Mengapa Allah Memiliki Sifat Mustahil?

Selain memiliki sifat-sifat yang wajib, Allah juga memiliki sifat-sifat yang mustahil. Artinya, sifat-sifat mustahil itu tidak mungkin melekat pada Allah. Menurut ulama mutakallimin, sifat-sifat mustahil bagi Allah yang wajib diketahui oleh setiap orang mukallaf berjumlah dua puluh sifat, mulai dari sifat ‘adam (tidak ada), dan seterusnya. Lantas mengapa Allah memiliki sifat mustahil ini?

Menurut ulama mutakallimin, mengetahui sifat-sifat yang mustahil bagi Allah adalah wajib bagi setiap muslim yang sudah mukallaf. Jumlahnya sama dengan jumlah sifat-sifat yang wajib bagi Allah, yaitu dua puluh sifat. Ini karena sifat-sifat yang mustahil ini merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang wajib bagi Allah.

Karena itu, jika Allah wajib memiliki sifat wujud atau ada, maka mustahil bagi Allah memiliki sifat ‘adam atau tiada. Jika Allah wajib bersifat qidam atau ada tanpa permulaan, maka mustahil bagi-Nya bersifat hudust atau ada dengan didahului permulaan. Begitu dengan sifat-sifat yang lain. Jika suatu sifat wajib bagi Allah, maka kebalikan dari sifat itu mustahil melekat pada-Nya.

Semua sifat-sifat yang mustahil bagi Allah bertujuan untuk menafikan kekurangan atau ketidaksempurnaan bagi Allah. Semua sifat kekurangan, mulai sifat ‘adam, hudust, fana’ dan seterusnya, adalah mustahil dimiliki oleh Allah. Ini karena Allah Maha Sempurna dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan, dan suci dari sifat-sifat kekurangan.

Sehingga jika ada pertanyaan, mengapa Allah memiliki sifat mustahil? Jawabannya adalah untuk menafikan kekuarang dan ketidaksempurnaan bagi Allah. Allah Maha Sempurna, sehingga sifat-sifat yang mengurangi kesempurnaan-Nya adalah mustahil bagi-Nya.

Di antara dalil bahwa Allah mustahil memiliki sifat kekurangan adalah firman-Nya dalam surah Al-Fathir ayat 44 berikut;

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا

Tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.

Juga surah Al-Shaffat ayat 180-182 berikut;

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Maha Suci Tuhanmu, Tuhan yang memiliki kemuliaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.

BINCANG SYARIAH

Mengapa Allah Memiliki Sifat Wajib?

Di antara sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah adalah sifat-sifat yang wajib bagi-Nya. Dalam kitab-kitab tauhid, sifat-sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui oleh setiap orang mukallaf berjumlah dua puluh sifat, mulai dari waujud, qudrah, iradah, dan seterusnya. Mengapa Allah memiliki sifat wajib, seperti wujud dan lainnya?

Bagi setiap muslim yang sudah mukallaf wajib mengetahui sifat-sifat yang wajib bagi Allah. Pada dasarnya, sifat-sifat yang wajib bagi Allah sangat banyak, tidak terbatas hanya dua puluh sifat saja. Para ulama mutakallimin membatasi sifat-sifat wajib hanya berjumlah dua puluh bukan untuk membatasi sifat-sifat yang wajib bagi Allah, melainkan hanya untuk membatasi sifat-sifat yang wajib diketahui oleh setiap orang mukallaf mengenai sifat-sifat yang wajib bagi Allah tersebut.

Sifat-sifat yang wajib bagi Allah sebagian ditetapkan oleh Allah sendiri dalam Al-Quran dan Rasul-Nya dalam hadis-hadisnya, dan sebagian lagi ditetapkan berdasarkan akal. Sifat-sifat wajib bagi Allah yang ditetapkan oleh Allah sendiri dalam Al-Quran sangat banyak dan sangat mudah kita jumpai. Misalnya, dalam Al-Quran Allah menetapkan bahwa diri-Nya sebagai Al-Qadir, Al-Qayyum, Al-Bashir, dan lain sebagainya.

Sementara sifat wajib bagi Allah yang ditetapkan berdasarkan akal misalnya seperti sifat wujud atau ada. Dalam Al-Quran, tidak ditemukan ayat-ayat yang menyebutkan bahwa Allah memiliki sifat wujud. Namun berdasarkan akal, sifat wujud atau ada wajib dimiliki oleh Allah. Karena tanpa sifat wujud, semua sifat-sifat lain yang ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran tak mungkin ada. Karena keberadaan sifat-sifat tersebut mengharuskan wujud atau adanya Allah.

Semua sifat-sifat yang wajib bagi Allah, baik yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maupun yang ditetapkan berdasarkan akal, semuanya bertujuan untuk melekatkan kesempurnaan bagi Allah. Semua sifat kesempurnaan, mulai wujud, qidam, baqa’ dan seterusnya, adalah wajib dimiliki oleh Allah. Sebaliknya, semua sifat kekurangan adalah mustahil dimiliki oleh Allah.

Sehingga jika ada pertanyaan, mengapa Allah memiliki sifat wajib? Jawabannya adalah untuk melekatkan kesempurnaan bagi Allah, dan juga karena Allah Maha Sempurna sehingga sifat-sifat kesempurnaan wajib bagi-Nya. Di antara dalil bahwa Allah Maha Sempurna dan sifat-sifat kesempurnaan wajib bagi-Nya adalah firman-Nya dalam surah Al-A’raf ayat 180 berikut;

وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah nama-nama yang baik, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu.

