Adab Mendengar Adzan Menurut Imam Ghazali

Berikut ini adalah penjelasan mengenai lima adab yang perlu diperhatikan ketika mendengar adzan menurut Imam Ghazali. Adzan merupakan seruan kepada umat Islam sebagai pertanda masuknya waktu shalat lima waktu dan hukum adzan sendiri adalah sunnah muakkad. 

Dalam kajian fikih adzan tidak hanya disunnahkan sebagai seruan shalat, namun juga disunnahkan untuk kelahiran bayi, ketika orang meninggal, kesurupan dan lain sebagainya. Dan termasuk dari keutamaan adzan adalah setiap makhluknya menjadi saksi bagi muadzin kelak di hari kiamat. 

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw;

فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya; “Tidaklah mendengar suara muadzin bagi jin dan manusia serta (segala) sesuatu, kecuali memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat.” (HR Al Bukhari).

Maka dari seorang muadzin seyogiyanya memperhatikan adab-adab ketika melantunkan adzan. Berikut ini adab-adab adzan.

5 Adab Mendengar Adzan Menurut Imam Ghazali

Ketika Adzan perlu kiranya seorang Muadzin memperhatikan lima adab yang dikatakan oleh Imam Ghazali di dalam salah satu karyanya yaitu kitab Majmu’ah Rasail lil Imam Al-Ghazali;

آداب الأذان: يكون المؤذن عارفا بوقته في الصيف وفي الشتاء ، غاضا لطرفه عند صعوده المنارة ، ويلتفت في أذانه عند النداء بالصلاة والفلاح ، ويرتل الآذان ، وينحدر في الإقامة.

Artinya, “Adab mengumandangkan adzan, yaitu muadzin harus tahu kapan waktu mengumandangkan adzan, baik di musim panas maupun dingin, berhati-hati ketika naik ke atas menara adzan, menoleh ke kanan dan ke kiri ketika sampai pada “hayya ‘alash shalah hayya alal falah”, mengalunkan dengan tartil, dan membaca iqamah dengan cepat.”

Dari keterangan di atas ada lima adab yang perlu diperhatikan oleh muadzin ketika melantunkan adzan.

Pertama, mengetahui waktu adzan. Pertama-tama muadzin harus memperhatikan kapan waktu untuk mengumandangkan adzan yang disesuaikan dengan musim baik musim panas maupun musim dingin. Karena perubahan musim sangat berpengaruh kepada cara mengetahui waktu shalat. Namun, di era sekarang untuk mengetahui waktu dapat diketahui dengan penunjukan jam.

Kedua, berhati-hati ketika menuju tempat adzan, Jika muadzin harus naik ke menara seperti pada zaman dahulu sebelum maraknya penggunaan speaker seperti sekarang, maka ia harus berhati-hati agar tidak terjatuh.

Ketiga, menoleh ke kanan dan kiri ketika melafalkan “hayya ‘alash sholah hayya alal falah”. Muadzin menolehkan kepalanya ke arah kanan ketika melafalkan hayya ‘alash shalah dan menolehkan kepala ke arah kiri ketika melafalkan hayya alal falah.

Keempat, mengumandangkan adzan dengan tartil. Muadzin hendaknya mengumandangkan setiap lafal adzan dengan perlahan serta memperhatikan makhraj dan tajwidnya sebagaimana ketika membaca Al-Qur`an.

Kelima, bersegera ketika mengumandangkan iqamah. Adab yang kelima adalah muadzin hendaknya mengumandangkan iqamah dengan pelafalan yang agak cepat. Dalam melantunkan lafal adzan, muadzin hendaknya memberi jeda waktu antara lafal satu dengan lafal lainnya. 

Tetapi dalam mengumandangkan iqamah hendaknya tanpa jeda waktu, sebab iqomah harus dikumandangkan dengan cepat supaya shalat berjamaah bisa segera dimulai. 

