Konsultasi Syariah: Adab Berutang

Assalamualaikum wr. wb.

Ustaz, berutang kadang menjadi kebiasaan atau kebutuhan sehingga terlilit utang dalam beberapa kesempatan. Mohon penjelasan dari Ustaz terkait adab dalam meminjam dan berutang.

(Maryam, Depok)

 

 

Waalaikumussalam wr. wb.

Berutang diperkenankan dalam Islam, sebagaimana hadis Rasulullah SAW, diriwayatkan dari ‘Aisyah RA, “Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya.” (HR Bukhari).

Tetapi, kebolehan tersebut dengan memenuhi adab dan akhlak berikut. Pertama, kreditur (pihak yang meminjamkan dana) yang menemukan saudaranya membutuhkan pinjaman, maka segera membantunya. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS al-Maidah: 2). Membantu orang lain yang membutuhkan termasuk tolong-menolong dalam kebaikan.

Kedua, kreditur tidak boleh mengambil imbalan bersyarat atas jasa pinjamannya. Misalnya, A meminjam uang Rp 10 juta kepada B yang mempersyaratkan pengembaliannya melebihi pokok pinjaman, maka kelebihan tersebut adalah riba jahiliyah yang diharamkan. Hal itu sesuai dengan kaidah “setiap manfaat bersyarat yang diterima kreditur itu riba”. Kecuali, jika atas inisiatif debitur (tanpa diperjanjikan) maka dibolehkan.

Ketiga, debitur (peminjam) boleh meminjam, tetapi dengan iktikad yang bersangkutan mampu menunaikan utangnya pada masa yang disepakati. Oleh karena itu, tidak diperkenankan meminjam dalam kondisi tidak mampu menunaikan pinjaman tersebut.

Keempat, semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan finansial dan fasilitas dalam batas standar (sederhana atau tidak berlebihan) agar tidak menyebabkan defisit dan berutang.

Adab-adab tersebut di atas sebagaimana pesan dan keteladanan Rasulullah, para sahabat, dan ulama salaf, karena hidup sederhana adalah keteladanan Rasulullah SAW dan para sahabat. Di antara maknanya adalah memenuhi hajat hidupnya sesuai kebutuhan tanpa berlebihan. Berbelanja karena kebutuhan, memiliki sesuatu karena kebutuhan. Sebaliknya, berbelanja tanpa kebutuhan, memiliki sesuatu yang tidak dibutuhkan, itu bukan dari adab Islam.

Hal itu ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam banyak hadisnya, di antaranya Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah gaya hidup mewah. Sesungguhnya hamba-hamba Allah itu bukan orang-orang yang bermewah-mewahan.” (HR. Ahmad). Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya hidup sederhana termasuk bagian dari iman.” (HR Jamaah).

Jika kesederhanaan menjadi tuntunan, sebaliknya menghambur-hamburkan harta adalah perbuatan tercela. Banyak sekali ayat dan hadis menegaskan larangan itu, di antaranya sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS al-Isra’ : 26-27). Firman Allah SWT, “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS al-A’raf: 31).

Juga sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal dan murka dengan tiga hal. Allah ridha jika kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan (Allah ridha) jika kalian berpegang pada tali Allah seluruhnya dan kalian saling menasihati terhadap para penguasa yang mengatur urusan kalian. Sebaliknya, Allah murka jika kalian sibuk dengan desas-desus, banyak mengemukakan pertanyaan yang tidak berguna, serta membuang-buang harta.” (HR. Muslim).

Imam Qatadah berkata, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru, dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”

Begitu pula Imam an-Nawawi menerangkan alasan larangan penghamburan tersebut. Beliau berkata, “Sesungguhnya pemborosan harta akan menyebabkan orang meminta-minta kepada orang lain. Sedangkan, penyediaan harta memberikan maslahat akan hajat dunianya. Jika kemampuan keuangannya stabil maka akan berpengaruh terhadap agamanya. Sebab, jika keuangannya stabil, seseorang bisa berfokus pada urusan-urusan akhiratnya.” Wallahualam.

Diasuh Oleh:  DR ONI SAHRONI MA, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

REPUBLIKA