Akidah, Syariah dan Akhlak, Sebagai Cara Pandang Kehidupan

Kesepaduan akidah, syariah, dan akhlaq jika diakumulasi dan ditanamkan dalam diri, maka akan membentuk  bangunan kokoh dengan pondasi awalnya kesaksiandiri syahadah akan keesaan Tuhan (Tauhid)

PANDANGAN kehidupan adalah hal yang sangat penting untuk menentukan jalan kehidupan. Tidak hanya menentukan, namun pandangan kehidupan akan memberi kesadaran yang menjalaninya dengan penuh hikmah.

Bagaimanakah yang sekiranya patut dan layak untuk dijadikan penuntun kehidupan? Mari sejenak kita menelaah uraian ini.

Dalam Islam, kita mengenal konsep akidah, syariat dan akhlaq ketiga elemen ini adalah sebuah kesepaduan tak terpisahkan, semuanya saling tertaut dan menautkan. Jika menginsyafi tiga dasar ini, sesungguhnya Islam sedang menawarkan sebuah konsepsi kehidupan holistik kepada seluruh manusia.

Dalam sisi akidah, aqidah mempunyai makna “ikatan”, ikatan yang sangat kuat, ikatan yang secara fitrah mengikat setiap manusia. Ikatan apa?

Yaitu ikatan manusia dengan Tuhannya. Karena setiap manusia secara absolut pernah bersaksi bahwa Allah sebagai Rabb. Menelaah lebih dalam mengenai aqidah, hal ini menyasar bagian sangat mendalam yaitu hati (qalb) dan perasaan jiwa (nafs) yang sangat kuat yaitu keyakinan (yaqin).

Untuk menegakkan akidah dalam hati (qalb) dan menguatkan keyakinan dalam jiwa (nafs) cukup sederhana, yaitu mengakui secara jujur dalam hati yang tulus bahwa kita manusia terlahir secara fitrah (suci/bersih).

Fitrah yang seperti apa? Yaitu kebersihan ruh dan jasad karena kita pernah mengakui pengakuan agung bahwa Allah sebagai Rabb (Q.S. al-‘Araf: 172) kejadian ini disebut dengan mitsaq.

Setelah bersaksi Allah sebagai Rabb, maka ketika manusia terlahir di dunia kemudian beranjak ‘aqil baligh persaksian selanjutnya adalah bersaksi bahwa Allah sebagai ilah (sesembahan) dan tiada yang patut disembah kecuali Dia (Allah) serta mendeklarasikan diri bahwa Nabi Muhammad utusan Allah dengan bersyahadat dan ini sekaligus sebagai identitas diri pembeda antara Muslim dengan manusia umum lainnya.

Syahadat diartikan sebagai persaksian, persaksian yang bagaimana?, apakah bersaksi dengan mata (‘ayn) secara lahir?, tentunya bukan, melainkan mata batin (‘aynul yaqin). Mata batin inilah yang menjadi pandangan utama dalam kehidupan seorang muslim untuk menempuh jalan keselamatan dunia dan akhirat.

Dengan memenuhi syahadat yang diuraikan di atas, maka idealnya dalam Islam, para ulama bahkan mengartikan syahadat sebagai suatu amalan hati dan tubuh, jiwa dan raga, yang tanpa keduanya maka syahadatnya tidak sah.

Maka mengucapkan syahadat tidak bisa main main harus dengan penuh kesadaran, ketulusan, keikhlasan, dan dengan pemahaman serta pengetahuan yang benar. Sebab, sekali mengatakan Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah maka ia terikat dengan rukun rukun setelahnya, yaitu shalat, puasa, zakat, haji dan ini semuanya adalah syariat yang paling utama bagi seorang muslim.

Dalam sisi syariat, jika menelaah arti dari syariat dapat diterjemahkan bebas dengan kata “jalan”. Jalan sini adalah setelah kita dihidangkan oleh Islam dengan konsep aqidah, maka selanjutnya Islam menawarkan sebuah jalan tuntunan yang adil (‘adl), seimbang serta proporsional dalam menjalani kehidupan yaitu dengan syariat.

Mengapa penulis mengatakan adil dan proporsional? Karena memang pada kenyataannya syariat yang ditawarkan Islam kepada manusia selalu seimbang dalam masalah urusan dunia (muamalah duniawiyah) dan urusan akhirat (ukhrowiyyah) terjalin menjadi dua hubungan erat hubungan dengan manusia (hablum minannas) dan Allah (hablum minallah) kedua hubungan ini pun saling terikat dan mengikat.

