Akikah, Ibadah Sekali Seumur Hidup

Akikah merupakan ibadah yang disyariatkan untuk dilaksanakan sekali dalam hidup. Akikah bermakna menyembelih atau memotong, yaitu domba/kambing yang disembelih saat bayi dipotong (dicukur) rambut kepalanya. (Ash-Shihah, 4: 1527 dan Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhi Al-Minhaj, 4: 390)

Akikah juga merupakan hak anak yang di sunahkan untuk ditunaikan oleh orang tuanya. Hal ini sebagai wujud syukur atas lahirnya sang buah hati dan melaksanakan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wassalam.

عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِيّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَعَ اْلغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ فَاَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا وَ اَمِيْطُوْا عَنْهُ اْلاَذَى

Dari Salman bin Amir Adh-Dhabby radhiyallahu ’anhu, ia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ‘Bersama kelahiran seorang anak itu ada akikahnya. Karena itu alirkanlah darah (sembelihlah hewan) untuknya dan hilangkanlah gangguan darinya. (HR. Bukhari no. 5472)

Akikah, wajib atau sunah?

Nabi shallallahu alaihi wassalam bersabda,

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَ يُحْلَقُ وَ يُسَمَّى

Setiap bayi tergadaikan dengan akikahnya, disembelihkan (kambing) pada hari ketujuh, dicukur rambutnya serta diberi nama.” (HR. Abu Dawud no. 2838 dan Tirmidzi no. 1605)

Ada beberapa pendapat terkait hukum akikah. Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat sunah (mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), sebagian berpendapat wajib (Hasan Al-Bashri, Abu Zinad, mazhab Dzhohiriyyah) dan ada yang mengatakan mubah (mahzab Hanafi). (Al-Mughni, 13: 393; Al-Istidzkar,15: 371; dan Bada’iu Shona’i, 5: 169)

Pendapat yang paling kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama).

Bolehkah sebelum atau setelah hari ketujuh?

Afdhol-nya (lebih utama) akikah dilaksanakan pada hari ketujuh kelahiran. Namun, menurut mayoritas ulama pelaksaan pada hari ketujuh hanya bersifat anjuran. Dan seandainya menyembelih sebelum atau sesudah hari ketujuh, maka diperbolehkan. (Ibnu Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud, hal. 35).

Cara menghitung hari ketujuh adalah sebagai berikut:

Pertama: Perhitungan hari berdasarkan penanggalan hijriyah.

Kedua: Dihitung mulai dari masuknya waktu magrib. Jika lahir Senin jam 8 malam, maka dihitung hari pertama Selasa. (Lihat Al-Majmu Syarh Muhadzab, 8: 431)

Ketiga: Mayoritas ulama menyatakan hari kelahiran dihitung hari pertama untuk menentukan hari ketujuh kelahiran. Jika lahir hari Senin pagi, siang, atau sore menjelang magrib, maka hari pertama dihitung Senin. (Lihat Al-Mausu’ah Fiqhiyah, 30: 279)

Keempat: Anjuran hari ketujuh merupakan anjuran untuk penyembelihan, bukan untuk pendistribusian daging akikah (dianjurkan yang sudah dimasak).

Tetap sah dengan 1 kambing untuk anak laki-laki

Utamanya anak laki-laki diakikahi dengan dua kambing, sedangkan anak perempuan satu ekor kambing sebagaimana hadis berikut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عن الغلام شاتان ، وعن الأنثى واحدة ، لا يضركم ذكراناً أم إناثاً

“Bersama anak lelaki dua ekor kambing dan anak wanita seekor kambing, dan tidak memudharati kalian kambing jantan maupun betina.” (HR. Tirmidzi no. 1416, disahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam Irwa’ul Ghalil, 4: 391)

Namun, bila tidak memiliki kemampuan untuk menyembelih dua ekor kambing, maka boleh dengan satu ekor kambing (semoga Allah memberikan kemampuan kita untuk menyempurnakan ibadah).

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا

Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengakikahi (cucunya) Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” (HR. Abu Dawud no. 2841 dan Thabrani 11: 316 dengan sanadnya sahih)

Tidak mengapa dengan kambing betina

Para ulama tidak menentukan tentang dipersyaratkannya kambing untuk akikah jantan atau betina. (Syarh Nadzmu Waraqat, hal. 89-90) Oleh karena itu, jika menyembelih dengan kambing betina pun tetap sah.

Apa saja syarat sah kambing akikah?

Ada beberapa kriteria kambing yang sah untuk akikah. Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat ulama mengenai hal ini.

Pertama: Tidak boleh hewan yang cacat matanya, pincang, sakit, tidak boleh dijual dagingnya atau kulitnya, keluarganya boleh mengkonsumsi dagingnya. (Al-Muwatho’, 2: 502)

Kedua: Usia untuk domba minimal 6 bulan dan untuk kambing minimal 1 tahun. (Sebagaimana hadis riwayat Muslim no. 1963)

Akikah ketika dewasa

Meskipun akikah adalah tanggungan orang tua, tetapi tidak mengapa jika kakek, kerabat, atau orang lain memberikan (membelikan) kambing untuk akikah anaknya. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengakikahi kedua cucunya, Hasan dan Husain.

Lalu, bagaimana jika saat lahir belum diakikahi dan sudah dewasa?

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengakikahi dirinya setelah diutus dengan kenabian. (HR. Ath-Thahawi dalam Al-Musykil1: 461 dan Thabrani dalam Al-Ausath 1: 529 dengan sanad hasan)

Hal ini juga dikuatkan oleh beberapa ulama tabi’in. Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Seandainya saya tahu kalau saya belum diakikahi, niscaya saya akan mengakikahi untuk diriku.” (Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf : 8: 235 dan disahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 6: 506)

Hasan Bashri rahimahullah berkata, “Kalau engkau belum diakikahi, maka akikahilah sendiri sekalipun sudah dewasa.” (Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, 8: 322 dan dihasankan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 6: 506)

Akikah untuk janin yang keguguran

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

“Setiap anak tergadaikan (untuk mendapatkan syafaat) dengan akikahnya. Disembelih atas namanya pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama” (HR. Abu Dawud no. 2838 dan Tirmidzi no. 1605, dan dinilai sahih oleh Al-Albani)

Melihat keutamaan akikah dan untuk mendapatkan syafaat anak (dengan izin Allah), maka sebagaimana dijelaskan dalam Fatwa Lajnah Da’imah, “Jika janin meninggal setelah ditiupkan ruh (setelah 4 bulan), kemudian ibunya keguguran, maka janin itu dimandikan, dikafani dan disalatkan, kemudian dikuburkan. Disunahkah diberi nama dan diakikahkan…  (Fatwa Lajnah Da’imah, 10: 459-460)

Jika janin yang keguguran berumur di bawah empat bulan, maka menurut Fatwa Al-Lajnah ad Da’imah di atas tidak diakikahi walaupun telah tampak jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan.

Semoga penjelasan yang sedikit ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Wallahu a’lam bis-shawab.

***

Penulis: Arif Muhammad N.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82707-akikah-ibadah-sekali-seumur-hidup.html

Hukum Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Bagaimana hukum menggabungkan niat akikah dan kurban? Apakah boleh menggabungkan dua niat itu? Atau tidak boleh bergabung antara akikah dan kurban?

Jawaban persoalan ini ada dua hukum. Seperti dikutip dari Mubadalah.id,  jika merujuk pada ilmu fiqh tentang hukum menggabungkan niat akikah dan kurban, maka hukumnya terbagi menjadi dua, tidak boleh dan boleh.

Hukum Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Ketidak bolehan menggabungkan niat akikah dan kurban itu merujuk pada ulama fiqh, Imam Ibnu Hajar Alhaitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj yang mengatakan bahwa niat kurban dan akikah tidak boleh bergabung dalam satu amalan saja.

Hal ini, menurut dia, karena meski jenis dan praktik keduanya sama, yaitu sama-sama menyembelih hewan, namun tujuan keduanya berbeda.

Kurban bertujuan untuk mensyukuri nikmat hidup, sementara akikah untuk mensyukuri kelahiran anak. Jika keduanya bergabung, maka hanya mendapat pahala salah satunya saja.

وظاهر كلام الاصحاب انه لو نوى بشاة الاضحية والعقيقة لم تحصل واحدة منهما وهو ظاهر لان كلا منهما سنة مقصودة

Artinya : Perkataan yang jelas dari Ashab (ulama Syafiiyah), bahwa jika seseorang menyembelih satu ekor kambing dengan niat kurban dan akikah, maka pahala salah satunya tidak berpahala. Hal ini sudah jelas karena keduanya sama-sama ada tuntutan untuk melakukannya.

Pendapat Boleh Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Sedangkan ulama fiqh yang menyebutkan kebolehan menyatukan niat akikah dan kurban itu seperti terungkapkan oleh Imam Hasan Al Basri.

Dia menyebutkan bahwa kurban dan akikah boleh gabung  dengan hanya menyembelih satu ekor hewan saja.

Dengan demikian, orang yang belum akikah kemudian dia berkurban, maka kurbannya tersebut sudah cukup.  Artinya, tanpa perlu melakukan akikah di kemudian hari.

Imam Hasan Al Basri juga menjelaskan kebolehan itu berdasarkan karena kurban dan akikah memiliki kesamaan jenis dan tujuan, yaitu menyembelih hewan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.

Sehingga niat keduanya bisa bergabung dan bersatu dalam satu amalan ibadah saja.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam kitab Almushannaf sebagai berikut;

عن الحسن قال: اذا ضحوا عن الغلام فقد اجزأت عنه عن العقيقة

Artinya : Dari Imam Hasan Albasri, dia berkata; Jika mereka berkurban untuk anaknya, maka kurbannya tersebut sudah cukup tanpa perlu mengakikahi lagi.

Dari uraian di atas, maka dapat tersimpulakn, jika mengikuti pendapat Imam Hasan Albasri, maka kurban dan akikah boleh bergabung dengan hanya menyembelih satu ekor hewan, serta mendapatkan dua pahala sekaligus.

Sementara itu, menurut Imam Ibnu Hajar Alhaitami, jika keduanya bersatu (gabung)  maka hanya mendapat pahala salah satunya. 

Tulisan ini telah diterbitkan di Mudalah.id

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Akikah untuk Anak Perempuan Lebih dari Satu Kambing?

Dalam laman media sosial redaksi ada nitizen yang bertanya, bolehkah akikah untuk anak perempuan lebih dari satu kambing? Berikut penjelasan masalah tersebut. 

 Dalam Islam, setiap kali pasangan suami-istri dikarunia seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka disunnahkan untuk melaksanakan akikah dengan menyembelih hewan kambing sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah.

Untuk anak perempuan disunnahkan menyembelih seekor kambing, sementara anak laki-laki dianjurkan menyembelih dua ekor kambing. Namun bagaimana jika mengakikahi anak perempuan lebih dari satu kambing, misalnya 11 kambing, apakah boleh?

Pada dasarnya, seseorang hanya dianjurkan untuk mengakikahi anak perempuannya hanya dengan satu ekor kambing dan anak laki-lakinya dengan dua ekor kambing. Jika seseorang sudah mengakikahi anak perempuannya dengan satu ekor kambing, dan dua ekor kambing untuk anak laki-lakinya, maka dia sudah dianggap melaksanakan sunnah akikah.

Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Tirmidzi dari Sayidah Aisyah, dia berkata;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

Sesungguhnya Nabi Saw memerintahkan mereka, untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing dan anak perempuan dengan satu ekor kambing.

Meski yang dianjurkan untuk anak perempuan adalah satu kambing, namun jika seseorang mengakikahi anak perempuannya lebih dari satu kambing, misalnya mengakikahi anak perempuannya dengan 11 kambing, maka hukumnya boleh. Namun yang dinilai sebagai akikah adalah yang satu ekor kambing saja. Sementara sisanya dinilai sebagai sembelihan biasa dan sedekah sunnah biasa, bukan sebagai akikah.

Begitu juga dengan anak laki-laki, yang dianjurkan adalah dua ekor kambing saja. Namun jika seseorang mengakikahi anak laki-lakinya lebih dari dua ekor kambing, misalnya mengakikahi anak laki-lakinya dengan 12 kambing, maka hukumnya boleh. Namun yang dinilai sebagai akikah adalah yang dua ekor kambing saja. Sementara sisanya dinilai sebagai sembelihan biasa dan sedekah sunnah biasa, bukan sebagai akikah.

