3 Tanda yang Membuat Mualaf Eva Yakin Bersyahadat

Mualaf Eva mendapatkan tiga tanda yang yakinkan masuk Islam

Agama berperan penting dalam kehidupan manusia. Dengan beragama, seorang insan mengetahui dan merasakan adanya pedoman yang paling utama di dalam hidupnya.

Dengan menyadari posisinya sebagai hamba Tuhan, ia akan meyakini dan berusaha mengamalkan perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. 

Bagi Eva Indriyani, tidak ada sesuatu yang lebih patut disyukuri selain beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Islam merupakan anugerah terbesar dalam hidupnya. 

Mualaf tersebut telah melalui pelbagai peristiwa sebelum akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Keputusannya untuk memeluk agama tauhid datang dari kesadaran hati yang terdalam, bukan bujukan, rayuan, apalagi paksaan orang lain. 

Ia menuturkan pengalamannya dalam sebuah acara bincang-bincang dengan pengurus organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Firdaus Sanusi. Perempuan yang kini berusia 39 tahun itu mengungkapkan, dirinya menjadi mualaf tidak berarti baru mengenal Islam. 

Bahkan, sebelum duduk di sekolah dasar (SD), wa nita yang akrab disapa Eva itu tercatat beragama Islam di kartu keluarganya. 

Hal itu memungkinkan karena identitas agama kedua orang tuanya berbeda. Ayahnya merupakan seorang non-Muslim. Adapun ibundanya beragama Islam walaupun pada akhirnya mengikuti keyakinan sang kepala keluarga. 

Keadaan berubah bagi Eva ketika dirinya memasuki usia murid SD. Kedua orang tua mendaftarkannya ke sebuah sekolah Katolik. Alhasil, sejak dini dirinya sudah dibina dan dididik untuk lekat dengan nilai-nilai agama non-Islam itu. 

Hingga memasuki usia remaja, Eva muda masih menjadi pemeluk Katolik. Bersama dengan ayah dan saudaranya, ia sering mengikuti ritual sesuai ajaran agama tersebut. Misalnya, beribadah di gereja pada akhir pekan atau merayakan Natal. 

Tepat di usia 16 tahun, Eva mulai merasakan kegelisahan. Saat itu, dirinya sudah mesti siap- siap membuat kartu identitas sendiri. Dan, di dalam KTP akan ada keterangan tentang agama yang dipeluknya. 

Eva ragu-ragu apabila mencantumkan Islam sebagai agamanya di kartu identitas. Sebab, nyaris tidak pernah dirinya mendapatkan pengajaran agama tauhid itu dari lingkungan keluarga, orang terdekat, dan juga sekolah.   

Sebaliknya, ia lebih akrab dengan agama yang dipeluk ayahnya. Berbicara dengan ibundanya pun tidak begitu banyak mengatasi persoalannya itu.

“Pada suatu hari, aku berbicara ke Mama, untuk (meminta pendapatnya bila) memeluk agama Papa. Mama terkejut, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Eva Indriyani menuturkan kisahnya melalui akun Youtube Firdaus Sanusi, yang dilansir Republika beberapa waktu lalu. 

Sebelum resmi memeluk agama ayahnya, ia mempelajari ajaran Katolik selama satu tahun. Tatkala usianya mencapai 17 tahun, tepat pada 2000 perempuan ini pun sudah bisa memiliki KTP. Pada kartu identitas itu, tercantum agama Katolik. 

Hal itu tidak berarti bahwa dirinya sekadar me menuhi persyaratan pembuatan KTP. Bagaimanapun, Eva muda merupakan seorang yang bertanggung jawab. Dengan memilih agama tersebut, ia berusaha menjadi penganut Katolik yang taat. 

Setiap akhir pekan ia rutin beribadah. Bahkan, setiap kegiatan keagamaannya itu ia ikuti dengan tekun. Meski sibuk kuliah, Eva tetap menyempatkan diri untuk hadir dalam setiap acara gereja di lingkungan tempatnya tinggal. 

Namun, Allah Ta’ala memiliki rencana lain untuknya. Eva memang rajin beribadah dan dekat dengan kawan-kawannya yang non-Muslim. Bagaimanapun, hatinya sering dilanda kegundahan. 

Ketenteraman seperti jauh dari batinnya sendiri. Ia pun mencoba untuk lebih intens beribadah tiap akhir pekan, tetapi tidak ada perubahan sama sekali.

Hingga 2005, tanda-tanda hidayah secara bertahap menyapanya.  Diakui Eva, saat itu dirinya agak sukar memahami, apakah sinyal-sinyal petunjuk Illahi dapat dirasakannya dengan baik. Karena itu, tidak satu malam pun terlewatkan olehnya kecuali dengan berdoa, memohon cahaya petunjuk. 

Pada suatu malam, Eva merasakan dirinya setengah tersadar dan lelap. Sayup-sayup, ia agak memicingkan matanya. Dalam kondisi demikian, ia merasa sedang menyaksikan siluet seorang wanita. 

Samar-samar, perempuan yang dilihatnya itu sedang menunaikan sholat, sedangkan Eva sendiri berbaring di sisi.