Dalam ayat ini, Allah menetapkan bahwa diri-Nya memiliki nama-nama yang baik. Nama-nama yang baik tidak mungkin melekat pada Allah kecuali Dia memiliki sifat-sifat yang baik dan sempurna, dan sifat-sifat kesempurnaan tidak mungkin melekat pada Allah kecuali Dia sendiri Maha Sempurna.

BINCANG SYARIAH

Andaikan Kaum Kristen Tak Pakai Kata “Allah”

BAGAIMANA jika kaum Kristen di Indonesia tidak lagi menggunakan kata ‘Allah’ dalam Bibel dan ritual mereka, seperti diserukan sejumlah kelompok Kristen di Indonesia? Jawabnya: tidak apa-apa. Sebab, kaum Kristen Barat, yang menjadi sumber agama Kristen di Indonesia, juga tidak menggunakan kata ‘Allah’. Lagi pula, kata ‘Allah’ juga tidak dikenal dalam teks asal kitab kaum Kristen, yang berbahasa Ibrani dan Yunani kuno.

Juga, hingga kini, kaum Kristen pun terus berdebat tentang siapa nama Tuhan mereka yang sebenarnya. Sebelumnya telah dipahami, bagaimana perdebatan seputar nama “YHWH”; apakah itu nama atau sebutan Tuhan. Sebagian Kristen mengklaim, YHWH adalah nama Tuhan, tetapi tidak diketahui dengan pasti bagaimana menyebutnya, sehingga lebih aman dibaca ‘Adonai’. Dalam Bibel bahasa Indonesia, YHWH diterjemahkan dengan ‘TUHAN’, dalam sebagian Bibel edidi bahasa Inggris diterjemahkan menjadi ‘the LORD’. Dalam bahasa Arab, YHWH dialihbahasakan menjadi ‘al-Rabb’. Pandangan jenis ini dianut oleh Kristen mainstream yang diwakili oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).

Tetapi, ada sebagian Kristen yang secara tegas menyatakan, YHWH adalah nama Tuhan yang bisa dibaca dengan ‘Jehovah’ atau ‘Yahweh’. Di Indonesia, pandangan jenis ini diwakili oleh sejumlah kelompok yang menolak penggunaan kata Allah, seperti Beit Yeshua Hamasiakh. Dalam bahasa Inggris ada juga Bibel yang secara tegas menyebutkan ‘YHWH’ dengan ‘Yahweh’, seperti The New Jerusalem Bible menulis Keluaran 3:15: “God further said to Moses, “You are to tell the Israelites, “Yahweh the God of your ancestors, the God of Abraham, the God of Isaac and the God of Jacob, has sent me to you.”

Membaca ayat tersebut, dipahami, bahwa Yahweh memang nama Tuhan Israel. Yahweh adalah nama diri, yakni ungkapan “Yahweh the God of your ancestors…”. Dalam Bibel versi LAI, ayat Bibel ini ditulis: “TUHAN, Allah nenek moyangmu…”. Maknanya, “TUHAN” adalah Allah-nya nenek moyang bangsa Israel. Padahal, “TUHAN” disitu bukan nama diri, tapi sebutan untuk menyebut ‘Tuhan itu’ (the LORD).

Akan tetapi, kita akan menemukan kejanggalan, jika membaca sejumlah ayat Bibel lain yang menyandingkan kata Yahweh dan God (dalam edisi Inggris), juga kata TUHAN dan Allah dalam Bibel versi Indonesia. Misalnya, The New Jerusalem Bible menulis ayat Kejadian 2:8 sebagai berikut: “Yahweh God planted a garden in Eden…” Dalam versi LAI, ayat itu ditulis: “Selanjutnya TUHAN Allah membuat taman di Eden…”
Jadi, pada Keluaran 3:15 tertulis “Yahweh the God….” atau dalam edisi Indonesia: “TUHAN, Allah nenek moyangmu…” (ada tanda koma setelah TUHAN). Lebih jelas lagi, bisa disimak teks Ulangan 6:4 yang berbunyi: “Dengarlah hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa.” (Bandingkan dengan teks Keluaran 6:4 versi Kitab Suci: Indonesian Literal Translation: “Dengarkanlah hai Israel, YAHWEH Elohim kita, YAHWEH itu Esa.”)

Sementara itu, dalam Kejadian 2:8 dan banyak ayat Bibel lainnya, tertulis “Yahweh God…” dan “TUHAN Allah” tanpa tanda koma lagi. Bentuk “TUHAN Allah” menyiratkan, bahwa “TUHAN” – yang merupakan terjemah dari tetragram “YHWH” bukan lagi nama Tuhan. Jurtru, ‘Allah’ di situ, seolah-olah merupakan nama Tuhan.

Yahweh bukan kata Benda

Persoalan penggunaan nama Yahweh sebagai nama Tuhan dalam Kristen ternyata juga dipersoalkan kalangan Kristen sendiri. Ada kalangan Kristen yang berpendapat bahwa “YHWH” sebenarnya bukan nama Tuhan. Ensiklopedi Perjanjian Baru, misalnya, menulis tentang Yahweh sebagai berikut:

“Inilah nama Ibrani yang berasal dari kata hâwah: “datang, menjadi, ada”, menurut etimologi popular yang terdapat dalam kisah pewahyuan. Nama yang diberikan Allah kepada diri-Nya pada waktu penampakan yang dikenal dengan nama “di semak bernyala” (Kel. 3:14). