Jangan Khawatir, Islam tak Bisa Dihancurkan

BENAR, jangan merisaukan Agama Islam. Bagaimanapun usaha kaum kafirin, kaum munafikin, dan siapapun yang mengikuti jejak mereka untuk menjatuhkan dan menghinakan Islam, sungguh Islam takkan terpengaruh.

Islam akan tetap terjaga dengan baik, karena Allah telah menjamin untuk menjaganya. Allah telah berfirman (yang artinya): “Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikr (Al Quran), dan Kami pula yang benar-benar akan menjaganya”. (QS. Al-Hijr: 9).

Sebagaimana Allah menjaga kemurnian Al Quran, Allah juga akan menjaga kemurnian Islam, karena kandungan Al Quran, tidak lain adalah Islam yang murni.

Kita lihat hari-hari ini, seringkali sosok yang ditokohkan merendahkan sebagian syariat Islam, seperti: jenggot, cadar, celana di atas mata kaki, Al Quran disebut kitab paling porno, teknologi zaman ini disebut lbh hebat dari mukjizat nabi, haji sebaiknya dihentikan karena pemborosan, dan statemen statemen lainnya.

Tentu kita sebagai muslim geram dengan itu semua, tapi tenanglah, sejukkan hati anda, dan yakinlah bahwa usaha mereka akan sia-sia, mereka semua akan hilang sebagaimana para pendahulunya, dan Islam akan tetap tegak berdiri di muka bumi ini.

Allah telah berfirman (yang artinya): “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun Allah menolak kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang orang kafir membencinya”. (QS. Attaubah: 32).Yang dimaksud “cahaya Allah” dalam ayat ini adalah petunjuk dan agama haq yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam (Tafsir Ibnu Katsir: 4/136).

Lihatlah bagaimana agungnya agama ini, agama yang dijamin Allah akan selalu hidup sempurna di muka bumi, sehingga tidak perlu kita mengkhawatirkannya lagi.

Justru yang perlu kita takutkan adalah diri kita, sudahkah kita menerapkan agama ini dalam hidup kita? Sudahkah kita peduli dengan agama kita? Sungguh Islam tidak akan rugi tanpa kita, namun kita akan rugi total tanpa Islam.

Justru mereka yang berusaha merendahkan Islam itulah yang harusnya waspada, karena tindakan mereka itu hanya merugikan dan membinasakan diri mereka sendiri, Allah taala berfirman (yang artinya): “Maka harusnya orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul itu takut akan tertimpa bencana atau terkena adzab yang pedih”. (QS. Annur: 63).

Terakhir, yang harus digarisbawahi di sini, bahwa ketika kita tidak merisaukan Islam, bukan berarti kita tidak membela dan memperjuangkan Islam. Namun, harusnya kita tetap berusaha mendakwahkan Islam, karena Allah telah memerintahkan kita untuk terus berdakwah memperjuangkan Islam.

Sepantasnya kita berusaha menjadikan diri sebagai pejuang Islam, karena kalau bukan kita, pasti Allah memilih orang lain untuk mengisinya. Dan ingatlah bahwa semakin kita berjuang untuk Islam, maka semakin banyak kemuliaan yang kita dapatkan darinya, wallohu alam.

 

[Ustaz Musyaffa Ad Darini Lc, MA]

MOZAIK INILAHcom

Demi Bela Quran, Umat Islam Rindukan Syahid seperti Almarhum Syahrie

Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Ustad Bachtiar Nasir (UBN) mengaku bangga Allah telah memili (alm) Syahrie Oemar Yunan yang syahid (insyaAllah) karena membela Al-Quran.

“Kemarin betul-betul suci, yang dipilih Allah untuk mendapatkan sertifikasi syahadah, adalah Pak Syahcri itu. Ngiri saya,” ungkapnya pada Malam Peringatan dan Doa untuk syuhada #Aksi411 di Masjid Al Furqon Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jl. Kramat Raya 45, Jakarta, Jum’at malam (11/11).

Ustadz Bachtiar melanjutkan dengan bertanya, “Banyak yang pengen mati (syahid) betul?”  Serempak hadirin menjawab “betul!”

Namun demikian, Ustadz Bachtiar mengingatkan, bahwa mati syahid adalah milik orang-orang yang menjaga shalat dengan berjama’ah, dan menjadikan hidup dan matinya hanya untuk Allah.