Maqasid Syariah

Lebih dalam mengenai syariat, untuk menegaskan ini para ulama merumus kan lima rumusan, tujuan dari syariat Islam (maqasid syariah);

Pertama, syariat untuk menjaga agama (Islam) dalam bahasa arab dapat disebut hifdzud diin, menjaga agama dengan menanamkan rasa iman dan ihsan dalam diri, ini disyariatkan dengan kewajiban bersyahadat dan mendirikan shalat, karena sholat adalah tiang utama agama.

Kedua, syariat mempunyai fungsi untuk jiwa manusia, tuntunan yang ditetapkan dalam syariat yaitu untuk menjaga diri setiap manusia agar tetap istiqomah (konsisten) dalam kebaikan di ranah lahir maupun batin. Salah satu contoh dalam dimensi lahir adalah memakan makanan yang halal dan baik (thoyyib) serta merawat diri dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar, dalam dimensi batin syariat melarang untuk menggunjing, memfitnah, berbohong-membohongi, menebar aib dan lain sebagainya, disebutkan dalam bahasa lain hifdzun nafs.

Ketiga, syariat pun mempunyai andil dalam menjaga akal manusia, agar akal manusia itu sehat serta jernih pikirannya. Sebagai contoh, yaitu mewajibkan bagi seorang Muslim untuk menuntut Ilmu agar menjaga akalnya dari kebodohan (al-jahl) dan menuntut dirinya menjadi seorang yang adil dan baik. Ini disebut dengan hifzul ‘aql.

Keempat, syariat bertujuan untuk menjaga keturunan agar eksistensi manusia teratur dan terarah serta tidak menimbulkan kekacauan maka syariat mengambil andil di dalamnya salah satunya dengan menentukan hukum pernikahan (an-nikah), ini diungkapkan dengan hifdzun nasl.

Dan kelima, syariat ditetapkan bertujuan untuk menjaga harta agar terjaga dan terbagi rata sesuai haknya, maka syariat menerapkan hukum zakat, infaq dan shodaqoh, Ini diungkapkan dengan hifdzul maal.

Uraian lima ini jika diresapi dengan jernih, akan mengungkapkan kesepaduan Islam dalam sisi agama dan kemanusiaan, yang mana fungsi Islam bukan sekadar amalan privat namun menyentuh ranah keberlangsungan hidup manusia yang baik secara kolektif. Dalam ungkapan lain, kebaikan seorang muslim bukan untuk sendiri melainkan diaplikasikan kepada sesama manusia dengan perilaku atau akhlak.

Elemen yang ketiga adalah akhlaq. Secara etimologis (lughatan) akhlaq (bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.

Berakar dari istilah khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan istilah khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan). Kesamaan akar istilah di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak mencakup pengertian keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan) dan perilaku makhluk (manusia).

Boleh dikatakan, tata perilaku seorang terhadap orang lain dan lingkungannya, namun ukuran dikatakan mengandung nilai akhlaq yang hakiki, yaitu apabila tindakan, perilaku yang dilakukan didasarkan kepada kehendak khaliq (Tuhan) atau sesuai tuntunan aqidah dan syariah.

Dalam hal akhlak, kita sebagai muslim tidak perlu risau dan bingung bagaimana berakhlak, mengapa demikian? Karena Allah telah memberikan contoh manusia terbaik dengan akhlak dan adabnya yang terbaik yaitu Nabi Muhammad ﷺ, bagaimana akhlak kepada Allah, kepada diri sendiri, orang lain dan lingkungan hidup.

Al-Qur’an dan sunnah sebagai standar penilaian akhlak. Di samping istilah akhlak, juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia.

Perbedaannya terletak pada standar masing masing. Bagi akhlak standarnya adalah al-Qur’an dan sunnah; bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran; dan moral standarnya adat kebiasaan umum yang berlaku di masyarakat.

Namun jika mencerna keluasan dari konsep akhlak menurut Islam, sesungguhnya ia telah mencakup keseluruhannya dari sisi wahyu (al-Qur’an & as-Sunnah), akal (‘aql) pikiran (fikr) dan semua konsep akhlak yang diejawantahkan Islam pasti bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat secara universal (rahmatan lil ‘alamin).