Demikianlah 5 adab yang perlu diperhatikan ketika mendengar adzan menurut Imam Ghazali. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Belajar Adab Mendengarkan Adzan Dari Habib Umar

Adzanialah seruan yang ditujukan kepada umat Islam untuk sebagai pertanda masuknya waktu sholat atau panggilan untuk menunaikan sholat. Hukum mengumandangkan adzan ialah sunah muakadah dalam syariat, namun adapula yang berpendapat hukumnya fardhu kifayah dan ini lebih kuat. Dalam fiqh Syafi’iyyah adzan dikumandangkan tidak hanya ketika masuk waktu sholat, melainkan dalam beberapa keadaan, seperti saat kelahiran bayi, kematian seseorang, dan ketika terjadi badai, gempa bumi, kebakaran, dll.

Syariat juga mengajurkan untuk umat Islam yang mendengarkan adzan agar khusyu’ dan menjawab adzan dengan lafaz yang sama sebagaimana yang muadzin kumandangkan, hanya saja ketika sampai seruan hayya ‘alash sholah dan hayya ‘alal falah, orang yang mendengarnya mengucapkan laa haula wa laa quwwata illa billaah.

Disunahkan pula untuk menghentikan berbagai aktifitas ketika mendengar suara adzan berkumandang, guna mendengarkan adzan dengan khusyu’ dan menjawab seruannya. Jika tidak memungkinkan untuk menghentikan aktifitas yang sedang dikerjakan, maka cukup mendengarkannya dan menjawabnya.

Dari Sahabat Sa’id al Khudriy bahwasanya Nabi Muhammad Saw. bersabda “Apabila kalian mendengar Adzan, maka jawablah seperti yang diucapkan oleh muadzin (orang yang mengumandangkan adzan).”

Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ini, Nabi Muhammad Saw. sendirilah yang memerintahkan Sahabat dan umatnya untuk menjawab panggilan adzan. Nabi Saw. juga menjelaskan tentang ganjaran untuk orang-orang yang mau menjawab adzan.

Begitu juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i, dari Sahabat Abu Hurairah bahwasanya, pernah suatu saat kami bersama Rasulullah Saw., lalu Beliau Saw. memerintahkan Sahabat Bilal untuk berdiri mengumandangkan adzan. Setelah selesai adzan. Rasulullah Saw. bersabda “Siapa orang yang mengucapkan seperti yang diucapkan seorang muadzin dengan yakin, maka dia masuk surga.”

Bagi pecinta Nabi Muhammad Saw. sudah pastilah akan mengamalkan setiap kesunahan yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Karena pembuktian dari cinta adalah perbuatan (amal). Termasuk kesunahan untuk mendengarkan adzan dan menjawabnya. Di akhir zaman ini sudah banyak yang telah meninggalkan kesunahan-kesunahan Nabi Saw. bahkan ada yang menganggapnya sebagai suatu hal yang remeh –Na’udzubillah–.

Sayyidil Habib Umar bin Hafidz ketika memberikan nasehatnya pada acara Haul Syeikh Abu Bakr bin Salim, Habib Umar menghentikan ceramahnya dikarenakan Beliau mendengar suara adzan dan Beliau pun mengumandangkan adzan.
Banyak hikmah yang dapat diambil dari kejadian tersebut.

Pertama, Adzan ialah suatu syiar di dalam Islam yang harus dimuliakan. Dan setiap Muslim dianjurkan untuk memuliakan syiar ini, dengan cara mendengarkannya secara khusyu’ dan menjawabnya serta memenuhi panggilannya. Maka, sungguh hal yang aneh jika ada seorang Muslim yang tidak merasakan hal yang istimewa dikala ia mendengarkan adzan atau justru ia cenderung merasa biasa saja.

Kedua, Sunah yang diajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. hendaknya dilakukan semaksimal mungkin, mengingat bahwa setiap kesunahan yang diajarkan oleh Nabi Saw. adalah petunjuk berkehidupan untuk meraih kebahagiaan dan keselamatan.
Ketiga, Berpegangteguhlah akan ajaran dan syariat Nabi Muhammad Saw. karena tidak ada kebaikan untuk umat Islam melainkan di dalam menjalankan syariat Nabi Saw. dengan penuh kecintaan dan keikhlasan.