Karenanya, dia berwasiat kepada siapa saja yang menginginkan mati syahid, untuk melakukan hal tersebut dalam hidupnya.

“Tapi itu hanya akan didapati oleh orang-orang yang tegak solatnya. Tegak solat jama’ahnya, selain sabar, hidupnya: inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin,” paparnya dalam acara yang diselenggarakan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) dan Keluarga Besar Persatuan Pelajar Indonesia (KB PII).

Acara diadakan sebagai ajang berdo’a bersama atas wafatnya Asy-syahid (kama nahsabuhu, red) Syahrie Oemar Yunan dan ratusan korban luka-luka, akibat serangan aparat saat melakukan #AksiBelaQuran 411 di depan istana negara silam.*/Nizar Malisy

 

HIDAYATULLAH

Jangan Risaukan Agama Islam

BENAR, jangan merisaukan Agama Islam. Bagaimanapun usaha kaum kafirin, kaum munafikin, dan siapapun yang mengikuti jejak mereka untuk menjatuhkan dan menghinakan Islam, sungguh Islam takkan terpengaruh.

Islam akan tetap terjaga dengan baik, karena Allah telah menjamin untuk menjaganya. Allah telah berfirman (yang artinya): “Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikr (Alquran), dan Kami pula yang benar-benar akan menjaganya”. (QS. Al-Hijr: 9).

Sebagaimana Allah menjaga kemurnian Alquran, Allah juga akan menjaga kemurnian Islam, karena kandungan Alquran, tidak lain adalah Islam yang murni.

Kita lihat hari-hari ini, seringkali sosok yang ditokohkan merendahkan sebagian syariat Islam, seperti: jenggot, cadar, celana di atas mata kaki, Alquran disebut kitab paling porno, teknologi zaman ini disebut lebih hebat dari mukjizat nabi, haji sebaiknya dihentikan karena pemborosan, dan pernyataan-pernyataan lainnya.

Tentu kita sebagai muslim geram dengan itu semua, tapi tenanglah, sejukkan hati anda, dan yakinlah bahwa usaha mereka akan sia-sia, mereka semua akan hilang sebagaimana para pendahulunya, dan Islam akan tetap tegak berdiri di muka bumi ini.

Allah telah berfirman (yang artinya): “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun Allah menolak kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang orang kafir membencinya”. (QS. Attaubah: 32). Yang dimaksud “cahaya Allah” dalam ayat ini adalah petunjuk dan agama haq yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam (Tafsir Ibnu Katsir: 4/136).

Lihatlah bagaimana agungnya agama ini, agama yang dijamin Allah akan selalu hidup sempurna di muka bumi, sehingga tidak perlu kita mengkhawatirkannya lagi.

Justru yang perlu kita takutkan adalah diri kita, sudahkah kita menerapkan agama ini dalam hidup kita? Sudahkah kita peduli dengan agama kita? Sungguh Islam tidak akan rugi tanpa kita, namun kita akan rugi total tanpa Islam.

Justru mereka yang berusaha merendahkan Islam itulah yang harusnya waspada, karena tindakan mereka itu hanya merugikan dan membinasakan diri mereka sendiri, Allah taala berfirman (yang artinya): “Maka harusnya orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul itu takut akan tertimpa bencana atau terkena azab yang pedih”. (QS. Annur: 63).

Terakhir, yang harus digarisbawahi di sini, bahwa ketika kita tidak merisaukan Islam, bukan berarti kita tidak membela dan memperjuangkan Islam. Namun, harusnya kita tetap berusaha mendakwahkan Islam, karena Allah telah memerintahkan kita untuk terus berdakwah memperjuangkan Islam.

Sepantasnya kita berusaha menjadikan diri sebagai pejuang Islam, karena kalau bukan kita, pasti Allah memilih orang lain untuk mengisinya. Dan ingatlah bahwa semakin kita berjuang untuk Islam, maka semakin banyak kemuliaan yang kita dapatkan darinya, wallohu alam. [Ustaz Musyaffa Ad Darini Lc, MA]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2352080/jangan-risaukan-agama-islam#sthash.wpBZXOsz.dpuf

Aksi Damai Bela Islam Jilid III Jelang 212, Kami Rindu Romantisme Ulama dan Umara!

