Rasulullah, Panglima Perang yang Bersahaja

Sejarah Islam tak hanya mencatat sosok Muhammad SAW sebagai seorang utusan Allah yang berakhlak mulia tanpa cela, tapi juga sosok pahlawan besar. Dalam banyak perjuangan membela Islam, Rasulullah adalah prajurit Allah yang gagah perkasa dan panglima perang yang bersahaja.

Sejarah Islam dan juga Alquran mencatat sejumlah peperangan yang terjadi pada masa awal Islam. Dalam bahasa Arab, peperangan itu disebut ghazwah dan sariyya. Keduanya sama-sama melibatkan kaum Muslimin, namun ghazwah diikuti langsung oleh Rasulullah, sementara sariyya tanpa beliau.

Lebih dari 25 ghazwah pernah terjadi sepanjang sejarah Islam. Namun, dari jumlah tersebut, hanya sembilan peperangan yang berakhir dengan pertempuran. Selebihnya diakhiri oleh menyerahnya pihak musuh atau tercapainya perdamaian. Pertempuran-pertempuran tersebut, di antaranya, Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq (Parit), Perang Khaibar, Fathu Makkah, Perang Hunain, dan Perang Tabuk.

Perang Badar merupakan salah satu pertempuran terbesar yang terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah atau 17 Maret 624 M. Pada peperangan yang melibatkan lebih dari 300 Muslim itu, kaum Muslimin menang dengan gemilang. Sebanyak 70 orang dari kelompok kafir tewas dan 70 lainnya tertawan dalam pertempuran. Sedangkan, 14 orang dari kelompok Muslim wafat sebagai syuhada.

Pertempuran besar selanjutnya, Uhud, tak segemilang Badar. Kaum Muslimin tercerai-berai dan kalah dalam pertempuran yang terjadi pada 7 Syawal tahun tiga Hijriyah (22 Maret 625 M) tersebut. Beberapa peperangan lainnya, seperti Khandaq dan Fathu Makkah, berakhir dengan kondisi yang ber beda pula. Meski memunculkan ketegangan yang luar biasa, keduanya berakhir tanpa pertumpahan darah.

Allah memerintahkan umat Islam untuk memerangi kelompok yang memerangi Islam, namun dengan sejumlah catatan yang membatasinya. Seperti disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 190, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang meme rangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas karena sesungguhnya Allah tidak menyu kai orang-orang yang melampaui batas.”

Sebagai panglima yang menggerakkan perang untuk membela Islam, Rasulullah SAW tidak berpegang, tetapi pada ketentuan Allah. Semua itu tercermin dalam peperangan-peperangan yang dipimpinnya, termasuk strategi perang dan caranya memperlaku kan para tawanan perang.

Di luar itu, Rasulullah dikenal sebagai panglima yang mampu menimbulkan perasaan takut dalam diri para musuhnya, tahu cara terbaik memperoleh informasi tentang kekuatan musuh, serta memotivasi pasukannya untuk tidak gentar melawan para musuh Allah.

 

 

sumber:Republika Online

Memaafkan, Akhlak Mulia Rasulullah

Memaafkan merupakan bagian dari akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah SAW kepada umatnya.  Abdullah al-Jadali berkata, ”Aku bertanya kepada Aisyah RA tentang akhlak Rasulullah SAW, lalu ia menjawab, ‘Beliau bukanlah orang yang keji (dalam perkataan ataupun perbuatan), suka kekejian, suka berteriak di pasar-pasar atau membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan orang yang suka memaafkan.” (HR Tirmidzi; hadis sahih).

Umat Islam diperintahkan untuk memaafkan kesalahan orang lain kepadanya. Rasulullah SAW  bersabda, ”Orang yang hebat bukanlah orang yang menang dalam pergulatan. Sesungguhnya orang yang hebat adalah orang yang (mampu) mengendalikan nafsunya ketika marah.  Memaafkan  dan mengampuni juga merupakan perbuatan yang diperintahkan Sang Khalik kepada umatnya.

