Mengenal Nama Allah “Al-Hakiim”

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, sungguh ilmu tentang Allah ‘Azza wa Jalla adalah ilmu yang paling mulia. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah melainkan hanyalah melaui nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Penyebutan “Al-Hakiim” dalam Alquran

Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah Ta’ala mengenalkan salah satu nama-Nya dalam firman-Nya,

وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

“Dan dia adalah “Al-‘Aliim” (Maha mengetahui) dan “Al-Hakiim” (Maha Bijaksana).” (QS. At-Tahriim [66]: 2)

Allah Ta’ala berfirman,

قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

“Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 32)

Dan juga ayat-ayat lainnya yang sangat banyak menyebutkan nama Allah Ta’ala “Al-Hakiim”.

Dua makna “Al-Hakiim”

Penjelasan Makna “Al-Hakiim”

Para ulama menjelaskan bahwa “Al-Hakiim” memiliki dua makna,

  • “Al-Hakiim” dengan makna “Al-Haakim”  (الحاكم)

Yaitu, Allah Ta’ala adalah Dzat yang berhak untuk membuat hukum. Hukum Allah Ta’ala itu ada dua, yaitu hukum syar’i dan hukum kauni.

Hukum syar’i adalah syariat agama yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta terkandung dalam Al-Qur’an dan As-SunnahAllah Ta’ala berfirman berkaitan dengan hukum syar’i sebagai penutup ayat yang menceritakan tentang hukum terkait pernikahan dan mahar,

ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 10)

Adapun hukum kauni adalah apa yang Allah Ta’ala tetapkan kepada hamba-Nya, baik berupa penciptaan, rizki, hidup, mati, dan semacamnya. Allah Ta’ala berfirman tentang salah satu saudara Yusuf,

فَلَمَّا اسْتَيْأَسُوا مِنْهُ خَلَصُوا نَجِيًّا قَالَ كَبِيرُهُمْ أَلَمْ تَعْلَمُوا أَنَّ أَبَاكُمْ قَدْ أَخَذَ عَلَيْكُمْ مَوْثِقًا مِنَ اللَّهِ وَمِنْ قَبْلُ مَا فَرَّطْتُمْ فِي يُوسُفَ فَلَنْ أَبْرَحَ الْأَرْضَ حَتَّى يَأْذَنَ لِي أَبِي أَوْ يَحْكُمَ اللَّهُ لِي وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ

“Maka ketika mereka berputus asa dari (putusan) Yusuf, mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. Yang tertua di antara mereka berkata, “Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu, aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan dia adalah hakim yang sebaik-baiknya.” (QS. Yusuf [12]: 80)

  • Al-Hakiim” dengan makna “Al-Muhkim”  (المحكم)

Yaitu, Allah Ta’ala memiliki sifat hikmah. Makna asal hikmah adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Syariat atau hukum yang Allah Ta’ala tetapkan itu memiliki hikmah. Akan tetapi, ada di antara hikmah tersebut yang kita ketahui dan ada yang tidak kita ketahui. Hal ini karena Allah Ta’ala hanya memberikan kita sedikit ilmu saja, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra’ [17]: 85)

Hukum Allah Ta’ala, baik hukum kauni atau hukum syar’i, semuanya memiliki hikmah. Allah Ta’ala mengatakan,

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

“Bukankah Allah adalah hakim yang seadil-adilnya?” (QS. At-Tiin [95]: 8)

Dua Macam Hikmah Allah Ta’ala

Terdapat dua macam hikmah Allah Ta’ala,

Hikmah pertama

Hikmah berupa tatacara ibadah sebagaimana yang Allah Ta’ala syariatkan. Misalnya, tatacara ibadah shalat, sejak mulai dari takbiratul ihram sampai salam. Juga shalat tersebut dimulai dengan bersuci dari hadats, baik hadats besar ataupun hadats kecil. Gerakan shalat juga sudah ditentukan, baik berdiri, ruku’, sujud, atau duduk. 

Demikian pula dalam ibadah zakat. Yaitu ibadah kepada Allah Ta’ala dengan memberikan kelebihan harta yang kita miliki kepada orang-orang yang membutuhkan harta tersebut dan telah ditentukan oleh syariat. 

Hikmah ke dua

Hikmah berupa maksud atau tujuan dari suatu hukum. Hal ini karena semua hukum Allah Ta’ala, baik baik hukum kauni atau hukum syar’i, semuanya memiliki tujuan dan maksud yang baik serta buah (pahala) yang besar. 

Kita lihat misalnya hikmah Allah Ta’ala dari hukum kauni, berupa musibah yang Allah Ta’ala tetapkan untuk hamba-Nya. Musibah tersebut adalah untuk hikmah yang mulia, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum [30]: 41)

Ayat tersebut merupakan bantahan bagi orang-orang yang menganggap bahwa ketetapan Allah itu hanya semata-mata karena kehendak (masyi’ah) saja. 

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 122-123 (cetakan ke empat tahun 1427, penerbit Daar Ibnul Jauzi KSA) dengan tambahan contoh dari penulis.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54573-mengenal-nama-allah-al-hakiim.html