ULAMA dan Umara, para ahli ilmu agama dan para pemimpin. Sebagian orang berpikir ulama yang baik adalah ulama yang menyalahkan para pemimpin di mimbar-mimbar atau yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan seorang pemimpin. Artinya, pemimpin berada pada satu wilayah, ulama berada pada wilayah yang lain. Terdapat pembatas yang memisahkan keduanya.

Sekilas kita akan merasa bahwa ulama yang baik adalah ulama yang jauh dari para pemimpin. Ini mungkin benar dari satu sisi: kalau ulama tersebut takut tergoda fitnah dunia dan kekuasaan yang bisa masuk ke dalam dirinya kemudian merusak agamanya.

Pada sisi yang lebih besar dari itu, kita mendapatkan jauhnya jarak antara ulama dan umara adalah tanda-tanda yang tidak baik bagi kehidupan beragama dan dunia kita. Bahkan pemisahan tersebut bisa menjadi bagian dari pemikiran sekuler yang memisahkan antara urusan negara dan agama.

Para ulama sibuk berceramah dan memberikan pencerahan di masjid-masjid, para pemimpin mengeluarkan aturan dan mengadakan kegiatan yang melanggar syariat. Seorang pemimpin mengadakan program-program pemerintahannya, para ulama berdiri di garis terdepan menjadi penentangnya. Saya dan anda pasti sepakat bahwa ini adalah pemandangan yang tidak sedap dipandang mata.

 

Perpaduan dahsyat antara ulama dan umara

Mari kita lihat sebaliknya: bersamanya ulama dan umara. Seorang alim ulama mengadakan program dan kegiatan keagamaan, umara mendukung dan menjadi tiang penopangnya. Pada saat seorang pemimpin mengeluarkan keputusannya, ada seorang alim di sisinya yang memberikan pandangan dan masukan, agar keputusan itu tidak melanggar hukum syariat. Betapa indahnya ulama dan umara bersatu dan bersama untuk kebaikan umat! Saya yakin, kita tidak akan berbeda pendapat tentang hal ini.

Islam hadir dengan seorang pemimpin agama dan pemimpin negara pada diri satu orang, Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Begitulah Negara Islam pertama kali, kepemimpinan agama dan dunia menyatu. Masa khulafaur rasyidin-pun masih mengikuti rel yang sama. Para khalifah pemimpin kaum muslimin, mereka adalah ulama sekaligus umara pada waktu yang sama. Dari sini kita dapat memahami, bahwa kepemimpinan Islam pada dasarnya menyatukan ulama dan umara, keduanya menjadi pemimpin dan pembimbing umat kepada kebaikan.

 

Taatilah ulil amri!

Ketika Allah Taala memerintahkan untuk menaati ulil amri, kedua kelompok tersebut masuk ke dalamnya. Allah Taala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisaa : 59)

Syaikh As Sadi berkata, “Allah Taala memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri. Ulil Amri adalah orang yang memimpin, mereka terdiri dari para pemimpin dan ulama. Sesungguhnya urusan-urusan umat tidak akan menjadi baik kecuali dengan mengikuti perintah dan arahan mereka, dan itu merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah Taala selama mereka tidak memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan” (Tafsir As Sadi hal. 183)

 

Ulama dan umara dalam bingkai realita

Setelah perjalanan sejarah menjauh dari masa kenabian, kehidupan manusia semakin kompleks dan permasalahan umat semakin banyak, terjadi pemisahan dalam kepemimpinan umat. Umara (raja, gubernur, dll) bukan lagi seorang ulama, dan seorang ulama biasanya hanya menjadi seorang mufti, hakim, dan urusan-urusan yang terfokus pada permasalahan agama dan ilmu agama. Tapi kita akan mendapatkan tinta sejarah mencatat bahwa para pemimpin-pemimpin Islam yang memiliki nama-nama besar, mereka tidak terpisahkan dari Ulama, seperti Umar bin Abdul Aziz, Shalahuddin Al Ayyubi, dan Muhammad Al Fatih.

Masa sekarang, kita dapatkan masih banyak dari pemimpin negara dan kerajaan Islam, yang memiliki kedekatan dan hubungan yang sangat baik dengan para ulama. Bahkan, seperti Kerajaan Saudi Arabia, keputusan-keputusan penting Kerajaan harus disetujui oleh ulama. Lebih dari itu, pengambilan keputusan itu sendiri melibatkan para ulama, yang mereka merupakan bagian terpenting dari kepemimpinan Raja Saudi Arabia.

