Meutia mengatakan, dalam surat wasiat yang ditujukan kepada Guntur itu sebenarnya berisi dua hal. Salah satunya adalah pernyataan dari Bung Hatta bahwa yang melahirkan Pancasila adalah Bung Karno. Ini penting karena pada saat surat wasiat dituliskan, yakni pada awal 1980-an, berkembang pernyataan yang meragukan Bung Karno adalah penggali Pancasila. Sedangkan, hal satunya lagi adalah wasiat ketidaksediaan Bung Hatta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Bila kemudian mengacu pada risalah sidang BPUPKI yang rangkumannya merupakan karya dua stenografer yang pada tahun 1945 mencatat seluruh pembicaraan sidang itu, yaitu Ibu Letjen (Pur) TB Simatupang dan Ibu Netty Karundeng, terbaca secara jelas peran seperti apa yang dimainkan Sukarno pada 1 Juni 1945 itu.

Dan memang, meski Sukarno berpidato bukan pada sidang hari pertama, apa yang diuraikannya begitu memukau. Suasana ini dalam risalah itu tercatat jelas. Berulang kali anggota BPUPKI bertepuk tangan riuh dan kadang tertawa menanggapi isi pidatonya.

Pancadharma, Pancasila, Trisila, dan Ekasila

Dari pidato tanggal 1 Juni 1945 itulah kemudian ada kata Pancasila untuk menyebut lima falsafah yang merupakan dasar Negara Indonesia. Sukarno menyebut nama “Pancasila” adalah nama yang diberikan oleh seorang temannya yang ahli bahasa Sanskerta (sebagian sejarawan mengatakan orang tersebut adalah M Yamin yang merupakan teman Sukarno dan memang ahli dalam bahasa-bahasa kuna).

Salah satu penggalan pidato yang menyebut lima dasar negara yang diucapkan Sukarno pada 1 Juni 1945 adalah:

“… Saudara-saudara, apakah prinsip kelima itu? Saya telah mengemukakan empat prinsip: (1) kebangsaan Indonesia, (2) internasionalisme, (3) mufakat atau demokrasi, (4) kesejahteraan sosial. (Prinsip kelima–Red) prinsip Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Sukarno.

Dalam soal nama Pancasila (Lima Dasar) ini, Sukarno sempat menyebut nama lain, yakni “Pancadharma”. Namun, dia menyatakan tak tepat dengan nama itu sebab “Pancadharma” itu artinya lima kewajiban.

Pada bagian selanjutnya, Sukarno pun masih membuka kemungkinan bila usulan soal lima dasar (Pancasila) itu tidak disetujui. “… Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka pada bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga sila saja,” kata Sukarno.

Setelah itu, dia kemudian menyebut tiga prinsip negara itu dengan sebutan “Trisila”. “… Jadi, yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, sosio-democratie, dan Ke-Tuhanan. Kalau tuan senang kepada simbol ini, ambillah yang tiga ini …,” tegas Sukarno lagi.

Dan, setelah menyebutkan Trisila, Sukarno pun masih menawarkan kepada anggota Sidang BPUPKI bila masih ada yang tidak setuju dengan tawaran “tiga dasar” tersebut:

“ … Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apalah yang satu itu? Sebagai tadi saya telah katakan, kita mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemoto yang kaya buat Indonesia, tapi Indonesia buat Indonesia! Jika saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia dengan yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong!

Alangkah hebatnya! Negara gotong royong!” (tepuk tangan riuh rendah).

 

Benarkah Ki Bagus Ngotot Mendirikan Negara Beradasarkan Asas Islam?

Pada pidato tanggal 1 Juni, Sukarno memang menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo (dalam ejaan lama ditulis dengan Ki Bagus Hadikoesoemo, 1890-1954) sebanyak dua kali. Pertama, ketika membahas soal dasar negara dan kedua ketika memberi ilustrasi soal pemilihan sistem pemerintahan yang memakai sistem presidensial, bukan sistem monarki atau kerajaan.

Lalu, mengapa nama Ki Bagus sempat disebut beberapa kali dalam pidato Sukarno itu? Jawabnya dengan mengutip  tulisan pengantar dari dua sejarawan yang menjadi tim penyunting untuk edisi keempat Risalah Sidang BPUPKI, Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati: memang ada kaitannya.

Analisis lain, itu karena Sukarno sangat hormat kepada Kasman selaku tokoh senior yang saat itu memimpin Persyarikatan Muhammadiyah. Ini dapat dimengerti karena Sukarno pernah menjadi konsul Muhammadiyah di Bengkulu. Dan dia pun menikahi Fatmawati yang juga merupakan putri tokoh penting Muhammadiyah di Sumatra. Khusus dengan Kasman, Sukarno pun enggan berdebat berkepanjangan dengannya.

”Sukarno cenderung menjaga perasaan Ki Bagus. Kalau ada soal, maka dia mencari Pak Kasman Singodimedjo untuk melobi dan meluluhkan hatinya,” kata Lukman Hakiem, mantan staf pribadi mantan perdana menteri M Natsir.

