Keistimewaan Aisyah sebagai Istri Dunia dan Akhirat Rasulullah

Dari Aisyah RA berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Suatu hari Jibril memperlihatkan (kepada Rasulullah SAW) gambar Aisyah pada secarik kain sutra berwarna hijau sembari mengatakan, “Ia adalah calon istrimu kelak, di dunia dan di akhirat.” (HR. At-Tirmidzi)

Bagi seorang muslim, nama Aisyah istri Rasulullah pastinya sudah tidak asing lagi. Sebelum menikahi Aisayah, Rasulullah telah mendapatkan kabar dari malaikat Jibril bahwa kelak Aisyah akan menjadi istri yang akan menemaninya di dunia maupun di akhirat kelak.

Aisyah merupakan putri dari sahabatnya Abu Bakar As-Siddiq, bahkan banyak kisahnya yang diabadikan dalam kitab suci al-Quran. Aisyah lahir pada 614 M oleh ibu bernama Ummu Ruman, istri kedua Abu Bakar As-Siddiq. Perempuan yang dijuluki humairah ini merupakan istri ketiga yang dinikahi Rasulullah setelah Khadijah dan Saudah binti Jam’ah.

Rasulullah menikahi Aisyah pada tahun kesepuluh kenabian di bulan Syawal. Saat itu usia Aisyah 6 tahun dan ada juga versi riwayat yang berbeda. Namun Rasulullah baru menggaulinya saat Aisyah berusia 9 tahun. Di antara istri-istri Rasulullah yang lain, hanya Aisyahlah yang dinikahi dalam keadaan masih gadis.

Adapun beberapa keistimewaan Aisyah sebagai istri Rasulullah. Pertama, Aisyah digandang-gandang menjadi perempuan yang paling dicintai oleh Rasulullah. Suatu ketika Amr bin al-Ash bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah.” “Dari kalangan laki-laki?” tanya Amr. Beliau menjawab, “Bapaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, menjadi satu-satunya istri Rasulullah yang pernah berjumpa oleh malaikat Jibril.

عن مسروق قالت عائشة رضي الله عنها: قلت: يا رسول الله من هذا؟ قال: بمن شبهته؟ قلت: بدحية. قال: لقد رأيت جبريل

Artinya: “Dari Masyruq, Aisyah RA berkata: “Wahai Rasulullah SAW, siapa orang itu?” Rasulullah bertanya, “Dengan siapa kau serupakan dia?” Aisyah menjawab, “Dengan Dihyah.” Rasul berkata, “Engkau telah melihat Jibril.” (H.R al-Hakim)

Ketiga, merupakan istri yang cerdas dan berwawasan luas. Di usianya yang masih remaja, saudari dari Abdurrahman ini sudah mewarisi banyak ilmu dari Nabi. Aisyah juga banyak berkontribusi dalam keilmuan Islam dan menguasai berbagai ilmu, diantaranya ilmu Al-Qur’an, hadis, fiqih, bahasa arab dan syair.

Beliau menjadi satu-satunya sahabat perempuan yang paling banyak meriwayatkan hadis. Ia menduduki posisi keempat setelah sahabat Abu Hurairah, Ibnu Umar dan Anas bin Malik.

Sebanyak 2210 butir hadist yang telah berhasil ia dapatkan baik dari Rasulullah secara langsung maupun dari sahabat lainnya. Kepiawaiannya dalam bidang hadis tidak dapat diragukan lagi. Bahkan ia tidak segan-segan mengoreksi hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lainnya.

Abu Musa berkata “Apa-apa yang musykil bagi kami para sahabat Rasulullah Saw tentang hadis apa saja, kami tanyakan kepada Aisyah, maka kami peroleh ilmu daripadanya (HR.Tirmidzi)

Keempat, Aisyah juga mendapat keistimewaan dari Allah, dengan diturunkannya surat an-Nur ayat 11-26 yang secara khusus memngungkapkan untuk membebaskan Aisyah dari fitnah yang dikenal dengan hadisul ifki (berita bohong).

Ayat tersebut memberitahukan kepada Rasulullah bahwa Aisyah istrinya merupakan wanita suci yang tidak pernah terlibat perselingkuhan dengan Shafwan bin Muaththal sebagaimana yang dituduhkan okeh kaum munafik kepadanya.