Apabila diklasifikasi, paling tidak dimensi akhlak menurut Islam dapat diuraikan sebagai berikut;

Pertama, akhlak terhadap Allah SWT yaitu dengan taqwa, cinta-ridho, ikhlas, khauf-raja’, tawakal, syukur, muraqabah dan taubat.

Kedua, akhlak terhadap Rasulullah ﷺ, beberapa contoh amalannya adalah mencintai dan memuliakan Rasul, mengikuti dan menaati Rasul, mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasul.

Ketiga, akhlak kepada diri sendiri pribadi dengan menanamkan dalam diri sifat shidiq, amanah, istiqamah, menjaga kesucian diri (iffah), berusaha melawan hawa nafsu (mujahadah),berani (syaja’ah), rendah hati (tawadhu)’, malu (haya’), sabar (shabr), dan pemaaf (‘afwu).

Keempat, akhlak dalam keluarga beberapa nilai utama di dalamnya adalah berbakti kepada orang tua birr al-Walidain, hak kewajiban dan kasih sayang suami isteri, kasih sayang dan tanggung jawab orang tua terhadap anak, silaturrahim dengan karib kerabat.

Kelima, akhlak bermasyarakat ini dilaksanakan dengan cara, akhlak bertamu dan menerima tamu, hubungan baik dengan tetangga dan masyarakat, pergaulan muda-mudi, dan ukhuwah Islamiyah.

Keeman, akhlak bernegara yaitu menyelaraskan hubungan antara rakyat dan pemimpin dengan musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahi munkar, dan menjaga komunikasi hubungan pemimpin yang dipimpin.

Hubungan aqidah dan akhlaq

Aqidah adalah dasar pondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan, harus semakin kokoh pondasi yang dibuat.

Kalau pondasinya lemah, maka bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa pondasi. Ajaran Islam paling tidak terklasifikasi di dalamnya menjadi aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalat, atau aqidah, syari’ah dan akhlak, atau iman, islam dan ihsan, maka aspek ini semua tidak dapat dipisahkan semuanya saling mengikat dan terikat satu sama lain.

Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak mulia dan bermuamalah dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah SWT kalau tidak dilandasi dengan aqidah.

Seseorang tidaklah dinamai berakhlak mulia bila tidak memiliki aqidah yang benar. Begitu seterusnya bolak-balik dan bersilang.

Itulah sebabnya kenapa Rasulullah ﷺ selama 13 tahun periode Makkah memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang benar dan kokoh. Sehingga bangunan Islam dengan mudah bisa berdiri di periode Madinah dan bangunan itu akan bertahan terus sampai akhir kiamat.

Kesepaduan aqidah, syariah, dan akhlaq jika diakumulasi dan ditanamkan dalam diri, maka akan membentuk  bangunan kokoh dengan pondasi awalnya kesaksiandiri syahadah akan keesaan Tuhan (Tauhid) kemudian membentuk gugusan keyakinan asasi di dalam hati, pikiran dan perasaan seorang Muslim.

Selanjutnya, keyakinan asasi tersebut bersifat sangat operasional untuk kehidupan, karena ditopang oleh akal secara kreatif menempel sifat arsitektonik. Lebih dalam lagi, keyakinan asasi yang rasional tersebut menjadi cara pandang (worldview) untuk memproyeksikan realitas wujud di alam ini (syahadah dan ghoibah).

Dalam tahapan puncak, pada gilirannya berubah menjadi perilaku personal bersifat sosial- ilmiyah-teknologis dan puncaknya menjelma menjadi sistem kehidupan (minhajul hayah) Dan inilah boleh dikatakan sebagai pandangan hidup Islam the worldview of Islam yang patut dan layak dijadikan pandangan hidup.*/ Alvin Qodri Lazuardy

Sumber bacaan:

  • Al-Attas, S. M. N. (2019) Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak. Kuala Lumpur, Malaysia: Ta’dib International.
  • Ilyas, Y. (2012) Kuliah Akhlaq. LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
  • Zarkasyi, H. F. (2020) Minhaj Berislam Dari Ritual Hingga Intelektual. Jakarta: INSISTS-UNIDA.
  • Anton Ismunanto. (2019) Worldview Islam, Ponorogo, Universitas Darussalam Gontor
  • 5 الأنوار, ش. (2020) أصول الفقه دراسة نقدية في آليات اكتشف الأحكام الشرعية. مدرسة المعلمين المحمدية