Ini sama dengan seseorang yang melakukan kurban lebih dari seekor kambing. Menurut para ulama, jika seseorang berkurban lebih dari satu ekor kambing, misalnya dia berkurban dengan dua ekor kambing, maka hukumnya boleh namun yang dinilai sebagai kurban adalah yang satu ekor kambing saja. Sementara sisanya dinilai sebagai sembelihan biasa dan sedekah sunnah biasa, bukan sebagai kurban.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Hasyiatul Baijuri berikut;

ولو ضحى واحد ببدنة أو بقرة بدل شاة فالزائد على السبع تطوع يصرفه مصرف التطوع إن شاء

Jika seseorang berkurban seekor unta atau sapi sebagai penganti kambing, maka selebihnya yang sepertujuh adalah sedekah sunnah biasa yang ia boleh distribusikan dagingnya kepada orang-orang yang berhak menerima sedekah sunnah jika ia berkenan.

BINCANG SYARIAH

Apakah Bayi Meninggal Diakikahkan?

Bismillahirrahmanirrahim.

Akikah memiliki keutamaan yang sangat besar. Hal ini sebagaimana yang dikabarkan di dalam hadis sahih dari sahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

“Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya. Disembelih atas namanya pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama” (HR. Ahmad no. 20722, at-Tirmidzi no. 1605, dan dinilai sahih oleh al-Albani).

Al-Khottobi Rahimahullah menerangkan makna hadis ini, dengan mengutip keterangan Imam Ahmad Rahimahullah,

قال أحمد: هذا في الشفاعة يريد أنه إن لم يعق عنه فمات طفلاً لم يُشفع في والديه

“Imam Ahmad berkata, ‘(Makna tergadaikan di sini adalah) tentang syafaat. Jika tidak diakikahi, kemudian anak meninggal sebelum baligh, maka orang tua terhalang dari (mendapatkan) syafaat anak’” (Lihat Al-Mifshal fi Ahkam Al-Aqiqah, hal. 30).

Penjelasan Imam Ahmad di atas dikuatkan oleh Ibnu Hajar Rahimahumallah,

اختلف الناس في هذا، وأجود ما قيل فيه: ما ذهب إليه أحمد بن حنبل قال: هذا في الشفاعة، يريد أنه إذا لم يعق عنه فمات طفلاً لم يشفع في أبويه

“Para ulama berbeda pendapat tentang makna ‘anak tergadai sampai diakikahi’. Namun pendapat yang paling baik adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hambal. Beliau mengatakan, ‘Hadis ini berkenaan dengan syafaat.’ Maksud beliau, jika anak belum ditunaikan akikahnya, lalu meninggal saat masih kecil, maka kedua orangtuanya tidak bisa mendapatkan syafaatnya” (Fathul Bari, 12: 410).

Mengingat keutamaan yang besar ini, maka tetap dianjurkan mengakikahkan bayi yang lahir meskipun telah meninggal.

Sebagaimana dijelaskan dalam Fatwa Lajnah Da-imah (Majelis Fatwa dan Ulama Senior Saudi Arabia) berikut,

إذا توفي الحمل بعد نفخ الروح فيه، وسقط من بطن أمه فإنه يغسل ويكفن ويصلى عليه ويدفن، ويستحب أن يسمى وأن يعق عنه وهو ما تسمونه الطلوعة، والسنة عن الذكر اثنتان وعن الأنثى واحدة من الغنم كل واحدة تجزئ في الأضحية. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

“Jika janin meninggal setelah ditiupkan ruh, kemudian ibunya keguguran, maka janin itu dimandikan, dikafani dan disalatkan, kemudian dikuburkan. Disunahkah diberi nama dan diakikahkan. Bagi anak laki-laki dua kambing, anak perempuan satu kambing. Kriterianya adalah kambing yang sah untuk kurban. Semoga Allah memberikan taufik, selawat serta salam untuk Nabi kita Muhammad serta keluarga dan para sahabat beliau” (Fatwa Lajnah Da-imah, 10: 459-460).

Selain itu, bayi yang sudah ditiupkan ruh (yakni sejak umur 4 bulan di dalam kandungan), sudah dihukumi sebagai manusia yang kelak di hari kiamat akan dibangkitkan. Sehingga, dianjurkan untuk tetap diakikahkan.

Semoga penjelasan ini bermanfaat untuk penulis dan juga para pembaca sekalian.

Wallahua’lam bis showab.

Penulis: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/68047-apakah-bayi-meninggal-diakikahkan.html

Ragu Sudah Diakikahi Atau Belum oleh Orangtua, Apakah Perlu Akikah?