Kelima, Wahyu Turun Saat Nabi Bersama Aisyah. Rasulullah pernah mendapatkan wahyu ketika Rasulullah sedang berselimut dengannya. Rasulullah bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak pernah menurunkan wahyu ketika aku sedang berselimut dengan siapapun selain Aisyah” (HR: Bukhari).

Dalam setiap kemuliaan yang dimiliki Aisyah terlihat bahwa dalam sejarah keilmuan Islam menunjukkan bahwa Islam tidak membatasi wanita untuk menuntut ilmu dan berkontribusi dalam memajukan agama Islam.

ISLAMKAFFAH

Benarkah Rasulullah Menikahi Aisyah di Bawah Umur?

Hadis tentang tindakan Rasulullah menikahi Aisyah yang dianggap masih di bawah umur menjadi narasi Islam yang dijadikan tudingan negati oleh banyak pihak.  Diketahui saat itu Aisyah masih berumur 6 tahun, terkait umur Aisyah ketika dinikahi Nabi terdapat beberapa perbedaan pendapat antara dinikahi ketika berusia 6 tahun dan 9 tahun.

Sebagaimana dalam kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim sebagai berikut:

عَنْ ‏‏ هِشَامٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِيهِ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَائِشَةَ ‏ ‏رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ‏ ‏قَالَتْ : ‏تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ فَقَدِمْنَا ‏ ‏الْمَدِينَةَ ‏ ‏فَنَزَلْنَا فِي ‏ ‏بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ ‏ ‏فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي ‏ ‏فَوَفَى ‏ ‏جُمَيْمَةً فَأَتَتْنِي أُمِّي ‏ ‏أُمُّ رُومَانَ ‏ ‏وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا لَا أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ وَإِنِّي ‏ ‏لَأُنْهِجُ ‏ ‏حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنْ ‏ ‏الْأَنْصَارِ ‏ ‏فِي الْبَيْتِ فَقُلْنَ عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي فَلَمْ يَرُعْنِي إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏ضُحًى فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

Artinya: Dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah r.a berkata: “Nabi saw. menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. Kami berangkat ke Madinah. Kami tinggal di tempat Bani Haris bin Khazraj. Kemudian aku terserang penyakit demam panas yang membuat rambutku banyak yang rontok. Kemudian ibuku, Ummu Ruman, datang ketika aku sedang bermain-main dengan beberapa orang temanku. Dia memanggilku, dan aku memenuhi panggilannya, sementara aku belum tahu apa maksudnya memanggilku, dia menggandeng tanganku hingga sampai ke pintu sebuah rumah.

Aku merasa bingung dan hatiku berdebar-debar. Setelah perasaanku agak tenang, ibuku mengambil sedikit air, lalu menyeka muka dan kepalaku dengan air tersebut, kemudian ibuku membawaku masuk ke dalam rumah itu. Ternyata di dalam rumah itu sudah menunggu beberapa orang wanita Anshar. Mereka menyambutku seraya berkata: ‘Selamat, semoga kamu mendapat berkah dan keberuntungan besar.’ Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka. Mereka lantas merapikan dan mendandani diriku. Tidak ada yang membuatku kaget selain kedatangan Rasulullah saw., ibuku langsung menyerahkanku kepada beliau, sedangkan aku ketika itu baru berusia sembilan tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim).

حَدَّثنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثنَا وُهَيْبٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ بها وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ وَبنَى قَالَ هِشَامٌ وَأُنْبِئْتُ أَنهَّا كَانَتْ عِنْدَهُ تِسْعَ سِنِينَ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Mu’alla bin Asad Telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya saat itu berusia enam tahun, dan mulai menggaulinya saat ia berumur sembilan tahun. Hisyam berkata; Dan telah diberitakan kepadaku bahwa Aisyah hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama sembilan tahun (HR.Bukhari).

Namun, ketika para ulama berbicara mengenai usia pasti Nabi menikahi Aisyah memang terdapat banyak perdebatan. Ada yang berpendapat, Nabi meminang Aisyah pada usia 6 tahun dan menikahinya di usia 9 tahun. Ada pula yang berpendapat, Nabi meminang Aisyah pada usia 9 tahun dan menikahinya pada usia 11 tahun. Menurut Imam at-Thabari dalam kitab Tarikh-nya bahwa hadis tentang usia pernikahan Aisyah belum bisa dinyatakan benar pada usia 7 atau 9 tahun.