 

video_syiar_islam

 

Di sebagian negara yang umat Islamnya mayoritas, kita mendapatkan hal yang berbeda, ulama dan umara berada sisi yang saling berseberangan. Para pemimpin suatu negara atau pemerintah menjadi rintangan dan tantangan terbesar bagi Ulama dan gerakan Islam dalam menyebarkan dakwah. Ini adalah hal yang sangat-sangat tidak kita inginkan. Sekali lagi, saya ingin menekankan satu perkara, bahwa ulama dan umara harus saling berdekatan dan bahu-membahu membangun umat dan menyebarkan kebaikan kepada umat manusia.

 

Saling melengkapi dan menasihati

Mungkin muncul pertanyaan: Bagaimana dengan yang namanya Ulama su (ulama yang jelek-red)? atau Ulama yang mengembek di balik para jas para pejabat? Benar salah yang dilakukan si pemilik jabatan, ia menjadi pendukung. Lebih dari itu, dengan ilmu agama yang ia miliki, maka ia mencari dalil pembenaran bagi perbuatan seorang pemimpin yang salah. Saya katakan: “Itu salah besar, dan sangat disesalkan”.

Yang kita inginkan adalah kedekatan ulama di sisi umara, menjadi pendukung di saat berada di jalur yang benar, dan menjadi penasihat terbaik di saat berada di jalan yang salah. Menjadi penopang agar semakin kokoh, dan menjadi pelurus bila ada kebengkokan. Di sini ada dua sisi penting, memberi dukungan dan menasihati. Yang pertama mudah kita pahami, adapun yang kedua, maka kita perlu sedikit mendalami : Bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajari umatnya dalam menasihati pemimpin mereka?

 

Ketika Nabi Musa menasihati Firaun

Sebelumnya, mari kita perhatikan dengan baik ayat Alquran berikut ini. Allah Taala berfirman memerintahkan dua Nabi-Nya, Musa dan Harun alaihis salam (yang artinya), “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, Sesungguhnya ia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44)

Dua orang utusan Allah Taala datang kepada raja yang paling zalim, bahkan telah melewati batas dengan mengaku diri sebagai tuhan. Kita mendapatkan pelajaran yang sangat penting dari ayat ini, seburuk-buruk manusia walaupun ia serupa Firaun, maka kita harus tetap mengunakan adab dan cara yang baik dalam mendakwahi dan menasihatinya.

 

Beginilah Nabi mengajarkan cara menasihati pemimpin

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita cara dan adab dalam menasihati seorang pemimpin, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang ingin menasihati seorang Sultan (pemimpin) pada sebuah perkara, janganlah ia menasihatinya secara terang-terangan (di depan umum), akan tetapi hendaklah ia berdua dengannya. Apabila nasehitnya diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, maka ia telah melakukan kewajibannya untuk menasihati.” (HR. Ahmad, no. 15.333)

Imam Ibnu Muflih mengatakan, “Seseorang yang menasihati Sultan, tidak boleh menasihatinya kecuali dengan cara: menasihatinya, menakutinya, atau mengingatkannya akan akibat buruk dari perbuatannya di dunia dan akhirat. Itulah yang seharusnya dan tidak boleh selainnya.” (Al Adab As Syariyah, 1/175)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, “Menyebutkan keburukan para pemimpin sehingga menjadi santapan umum, atau mengangkatnya di atas mimbar-mimbar, bukan merupakan cara para ulama salaf. Karena hal itu bisa menyebabkan kekacaun dan munculnya sifat tidak taat kepada pemimpin pada perkara yang baik, dan juga membawa pada perdebatan yang tidak membawa kebaikan, bahkan membawa keburukan.

Adapun cara para salaf adalah dengan menasihati seorang pemimpin secara langsung, atau mengirim surat kepadanya, atau menghubungi ulama yang punya hubungan dengan pemimpin tersebut, agar memberikan nasihat kepadanya.” (Majmu Fatawa Bin Baz, 8/210)

Semoga ulama dan umara kita bersatu selangkah membangun umat ini, dan seiya sekata dalam menyuarakan kebenaran. Aamiin. [Ustadz Sanusin Muhammad Yusuf, MA (Dosen STDI Imam Syafii Jember)]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2342591/jelang-212-kami-rindu-romantisme-ulama-umara#sthash.4QV3O24o.dpuf