Terdapat sebagian orang yang memiliki keraguan apakah dirinya sudah diakikahi atau belum oleh kedua orangtuanya. Ini terjadi biasanya karena dia ditinggal wafat oleh kedua orangtuanya di waktu masih kecil sehingga dia tidak mendapatkan informasi dari kedua orangtuanya apakah dirinya sudah diakikahi atau belum. Dalam keadaan ragu sudah diakikahi atau belum oleh orangtua, apakah dia perlu untuk melakukan akikah? (Baca: Hukum Mengakikahi Anak Angkat)

Jika seseorang ragu apakah dirinya sudah diakikahi atau belum oleh kedua orangtunya, baik karena dirinya ditinggal wafat oleh kedua orangtuanya di waktu masih kecil, atau karena sebab lainnya, maka dia tidak perlu melakukan akikah. 

Ini karena keraguan dirinya menyebabkan dia dinilai sudah diakikahi oleh orangtuanya karena akikah memang dianjurkan untuk kedua orangtua di waktu anak masih kecil. Sehingga jika dia ragu ketika sudah dewasa apakah sudah diakikahi atau tidak, maka yang dimenangkan adalah dia dinilai sudah diakikahi dan dia tidak perlu melakukan akikah lagi.

Ini berbeda jika dirinya sudah yakin bahwa orangtuanya belum mengakikahi dirinya. Dalam keadaan demikian, maka dia dianjurkan untuk mengakikahi dirinya.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abdurrahman Al-Nashir Al-Sa’di dalam kitab Al-Fatawa Al-Sa’diyah berikut;

سؤال: هل يجزئ بعض البدنة عن العقيقة واذا شك هل عق عنه ابوه فهل يلزمه ان يعق؟

جواب: اما العقيقة فلا يجزئ ثلث البدنة ولا سبعها ولا يجزئ عنها الا بدنة كاملة مع ان الشاة افضل من البدنة الكاملة واذا شك الانسان هل عق عنه والده ام لا؟ فليس عليه عقيقة العقيقة على الاب وايضا هو شاك هل عق عنه ام لا

Pertanyaan: Apakah sebagian untuk cukup untuk dijadikan akikah, dan jika seseorang ragu apakah bapaknya sudah mengakikahi dirinya atau belum, apakah dia perlu melakukan akikah?

Jawaban: Adapun akikah tidak cukup dengan sepertiga unta dan juga sepertujuhnya. Akikah harus dengan satu unta utuh, selain itu satu kambing tetap lebih utama dibanding satu unta yang utuh. Dan jika seseorang ragu apakah orangtuanya mengakikahi dirinya atau belum? Maka dia tidak perlu melakukan akikah karena akikah adalah tanggung jawab bapaknya, juga dia dalam keadaan ragu apakah dirinya sudah diakikahi atau belum.

BINCANG SYARIAH

Rela Berutang Asal Bisa Akikah Anak, Bolehkah?

SEORANG muslim dituntut untuk menghidupkan sunnah-sunah nabi shallallahu alaihi wa sallam. Aqiqah hukumnya sunnah muakkadah dan tidak wajib menurut pendapat yang kuat, dan hendaknya orang yang memiliki kemampuan melaksanakan sunnah ini.

Adapun orang yang belum mampu saat itu maka jika dia memiliki sumber penghasilan yang dia berharap bisa membayar hutang dengannya di kemudian hari maka tidak mengapa dia berhutang.

Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Kalau dia tidak memiliki harta untuk aqiqah kemudian berhutang maka aku berharap Allah menggantinya karena dia telah menghidupkan sunnah.” (Al-Mughny, Ibnu Qudamah 13/395)

Namun kalau tidak memiliki penghasilan tetap maka jangan dia berhutang karena nanti akan memudharati dia dan orang yang menghutanginya. (Lihat Kasysyaf Al-Qina an Matnil Iqna, Manshur bin Yunus Al-Bahuti 2/353)

Allah taala berfirman: “Bertaqwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian.”

Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu: “Dan adapun meminjam uang untuk keperluan aqiqah maka dilihat, kalau dia berharap bisa mengembalikan seperti seorang pegawai misalnya, akan tetapi ketika waktu aqiqah dia tidak memiliki uang, kemudian dia meminjam uang sampai datang gaji maka ini tidak mengapa, adapun orang yang tidak punya sumber penghasilan tetap yang dia berharap bisa membayar hutang dengannya maka tidak selayaknya dia berhutang.” (Liqa Al-Babil Maftuh, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

Wallahu taala alam. [Ustadz Abdullah Roy, Lc]

INILAH MOZAIK

Akikah dan Kurban Digabungkan, Bolehkah?

