Meneladani Al Amin

SEGALA puji hanya milik Allah Swt. Semoga Allah Yang Maha Menatap, menjadikan kita orang-orang yang selalu semangat untuk memenuhi janji, menunaikan amanah dan hanya berkata dengan ucapan yang diridhoi oleh Allah Swt. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada sang Uswatun Hasanah, penyandang gelar Al Amin, Nabi Muhammad Saw.

Saudaraku, salah satu kriteria yang mutlak perlu dimiliki oleh seorang pemimpin adalah harus benar-benar memiliki kemampuan menjaga amanah. Ini penting bagi siapa saja yang saat ini sedang memikul kursi kepemimpinan dan yang sedang mendambakan punya jabatan sebagai seorang pemimpin.

Allah Swt memerintahkan Rasulullah Saw untuk menyampaikan kepada umat manusia,innii lakum rosuulun amiin, yang artinya, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah yang terpercaya bagimu. (QS. Asy Syuara [26] : 125)

Al Amin berarti orang yang amanah, terpercaya, dan bertanggung jawab. Siapapun yang menjadi pemimpin hendaklah bertanya pada diri sendiri,Apakah saya dipercaya atau tidak oleh orang yang saya pimpin? Jika seseorang merasa ragu kepada kita, maka kesediaannya untuk patuh apalagi berkorban menjadi tipis. Semakin banyak orang yang meraguan kita maka semakin tidak efektif dalam kepemimpinan kita.

Lantas, bagaimana ciri dari seorang pemimpin yang amanah itu?

Pertama, pemimpin yang amanah adalah orang yang menjadi kuburan bagi aib orang lain, bukan yang sering membeberkannya. Karena jika seorang pemimpin membeberkan rahasia dan kekurangan orang lain, akan jatuhlah kredibilitasnya.

Berhati-hatilah terhadap orang yang sering menceritakan aib orang lain karena jika ia berani menceritakan aib-aib orang lain kepada kita, apa sulitnya dia menceritakan aib kita kepada orang lain.

Kedua, pemimpin yang amanah setiap kali mengucapkan janji berusaha sekuat tenaga memenuhinya. Nabi Muhammad Saw pernah tiga hari tiga malam datang ke sebuah tempat hanya karena ada janji dan orang yang berjanji dengan beliau itu lupa. Tetapi Nabi Sawtidak marah, karena bagi beliau memenuhi janji adalah suatu keberuntungan.

Seringkali orang mudah memberi janji padahal tidak serius berniat memenuhinya. Akan tetapi, orang yang diberi janji biasanya tidak akan lupa. Pemimpin yang amanah bisa dilihat dari kehati-hatiannya berjanji. Sedikit janjinya, tetapi selalu ditepati.

Setiap amanah yang diberikan kepada kita harus benar-benar diperhitungkan terlebih dahulu apakah kita mampu mempertanggungjawabkannya atau tidak. Setiap pejabat tentu mengucapkan sumpah sebelum mengawali tugasnya. Sepatutnya ia mengukur diri dan memeriksa niat apakah akan bersungguh-sungguh memenuhinya?

Menyatakan sumpah itu sudah merupakan janji, apalagi menyebut Demi Allah. Orang yang mempunyai jabatan, pangkat, kedudukan, jika dia tidak mampu mempertanggungjawabkannya, maka semuanya itu justru menjadi jalan kehinaan bagi dirinya. Terlebih lagi masyarakat kita sekarang sudah semakin kritis.

Semakin tinggi jabatan, jika terjatuh (karena tidak amanah), maka bantingannya akan semakin meremukkan. Oleh karenanya jangan tamak dengan kekuasaan dan jabatan, tapi bersungguh-sungguhlah menunaikan tanggungjawab.

Ketiga, pemimpin yang amanah akan bertanggungjawab terhadap setiap perkara sekecil apapun. Setiap berkata benar-benar tidak ada keraguan, tidak meremehkan waktu walau sedetikpun, karena sedetik juga berharga (telat sedetik, semenit, sejam, semuanya sama saja yaitu telat), dan jika jual beli pantang mengambil hak orang lain.

Membangun kepemimpinan diawali dengan amanah terhadap hal-hal kecil terlebih dahulu. Pemimpin yang baik tidak hanya sukses di kantor, tapi juga harus sukses di rumah. Tidak sedikit para pemimpin yang mampu mengatur sistem, kantor, atau perusahaan dengan baik, tetapi tidak berhasil membangun keluarganya dengan baik.

Tidak sedikit pejabat yang terjatuh akibat istrinya tidak dibina dengan baik. Oleh karena itu didiklah keluarga, istri, dan anak-anak kita. Jika tidak, maka kita bisa jatuh oleh istri dan anak-anak kita sendiri.

Allah Swt berfirman, Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. At Taghobun [64] : 14).

Semoga kita bisa meneladani sifat amanah dari Nabi Muhammad Saw dalam setiap episode dan peran kepemimpinan kita. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [smstauhiid]

Daulah Abbasiyah: Al-Amin, Khalifah Dua Daulah

Ketika berhasil mematahkan perlawanan Kaisar Nicephorus dari Imperium Byzantium di wilayah Asia Kecil, Khalifah Harun Ar-Rasyid kembali ke wilayah Bagian Timur.

Di sana terjadi pergolakan yang dipimpin Rafi’ bin Al-Laits bin Nashar. Mereka sudah berhasil menduduki Samarkand dan kota-kota sekitarnya. Ketika memasuki kota Thus yang terletak antara kota Nishapur dan Merv, Khalifah Harun Ar-Rasyid jatuh sakit. Beberapa saat kemudian ia meninggal dunia.

