Mengapa Rasulullah Singgah di Rumah Abu Ayyub al-Anshari?

Ketika tiba di Madinah, pembesar-pembesar Anshar berebut mendekati unta Nabi Muhammad, memegangi kendalinya, berdesak mengitarinya, dan saling menariknya. Masing-masing ingin Nabi tinggal bersamanya dan memberi layanan terbaiknya. Rumah-rumah mereka dipamerkan kelayakannya untuk beliau, status sosial mereka pun ditunjukkan.

Semua berharap Nabi menyambut tawaran jamuan mereka.

Di tengah kerumunan pembesar itu terdapat pula paman-paman beliau dari jalur ibu, dari Bani Najjar. Dan, tentu saja, mereka inilah orang teragung bagi Kanjeng Nabi. Tetapi, beliau adalah pemimpin agung yang bijak dan genius. Pria yang ingin diterima semua kalangan, membuka hati untuk semua orang, tak ingin menyulitkan siapa melukai perasaan.

Pada detik-detik yang dikenang dalam sejarah itu, dunia menyaksıkan Kanjeng Nabis bersabda, “Biarkan untaku berjalan, biarkan ia yang memilih. Unta ini ada yang menuntun. Dan, aku akan tinggal di mana aku ditempatkan Allah nanti.”

Semua takjub, semua terkesima. Tak ada hati yang tersinggung, tak ada pembesar yang merasa kalah saing, tak ada yang harus diperselisihkan. Semua puas menerima ucapan Kanjeng Nabi tersebut.

Unta itu melangkah pelan di ruas-ruas jalanan Madinah diikuti tatapan beratus mata manusia. Jalanan yang sama sekali asing baginya. Suasana demikian agung dan sakral. Sampai di suatu tempat unta berhenti, menatap ke sekeliling, seolah mencermati tempat itu, kemudian menderum tepat di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari

Tak pernah terlintas di hati Abu Ayybu al-Anshari waktu di hadapan Nabi rumahnya akan mendapat kehormatan di luar dugan.

Di tengah para pemuka Quraisy yang bersaing ketat memperebutkan kehormatan itu, ia sadar dirinya bukan siapa-siapa. Tak berani ia berdiri se barisan dengan mereka. Maka, bukan kepalang bahagianya, ketika tanpa diduga kehormatan itu ternyata untuknya. Apa gerangan anugerah langit, embusan kudus, dan kebaikan Allah yang turun serta merta ini?

Maka, sebelum kesempatan tercabut, cepat-cepat Abu Ayyub menyambut Nabi dan sahabatnya lalu membawa mereka masuk. Sementara, bagi istri Abu Ayyub, Yatsrib terlalu sempit untuk merangkum kebahagiaan yang menyeruak di hatinya. Tak pernah ia bermimpi anugerah agung ini turun ke rumahnya, mengalahkan rumah-rumah lain di seluruh Madinah.

Sebelum masuk, Nabi dikepung gadis-gadis cilik Bani Najar, yang tak lain adalah kerabat-kerabat dekat beliau. Mereka bersenandung merayakan kedatangan beliau, menabuh rebana dengan riang. Kanjeng Nabi tampak bahagia dengan sambutan ini. Beliau menebar senyum kepada gadis-gadis cilik itu.

“Apakah kalian menyukaiku?” tanya Kanjeng Nabi.

“Ya, demi Allah, Wahai Rasulallah.” Suara mereka jernih dan polos.

“Allah Maha Mengetahui hatiku sangat mencintai kalian,” Nabi menimpali

Sebenarnya rumah Abu Ayyub tidak luas. Tak ada yang istimewa dibanding umumnya rumah penduduk Madinah. Tak ada kesan megah, tak ada yang layak diperhatikan. Ukurannya kecil, hanya ada dua kamar, satu di atas satu di bawah. Dindingnya lempung, tiangnya batang kurma, atapnya pelepah daun kurma yang rapuh.

Abu Ayyub pun bukan orang berpengaruh, bukan orang kaya, dan tidak memiliki status sosial terhormat. la hanya orang biasa seperti penduduk pada umumnya, cukup makan, hidup tenang.

Pilihan Kanjeng Nabi terhadap rumah itu menunjukkan bahwa beliau tidak menginginkan rumah kaya dan berlimpah harta, atau rumah miskin yang akan terbebani kehadiran beliau.

Rumah yang beliau cari adalah rumah bersahaja yang dipenuhi cinta dan rida. Rumah itu adalah rumah Abu Ayyub yang di belakang hari diketahui berasal dari Bani Najjar; klan paman Nabi dari jalur ibu, klan yang paling dekat dengan Nabi secara nasab dan kerabat.

Kelebihan lain, rumah itu terletak di tengah-tengah areal Madinah, bukan di pinggiran. Sesuatu yang kelak menjadi titik sentral Madinah, bahkan sentral bagi dunia hingga hari ini.

Nabi menempati kamar bawah. Sengaja tidak memili kamar atas agar tidak menyulitkan tamu yang akan menemui beliau, tidak perlu memaksa mereka naik ke kamar tingkat.

Malam pertama, Abu Ayyub dan istrinya di kamar atas saling berbisik tentang makanan yang akan dihidangkan besok dan penghormatan yang layak. Sehari berlalu. Dicengkeram rasa capek Abu Ayyub tak kuat menahan kantuk. Tetapi, ia hanya duduk termangu, seperti disengat ular

“Bagaimana mungkin tidur tenang, di bawah kan ada Nabi?” ia berbisik kepada istrinya.

“Lalu?”

Keduanya diam termangu. Lalu diputuskanlah tidur di ujung paling tepi agar, paling tidak, terhindar dari titik lurus tempat Nabi di bawah. Tetapi sial, baru saja beranjak mau ke pojok kamar, Abu Ayyub tersandung sebuah tempayan hingga terdorong dan air di dalamnya tumpah ruah.

la terkesiap. Begitu pula istrinya. Mereka khawatir air akan menetes melalui celah-celah atap darurat itu, lalu mengenai kepala dua tamu agung itu hingga mereka terganggu.

Tanpa ragu, Ummu Ayyub melesat meraih kain beludru miliknya, lalu dilapnya air itu hingga kering tandas. la tak peduli betapa bagus dan mahalnya beludru itu; betapa itu satu-satunya miliknya yang paling berharga. Beludru yang hanya ia pakai pada acara-acara tertentu dan hari raya.

Sejak kejadian itu, Abu Ayyub tak-henti-hentinya mendesak Nabi tinggal di atas. Desakan itu disambut Nabi demi menenangkan hati Abu Ayyub. Lagi pula, bukankah tamu mesti nurut tuan rumah? Sebab, ia yang lebih tahu bagaimana membuat tamunya betah.

ALIF ID