Sedangkan, khusus untuk buku Risalah Sidang BPUPKI edisi keempat (terbitan Sekneg RI tahun 1998) itu, memang ada materi penting di dalamnya. Menurut Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, hal itu adalah adanya reproduksi pidato Ki Bagus Hadikusumo tanggal 31 Mei 1945 yang memuat usul beliau mengenai dasar negara. Naskah reproduksi ini diantarkan sendiri ke sekretaris negara oleh putra beliau, Kolonel Laut (P) Basmal Hadikusumo.

Dalam kata pengantar itu, tim penyunting menyatakan telah menelaah secara sungguh-sungguh materi pidato Ki Bagus Hadikusumo tersebut, khususnya dalam kaitan dengan keseluruhan pembahasan dasar negara dalam BPUPKI. Yang menjadi perhatian penyunting adalah dinamika perkembangan pembahasannya, yang meliputi pandangan awal, tanggapan para anggota BPUPKI lainnya, dan tanggapan balik dari yang bersangkutan sendiri. Sudah lama para penyunting (di situ disebut dengan kata kami–Red) berpendapat bahwa adalah tidak tepat untuk membaca pendapat para anggota BPUPKI sepotong-sepotong. Dalam bermusyawarah, sudah barang tentu ada proses memberi dan menerima sebelum mufakat dapat dicapai.

” … Menilik isinya, usul Ki Bagus Hadikusumo inilah yang merangsang tanggapan dari Prof Mr Dr Soepomo pada hari yang sama dan dari Ir Soekarno pada hari berikutnya. Tanggapan-tanggapan para anggota BPUPKI itu diperhatikan beliau dengan sungguh-sungguh. Walaupun mulanya beliau menyarankan agar agama Islam dijadikan dasar negara, namun karena menyadari risiko terpecahnya bangsa jika usul itu dilaksanakan, beliau (Ki Bagus–Red) pula bersama Kiai Sanusi yang pada tanggal 14 dan 15 Juli 1945 mencabut kembali usulan itu,’’ tulis Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati.

Dalam kalimat berikutnya, keduanya kembali menuliskan, “… Apalagi karena tidak jelasnya arti anak kalimat yang tercantum dalam rancangan pembukaan UUD tanggal 22 Juli 1945, yaitu “ … Dengan menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Oleh karena itulah, kedua ulama itu kemudian dengan gigih menuntut agar kalimat tersebut dicoret saja. Mereka berpendirian bahwa jika BPUPKI tidak menyetujui negara berdasar agama (baca: agama Islam) agar negara bersikap netral saja terhadap masalah agama ini.

 

Radjiman dan Sukarno Justru Menolak Pencoretan

Dalam kata pengantar tim penyunting tersebut, Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, keduanya menyatakan, sungguh mengherankan bahwa usul Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi itu justru ditolak dengan keras oleh Ketua BPUPKI Dr  Radjiman Wedyodiningrat dan Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar Ir Sukarno.

” … Keterangan yang kami peroleh dalam membaca risalah ini hanyalah bahwa sikap Radjiman dan Soekarno tersebut didasarkan pada argumen yang amat bersifat formal dan legalistik. Kedua beliau ini berpendapat bahwa rumusan tersebut (Piagam Jakarta–Red) merupakan kompromi yang dicapai dengan susah payah antara apa yang dinamakan ‘golongan Islam’ dan ‘golongan kebangsaan’. Pencoretan ‘tujuh kata’ tersebut dikhawatirkan akan mementahkan kembali masalah yang sudah diselesaikan,” tulis Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati.

Pendapat keduanya menyatakan, adanya pendirian Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi tanggal 14 dan 15 Juli di atas mengharuskan kita meninjau kembali dikotomi “golongan Islam” dan “golongan kebangsaan” yang dianut selama ini, Sebabnya ialah ternyata semangat kebangsaan itu juga terdapat dengan kuat pada kalangan yang disebut sebagai golongan Islam.

“Semangat kebangsaan Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi itu pulalah yang menyebabkan beliau-beliau pada tanggal 18 Agustus 1945 pagi para tokoh Islam–bersama KH Wachid Hasyim, Mr Tengku Mohammad Hassan, dan Mr Kasman Singodimedjo–dengan serta-merta menyambut baik permintaan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia bagian timur kepada Drs Moh Hatta pada tanggal 17 Agustus sore agar kalimat itu dicoret saja. Sebab, ialah oleh karena justru beliau-beliau sendiri yang mengusulkan hal itu lebih dari sebulan sebelumnya,” tulis Saafroedin Bahar dan Nanie Hudawati.

Maka janganlah lupa sama sejarah itu. Sebab, seperti yang sering dikatakan sejak akhir 1970-an: “Disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara adalah kado terindah dari umat Islam Indonesia.”

 

sumber: Republka Online