HIDAYATULLAH

Amalan yang Pertama Diajarkan kepada Mualaf

Hadits-Hadits Tentang Sholat Lima Waktu : Amalan Yang Pertama Diajarkan Kepada Orang Yang Baru Masuk Islam

HADITS AYAH ABU MALIK:

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَسْلَمَ الرَّجُلُ كَانَ أَوَّلُ مَا يُعَلِّمُنَا الصَّلَاةَ أَوْ قَالَ: عَلَّمَهُ الصَّلَاةَ 

Dari Abu Malik (Sa’ad bin Thoriq bin Asy-yam) Al-Asy’ja’iy, dari ayahnya, ia berkata;
“Kebiasaan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, jika ada orang masuk agama Islam, pertama kali yang beliau ajarkan kepada kami adalah sholat”. Perowi berkata, atau dia berkata, “beliau mengajarinya sholat”.
(HR. Al-Bazzar di dalam Al-Musnad, no. 2765. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Ash-Shohihah, no. 3030)

HADITS FADHOLAH AL-LAITSIY:

عَنْ فَضَالَةَ اللَّيْثِيِّ قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمْتُ، وَعَلَّمَنِي حَتَّى عَلَّمَنِي الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ لِمَوَاقِيتِهِنَّ قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ هَذِهِ لَسَاعَاتٌ أُشْغَلُ فِيهَا، فَمُرْنِي بِجَوَامِعَ، فَقَالَ لِي: إِنْ شُغِلْتَ فَلَا تُشْغَلْ عَنِ الْعَصْرَيْنِ قُلْتُ: وَمَا الْعَصْرَانِ؟ قَالَ: «صَلَاةُ الْغَدَاةِ، وَصَلَاةُ الْعَصْرِ

Dari Fadholah Al-Laitsiy, ia berkata; Saya mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu saya  masuk agama Islam. Kemudian beliau mengajariku, sehingga beliau mengajariku shalat lima waktu beserta waktu-waktunya.
Maka saya pun berkata kepada beliau, “Sesungguhnya waktu-waktu ini merupakan saat-saat sibuk. Karena itu, perintahkanlah kepadaku dengan amalan-amalan yang (pahalanya; nilainya) menyeluruh.”
Maka beliau pun bersabda kepadaku: “Jika kamu benar-benar sibuk, maka jangan sampai kamu tersibukkan dari dua waktu.”
Saya bertanya, “Apakah kedua waktu itu?”
Beliau menjawab: “Yaitu, shalat subuh dan shalat Ashar.”
(HR. Ahmad, no. 19024, dan ini lafazhnya; Abu Dawud, no. 1813. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Ash-Shohihah, no. 3030)

FAWAID HADITS:

Ada beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadits-hadits ini, antara lain:

• Kedudukan sholat di dalam agama Islam, karena sholat adalah amalan yang pertama kali diajarkan kepada orang yang baru masuk Islam.

• Pentingnya belajar tata cara sholat dan syarat-syarat sahnya, termasuk waktu-waktu sholat.

• Sebaiknya melakukan sholat lima waktu di awal waktu dan berjamaah di masjid. Jika benar-benar sibuk, maka sholat subuh dan ashar hendaklah dikerjakan di awal waktu dan berjamaah. (Lihat Silsilah Ash-Shohihah, no. 3030)

• Kedudukan sholat Subuh dan shalat Ashar dibandingkan dengan yang lain, sehingga Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan perhatian yang lebih.

• Allah tidak membebani hamba-Nya dengan ibadah kecuali sesuai dengan kemampuannya.

• Hikmah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam memberikan pengajaran kepada umatnya.

• Kemudahan ajaran agama Islam, namun orang tidak boleh menyepelekannya.

Inilah sedikit penjelasan tentang hadits-hadits yang agung ini. Semoga Alloh selalu memudahkan kita untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Dan selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran menuju ridho dan surga-Nya yang penuh kebaikan.

Disusun oleh:
Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله
Jum’at, 23 Muharrom 1442 H/ 11 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Perhatikan Dari Mana Engkau Mengambil Akidah

Di antara permasalahan penting yang telah dibahas oleh para ulama’ adalah apa saja sumber yang shahih untuk mengambil ilmu dan akidah. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh para ulama’, kesalahan dalam menentukan sumber ilmu akan berakibat pada kesalahan dalam banyak masalah akidah dan manhaj. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mempelajari apa saja sumber ilmu dan akidah menurut ahlus-sunnah wal-jama’ah, sehingga kita bisa memiliki pondasi yang kuat untuk menentukan mana akidah yang benar dan mana yang salah.

