20 Mutiara Keindahan Bahasa dalam Al-Fatihah (Bag. 3)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

  1. Perintah, namun maksudnya adalah doa

Pada ayat {ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم} terdapat perintah : “Tunjukilah kami jalan yang lurus”, dan “Tunjukilah” disini adalah kata perintah, namun maksudnya bukan untuk memerintah, tapi untuk memohon atau berdoa, yaitu “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu petunjuk jalan yang lurus”.

  1. Rahasia kata kerja berobjek tanpa ditambahi dengan huruf jar

Pada ayat {ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم}, terdapat kata kerja perintah yang memiliki dua obyek : “kami” dan “Ash-Shiroth Al-Mustaqim”, dan antara kata kerja perintah { ٱهۡدِ } dan obyek { ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم}tidak diiringi dengan huruf jar sebagaimana pada ayat lainnya.

Rahasianya adalah firman Allah Ta’ala (ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) ini mengandung makna yang menyeluruh, yaitu mengandung :

1) اِهْدِنَا إلى الصِّرَاط الْمُسْتَقِيْم , yaitu teguhkanlah kami di atas agama Islam (jalan lurus).

2) اِهْدِنَا في الصِّرَاط الْمُسْتَقِيْم , yaitu tunjukilah kami perincian agama Islam baik ilmu Syar’i maupun pengamalannya.[1]

Disamping juga mengandung makna permohonan ilmu Syar’i dan amal shaleh sehingga maksud keseluruhan ayat ini adalah

Teguhkanlah kami di atas agama Islam, di atas jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman, serta berilah kami tambahan petunjuk ilmu perincian ajaran Islam dan perincian pengamalannya, serta anugerahkanlah ilmu Syar’i dan pengamalannya.

  1. Memohon sesuatu yang maksudnya BUKANLAH agar didapatkannya sesuatu tersebut

Dalam ayat ke-6, terdapat permohonan kepada Allah terhadap sesuatu yang maksudnya bukanlah agar didapatkannya sesuatu tersebut, namun seorang hamba yang telah mendapatkan sesuatu tersebut bertujuan agar sesuatu yang didapatkan itu langgeng dan bertambah sehingga sempurna.

Allah Ta’ala berfirman :

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

Maksudnya bukanlah agar diberi petunjuk masuk kedalam agama Islam (Ash-Shiraath Al-Mustaqiim), namun maksudnya adalah teguhkanlah kami di atas agama Islam di atas jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga langgeng sampai meninggal dunia dan jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman, serta berilah kami tambahan petunjuk ilmu perincian ajaran Islam dan perincian pengamalannya.

  1. Adanya kalimat penjelasan setelah kalimat sebelumnya yang belum dijelaskan (At-Tashrih ba’dal ibham) dan kalimat perincian setelah kalimat global (At- Tafshiil ba’dal ijmaal)

Hal ini didapatkan pada ayat ke-6 {ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم} yang bemakna : Tunjukilah kami jalan yang lurus.

Pada ayat ini belum dijelaskan apa itu “Jalan Lurus”, lalu pada ayat selanjutnya (ke-7) barulah dijelaskan :

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Oleh karena itulah, ulama Bahasa Arab ada yang menyatakan kata Shiraath yang terdapat dalam { صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ } bisa dipahami sebagai ‘athaf bayaan (penggabungan berfungsi penjelasan) [2], sehingga faedahnya adalah sebagai penjelasan pada ayat sebelumnya.

Dengan demikian, disamping faedah penjelasan setelah kalimat sebelumnya yang tidak dijelaskan (At-Tashrih ba’dal ibham), juga terdapat faedah perincian setelah kalimat global (At- Tafshiil ba’dal ijmaal), karena dalam ayat terakhir dirinci apa itu Ash-Shiraath Al-Mustaqiim (jalan lurus).

Hikmah penjelasan & perincian setelah disebutkan kalimat global

-Seorang yang membaca ayat ke-6 yang masih global akan menunggu-nunggu dan penasaran terhadap penjelasan & perinciannya pada ayat ke-7, sehingga ketika ia membaca ayat ke-7 akan siap jiwa dan pikirannya dalam merenungi kandungannya dan demikian besar perhatiannya terhadap ayat tersebut.

-Dan hal ini semua sangat membantu pemahaman pembacanya, karena disamping ayat ke-7 mengandung keterangan yang jelas dengan rinci, juga hati, pikiran, jiwa dan perhatiannya telah siap merenunginya.

  1. Rahasia badal yang ada pada { صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ}

Ulama Bahasa Arab menyatakan kata Shiraath yang terdapat dalam { صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ } disamping bisa dipahami sebagai ‘athaf bayaan (penggabungan berfungsi penjelasan), bisa juga dibawakan sebagai badal (pengganti).

