Apabila Meninggalkan Rukun Islam: Puasa Ramadan

PUASA Ramadhan itu wajib. Wajibnya puasa ini sudah malum minnad dini bidhoruroh yaitu secara pasti sudah diketahui wajibnya karena puasa adalah bagian dari rukun Islam. Sehingga seseorang bisa jadi kafir jika mengingkari wajibnya puasa. Namun jika malas-malasan puasa Ramadhan, padahal mampu, maka ia terjatuh dalam dosa besar. Hal ini berlaku juga untuk zakat dan haji.

Perhatikan kisah berikut yang menunjukkan hukuman yang pedih bagi yang meninggalkan puasa dengan sengaja. Dari sahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu anhu, beliau (Abu Umamah) menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, “Naiklah”. Lalu kukatakan, “Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata, “Kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab, “Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”

Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya, “Siapakah mereka itu?”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.” (HR. An-Nasai dalam Al-Kubra, sanadnya shahih. Lihat Shifat Shaum Nabi, hlm. 25). Kata Ibnu Rajab, ingatlah bahwa rukun Islam yang lima itu saling terkait satu dan lainnya. Kalau satu ibadah tidak diterima, bisa membuat yang lainnya tidak diterima. (Jami Al-Ulum wa Al-Hikam, 1: 149)

Namun bisa jadi maknanya adalah bukan tidak sah, sehingga tidak perlu diulang. Namun yang dimaksud adalah Allah tidak meridhainya dan tidak memuji orangnya. Seperti Ibnu Masud pernah berkata, “Siapa yang tidak menunaikan zakat, maka tidak ada shalat untuknya.” (Jami Al-Ulum wa Al-Hikam, 1: 150)

Bagaimana jika seseorang berpuasa Ramadhan, namun tidak shalat lima waktu? Kalau kita katakan, meninggalkan shalat itu kafir, apa mungkin puasa Ramadhan yang dilakukan diterima? Silakan renungkan. [Naskah Khutbah di Masjid Adz-Dzikra Ngampel Warak/Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Maafkan Aku Ya Ramadhan

Ramadhan telah tiba. Kita selalu menantinya karena bulan ini amat istimewa. Berkah bertabur setiap harinya. Waktu demi waktunya menawarkan harapan tak terperikan.

Sepanjang siang dan malamnya terdapat pembebasan dari api neraka dan doa yang akan dikabulkan. Belum lagi ada Lailatul Qadar, malam yang lebih mulia daripada seribu bulan. Pada malam itu maghfirah turun melimpah dan pahala amal dilipatgandakan tercurah ruah.

Kita lantas menyambutnya dengan ucapan yang terus berulang: “Marhaban Ya Ramadhan”. Bahkan, jauh hari sebelumnya kita pun memanjatkan doa: “Ya Allah pertemukanlah aku dengan Ramadhan. Jadikan amal ibadahku pada bulan ini diterima di sisi-Mu.”

Namun, benarkah kita sungguh siap menyambut Ramadhan? Nyatanya, setiap kali ia hadir terkadang kita masih ribet dengan urusan sana-sini. Sibuk dengan berbagai rutinitas seolah tiada beda dengan bulan-bulan yang lain. Ribut dengan sesama sampai lupa bahwa kita perlu berjeda. Sampai titik ini, kita sesungguhnya mengucapkan, “Maafkan aku Ya Ramadhan. Aku tak sempat menyambutmu.”

Kalaupun ada penyesuaian kegiatan bernuansa Ramadhan, tetap saja miskin dari orientasi ukhrawi. Silaturahim rajin dilaksanakan lebih demi menjaga relasi. Buka puasa bersama digelar untuk ajang berbincang duniawi. Shalat Tarawih hanya dijalankan dalam bilangan hari. Selebihnya, tenggelam dalam hiruk pikuk menyongsong Idul Fitri.

Begitu Ramadhan pergi, tak kunjung tampak perbaikan diri. Lagi-lagi, terpaksa keluar kata, “Maafkan aku wahai Ramadhan. Kehadiranmu tak kusadari.”

Padahal, Ramadhan adalah momentum terbaik untuk memperbaiki diri. Allah SWT mewajibkan kaum beriman untuk berpuasa agar mereka dapat berubah jadi lebih baik. Tersirat dari makna surah al-Baqarah 183-186, setidaknya ada tiga kinerja kaum beriman yang dapat dicapai melalui puasa. Yaitu, menjadi orang yang bertakwa, hidup penuh rasa syukur, dan tetap setia dalam kebenaran.

Ramadhan adalah bulan introspeksi. Saat tepat untuk mengevaluasi perjalanan hidup selama 11 bulan yang dijalani. Marilah kita mulai hal itu dengan sederet pertanyaan. Sudahkah kita beragama dengan baik dan benar? Baik dalam arti menjadikan agama sebagai jalan meniti kebaikan serta menabur kebajikan. Benar dalam arti tidak menyimpang dari sumber-sumber pokok ajaran agama. Atau kita menyelewengkan simbol agama untuk tujuan tak mulia?

Sepanjang tahun, esensi agama—yakni memanusiakan manusia—mungkin sering kita lupakan. Maka, pada momen ini kita kembali bertanya pada diri sendiri. Apakah dalam menjalankan ajaran Islam, kita telah benar-benar dalam rangka menebarkan rahmat bagi alam semesta?

Apakah kita telah dan akan terus berupaya melindungi dan menjaga harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan sesama kita dalam beragama? Ataukah dalam berislam, kita justru telah merendahkan atau bahkan meniadakan sisi-sisi kemanusiaan kita sendiri. Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan sampai mana kita mampu kembali ke jati diri kemanusiaan yang suci. Sejauh mana kita mampu meneladani Sang Nabi, sosok paling manusiawi di muka bumi.

Ramadhan kali ini kita memang perlu lebih banyak bertanya agar tak salah langkah dalam berpuasa. Puasa kita bakal sia-sia jika hanya menahan mulut dari makan dan minum semata. Puasa harus pula mencegah diri dari perbuatan maksiat dan perkataan hina. Sembari membersihkan diri, marilah kita hindari informasi hoaks, kebohongan, fitnah, caci maki, provokasi, dan sejenisnya yang dapat menodai kemuliaan bulan suci.

Sebaliknya, marilah kita memperkuat iman disertai kesadaran tentang makna kemanusiaan. Marilah merajut kembali persaudaraan dan persahabatan agar sadar bahwa kita tidak sendirian hidup di dunia. Semoga dengan cara ini, dosa-dosa kita diampuni dan negeri ini diberkahi.

Selamat bermuhasabah dan beribadah di bulan yang penuh maghfirah. Jangan sampai ketika ia telanjur pergi, kita lagi-lagi tak sanggup membendung kata, “Maafkan aku Ya Ramadhan”.

 

Oleh: Lukman Hakim Saifuddin,

Menteri Agama RI

 

REPUBLIKA