Dapat dilihat ketika Aisyah dilahirkan, usia Nabi pada saat itu berusia 40 tahun. Jika Nabi meminang Aisyah pada usia 52 tahun, maka Aisyah sudah berusia 12 tahun, dan menempat dalam satu bilik di usia 15 tahun. Adapula pendapat yang menyatakan usia Aisyah menikah di umur 13 tahun. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada umur Asma kakak Aisyah, yang berusia 10 tahun lebih tua dibanding Aisyah. Asma berumur 27 tahun atau 28 tahun pada waktu hijrah, maka Aisyah 17 atau 18 tahun, maka di sinilah umur Aisyah ketika dinikahi Nabi.

Menurut Bintu Syathi’ dalam buku Istri-Istri Rasulullah saw, permasalahan atas pernikahan Rasulullah dengan Aisyah ini menjadi sangat kontroversial serta menjadi bahan tudingan serangan kaum misionaris dan orientalis. Mereka menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. menikahi Aisyah di bawah umur dan dianggap seorang pedofilia serta mempunyai akhlak yang tercela.

Tuduhan-tuduhan itu sangat tidak beralasan sebab mereka menjustifikasi suatu persoalan tanpa mengadakan penelitian terlebih dahulu yang menjadi pokok persoalan dan argumentasi yang berdasarkan pada asumsi-asumsi menurut takaran apa yang ada pada masyarakat mereka.

Menurutnya, pendapat mayoritas para ahli fikih dari empat mazhab (al-madzahib al-arba‘ah) yang menfatwakan tentang kebolehan mengawini gadis belia (nikah al-shaghirah) tanpa ada ketentuan batas usia minimal, disinyalir kuat menjadi penjelasan sekaligus bertanggung jawab atas fenomena berurat-akarnya tradisi perkawinan anak di bawah umur  di negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim, di mana perkawinan Nabi saw. dengan Aisyah r.a yang masih “kanak-kanak” itu dijadikan sebagai model oleh sebagian pemeluk Islam.

Meski tidak menyebutkan ketentuan usia menikah, tapi kita harus memahami satu kriteria ketika seseorang dianggap pantas menikah adalah baligh. Yaitu ketika seseorang diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan menentukan hidupnya setelah cukup umur (baligh). Dalam bahasa Arab, baligh berarti sampai atau jelas, yakni anak-anak yang sudah sampai pada usia tertentu yang sudah menjadi jelas baginya segala urusan atau persoalan yang dihadapi. 

BINCANG MUSLIMAH

Sekali Lagi Soal Pernikahan Nabi dan Sayyidah Aisyah

Pernikahan Nabi dengan Sayyidah Aisyah adalah pernikahan karena berlandaskan wahyu, tradisi Arab jahiliyah biasa menikah usia muda, tetapi mengapa Sayyidah Aisyah yang diserang?

UMAT Islam sedunia dibuat marah oleh pernyataan jubir sebuah partai nasionalis Hindu di India yang mempersoalkan pernikahan Nabi dengan Sayyidah Aisyah Ra. Pernyataannya itu dianggap mengandung unsur penghinaan terhadap sosok sentral umat Muslim, Nabi Muhammad ﷺ .

“Nabi Muhammad menikahi seorang gadis berusia enam tahun dan kemudian berhubungan dengannya pada usia sembilan tahun,” ujarnya dalam sebuah video yang kemudian dihapus oleh saluran televisi tersebut.

Perkataanya sangat jelas hendak menganggap Nabi Muhammad melakukan penyimpangan. Maka perlu ditegaskan kembali bahwa pernikahan Nabi Muhammad ﷺ dengan Sayyidah Aisyah bukanlah sesuatu yang menyimpang, sama sekali tidak mencoreng nama baik Nabi Muhammad ﷺ.

Kalau seandainya pernikahan Nabi adalah hal yang menyimpang, kata Syekh Al-Buthi,  kenapa tidak ada satupun masyarakat Arab jahiliyyah saat itu yang menentangnya? Praktik semacam ini tidaklah memicu pertentangan atau mendapat gugatan dari komunitas Makkah secara umum dan kaum Muslim secara khusus.

Jika hal ini benar melanggar fitrah kemanusiaan pasti ada segolongan orang yang mengecam dan merendahkan Rasulullah serta membela fitrah kemanusiaan yang dilanggar. Tapi realitasnya, kala itu, hal semacam ini tidak menjadi sebuah permasalahan.