Dibawakan sebagai badal (pengganti), dengan maksud menegaskan makna, karena mengandung makna pengulangan

{ ٱهۡدِنَا }, seolah-olah kalimatnya adalah

اهدِنا الصِّراط المستقيم، اهدِنا صراطَ الذين أنعمۡت علیهم

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Tunjukilah kami jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat”.

Sehingga menegaskan benar-benar bahwa Ash-Shiraath Al-Mustaqiim (jalan lurus) adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmat, yaitu jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum[3], maka ikutilah mereka, dan janganlah menjadi orang yang menyelisihi jalan mereka.[4]

  1. Rahasia Al-Hadzfu : Tidak disebutkannya kata (صِرَ ٰ⁠طَ) pada { غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّین }

Pada asalnya kalimat pada ayat terakhir ini disebutkan kata (صِرَ ٰ⁠طَ) dua kali, yaitu :

غير صراط المغضوب عليهم، وغير صراط الضالين

Hal ini mengandung keindahan bahasa, karena menjadi singkat namun padat makna dan mudah dipahami dengan gaya bahasa yang mengandung keterikatan makna yang selaras.

  1. Rahasia perpindahan seruan (al-iltifaat) pada { غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ}

Allah Ta’ala berfirman :

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai.

Pada ayat { صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ} itu dinyatakan dengan jelas pemberi nikmat adalah Allah Ta’ala, karena kata ganti { أَنۡعَمۡتَ } adalah “Engkau”, namun pada kelanjutan dari ayat tersebut, yaitu : { غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ}, tidak disebutkan siapa yang murka, hanya disebutkan keterangan “bukan jalan orang-orang yang dimurkai”.

Rahasia semuanya adalah dihindarkan penyandaran murka kepada Allah itu sebagai bentuk adab dan kesantunan yang tinggi kepada Allah, Tuhan Yang Menciptakan dan Mengatur seluruh makhluk.

  1. Rahasia perpindahan seruan (al-iltifaat) pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Pada ayat ke-1 sampai ke-4, disebutkan pihak ketiga (dhamiir ghaibah), yaitu pihak yang dibicarakan atau diberitakan,

Allah Ta’ala berfirman :

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ (1) ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ (2) ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ (3) مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ (4)

  1. Dengan menyebut hanya seluruh nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
  2. Segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah, Tuhan Pemelihara seluruh alam,
  3. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
  4. Pemilik Hari Pembalasan.

Pada ayat-ayat ini, dikhabarkan tentang Allah Ta’ala dengan bentuk dhamiir ghaibah (pihak ketiga, pihak yang sedang dikhabarkan)

Sedangkan pada ayat ke-5, seruan (khithaab) ditujukan kepada pihak kedua (mukhaathab), yaitu pihak yang diajak bicara, yaitu Allah Ta’ala, yang diungkapkan dengan {كَ} artinya : “Engkau” :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ  (5)

Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.

Padahal bisa saja pada seruan (khithaab) ayat ke-5 ditujukan kepada pihak ketiga  “Dia” :

إِيّاه نعبد وإِيّاه نستعينُ

“Hanya kepada Dia-lah kami menyembah dan hanya kepada Dia-lah kami mohon pertolongan”.

Namun Allah Ta’ala tidak berfirman begitu, tetapi beralih dari pihak yang sedang dibicarakan “Dia” (pada ayat ke-1 sampai ke-4) kepada pihak yang diajak bicara “Engkau” (pada ayat ke-5).

Ini adalah sebuah keindahan bahasa yang mengagumkan, karena lebih mengena di hati seorang hamba yang membacanya, lebih merasa dekat dengan Allah Ta’ala, karena setelah seseorang memuji Allah Ta’ala pada ayat pertama sampai keempat dengan dhamiir ghaibah, lalu seolah-olah hamba tersebut hadir dihadapan Allah dan ia menyatakan kepada Allah : Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.

  1. Kesamaan akhir kata dalam hal timbangan kata (wazan) dan huruf sya’ir (rowiy)

Misalnya :

}بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ……ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ…..ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ{

Lihatlah pada ayat-ayat di atas, ada kesamaan pada akhir kata pada setiap ayat, demikian pula pada kumpulan ayat-ayat di bawah ini :

} ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ….مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ….إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ….صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ{

Tentulah orang yang memahami ilmu Balaghah, khsususnya tentang seluk beluk sya’ir dalam Bahasa Arab akan sadar bahwa Al-Fatihah ini bukan sya’ir buatan manusia, Al-Fatihah adalah wahyu Allah, firman-Nya yang tidak ada sedikitpun aib dan kekurangsempurnaan padanya. Bahkan ia akan bisa merasakan keindahan yang mengagumkan dan sempurna pada surat yang paling agung dalam Al-Qur’an Al-Karim, Al-Fatihah !!