Akikah dan kurban adalah dua ibadah yang sama-sama menyembelih hewan. Keduanya sama-sama dihukumi sunah mu’akkadah (yang sangat dianjurkan) pelaksanaannya. Waktu pelaksanaan masing-masing juga jelas. Kurban pada hari raya Idul Adha dan tiga hari tasyrik, sedangkan akikah pada hari ketujuh, ke-14, dan ke-21 kelahiran.

Lantas, jika waktu akikah dan kurban bertepatan, apakah boleh pelaksanaannya sekaligus saja? Artinya, ada satu amalan dilakukan dengan dua niat, yaitu niat berkurban dan niat berakikah. Permasalahan juga timbul bagi mereka yang telah dewasa dan belum sempat diakikahkan oleh orang tuanya. Jika ia mempunyai kesanggupan, manakah yang lebih utama baginya, berkurban atau mengakikahkan dirinya terlebih dahulu? Atau, bisakah kedua-duanya digabung terlaksana sekaligus?

Tentang permasalahan ini, ada perbedaan pendapat ulama. Ada yang mengatakan, jika waktu kurban bertepatan dengan waktu akikah, cukup melakukan satu jenis sembelihan saja, yaitu akikah. Pendapat ini diyakini Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali), Abu Hanifah (Mazhab Hanafi), dan beberapa ulama lain, seperti Hasan Basri, Ibnu Sirin, dan Qatadah.

Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan kurban, maka kurban tersebut bisa jadi satu dengan akikah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jika kurban digabungkan dengan akikah,” demikian seperti diterangkan dalam kitab Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah.

Mereka berdalil, beberapa ibadah bisa mencukupi ibadah lainnya seperti dalam kasus kur ban bisa mencukupi akikah atau sebaliknya. Sebagaimana seorang yang menyembelih dam ketika menunaikan haji tamattu’. Sembelihan tersebut ia niatkan juga untuk kurban, maka ia mendapatkan pahala dam dan pahala kurban. Demikian juga shalat Id yang jatuh pada hari Jumat, maka diperbolehkan tidak mengikuti shalat Jumat karena sudah menunaikan shalat Id pada paginya.

Sedangkan pendapat dari Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i), Imam Malik (Mazhab Maliki), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan tidak boleh digabung. Alasannya, karena keduanya mempunyai tujuan yang berbeda dan sebab yang berbeda pula. Misalkan, dalam kasus pembayaran dam pada haji tamattu’ dan fidyah. Keduanya tidak bisa saling mencukupi dan harus dilaksanakan terpisah.

Masalah ini menyimpulkan, tidak seluruh jenis ibadah yang bisa digabung pelaksanaannya dalam dua niat sekaligus. Kurban dan akikah masuk dalam kategori ini. Tujuan kurban adalah tebusan untuk diri sendiri, sedangkan akikah adalah tebusan untuk anak yang lahir. Jika keduanya digabung, tujuannya tentu akan menjadi tidak jelas.

Ini ditegaskan dalam Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah yang menyebutkan, “Akikah dilaksanakan untuk mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan kurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha).”

Bahkan, salah seorang ulama Syafi’iyah, al- Haitami, menegaskan, seandainya seseorang berniat satu kambing untuk kurban dan akikah sekaligus, keduanya sama-sama tidak dianggap. “Inilah yang lebih tepat karena maksud dari kurban dan akikah itu berbeda,” tulis Al Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj.

Pandangan ulama yang lebih kuat dalam dua perbedaan pendapat ini adalah pendapat yang tidak membolehkan untuk menggabung pelaksanaan akikah dan kurban. Terkecuali, waktu akikah pada hari ke-7, ke-14, atau ke-21 kelahiran anak bisa bertepatan jatuh pada hari berkurban. Maka, mereka yang tidak punya kemampuan lebih untuk menyembelih hewan, bisa meniatkan untuk dua pelaksanaan sekaligus, yaitu melaksanakan akikah sekaligus bisa pula berkurban.

Pendapat ini pernah difatwakan Syekh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin. Dalam Majmu’ Fatawa wa Rosail Al Utsaimin dijelaskan, mereka yang punya kecukupan rezeki dan ada dalam posisi ini, maka hendaklah menyembelih dua ekor kambing jika anaknya laki-laki. Hal itu disebabkan wajibnya akikah untuk anak laki-laki memang menyembelih dua ekor kambing.