Sumber untuk mengambil ilmu yang lurus dan akidah yang shahihah, yang sering diistilahkan sebagai mashdar talaqqiy dalam literatur para ulama’, menurut ahlus-sunnah wal-jama’ah ada dua jenis:

Pertama: Sumber primer atau utama, yaitu dalil-dalil syar’iy dari Qur’an dan Sunnah, dan ijma’ para ulama’.

Kedua: Sumber sekunder atau penguat, yaitu akal yang lurus, dan fithrah yang selamat.

Sumber utama pertama: Dalil-dalil syar’iy dari Qur’an dan Sunnah

Adapun Qur’an dan Sunnah, maka tidak diragukan lagi bahwa wajib bagi kita untuk berpegang teguh pada keduanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

اتَّبِعوا ما أُنزِلَ إِلَيكُم مِن رَبِّكُم وَلا تَتَّبِعوا مِن دونِهِ أَولِياءَ ۗ قَليلًا ما تَذَكَّرونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).”[1]

فَإِن تَنـٰزَعتُم فى شَىءٍ فَرُدّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسولِ إِن كُنتُم تُؤمِنونَ بِاللَّـهِ وَاليَومِ الـٔاخِرِ ۚ ذٰلِكَ خَيرٌ وَأَحسَنُ تَأويلًا

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[2]

وَمَن يَعصِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدودَهُ يُدخِلهُ نارًا خـٰلِدًا فيها وَلَهُ عَذابٌ مُهينٌ

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.”[3]

Sebagian orang ada yang hanya ingin mengambil al-Qur’an saja sebagai dalil, akan tetapi tidak mau menjadikan as-Sunnah sebagai hujjah. Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

قُل إِن كُنتُم تُحِبّونَ اللَّـهَ فَاتَّبِعونى يُحبِبكُمُ اللَّـهُ وَيَغفِر لَكُم ذُنوبَكُم ۗ وَاللَّـهُ غَفورٌ رَحيمٌ

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤمِنونَ حَتّىٰ يُحَكِّموكَ فيما شَجَرَ بَينَهُم ثُمَّ لا يَجِدوا فى أَنفُسِهِم حَرَجًا مِمّا قَضَيتَ وَيُسَلِّموا تَسليمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”[5]

فَليَحذَرِ الَّذينَ يُخالِفونَ عَن أَمرِهِ أَن تُصيبَهُم فِتنَةٌ أَو يُصيبَهُم عَذابٌ أَليمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa ‘adzab yang pedih.”[6]

Yang dimaksud dengan fitnah (cobaan) pada ayat ini adalah menganggap perkara yang baik sebagai buruk dan menganggap perkara yang buruk sebagai baik. Maka itulah yang memang terjadi pada orang-orang yang menyelisihi Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perkara yang tidak disyari’atkan mereka anggap disyari’atkan dan mereka pertahankan, sementara perkara yang disyari’atkan tidak mereka pedulikan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما: كتاب الله وسنتي، ولن يتفرقا حتى يردا عليَّ الحوض.

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya: Kitabullah dan Sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di al-haudh.”

Imam asy-Syafi’iy rahimahullah berkata,

لا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم، وأن ما سواهما تبع لهما.

“Tidak ada perkataan yang wajib diikuti dalam setiap keadaan kecuali Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang selain keduanya maka hanya mengikuti keduanya.”

Akan tetapi, tidak boleh bagi kita untuk memahami Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman kita sendiri. Wajib bagi kita untuk memahami keduanya sebagaimana pemahaman as-salafush-shalih atau generasi terdahulu. Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

من كان منكم متأسيا فليتأس بأصحاب محمد صلى الله عليه وسلم، فإنهم كانوا أبر هذه الأمة قلوبا، وأعمقها علما، وأقلها تكلفا، وأقومها هديا، وأحسنها حالا، اختارهم الله لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم وإقامة دينه، فاعرفوا لهم فضلهم واتبعوهم في آثارهم، فإنهم كانوا على الهدى المستقيم.

“Barangsiapa di antara kalian yang ingin mengambil teladan maka teladanilah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini, paling mendalam ilmunya, paling sedikit sikap berlebih-lebihannya, paling lurus bimbingannya, dan paling baik keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk membersamai Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah jalan mereka, karena sesungguhnya mereka itu berada di atas petunjuk yang lurus.”