Bahkan musuh Rasulullah ﷺ sekalipun di Makkah saat itu tidak menyinggungnya. Sebab, jika pernikahan ini memang dianggap melanggar, tentu mereka akan menyerang Muhammad habis-habisan lewat praktik ini, sebab kita tahu bagaimana bencinya mereka terhadap Nabi. Namun buktinya, tidak ada.

Kalau memang itu menyimpang, kenapa hanya Sayyidah Aisyah yang diserang, tidak yang lainnya? Padahal di sana ada sejumlah perempuan di masa Nabi yang menikah di umur belasan tahun.

Sebut saja Ruqayyah, salah satu putri Baginda Nabi. Ia menikah dengan Utbah bin Abu Lahab pada umur kurang dari sepuluh tahun.

Selanjutnya ia menikah dengan Utsman bin Affan pada usia dua belas tahun, setelah dicerai oleh Utbah. Fatimah pun tatkala menikah dengan Ali berumur 18 tahun.

Ini berarti praktik seperti ini memang tidak pernah dipermasalahkan sedari awal oleh penduduk Makkah. Sekali lagi, kenapa hanya sayyidah Aisyah saja yang diserang?

Kedua, pernikahan Nabi dan Sayyidah Aisyah adalah pernikahan yang suci; pernikahan yang langsung diwahyukan oleh Allah Swt. Dalam hadits dikatakan bahwa Nabi diperlihatkan akan Sayyidah Aisyah dalam mimpinya pada tiga malam berturut turut.

Jibril pun berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Ini adalah istrimu.” Rasul pun menyingkapkan hijab dari wajah Aisyah dan tersingkaplah ia.

Lalu Rasul pun berkata, “Jika ia berasal dari sisi Allah maka biarkanlah ketetapan itu berlaku.”

Itu artinya ketentuan ini adalah murni dari wahyu. Bukan “angan-angan” Nabi ﷺ untuk mendapatkan Sayyidah Aisyah saat umur tiga atau empat tahun–sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian sejarawan. (lihat Syeikh Ramadhan Al-Buthi, Sayyidah Aisyah).

Jika dikatakan pernikahan itu adalah “angan-angan” Nabi sejak lama, maka itu salah. Sebab sepeninggalan Sayyidah Khadijah Nabi tak ada niatan untuk menikah. 

Kepergian Sayyidah Khadijah cukup membuat Nabi lama menyimpan duka dalam dirinya. Adalah Khaulah binti Hakim yang menawarkan Nabi untuk menikah kembali.

Sosok yang ditawarkan olehnya ada dua: Aisyah binti Abu Bakar dan Saudah binti Zam’ah. Jadi, Khaulah lah yang memilihkan kedua wanita itu pada Rasul.

Nabi pun menyutujuinya, meskipun pada hakikatnya Rasulullah ﷺ telah diwahyukan oleh Allah akan pernikahannya dengan Sayyidah Aisyah. Khaulah pun datang ke Abu Bakar untuk menyapaikan keinginan baik tersebut.

Dan Abu Bakar pun menyutujuinya. Jadi, tidak ada yang namanya Rasul “berangan-angan” dan mendambakan untuk menikah dengan Sayyidah Aisyah.

Ketiga, sebagian orang juga megatakan bahwasanya sekalipun disetujui oleh penduduk Makkah, namun tetap ia melanggar fitrah manusia. Untuk membantah ini Syekh Al-Buthi dengan tegas telah menulis:

“Mereka sepertinya lupa bahwa tingkat kematangan seksual pada perempuan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan lingkungan dan iklim suatu daerah. Di negeri beriklim panas seperti Arab, Sudan, atau Mesir, perempuan telah mengalami kematangan seksual pada usia yang sangat muda. Jadi tak aneh apabila sepuluh tahun mereka sudah mengalami haid. Bahkan di Negara seperti Sudan, Nejed, dan lainnya, bisa kurang dari itu. Hal ini berbeda dengan perempuan-perempuan yang tinggal di negri beriklim dingin dan lembab seperti Asia Tengah dan sebagian Eropa. Mungkin di sana ada yang sudah berusia 14 tahun namun belum haid.” (lihat Syeikh Ramadhan Al-Buthi, Sayyidah Aisyah).