Namun, saat itu tidak jelas siapa wanita misterius itu. Wajahnya pun tidak terlihat. Karena itu, Eva berpikir, mungkin itu hanyalah bunga tidur atau sekelebat imajinasi belaka.   

Beberapa bulan kemudian, tanda kedua datang. Kali ini, ia dapat memastikan, itu tiba melalui mimpi. Dalam mimpinya itu, Eva seperti berada di dalam sebuah mal. Ia bersama kawannya yang beragama Katolik hendak beribadah di sana. 

Dengan menggunakan lift, mereka pun sampai di lantai tempat tujuannya berada. Anehnya, tempat ibadah yang dilihatnya hanyalah masjid. 

Lebih ganjil lagi, dalam mimpinya itu, Eva langsung saja berwudhu dan dengan tenangnya memasuki masjid tersebut. “Aku jelas mengajak temanku beribadah akhir pekan, tetapi yang terlihat adalah masjid di sana,” kata dia mengenang mimpinya itu.  

Setelah melalui dua pengalaman itu, Eva ternyata masih belum teryakinkan untuk berislam. Bagaimanapun, ia tetap berdoa kepada Tuhan untuk memohon petunjuk. 

Dalam munajatnya, ia meminta, apabila memang benar kedua fenomena itu adalah tanda petunjuk, maka tuntunlah dirinya untuk memeluk Islam. 

Beberapa waktu kemudian, ia mengalami kejadian yang dimaknainya sebagai cara Allah mengabulkan doa. Malam itu, Eva bermimpi melihat seorang perempuan sholat di dekatnya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ia dapat memastikan bahwa wanita Muslimah tersebut adalah dirinya sendiri. 

“Aku melihat jelas, wajah perempuan itu yang sedang sholat adalah wajahku. Setelah tanda itu, aku memutuskan untuk bersyahadat,” ujarnya. 

Eva kemudian menceritakan pengalamannya itu ke pada seorang sahabat. Kawan dekatnya ini mendukung apa pun keputusannya. Hanya diingatkannya, setiap pilihan mengandaikan tanggung jawab. 

Pada pertengahan  2005, Eva sudah membulatkan tekadnya untuk berislam. Di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta, dirinya mengucapkan dua kalimat syahadat. Proses itu disaksikan seorang imam dan sejumlah jamaah serta beberapa temannya. 

Setelah bersyahadat, Eva tidak berani langsung berterus terang kepada kedua orang tuanya. Ia memilih untuk bercerita kepada adik ibundanya. 

Ia merasa, hanya bibinya itu yang sangat mendukung keputusannya. Meski terkejut, sang bibi bersyukur bahwa keponakannya telah memilih agama yang seiman dengannya. 

Beberapa bulan telah berlalu, Eva tetap menyembunyikan keislamannya. Ia masih khawatir apabila konflik terjadi di keluarganya. 

Sebagai seorang Muslimah, tentu saja mesti melak sanakan amalan-amalan yang wajib. Maka, Eva pun dengan intens belajar shalat. Begitu pula dengan berpuasa. Meski semua itu dilakukan secara sembunyi- sembunyi, ia dapat melakukannya dengan cukup baik. 

Saat sholat, ia memakai mukena yang dimilikinya sejak ma sih berusia anak-anak dahulu. Eva mengakui ukuran tu buhnya saat itu tidak berubah banyak sehingga mukena yang tersimpan rapi itu masih dapat digunakan. 

Lambat laun, kedua orang tuanya menaruh perasaan curiga. Sebab, tiap waktu azan berkumandang, putri mereka itu selalu pergi ke kamar mandi, masuk kamar, dan mengunci pintu. 

Begitu pula ketika orang- orang Islam melaksanakan ibadah Ramadhan. Eva selalu bangun pada waktu sahur. Ia pun baru makan ketika tiba waktu maghrib. 

Pada suatu hari, ibundanya menanyakan kejujuran nya. Putrinya itu pun menjawab dengan jujur, telah me meluk Islam. Ternyata, respons sang ibu tidak seantusias bibi. Barangkali penyebabnya, waktu itu ibu Eva telah memutuskan untuk mengikuti agama suaminya. 

Keyakinan adalah masalah hati setiap individu. Karena itu, Eva tidak bisa mencegah atau berkomentar tentang hal itu. “Aku hanya merasa sedih dalam hati. Di saat aku kembali ke agama Mama, justru beliau yang kini berbeda agama denganku,” tuturnya. 

Meskipun demikian, hubungan Eva dengan keluarga inti tetap baik-baik saja. Hingga dirinya bekerja dan memutuskan untuk menikah. Sejak itu, ia hidup mandiri dari kedua orang tua.

Setelah beberapa tahun menikah, Eva mendengar kabar bahwa seorang adiknya memutuskan untuk berislam. Beberapa waktu kemudian, istri adiknya itu pun memilih untuk menjadi mualaf, mengikuti jejak suaminya, tanpa paksaan siapa pun.  

Eva merasa, ini adalah hadiah yang Allah berikan kepadanya. Dengan begitu, di dalam keluarga ia tidak lagi merasa sendirian. Sebab, sang adik juga seiman dengannya.   

KHAZANAH REPUBLIKA