Keempat, Meneladani kehidupan Nabi Saw. adalah metode menjaga diri dari fitnahnya akhir zaman ini. Akhir zaman ini pastilah akan dipenuhi dengan berbagai fitnah dan bala bencana dan untuk membentengi diri ini dari hal-hal tersebut ialah dengan meneladani Nabi Saw.

Kelima, Hendaknya seorang figur atau tokoh mempraktekkan ilmu yang diajarkannya secara langsung dihadapan umat atau jamaahnya. Biasanya, hal itu lebih membekas di dalam hati jamaahnya ketimbang Sang Tokoh hanya memberikannya teori-teori tanpa adanya penerapan secara langsung.

Keenam, Seorang tokoh adalah buku pandunan yang sangat mudah dilihat dan dibaca oleh umat, sehingga setiap perilaku sang tokoh akan lebih mudah diingat dan diamalkan oleh jamaahnya. Jika sang tokoh mengamalkan amalan kebaikan maka niscaya jamaahnya akan melakukannya.

Sayyidil Habib Umar bin Hafidz adalah seorang Ulama yang sangat berpengaruh di dunia. Dakwahnya yang sangat indah sesuai ajaran Nabi Muhammad Saw. itulah yang menjadikan Beliau Hafidzahullaah dirindukan oleh jamaahnya di berbagai negara. Nasehatnya bagaikan mutiara yang sangat berharga. Perilakunya menjadi teladan untuk pecintanya.

Semoga Allah memudahkan kita dalam menjalankan kesunahan Nabi Muhammad Saw. Wallaahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Mengapa Lafal Adzan Ada yang Diulang-ulang dan Ada yang Tidak?

Adzan secara etimologi bermakna memberi informasi (I’lam). Adapun secara terminologi, adzan berarti kalimat yang jamak diketahui oleh khalayak yang dikumandangkan sebelum shalat. Definisi adzan dan iqomah sama saja, yang membedakan adalah kalimat yang dikumandangkan (Fath Al-muin bi syarh qurrat al-ain bi muhimmat ad-din). Mengapa Lafal Adzan Ada yang Diulang-ulang dan Ada yang Tidak?

Lafadz adzan diulangi itu berdasar pada perintahnya Rasulullah SAW terhadap sahabat Bilal bin Rabbah, berikut adalah redaksi hadisnya;

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: «أُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَيُوتِرَ الْإِقَامَةَ»

Dari Anas yang bercerita bahwa Bilal diperintah (oleh Rasulullah SAW) untuk menggenapkan (bacaan) adzan, dan mengganjilkan (bacaan) iqamah” (HR Muslim No.378)

Jadi adzan diulangi dan iqomah tidak, itu berdasar pada perintahnya Rasulullah SAW. Imam An-nawawi (676 H) ketika mengomentari hadis ini, beliau menjelaskan mengenai hikmah diperintahkannya mengulangi lafadz adzan dan mensatu kali kan lafadz iqamah, berikut adalah penjelasan beliau yang tertera dalam kitab Al-minhaj syarah sahih muslim;

وَالْحِكْمَةُ فِي إِفْرَادِ الْإِقَامَةِ وَتَثْنِيَةِ الْأَذَانِ أَنَّ الْأَذَانَ لِإِعْلَامِ الْغَائِبِينَ فَيُكَرِّرُ لِيَكُونَ أَبْلَغَ فِي إِعْلَامِهِمْ وَالْإِقَامَةُ لِلْحَاضِرِينَ فَلَا حَاجَةَ إِلَى تَكْرَارِهَا وَلِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ يَكُونُ رَفْعُ الصَّوْتِ فِي الْإِقَامَةِ دُونَهُ فِي الْأَذَانِ