Dalam surah al-A’raaf ayat 199, Allah SWT berfirman, ”Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”  Pada surah al-Hijr ayat 85, Allah SWT kembali berfirman, ”Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.”

Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk memaafkan orang-orang musyrik atas tindakan mereka menyakiti dan mendustakan beliau.  Sebab, Allah SWT sangat menyukai hamba-Nya yang berbuat kebajikan dan memaafkan. ”Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS: asy-Syuura; 43).

Menurut Syekh Mahmud al-Mishri dalam kitab Mausu’ah min Akhlaqir-Rasul, memaafkan adalah pintu terbesar menuju terciptanya rasa saling mencintai di antara sesama manusia. ”Jika orang lain mencerca kita, sebaiknya kita membalasnya dengan memberi maaf dan perkataan yang baik,” ungkap Syekh al-Mishri.

Begitu juga ketika seorang berbuat jahat kepada kita, papar Syekh al-Mishri, seharusnya kita membalas dengan berbuat baik kepadanya.  Menurut dia, Allah SWT akan selalu memberikan pertolongan kepada kita selama memiliki sifat memaafkan dan kebaikan. Memaafkan adalah ciri orang-orang yang baik.

Allah SWT berfirman dalam surat  asy-Syuraa ayat 40, ”Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah…” Semoga kita menjadi insan yang bisa  dan selalu ikhlas memaafkan kesalahan orang lain. n sumber:  Syarah Riyadgus Shalihin karya Syekh Salim bin Ied al-Hilali dan Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW karya Syekh Mahmud al-Mishri. 

 

sumber:Republika Online  

Ensiklopedi Akhlak Nabi SAW: Klasifikasi Akhlak Mulia

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, seorang ulama membagi akhlak mulia dalam dua klasifikasi; akhlak mulia kepada Allah SWT dan akhlak mulia kepada para makhluk-Nya.

Akhlak mulia kepada Allah bermakna meyakini segala sesuatu yang berasal dari diri kita pasti pmemungkinkan terjadinya kesalahan sehingga kita perlu memohon ampunan. Adapun segala sesuatu yang berasal dari Allah SWT patut disyukuri. Jadi, kita harus senantiasa bersyukur, memohon ampunan-Nya, mendekat kepada-Nya, serta berusaha menelaah dan mengintrospeksi diri.

Akhlak mulia kepada makhluk terangkum dalam dua hal, yaitu banyak mengulurkan tangan untuk amal kebajikan serta menahan diri dari perkataan dan perbuatan tercela. Kedua hal ini mudah dilakukan jika memiliki lima syarat, yaitu ilmu, kemurahan hati, kesabaran, keseharan jasmani, dan pemahaman yang benar tentang Islam.

Dengan ilmu seseorang dapat mengenal dan mengetahui akhlak mulia dan akhlak tercela. Kesederhanaan adalah sikap kemudahan memberikan sesuatu kepada orang lain sehingga menjadikan nafsunya bersedia mengikuti kata hati yang baik.

Sabar merupakan sifat yang sangat penting karena jika seorang hamba tidak dapat bersabar atas apa yang menimpa dirinya, ia tidak akan berhasil mencapai derajat luhur. Fisik yang sehat dibutuhkan karena Allah telah menciptakan manusia dengan karakteristik mudah mencerna dan cepat meresap nilan-nilai kebajikan.

Memahami Islam dengan baik juga dibutuhkan karena hal itu merupakan dasar untuk melakukan sifat-sifat mulia. Dengan begitu, tindakan yang didasarkan pada akhlak mulai dapat “diakui” oleh sang Pencipta. Semakin kuat dan mantap keyakinan seseorang bahwa kelak akan memperoleh pahala yang pasti diterimanya, semakin mudah pula ia melewati latihan berakhlak mulai. Di samping itu, ia semakin mudah menikmati ketenteraman hati.

 

sumber: Rapubika Online