Harta Belum Dibagi Ahli Waris, Apa Status Hukumnya?

Ustaz Ahmad Sarwat dalam buku Haramnya Menunda Pembagian Waris menjelaskan, ada proses dari sejak si pemilik meninggal dunia hingga akhirnya harta itu jadi milik para ahli waris. Masa ini disebut dengan transisi di mana harta itu menjadi status quo yang tidak jelas siapa pemiliknya secara sah. 

Sebab pemilik aslinya sudah wafat, namun siapa pemilik berikutnya masih belum ditentukan. Secara hukum, masa transisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut atau ditunda-tunda prosesnya. Sebab dalam keadaan seperti itu harta peninggalan almarhum merupakan amanah, utang, berstatus seperti harta amanah. 

Alquran menegaskan bahwa orang-orang beriman cirinya adalah bersikap menjaga amanah. Yakni menyampaikan titipan milik orang yang berhak dan haram mengangkanginya dalam bentuk apapun. Sehingga harta almarhun itulah titipan yang harus diserahkan kepada ahli waris. 

Dalam Alquran Surah Al-Mukminun ayat 8, Allah berfirman, “Walladzinahum li-amanaatihim wa ahdihim raa’un,”. Yang artinya, “Dan orang-orang yang memelihara amanah (yang dipikulnya) dan janjinya,”. 

Sedangkan dalam perkara proses pembagian waris, menunda-nunda pembagian waris sama saja berkhianat, dan khianat adalah ciri orang munafik. Sebab harta tersebut bukanlah hak si pengatur proses, melainkan hak bagi para ahli waris. 

Apabila seseorang meninggal dunia dan hartanya itu berada di tangan orang lain yang bukan ahli warisnya, maka status hartanya itu adalah utang selama ada izin dari pemilik sahnya. Sedangkan utang harus segera dikembalikan. Jika tidak dikembalikan dan sengaja ditunda pembayaran utang itu, maka terdapat ancaman dari Nabi Muhammad Saw, “Mathulul ghaniyyu zhalum,”. Yang artinya, “Menunda-nunda membayar utang itu kezhaliman,”. 

IHRAM

Mengapa Perempuan Hanya Dapat Separuh Bagian Warisan?

Islam justru menjadi agama yang menggelorakan keadilan bagi kalangan perempuan.

Sebelum mengenal lebih teknis mengenai pembagian warisan dalam syariat Islam, terlebih dahulu diingat bahwa sejak Islam diturunkan tak ada sedikit pun agama ini memberikan wacana lebih dalam hal keadilan terhadap satu gender tertentu. Islam justru menjadi agama yang menggelorakan keadilan bagi kalangan perempuan.

Sejak Islam datang, perempuan diberikan hak-haknya dalam berkehidupan. Islam juga agama yang membolehkan perempuan untuk memiliki hartanya sendiri tanpa sedikit pun hak bagi orang lain. Baik itu orang tuanya sendiri, suaminya, atau siapa pun untuk ikut campur di dalamnya.

Dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunah, dan Para Ulama karya Muhammad Bagir dijelaskan, jika seorang perempuan memiliki harta warisan atau hibah dan sebagainya dari ayah, ibu, saudara atau keluarga lainnya, itu akan menjadi haknya sendiri. Si perempuan memiliki hak untuk menyimpan, membelanjakan, bahkan menginvestasikan untuk dirinya sendiri.

Jika dia menanamkan modalnya dalam suatu perusahaan bersama suaminya, lalu suaminya meninggal dunia, modal dan labanya itu harus dikeluarkan terlebih dahulu dari harta peninggalan suaminya. Harta itu dikeluarkan sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris yang lain. Perempuan memiliki hak untuk menyimpan, membelanjakan, bahkan menginvestasikan untuk dirinya sendiri.  SHARE

Demikian pula jika dia mengadakan perjanjian untuk saling membantu dalam perusahaan atau perdagangan

Demikian pula jika dia mengadakan perjanjian untuk saling membantu dalam perusahaan atau perdagangan yang mereka kelola bersama. Sebagai imbalannya, istri atau suami memperoleh bagian dari laba perusahaan yang ditentukan persentasinya. Maka bagian tersebut tetap menjadi hak masing-masing jika terjadi perceraian ataupun salah satu dari keduanya lebih dahulu meninggal dunia.