Karena itu, fitrah mana sebenarnya yang dilanggar? Adapun fatwa dari kebanyakan ulama termasuk di Mesir untuk tidak menikahi anak di usia belasan adalah mempertimbangkan kondisi saat ini yang berbeda dengan dulu. Bukan karena fitrah itu sendiri.

Pada intinya mereka yang menganggap pernikahan ini adalah sebuah penyimpangan telah salah kaprah. Sebab mereka membandingkan kehidupan pandangan masyarakat sekitarnya dengan kehidupan Rasulullah pada zamannya. Ya tentu beda. Dari cara pandangnya saja sudah berbeda.

Mereka tidak melihat pernikahan ini sebagai sebuah wahyu. Ia hanya melihat sebatas norma yang berlaku.

Padahal norma itu pun tidak bisa sepenuhnya dibenarkan. Adapun seorang Muslim melihat ini sebagai sebuah kemuliaan. Sayyidah Aisyah adalah wanita mulia. Nabi adalah sosok yang tidak dihantui oleh nafsunya, sebagaimana manusia biasa. Itulah bedanya.

Agaknya istilah pedofil adalah istilah yang memang dipopulerkan oleh Barat. Jika budaya yang menjadi tolak ukurnya maka akan rancu.

Sebab tradisi dan budaya itu sifatnya dinamis. Ia bisa berbeda-beda di setiap tempatnya dan akan berubah setiap zamannya.

Ia tidak bersifat universal sebagaimana hukum dalam sebuah agama. Inilah mengapa mereka menganggap menikah dengan anak usia dini adalah sebuah penyimpangan.

Kita tentu sering mendengar kisah nenek-nenek moyang kita yang menikah di umur mereka yang belia. Namun itu tidak pernah menjadi sebuah permasalahan bagi mereka. Jadi sekali lagi, tuduhan semacam ini memang datang dari orang yang tidak memahami ajaran, sejarah, dan kebudayaan Islam dengan baik.

Maka sebagai seorang muslim yang percaya akan Rasulullah ﷺ. kita tentu tidak perlu mengikuti tuduhan itu. Wallahu a’lam bi al-Shawab.*

Direktur Pesantren Adab, Shoul Lin al-Islami; Pesantren at-Taqwa Depok, alumnia Al-Azhar, Mesir

HIDAYATULLAH

5 Fakta Aisyah Istri Rasulullah SAW Menurut Ibnu Katsir

Ibnu Katsir membeberkan sejumlah fakta seputar Aisyah RA

Ummul Mu’minin Aisyah RA adalah salah satu wanita terbaik yang memiliki jasa besar dalam sejarah Islam.

Dia meninggal pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan setelah mewariskan keilmuannya kepada umat Islam. 

Dalam kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Al-Hafiz Ibnu Katsir disebutkan bahwa Aisyah adalah istri Nabi yang paling dicintai dari keturunan sahabat yang juga paling dicintai, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ibunya adalah Umm Ruman binti Amir bin Awaimir Al Kinaniah.

Dalam Shahih Al Bukhari, dari hadits Abu Usman Al Nahdi atas riwayat Amr ibn Al Aas mengatakan, “Aku bertanya, Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling kamu cintai?

Beliau menjawab, “Aisyah.” Saya berkata, Siapa dari laki-laki? Beliau menjawab lagi, “Ayahnya.”

Dalam Shahih Al Bukhari juga dari Abu Musa, dia berkata, “Rasulullah mengatakan, “Banyak pria yang sempurna, dan tidak ada wanita yang sempurna kecuali Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwaylid, Asiyah, istri firaun, dan keutamaan Aisyah atas wanita lain adalah seperti keutamaan bubur di atas makanan lainnya.” Berikut ini sejumlah fakta seputar Aisyah yang dikutip dari kitab Ibnu Katsir: 

• Julukan Ummu Abdullah

Rasulullah SAW menjulukinya dengan Ummu Abdullah yang diambil dari anak dari saudara perempuannya, Abdullah bin Al-Zubair. Nabi juga tidak menikahi perawan selain dia.

• Aisyah RA dalam Alquran

Ada juga ayat yang turun kepada Nabi Muhammad SAW dan menjelaskan tentang peristiwa fitnah kepada Aisyah. Dalam surat An Nuur ayat 11, Allah SWT membuka kebenaran terkait fitnah keji yang ditujukan kepada Ummul Mu’minin.