Wallahu a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

Referensi Pokok

  1. Rawa’iul Bayan, Muhammad Ash-Shabuni rahimahullah.
  2. https://dorar.net/tafseer/1/1bvg
  3. Tafsir Abu Hayan rahimahumallah.
  4. I’rabul Qur’an, Ad-Darwisy rahimahumullah
  5. Dalilul hairan ‘ala maurizh zham’an, Ibrahim At-Tunisi rahimahullah
  6. Syarah Tsalatsatul Ushul, Al-‘Utsaimin rahimahumullah,
  7. Al-Bayan fi Gharib I’rabil Qur’an, Al-Anbari rahimahullah
  8. Ad-Durrul Mashuun, Al-Halabi rahimahumullah
  9. Fathul Majid, Abdur Rahman Alusy Syaikh rahimahullah.
  10. At-Tamhid, Shaleh Alusy Syaikh rahimahullah.
  11. Tafsir Ibnu ‘Asyur rahimahumallah.
  12. Tafsir As-Sa’di rahimahullah
  13. Tafsir Abu Su’ud rahimahullah

[1]  Lihat Tafsir As-Sa’di rahimahullah dan Tafsir Al-Utsaimin rahimahullah di https://tafsir.app/ibn-uthaymeen/1/6 dan Ibnul Anbari rahimahullah di https://tafsir.app/zad-almaseer/1/6

[2] . Tafsir Abu Su’ud & Tafsir Ibnu ‘Asyur rahimahullah

[3] . Tafsir Ahli Tafsir dari kalangan Tabi’ut Tabi’in, Abdur Rahman bin Zaid rahimahullah

[4]  https://bit.ly/3uTKI6d

Sumber: https://muslim.or.id/73269-20-mutiara-keindahan-bahasa-dalam-al-fatihah-bag-3.html

Benarkah Alfatihah Bukan Surah Pertama yang Diturunkan?

Surah Alfatihah disebut sebagai pembuka bukan berarti bahwa surah tersebut turun pertama kali dalam Alquran. Banyak sekali hadis yang menyebutkan bahwa lima ayat dari surah Al ‘Alaq atau Iqra merupakan wahyu yang pertama diturunkan saat Rasulullah berada di Gua Hira. Karena itu, tidak wajar jika ada riwayat lain yang menggugurkannya.

Pakar tafsir Alquran M Quraish Shihab dalam Tafsir Al Mishbah menjelaskan, Surah Alfatihah turun di Makkah sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Ini dibuktikan karena nama as-Sab ‘al-Matsani sudah disinggung dalam Surah Al Hijir (15) ayat 87: “Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepadamu as-Sab al Matsani dan Alquran al Karim.”

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa as-Sab al Matsani merupakan satu dari tiga nama Alfatihah yang pernah dijelaskan Rasulullah SAW.

Sementara itu, Al Hijr juga disepakati oleh mayoritas ulama turun ketika Rasulullah SAW masih bermukim di Makkah. Ini diperkuat karena shalat telah diwajibkan di Makkah sedangkan Rasulullah bersabda bahwa shalat tidak sah tanpa membaca surah Alfatihah.

Tak hanya itu, Quraish Shihab menjelaskan ada indikator di dalam Alfatihah bahwa surah tersebut bukan merupakan wahyu pertama. Hal ini tampak pada ayat kelima: Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Artinya hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.

Kata kami (bentuk jamak) memberi isyarat bahwa ayat ini baru turun setelah adanya komunitas Muslim yang menyembah Allah secara berjamaah. Ini tentu tidak terjadi pada awal masa kenabian.

Di samping itu, kandungan surah ini berbeda dengan kandungan surah-surah pertama yang umumnya berisi tentang pengenalan terhadap Allah dan pendidikan untuk Nabi Muhammad saw. Sebagai contoh dalam Iqra, Al Muzammil dan Al Mudatsir.

 

Salah seorang ulama, Syekh Muhammad Abduh berpendapat bahwa Alfatihah merupakan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW, bahkan sebelum turunnya Iqra. Muhammad Abduh berpijak dari sebuah riwayat yang nilainya tidak shahih dari al-Baihaqi dan argumen logika.

Ada kebiasaan Allah menyangkut penciptaanmaupun penetapan hukum, yaitu memulainya secara umum dan global. Kemudian disusul dengan rincian secara bertahap.

Abduh berpendapat, surah Alfatihah sebagai wahyu pertama merupakan penerapan sunah tersebut. Alquran turun menguraikan persoalan tauhid, janji dan ancaman, ibadah yang menghidupkan tauhid, penjelasan tentang jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan cara mencapainya, kemudian pemberitaan atau kisah generasi terdahulu.

Kata Quraish, kelima pokok tersebut ada di dalam tujuh ayat surah Alfatihah. Quraish berpendapat, alasan Abduh tidak diterima mayoritas ulama. Uraian Abduh yang berdasarkan logika dapat diterima, tetapi bukan dalam konteks membuktikan turunnya Alfatihah mendahului Iqra.

 

 

sumber: Republika Online