“Hikmah diperintahkannya mengulangi lafadz adzan adalah karena adzan diserukan guna memberi informasi kepada segenap masyarakat (bahwa waktu sholat sudah masuk), maka dari itu adzan diulangi. Agar informasi ini terdengar oleh mereka. Adapun iqamah, tidak ada kebutuhan untuk mengulanginya (sebab masyarakat sudah berada di masjid). Oleh karena itu, ada ulama’ yang berpendapat bahwasanya volume iqamah itu seyogyanya lebih rendah dari volume adzan” (Imam An-nawawi, Al-minhaj Syarah Sahih Muslim, juz 4 halaman 79)

Meski demikian, ada pengecualian tersendiri. Baik dalam lafadz adzan, maupun iqomah. Maka dari itu, memang tidak semua lafadz adzan diulangi dua kali dan lafadz iqomah tidak diulangi. Hanya saja mayoritas lafadz adzan itu dua kali, sebab takbir di awal adzan itu terjumlah 4 kali. Dan kalimat penutupnya (Tauhid), berjumlah 1 kali. Adapun iqomah, tidak semuanya dikumandangkan satu kali saja. Takbir di awal dan pra akhir, serta lafadz “qad qamat as-shalat” itu diserukan sebanyak dua kali. (Sulaiman Al-bujairimi, Tuhfat al-habib ala syarah al-khatib, juz 2 halaman 49). Jika dikalkulasikan, lafadz adzan berjumlah 19, dan lafadz iqamah berjumlah 11. (Khatib Syarbini, Iqna’ fi hall alfadz abi syuja’, juz 1 halaman 140)

Fungsi Adzan dikumandangkan adalah untuk memberikan informasi bahwa ibadah shalat hendak didirikan. Setiap hari adzan pasti dikumandangkan sebanyak 5 kali, namun meski sudah sering kali didengar, agaknya makna dan filosofi adzan belum banyak diketahui.

Menurut Qadhi Iyad, kalimat adzan itu sudah mencakup teologi keimanan secara komprehensif, baik yang berupa aqliyyat maupun samiyyat (perkara yang diketahui dari media pendengaran, seperti hari kebangkitan dan pembalasan). Adzan diawali dengan kalimat “Allahu Akbar”, yang  mana dengan itu kita berikrar atas eksistensi Allah, sekaligus penetapan dzatnya Allah Azza wa jalla. Di samping itu, kalimat ini merupakan bentuk pujian atas kesempurnaan-Nya, yakni Allah itu lebih agung dari makhluk yang lainnya dalam segi kemuliaannya, bukan jasmaninya.

Kemudian pada lafadz “Asyhadu an la ilaha illa Allah, saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah” dan “Asyhadu anna muhammadan rasulullah, saya bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah utusan Allah” adalah sebuah persaksian mengenai keesaan Allah SWT serta persaksian atas kerasulannya Nabi Muhammad SAW.

Lafadz “Hayya Ala As-shalat, mari menunaikan shalat” adalah sebuah bentuk ajakan untuk menunaikan shalat dengan tanpa adanya rasa malas, apalagi merasa terbebani. Lalu pada lafadz “Hayya Ala Al-falah, marilah menuju keberuntungan”, filosofinya adalah bahwa untuk menuju keberuntungan atau kebahagiaan, maka tunaikanlah kewajiban shalat. Atas izin Allah SWT, pasti akan diberikan jalan menuju keberuntungan. Di samping itu, melalui lafadz ini, kita juga harus percaya dengan perkara akhirat seperti halnya hari kebangkitan dan pembalasan.

Kemudian takbir yang kedua, lafadz ini diulangi karena untuk mengagungkan (Ta’dzim) Allah SWT. Lantas ditutup dengan kalimat tauhid, sebab porosnya perkara itu ada padanya.

Demikianlah filosofi dan makna adzan yang Disarikan dari kitab I’anah At-thalibin fi hall alfadz  fath al-muin (juz 1 halaman 265).