• Ahli surga

Aisyah RA juga menjadi salah seorang yang dijanjikan surga Allah SWT. Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi SAW dari Imam Ahmad berkata, “Waki’ memberi tahu kami, atas riwayat Ismail, atas riwayat Musab bin Ishaq bin Talha, atas riwayat Aisyah, bahwa Nabi berkata, “Itu mudah. bagi saya untuk melihat putihnya telapak tangan Aisyah di surga.”

• Berpengetahuan luas

Keistimewaan lain dari Aisyah adalah bahwa dia adalah istri Nabi yang paling berpengetahuan dan bahkan adalah yang paling berpengetahuan dari semua wanita.

Al Zuhri berkata, “Jika ilmu Aisyah digabungkan dengan ilmu semua istrinya dan ilmu semua wanita, maka ilmu Aisyah akan lebih baik.”

Atha bin Abi Rabah berkata, “Aisyah adalah orang yang paling berilmu dan paling baik pendapat di antara orang-orang biasa.”

Urwah berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang lebih ahli dalam fiqih, kedokteran, atau puisi selain Aisyah.”

Keilmuan Aisyah ditunjukkan dengan menjadi seorang yang meriwayatkan hadits lebih dari Abu Hurairah. 

Abu Musa Al-Asy’ari berkata, “Jika kami bingung dengan ilmu dari para sahabat Muhammad SAW, kami akan bertanya kepada Aisyah dan kami akan menemukan penjelasan darinya.”

• Wafatnya Aisyah

Aisyah meninggal di usia lima puluh delapan tahun. Menurut riwayat yang terkenal terjadi pada Ramadhan. Ada juga yang mengatakan pada  Syawal, dan yang paling terkenal adalah malam Selasa tanggal tujuh belas Ramadhan.

Aisyah meminta agar dimakamkan di Al Baqi’ pada malam hari. Adapun yang mensholatkannya adalah Abu Hurairah. Sementara orang yang mengurus pemakamannya, yaitu Abdullah, Urwah bin Al Zubair ibn Al Awwam, dari saudara perempuannya Asma binti Abi Bakr, Al Qasim, dan Abdullah, kedua keponakannya, Muhammad bin Abi Bakr, dan Abdullah bin Abdul Rahman bin Abi Bakr. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Belajar Menyelesaikan Masalah dari Aisyah

Ummul Mukninin ‘Aisyah tumbuh besar di rumah Rasulullah nan suci. Hal ini sungguh merupakan anugerah yang sangat besar, karena setiap orang yang dididik langsung oleh Rasulullah pada dasarnya akan menjadi guru dan sekolah yang fenomenal.

Inilah yang benar-benar terjadi pada diri ibunda kita, ‘Aisyah. Nalar dan pemikirannya dipenuhi dengan konsepsi-konsepsi Islam. Tingkah laku dan sikap ‘Aisyah merupakan bentuk praktis dan implementasi dari konsep-konsep Islam. Maka tidak masuk akal jika ‘Aisyah melakukan suatu perbuatan yang menyalahi pemikiran, konsepsi dan tingkah laku yang sudah mendarah daging pada diri dan akalnya.

Sikap seperti ini bukan hanya ada pada diri ‘Aisyah saja, melainkan adalah corak tingkah laku yang ada pada diri sahabat Rasul secara umum. Di situ ditemukan adanya keharmonisan luar biasa antara pikiran dan tingkah laku, yang jarang sekali bertolak belakang dengan Al Quran.

‘Aisyah yang suci -putri dari sahabat Nabi yang jujur- ditimpa musibah paling besar yang mungkin menimpa perempuan bermartabat sepertinya. Ia dituduh berbuat zina. Alangkah berat ujian yang ia terima. Tuduhan itu tidak hanya beredar di kalangan terbatas keluarga dan sahabat dekat, tetapi beredar ke masyarakat dan dibumbui dengan sejumlah propaganda yang licik.

Istri seorang Rasul yang sangat disegani sekaligus dicinta oleh ummat dituduh telah melakukan zina. Zina yang dipandang sebagai aib dan dosa besar bagi setiap perempuan, terlebih jika dilakukan oleh istri Nabi, maka hal tersebut sungguh menjadi suatu masalah dan ujian yang berat bagi ‘Aisyah. Hanya orang dengan kepribadian matang, tangguh dan cerdas seperti ‘Aisyah yang dapat menanggung ujian tersebut dan mampu menemukan solusi sehingga dapat melewati cobaan dengan baik.