Sumber utama kedua: Ijma’ para ulama’

Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya beliau pada sebuah zaman atas sebuah perkara. Perhatikan bahwa ijma’ adalah kesepakatan para ulama’ mujtahid. Adapun orang awam maka pendapat mereka tidak dianggap dalam penetapan adanya ijma’. Walaupun misalnya mayoritas orang awam meyakini suatu pendapat dan para ulama’ mujtahid yang jumlahnya sedikit itu meyakini pendapat yang berbeda, pendapat orang awam walaupun mereka mayoritas maka tidaklah teranggap.

Wajib bagi kita untuk mengikuti ijma’, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمَن يُشاقِقِ الرَّسولَ مِن بَعدِ ما تَبَيَّنَ لَهُ الهُدىٰ وَيَتَّبِع غَيرَ سَبيلِ المُؤمِنينَ نُوَلِّهِ ما تَوَلّىٰ وَنُصلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَساءَت مَصيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”[7]

Yakni, wajib bagi kita untuk mengikuti jalannya orang-orang mukmin, dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah yang paling berhak dan paling utama untuk dimaksudkan dalam ayat ini.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق، لا يضرهم من ناوأهم حتى تقوم الساعة.

“Akan selalu ada kelompok dari umatku yang senantiasa membela kebenaran, tidak akan membahayakan mereka orang yang menentang mereka, hingga datang hari kiamat.”

Yakni, tidak mungkin seluruh umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu zaman itu semuanya bersepakat di atas kesalahan, dengan cara mereka semua mengambil pendapat yang salah dan meninggalkan pendapat yang benar. Maka, kita menyimpulkan dari hadits ini bahwa jika seluruh umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni, para mujtahid di antara mereka, sebagaimana telah dibahas sebelumnya) telah bersepakat atas suatu pendapat, maka tidak mungkin pendapat ini adalah pendapat yang salah, yang tidak diridhai dan dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sumber penguat pertama: Akal yang lurus

Akal bukanlah sumber primer dan utama untuk mengambil ilmu dan akidah. Akan tetapi, akal adalah alat untuk memahami dalil-dalil syar’iy dan menangkap makna dan kandungan dari dalil-dalil tersebut. Itu mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

كِتـٰبٌ أَنزَلنـٰهُ إِلَيكَ مُبـٰرَكٌ لِيَدَّبَّروا ءايـٰتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الأَلبـٰبِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”[8]

أَفَلا يَتَدَبَّرونَ القُرءانَ أَم عَلىٰ قُلوبٍ أَقفالُها

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”[9]

Akal yang lurus itu menegaskan dan menguatkan dalil-dalil syar’iy. Tidak mungkin bagi akal yang lurus untuk bertentangan dengan dalil-dalil syar’iy yang shahih dan dipahami dengan pemahaman yang benar. Jika tampak bertentangan, maka bisa jadi akal yang digunakan tersebut tidak lurus, atau dalilnya tidak shahih, atau pemahaman terhadap dalilnya tidak benar.

Demikian pula, akal itu terbatas. Tidak boleh bagi kita untuk memahami perkara-perkara ghaib, seperti sebagian besar dari perkara akidah, dengan akal kita yang terbatas tersebut. Tidak boleh bagi kita untuk memahami kaifiyyah (bagaimananya) Sifat-Sifat Allah dengan akal, karena tidak ada jalan untuk memahami kafiyyah Sifat-Sifat Allah tersebut. Tidak ada dalil yang menerangkannya di Qur’an dan Sunnah, dan akal kita tidak bisa mengetahui hakikat dan kaifiyyah dari Sifat Allah sebagaimana akal kita tidak bisa mengetahui hakikat dan kaifiyyah dari Dzat Allah.

Imam al-Barbahariy rahimahullah berkata,

واعلم رحمك الله أن من قال في دين الله برأيه وقياسه وتأويله من غير حجة من السنة والجماعة، فقد قال على الله ما لا يعلم، ومن قال على الله ما لا يعلم فهو من المتكلفين.

“Ketahuilah, semoga engkau dirahmati oleh Allah, bahwa barangsiapa yang berkata mengenai agama Allah dengan akalnya, qiyasnya, dan ta’wilnya, tanpa hujjah dari Sunnah dan Jama’ah, maka dia telah berkata tentang Allah tanpa ilmu. Dan barangsiapa yang berkata tentang Allah tanpa ilmu, maka dia termasuk orang-orang yang menyusahkan diri.”