Adapun mereka yang telah mencapai usia dewasa, sementara belum diakikahkan orang tuanya, maka tidak wajib baginya mengakikahkan dirinya sendiri. Inilah pendapat ulama yang lebih kuat dari Mazhab Syafi’i dan Hanbali. Akikah hanya menjadi tanggung jawab orang tuanya, atau mereka yang menanggung beban nafkah atasnya. Jadi, ia bisa melakukan kurban dan tidak perlu lagi memikirkan akikah untuk dirinya.

Sementara, beberapa ulama dari Hanbali lainnya memang mengatakan, boleh melakukan akikah kapan pun. Menurut mereka, waktu menunaikan akikah tidak dibatasi (seperti pendapat yang lebih kuat mengatakan hari ke-7, ke-14, dan ke-21). Jadi, mereka yang memegang pendapat ini, ketika sudah mampu, ia disukai jika dia mengakikahkan dirinya sendiri. Namun, pendapat ini lemah dan tidak dianjurkan untuk diikuti. Demikian seperti diterangkan dalam Kitab Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu.

Adapun orang yang sudah dewasa dan ingin mengakikahkan dirinya sendiri sekaligus menunaikan kurban, maka perilaku seperti ini dilemahkan para ulama dan tidak dianjurkan untuk diikuti. Wallahu’alam.

REPUBLIKA

Bolehkah Akikah Sebelum atau Sesudah 7 Hari?

A. Dalil Hari Ketujuh

PARA ulama sepakat bahwa yang disunnahkan dalam menyembelih hewan aqiqah adalah para hari ketujuh, yaitu ketika seorang bayi telah berusia tujuh hari, terhitung sejak dia lahir pertama kali di dunia ini. Dasarnya adalah beberapa hadis berikut ini:

“Dari Samurah bin Jundub radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Anak laki-laki tergadaikan dengan hewan aqiqahnya, maka disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama lalu digunduli dan (HR. Abu Daud)

“Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelihkan hewan aqiqah untuk Hasan dan Husain alaihimassalam pada hari ketujuh dan memberi nama keduanya.” (HR. Al-Baihaqi)

B. Bolehkah Dilakukan Sebelum dan Sesudahnya?

Namun para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidak bolehnya menyembelih aqiqah bila waktunya bukan pada hari ketujuh.

1. Al-Malikiyah. Mazhab Al-Malikiyah menetapkan bahwa waktu untuk menyembelih hewan aqiqah hanya pada hari ketujuh saja. Di luar waktu itu, baik sebelumnya atau pun sesudahnya, menurut mazhab ini tidak lagi disyariatkan penyembelihan. Artinya hanya sah dilakukan pada hari ketujuh saja.

2. Asy-Syafiiyah. Pendapat mazhab Asy-Syafiiyah lebih luas, karena mereka membolehkan aqiqah disembelih meski belum masuk hari ketujuh. Dan mereka pun membolehkan disembelihkan aqiqah meski waktunya sudah lewat dari hari ketujuh. Dalam pandangan mazhab ini, menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh adalah waktu ikhtiyar. Maksudnya waktu yang sebaiknya dipilih. Namun seandainya tidak ada pilihan, maka boleh dilakukan kapan saja.

3. Al-Hanabilah. Mazhab Al-Hanabilah berpendapat bahwa bila seorang ayah tidak mampu menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh dari kelahiran bayinya, maka dia masih dibolehkan untuk menyembelihnya pada hari keempat-belas. Dan bila pada hari keempat-belasnya juga tidak mampu melakukannya, maka boleh dikerjakan pada hari kedua-puluh satu. Ibnu Hazm menyebutkan bahwa tidak disyariatkan bila menyembelih hewan aqiqah sebelum hari ketujuh, namun bila lewat dari hari ketujuh tanpa bisa menyembelihnya, menurutnya perintah dan kewajibannya tetap berlaku sampai kapan saja. Sekedar catatan, Ibnu Hazm termasuk kalangan yang mewajibkan penyembelihan hewan aqiqah. Sehingga karena dalam anggapannya wajib, maka bila tidak dikerjakan, wajib untuk diganti atau diqadha. Dan qadha itu tetap berlaku sampai kapan pun.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2365716/bolehkah-akikah-sebelum-atau-sesudah-7-hari#sthash.oHgTW3do.dpuf