BINCANG SYRAIAH

Apakah Perintah Mengeraskan Suara Adzan Harus Memakai TOA?

Sejak pertama kali ditemukannya teknologi mutakhir dengan Branding TOA, hingga saat ini ia menjadi branding terkenal di seluruh dunia dan media pengeras suara yang paling banyak diminati. Baik untuk hal-hal yang bersifat hiburan maupun yang ada kaitannya dengan ritual keagamaan seperti adzan bagi umat Islam.

Dalam ajaran agama Islam ada hadis yang menganjurkan untuk mengeraskan suara adzan.

Dari Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Sha’sha’ah, bahwa Abu Sa’id al Khudri berkata kepadanya, “Sungguh aku melihatmu menyenangi kambing dan daerah pedalaman (Badui). Maka bila kamu sedang (menggembala) kambingmu atau sedang di daerah pedalaman lalu adzan untuk shalat, maka keraskanlah suara adzanmu. Sebab, sungguh, tidaklah jin, manusia dan makhluk apapun yang mendengar ujung suara muadzin kecuali menjadi saksi yang menguntungkan baginya di hari kiamat”. Abu Sa’id al Khudri berkata, “Seperti ini yang aku dengan dari Rasulullah”. (HR. Bukhari).

Kita sepakat bahwa saat itu belum ada pengeras speaker atau TOA. Namun, hadis di atas sangat jelas menganjurkan untuk mengeraskan suara adzan. Dengan demikian, penggunaan TOA sebagai media untuk membantu suara muadzin supaya lebih nyaring tentu sesuai dengan konteks hadis di atas. Dengan kata lain, penggunaan TOA untuk kumandang adzan adalah boleh.

Tetapi, dalam relasi kehidupan yang beragam tentu ada hal-hal yang harus diperhatikan supaya satu dengan yang lain tidak saling mengganggu. Sebab dalam Islam juga diatur tentang keharusan menjaga hubungan baik dengan tetangga. Tidak boleh saling mengganggu apalagi menyakiti.

Untuk itu, memahami hadis Nabi di atas harus dibaca secara kompleks. Maka, pertanyaannya adalah, apakah anjuran mengeraskan suara adzan boleh dengan suara yang sangat keras, sekeras-kerasnya, atau ada batasnya?

Dalam fikih klasik, seperti ditulis oleh Syaikh Zainuddin al Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in dijelaskan, disunnahkan mengeraskan suara adzan bagi orang yang shalat sendirian di atas volume suara yang dapat didengar oleh dirinya. Sementara adzan untuk shalat berjamaah sunnah dinyaringkan sampai salah seorang dari mereka mendengar suara adzan tersebut.

Abu Bakr Syatha dalam kitabnya I’anatu al Thalibin yang mensyarahi kitab Fathul Mu’in menjelaskan lebih lanjut, muadzin yang mengumandangkan adzan untuk shalat berjamaah disyaratkan harus didengar minimal oleh satu orang jamaah, dan disunnahkan mengeraskan suaranya sampai didengar oleh lebih dari satu orang jamaah.

Penjelasan ini menjadi penegasan bahwa mengeraskan volume adzan ada batasnya. Tidak boleh terlalu keras sehingga mengganggu orang lain, khususnya yang non muslim. Ukuran mengganggu dan tidaknya didasarkan pada kondisi disekitar. Apabila mayoritas muslim tentu no problem dengan penggunaan TOA dengan volume yang nyaring. Sedangkan dalam suatu daerah yang dihuni oleh penganut beragam agama, maka harus memperhatikan keadaban supaya jangan sampai mengganggu, apalagi membuat resah.

Hal ini sebenarnya bukan hanya untuk adzan, tetapi juga acara hiburan dan sebagainya yang menggunakan TOA harus memperhatikan kondisi lingkungan sekitarnya. Karena, keimanan itu tidak sempurna kalau tetangga masih belum aman dari mulut kita, tangan kita, juga suara kita, termasuk TOA yang kita bunyikan.

ISLAM KAFFAH