Apa yang dilakukan ‘Aisyah menghadapi persoalan rumit ini? Bagaimana dia menghadapi, melawan, dan mengalahkannya?

Tentu wanita muslimah di jaman sekarang pun dapat mengambil hikmah, meneladani sikap dan tindakan ‘Aisyah ketika menghadapi masalah dan ujian yang dihadapinya.

Masalah dan Cara Menghadapinya

Sebelum membahas lebih lanjut tentang sikap dan cara-cara ‘Aisyah dalam menyelesaikan masalah, ada baiknya mengulas sedikit mengenai definisi masalah.

Manusia hidup tentu akan bertemu dengan masalah. Hal tersebut seperti bagian dari skenario yang ditentukan ‎​اَللّهُ baik untuk pembelajaran maupun untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya.

Masalah dapat didefinisikan sebagai perasaan atau kesadaran tentang adanya suatu kesulitan yang harus dilewati untuk mencapai tujuan. Masalah juga dapat diartikan sebagai kondisi disaat kita berbenturan dengan realitas yang tidak diinginkan.

Tanpa sadar kadang masalah yang datang dapat menyita pikiran kita. Disinilah diperlukan sikap dan pengetahuan agar dapat menghadapi masalah dan menemukan solusi yang tepat dan tentunya tidak semakin menjerumuskan kepada masalah lain. Dan yang lebih utama, bagaimana bersikap dan bertindak menghadapi masalah sesuai dengan petunjuk yang diberikan Allah.

Terkadang untuk menyelesaikan masalah butuh waktu, namun terkadang masalah dapat selesai dengan cepat. Bagaimanakah ibunda ‘Aisyah menghadapi persoalannya kala itu?

Persoalan yang dihadapi ‘Aisyah adalah berita bohong. Para kaum munafik menyebarluaskan isu tentang kasus perzinaan ‘Aisyah dengan Shafwan bin Mu’aththal. Ketika pulang dari sebuah peperangan, ‘Aisyah terlambat dari rombongan. Ia pulang diantar Shafwan dan menaiki untanya. Setelah itu isu tentang perzinaan ini pun menyebar luas, laksana api yang dengan cepat membakar rerumputan kering.

Persoalan ‘Aisyah kala itu ada dua hal, pertama, ‘Aisyah mendapati dirinya sendirian karena sudah ditinggal rombongan pasukan. Kedua, ketika isu ini beredar di luar, ia tidak mengetahui bahkan tidak terlintas di dalam pikirannya sama sekali. Lantas apakah yang dilakukan ‘Aisyah untuk menghadapi dua persoalan tersebut?

Sadar Bahwa Tengah Menghadapi Masalah

Harus diketahui bahwa sebuah persoalan tidak akan berarti jika orang yang tertimpa atau memiliki hubungan dengan persoalan tersebut tidak menyadarinya. Begitu pun dengan ‘Aisyah, ia sadar betul akan adanya masalah yang sedang dihadapi. Ketika kembali dari mencari kalung yang hilang dan mendapati rombongan pasukan sudah pergi meninggalkannya, ‘Aisyah sadar kalau ia sedang dalam masalah. Ini persoalan pertama.

Sedangkan terhadap persoalan kedua, dimana ia dituduh melakukan zina, ‘Aisyah segera merasa kalau sedang ada masalah ketika diberitahu Ummu Misthah tentang isu yang sedang beredar di masyarakat. Pada awalnya ‘Aisyah tidak merasakan hal itu. Maka ia heran atas celaan Ummu Misthah terhadap anaknya, dan ia pun membelanya karena Misthah termasuk salah satu sahabat yang ikut dalam perang badar.