Sumber penguat kedua: Fithrah yang selamat

Fithrah adalah kondisi asli, bawaan, dan kecenderungan untuk menerima akidah yang benar. Fithrah yang selamat itu menegaskan dan menguatkan dalil-dalil syar’iy, sehingga secara asalnya dengan fithrah tersebut seluruh manusia menegaskan adanya Allah dan mentauhidkan-Nya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ما من مولود إلا يُولَد على الفطرة، فأبواه يهوِّدانه أو ينصِّرانه أو يمجِّسانه، كما تُنتَج البهيمة بهيمة جمعاء، هل تحسُّون فيها من جدعاء

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fithrah, kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi, sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat, maka apakah kalian merasakan adanya cacat?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وإني خلقت عبادي حنفاء كلهم، وإنهم أتتهم الشياطين فاجتالتهم عن دينهم، وحرَّمت عليهم ما أحللت لهم، وأمرتهم أن يشركوا بي ما لم أنزل به سلطانا

“Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku seluruhnya sebagai orang-orang yang hanif. Akan tetapi, para syaithan mendatangi mereka lalu memalingkan mereka dari agamanya, mengharamkan apa yang Aku halalkan untuk mereka, dan memerintahkan mereka untuk berbuat kesyirikan terhadap-Ku dengan sesuatu yang Aku tidak pernah menurunkan hujjah tentangnya.”

Oleh karena itu, seluruh manusia termasuk orang kafir bahkan Fir’aun sekalipun, sebenarnya mengakui kepada kebenaran secara bathin mereka, akan tetapi mereka mengingkarinya karena kesombongan dan kezhaliman mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَلَمّا جاءَتهُم ءايـٰتُنا مُبصِرَةً قالوا هـٰذا سِحرٌ مُبينٌ * وَجَحَدوا بِها وَاستَيقَنَتها أَنفُسُهُم ظُلمًا وَعُلُوًّا ۚ فَانظُر كَيفَ كانَ عـٰقِبَةُ المُفسِدينَ

“Maka tatkala mu’jizat-mu’jizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka (Fir’aun dan kaumnya), berkatalah mereka, ‘Ini adalah sihir yang nyata.’ Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini kebenarannya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”[10]

Inilah empat sumber ilmu dan akidah (atau mashdar talaqqiy) menurut ahlus-sunnah wal-jama’ah, di mana dua sumber yaitu dalil syar’iy (Qur’an dan Sunnah) dan ijma’ sebagai sumber utama, dan dua sumber yaitu akal dan fithrah sebagai sumber penguat. Wajib bagi kita untuk mengambil dari sumber-sumber ini agar kita bisa mendapatkan ilmu yang lurus dan akidah yang shahihah.

@ Dago, Bandung, 28 Dzul-Hijjah 1441 H

Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.Or.Id

Mengajarkan Akidah Sejak Dini

Alqamah rahimahullah berkata, “Segala sesuatu yang kuhafal sejak aku masih belia, maka sekarang seakan-akan aku melihatnya di atas kertas atau lembaran catatan.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, I/30)

Usia dini adalah saat terpenting untuk penanaman pondasi akidah karena saat itu fitrah anak masih bersih. Ibarat memahat di atas kayu, begitulah saat mengajarkan ilmu di usia belia. Inilah tanggung jawab ayah ibu dan para guru agar anak tumbuh di atas fitrah yang lurus.

Akidah merupakan kunci kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Para nabi dan rasul pun telah menyeru kepada anak pada akidah yang lurus dengan menanamkan pemahaman akidah sejak dini.

Firman Allah,

وَوَصَّىٰ بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”.” (QS. Al-Baqarah : 132)

Jadi, akidah Islam adalah perkara yang wajib diajarkan terlebih dahulu.

Banyak faidah yang akan dirasakan​ anak ketika memiliki akidah shahihah. Ia akan terbiasa tawaduk dan selalu meminta pertolongan​ hanya kepada Allah terutama saat mengalami kesulitan. Ia akan menyandarkan kesuksesan dan kebahagiaan hidup dengan selalu bersyukur kepada Allah Ta’ala. Ia akan mampu menerima segala kejadian yang menimpanya, yang menyenangkan maupun sebaliknya karena semua adalah kehendak-takdir-Nya.