Putra termuda sang Khalifah, Shalih bin Harun, segera mengambil baiat dari seluruh pasukan di tempat itu untuk saudara tertuanya, Muhammad bin Harun di Baghdad. Selanjutnya, ia mengirimkan utusan ke Baghdad untuk menyampaikan berita kemangkatan sang Khalifah dan mengirimkan Al-Khatim (stempel kebesaran) dan Al-Qadhib (tongkat kebesaran), serta Al-Burdah (jubah kebesaran) pada Muhammad bin Harun.

Begitu mendengar berita wafatnya sang ayah, Muhammad bin Harun yang menjabat gubernur Baghdad segera menuju Masjid Agung Baghdad. Berlangsunglah baiat secara umum. Muhammad bin Harun Ar-Rasyid menjabat khalifah keenam Daulah Abbasiyah pada usia 24 tahun. Dalam sejarah, ia dikenal sebagai Khalifah Al-Amin (809-813 M).

Meninggalnya Harun Ar-Rasyid, dianggap sebagai peluang emas bagi Kaisar Nicephorus untuk membatalkan kembali perjanjian damai dengan Daulah Abbasiyah. Ia segera menggerakkan pasukannya untuk menyerang perbatasan bagian utara Syria dan bagian utara Irak. Khalifah Al-Amin segera mengirimkan pasukan untuk menghalau serangan itu. Berlangsung pertempuran cukup lama yang berujung pada tewasnya sang kaisar.

Di kota Hims juga terjadi pergolakan. Karena tak mampu memadamkan pemberontakan, Khalifah Al-Amin memecat Gubernur Ishak bin Sulaiman dan menggantinya dengan Abdullah bin Said Al-Harsy. Keamanan pun pulih kembali di bawah kendali gubernur baru itu.

Pada 195 H muncul seorang tokoh berpengaruh di Damaskus. Ia adalah Ali bin Abdullah bin Khalid bin Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan. Karenanya, ia dikenal sebutan As-Sufyani. Tokoh ini menjadi lebih berpengaruh karena tak hanya merupakan keturunan Bani Umayyah, tetapi juga Bani Hasyim. Ibunya adalah putri Abdullah bin Abbas bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Berdasarkan silsilah keturunannya ini, ia sering berkata, “Saya adalah putra dua tokoh yang pernah bertentangan di Shiffin—maksudnya Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Ia menyatakan berdirinya khilafah baru di Damaskus. Namun masa pemerintahannya tidak berlangsung lama. Panglima Ibnu Baihas segera mengepung Damaskus dan menaklukkan penduduk kota itu. Sedangkan tokoh As-Sufyani melenyapkan diri entah kemana.

Di antara seluruh Khalifah Abasiyah, hanya Khalifah Al-Amin yang ayah dan ibunya keturunan Bani Hasyim (Arab). Ayahnya Harun Ar-Rasyid dan ibunya Zubaidah binti Ja’far bin Manshur masih keturunan Bani hasyim. Sedangkan Al-Makmun sendiri yang direncanakan kelak akan menjadi khalifah setelah Al-Amin, masih keturunan Iran.

Oleh sebab itu, beberapa pihak membujuk Khalifah Al-Amin untuk membatalkan hak khilafah Al-Makmun, dan menggantinya dengan putranya sendiri, Musa bin Muhammad Al-Amin. Semula Khalifah Al-Amin menolak. Tetapi karena terus didesak dan dibujuk, ia pun melakukan pembatalan itu dan mengangkat putranya sebagai calon khalifah dengan gelar An-Nathiq bil Haq.

Tentu saja tindakan ini memancing amarah Al-Makmun. Saat itu ia berada di Khurasan di tengah keluarga besarnya. Permintaan sang Khalifah yang mengundangnya kembali ke Baghdad tak ia penuhi. Bahkan ia pun dibaiat dan dinyatakan sebagai khalifah.

Mendengar kejadian tersebut, Khalifah Al-Amin segera mengirimkan pasukan ke Khurasan di bawah pimpinan Panglima Ali bin Isa bin Mahan. Al-Makmun pun segera menyiapkan pasukannya di bawah komando Thahir bin Hasan.

Kedua pasukan bertemu di kota Ray, yang saat ini dikenal dengan nama Teheran, ibukota Iran. Pertempuran pun tidak berlangsung lama. Panglima Ali bin Isa Tewas. Berita kekalahan itu sangat mengejutkan Khalifah Al-Amin. Ia pun segera mengirimkan pasukan bantuan di bawah komando Panglima Ahmad bin Mursyid dan Panglima Abdullah bin Humaid. Dalam perjalanan menuju Khurasan, terjadi perselisihan sengit antara dua panglima. Pasukan itu pun kembali ke Baghdad sebelum berhadapan dengan musuh.

Al-Makmun segera memerintahkan pasukan Thahir bin Hasan untuk terus maju ke Baghdad. Ia menambah pasukannya di bawah pimpinan Hartsamad bin Ain. Hampir satu tahun Baghdad dikepung. Karena kekurangan persediaan makanan, akhirnya pertahanan Baghdad pun runtuh.

Khalifah Al-Amin bertahan di Qashrul Manshur yang terletak di pusat kota. Setelah berlangsung penyerbuan cukup lama, istana yang dibangun oleh Al-Manshur itu pun bisa ditaklukkan. Khalifah Al-Amin tewas di tangan pasukan saudaranya sendiri. Ia meninggal pada usia 28 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama empat tahun delapan bulan.

Sumber : Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni/Republika Online