Menjaga Emosi dan Tetap Tegar

Ibunda kita ‘Aisyah mampu menahan emosinya di saat menghadapi persoalan yang menimpanya. Padahal situasi yang ia alami kala itu sangat mencekam. Tertinggal sendirian oleh rombongan pasukan di medan perang. Dan ia pun tetap dapat mengontrol dirinya ketika mendengar isu yang sesungguhnya dapat membuatnya tertekan. Tentu saja ‘Aisyah kaget dan limbung atas isu-isu yang tersebar luas menyangkut dirinya. Namun meskipun begitu, ‘Aisyah tetap sabar karena mengingat firman Allah,

“Maka hanya bersabar itulah yang terbaik (buatku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan. (Yusuf [12]:18)

Ketegaran hati yang dimiliki ‘Aisyah tercermin dengan selalu memohon perlindungan Allah melalui doa, shalat, zikir, berbaik sangka kepada Allah dan umat muslim yang terkait dengan isu tentang dirinya, serta mengharap datangnya kebaikan. Sisi keimanan secara umum juga sangat berpengaruh dalam hal ini, sehingga keimanan harus tetap dijaga pada setiap fase penyelesaian masalah.

Semua inilah yang dilakukan oleh ‘Aisyah. Meskipun isu-isu itu mampu membuat ‘Aisyah terpukul, tapi ia tetap tidak kehilangan akal sehat.

Terhadap persoalan pertama, ‘Aisyah menyimpulkan kalau rombongan pasukan memang sudah meninggalkannya, dan ia tertinggal sendirian. Hal ini membuat ‘Aisyah mengkhawatirkan diri sendiri kalau sampai meninggal dunia, mendapat musibah, atau mengalami tindak kekerasan. Sedangkan terhadap persoalan kedua, ‘Aisyah sudah menyimpulkan dan mengetahuinya. Isu yang beredar saat itu adalah ia dituduh berbuat zina. ‘Aisyah sudah memikirkan tuduhan tersebut dan konsekuensi yang mungkin timbul karenanya.

Memikirkan Solusi

‘Aisyah memikirkan solusi yang mungkin berguna untuk menyelesaikan persoalannya. Yang terbersit dalam benak ‘Aisyah waktu itu adalah sejumlah hal berikut:

1.Menyusul rombongan pasukan. Tapi ia tidak memiliki kendaraan, sedang malam sudah gelap dan ia pun rasanya tidak mungkin berjalan sendirian

2.Tetap berada di tempat semula sambil bersembunyi

3.Pergi ke tempat lain

4.Menunggu di tempat semula dengan harapan rombongan pasukan atau sebagian mereka akan kembali lagi ke tempat itu. Sebab apabila rombongan tahu kalau ia tidak ada, tentu mereka akan segera kembali ke tempat semula untuk mencari.

5.Mencari seseorang yang mungkin tertinggal dari rombongan seperti yang ia alami, atau menunggu seseorang yang mengikuti rombongan pasukan dari jauh.

Sedangkan terhadap persoalan kedua, yang terbersit pada benak ‘Aisyah adalah;

1.Membela diri

2.Menyerahkan hal itu kepada Rasul, sementara ia tetap berada di rumahnya. Namun sepertinya ‘Aisyah melihat kalau Rasulullah terpengaruh dengan isu tersebut, di samping isunya sudah menyebar luas di masyarakat

3.Pulang ke rumah bapak ibunya, bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah

4.Menerapkan solusi paling tepat di antara solusi-solusi yang ada

Solusi

‘Aisyah memilih untuk tetap berada di tempat semula dengan harapan rombongan pasukan atau sebagian dari mereka kembali lagi untuk menjemput. Benar saja, Shafwan datang. Waktu itu, ‘Aisyah menyangka kalau Shafwan memang diutus rombongan untuk menjemputnya. Oleh karena itu, ‘Aisyah langsung menaiki unta Shafwan tanpa berbicara sedikit pun. Dan karena anggapan seperti ini juga, ‘Aisyah tidak pernah terbetik dalam pikirannya bakal ada isu-isu miring tentang dirinya. Sebab ia menyangka bahwa Shafwan memang diutus rombongan untuk mencari dan membawanya menyusul rombongan.

Sedangkan mengenai masalah tuduhan zina, ‘Aisyah meminta izin kepada Rasulullah untuk pulang ke rumah keluarganya. Sebab persoalan ini butuh kejelasan lebih lanjut selagi belum turun wahyu yang menjelaskannya. Selain itu, menghadapi persoalan semacam ini juga butuh kepala dingin agar bisa berpikir tenang. Kepulangan ‘Aisyah ke rumah orangtuanya mengandung banyak himah dan kecerdikan. Oleh karena itu, Rasul pun segera memenuhi keinginan ‘Aisyah tersebut.

 

ERA MUSLIM