Ubaidah bin Shamit berkata kepada putranya,

يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي

“Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan dapat merasakan lezatnya iman hingga engkau bisa memahami bahwa apa yang ditakdirkan menjadi bagianmu tidak akan meleset darimu, dan apa yang tidak ditakdirkan untuk menjadi bagianmu tidak akan engkau dapatkan. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena, lalu Allah berfirman kepadanya: “Tulislah!” pena itu menjawab, “Wahai Rabb, apa yang harus aku tulis?” Allah menjawab: “Tulislah semua takdir yang akan terjadi hingga datangnya hari kiamat.” Wahai anakku, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa meninggal tidak di atas keyakinan seperti ini maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Abu Dawud, Kitabus Sunnah, no. 4078, di-hasan-kan oleh Syu’aib al-Arnauth dalam Takhrij Sunah Abi Dawud no.4700)

Dengan landasan akidah yang kokoh di atas Al-Qur`an dan al-haditsinsya allah anak akan terjaga dan senantiasa dalam lindungan Allah. Praktik pengukuhan akidah perlu terus menerus dibiasakan agar anak merasakan manfaatnya dengan menjauhkan kisah-kisah atau cerita yang menodai ke-shahih-an akidah, termasuk film atau game yang menyimpang. Seperti halnya dalam tayangan-tayangan tersebut terdapat permohonan kepada dewa-dewa, peri, atau sosok lain yang dianggap memiliki kekeuatan layaknya Tuhan. Tak kalah pentingnya, menjauhkan anak dari pengaruh teman buruk agar fitrah anak tak tercemar. Maka tak sepantasnya para orang tua atau pendidik menakut-nakuti anak dengan hal-hal tahayul dan perkara lain yang dilarang syariat.

Ketika akidah telah tertancap kuat di sanubari anak, ia kan menjadi sosok orang beriman yang berkepribadian kuat, baik sikap dan perbuatannya karena selalu merasa dalam pengawasan Allah, serta meminimalisasi anak melakukan perbuatan buruk, seperti berkata kotor, menipu, dan lainnya. Orang tua akan memperoleh manfaat besar dengan keberadaan anak shalih. Namun, orang tua yang melalaikan pendidikan untuk buah hatinya, ia akan menuai kesengsaraan.

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Siapa saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak berfaedah bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah, engkau durjana kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika engkau tua renta.” (Tuhfah al-Maudud hlm. 125)

Wallahu a’lam.

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11298-mengajarkan-akidah-sejak-dini.html

Islam: Akidah, Syari’ah, Tashawuf

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: مَا الْإِيمَانُ؟ قَالَ: الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ. قَالَ: مَا الْإِسْلَامُ؟ قَالَ: الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ. قَالَ: مَا الْإِحْسَانُ؟ قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. رواه البخاري

Artinya: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam suatu hari keluar menuju khalayak, lalu datanglah Jibril dan ia berkata,”Apakah iman itu?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Iman adalah, Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, pertemuan dengan-Nya, para rasul-Nya, dan engkau beriman dengan hari kebangkitan.” Jibril pun berkata,”Apakah Islam?” Rasulullah Shalallalahu Alaihi Wasallam bersabda,”Islam adalah, Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang diwajibkan dan melaksanakan puasa Ramadhan.” Jibril pun berkata,”Apakah ihsan?” Rasulullah Shallallahu Alalihi Wasallam bersabda,”Engkau beribadah kepada Allah seaakan akan Engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,” (Riwayat Al Bukhari)

Mengenai hadits di atas, Imam Tajuddin As Subki berkata,”Ilmu-ilmu syari’at pada hakikatnya ada tiga: Fiqih, yang diisyaratkan dengan Islam. Ushuluddin yang diisyaratkan dengan iman. Tashawuf yang diisyaratkan dengan ihsan. Selain ilmu-ilmu itu, kalau ia tidak kembali kepada ilmu-ilmu tersebut, ia di luar syari’ah.” (Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 1/117)

Al Munawi juga menyampaikan,”Asal dari tashawuf adalah ihsan, yang ditafsirkan dari hadits Jibril Alaihis Salam,’Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan Engkau melihat-Nya. Dan jika Engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihatmu.’”(Irgham Auliya Asy Syayathin bi Dzikri Auliya Ar Rahman, 4/46)

 

HIDAYATULLAH