Di sisi lain, seorang istri nafkahnya ditanggung oleh suami apabila syarat dalam syariatnya terpenuhi. Syarat tersebut yakni dia bukanlah istri yang pembangkang, tidak berselingkuh, serta persyaratan lainnya yang ditentukan syariat yang menjadikan suami berkewajiban memberinya nafkah.

Seorang laki-laki dalam Islam memiliki sejumlah tanggungan nafkah yang dibebankan apabila telah sampai padanya masa pemberian nafkah. Jika seorang laki-laki memiliki saudara-saudara perempuan yang tidak berpenghasilan, laki-laki itulah yang wajib menafkahi mereka.

Sebaliknya, para saudara perempuan itu tidak diwajibkan menafkahi saudara laki-laki mereka betapa pun kayanya mereka dan miskinnya si saudara laki-laki itu, kecuali tentunya jika mereka ingin melakukan amal saleh sebagai silaturahim yang amat besar pahalanya.

Karena itu semua, jika dalam soal harta warisan dalam Islam dikenal bahwa laki-laki menerima dua kali bagian yang diterima oleh perempuan, pada hakikatnya setengah atau bahkan lebih dari setengah jumlah itu bukan untuk kepentingan dirinya (laki-laki) sendiri.

Bagian itu juga untuk kepentingan istri beserta keluarganya. Seandainya dia tidak berkewajiban menafkahi mereka, niscaya satu bagian saja dari warisan itu sudah cukup bagi dirinya sendiri, sebagaimana yang cukup untuk laki- laki yang tidak berkeluarga.

Sebaliknya, jika seorang perempuan menikah, semua keperluan hidupnya menjadi tanggungan suaminya. Sementara itu, satu bagian yang dia peroleh dari harta warisan boleh saja dengan tenang dia tabung atau investasikan dalam apa saja yang menjadi hobi dan kegemarannya.

Dalam hal waris, syariat Islam merujuk pada sebuah dalil dalam Alquran surah an-Nisa penggalan ayat 11. Allah berfirman, artinya “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka/warisan untuk) anak-anakmu. (Yaitu) bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”

Ayat inilah yang menjadi landasan pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan sebagaimana yang dijadikan hujah oleh mayoritas ulama.

OLEH IMAS DAMAYANTI

KHAZANAH REPUBLIKA

9 Anggota Keluarga Terdekat Namun Bukan Ahli Waris

ADA beberapa anggota keluarga yang memang seringkali agak rancu kita memandangnya. Banyak dikira mereka itu termasuk ahli waris, padahal setelah dilacak lebih jauh dalam daftar ahli waris, memang tidak tercantum. Artinya mereka memang bukan ahli waris.

Sayangnya, karena kurang teliti seringkali mereka dianggap sebagai ahli waris. Alasannya karena memang posisinya yang nyaris sangat dekat dengan almarhum. Saya mencatat paling tidak ada sekitar sembilan anggota keluarga dan bisa saja lebih dari itu. Mereka ini sering tertukar dan dianggap sebagai ahli waris, padahal bukan. Mereka adalah:

1. Anak Angkat
Anak angkat bukan termasuk anak yang mendapat hak waris. Karena yang dimaksud dengan anak adalah anak yang merupakan dari benih sang muwarrits sendiri, dimana anak itu hasil pernikahan yang sah secara syariah. Sebenarnya bukan hanya anak angkat yang tidak menerima harta waris, tetapi juga termasuk ayah angkat, ibu angkat, saudar angkat, paman angkat dan seterusnya.

Tambahan lagi bahwa syariat Islam tidak mengakui adanya anak angkat, bahkan mengharamkan pengangkatan anak. Meski pun hukum yang berlaku di negeri kita mengakui keabsahan anak angkat, namun dalam urusan bagi waris, anak angkat tetap bukan ahli waris.

Kalau pun mereka tetap ingin diberikan harta dari almarhum, jalannya bukan dengan pewarisan, tetapi bisa dengan hibah atau wasiat yang dilakukan sejak almarhum masih hidup. Atau bisa saja para ahli waris setelah menerima harta waris sepakat untuk memberi semacam ‘uang kerahiman’ kepadanya. Tetapi yang jelas anak angkat tidak menerima harta dari almarhum lewat jalur waris. Dan cara hibah atau wasiat ini juga bisa diberlakukan kepada semua daftar berikut ini.

 

2. Anak Tiri
Anak tiri bukan termasuk ahli waris. Yang dimaksud tiri adalah anak dari pasangan. Misalnya, seorang laki-laki menikahi janda yang sudah punya anak. Dalam keseharian, sering kita sebut dia sebagai anak tiri. Meski hubungan keduanya sangat dekat, tetapi dalam hukum syariah, anak tiri bukan ahli waris. Karena anak itu bukan dari darah daging muwarrits. Dan termasuk yang juga bukan ahli waris adalah ayah tiri, dan ibu tiri.

 

3. Mantan Suami Mantan Istri
Suami adalah ahli waris dari istri yang meninggal. Istri juga ahliwaris dari suami yang meninggal. Tetapi hubungan saling mewarisi ini berhenti tatkala hubungan suami istri di antara keduanya telah selesai karena perceraian. Maka mantan istri bukan ahli waris dan mantan suami juga bukan ahli waris. Walau pun mereka pernah hidup bersama puluhan tahun lamanya.

4. Keponakan
Keponakan memang ada yang masuk dalam ahli waris, namun tidak semua keponakan termasuk dalam daftar ahli waris. Dari 4 hubungan keponakan, hanya satu saja yang menjadi ahli waris.

– Anak laki-laki dari saudara laki-laki almarhum. (Hanya keponakan yang satu ini saja yang termasuk ke dalam ahli waris)
– Anak laki-laki dari saudari perempuan almarhum, bukan termasuk ahli waris.
– Anak perempuan dari saudara laki-laki almarhum, bukan termasuk ahli waris.
– Anak perempuan dari saudari perempuan almarhum, bukan termasuk ahli waris.

 5. Mertua Menantu
Meski sudah seperti anak sendiri, hubungan antara mertua dan menantu tidak saling mewarisi. Yang menjadi ahli waris adalah anak muwarrits langsung atau orangtuanya. Sedangkan pasangannya jelas bukan termasuk ahli waris. Dalam kasus sering terjadi menantu malah lebih repot mengurusi harta pasangannya. Yang jadi anaknya saja tidak terlalu meributkan, malah menantu yang bukan ahli waris kelihatan punya ambisi untuk mendapat harta dari peninggalan mertuanya.

6. Saudara Ipar
Saudara ipar adalah saudara dari istri atau suami. Misalnya, seorang wanita ditinggal mati suaminya. Maka saudara wanita itu adalah saudara ipar bagi almarhum. Kedudukannya tidak terdapat dalam daftar ahli waris. Misal lain, seorang suami ditinggal mati istrinya. Maka saudara suami itu adalah ipar bagi almarhumah. Kedudukannya bukan sebagai ahli waris.

7. Cucu Dari Anak Perempuan
Meski pun cucu termasuk dalam daftar ahli waris, namun tidak semua cucu bisa termasuk di dalamnya. Cucu yang merupakan anak dari anak perempuan almarhum bukan termasuk ahli waris, baik cucu itu laki-laki atau pun perempuan. Yang termasuk ahli waris adalah cucu dari anak laki-laki, baik cucu itu laki-laki atau perempuan.

8. Paman dan Bibi Jalur Ibu
Paman memang termasuk dalam daftar ahli waris, tetapi tidak semua paman. Hanya paman yang merupakan saudara ayahnya almarhum saja yang termasuk ahli waris. Sedangkan paman yang merupakan saudara ibunya almarhum, bukan termasuk ahli waris.

 9. Saudara lain ayah lain ibu
Dalam daftar para ahli waris ada saudara seayah seibu, saudara seayah saja dan saudara seibu saja. Mereka bisa saling mewarisi. Tapi adakah saudara yang lain ayah lain ibu? Jawabnya ada. Misalnya seorang duda yang punya anak menikah dengan janda yang punya anak. Maka anak si duda dan anak si janda adalah saudara. Tetapi hubungan persaudaraan di antara mereka unik, yaitu saudara lain ayah dan lain ibu.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

sumber: Mozaik Islam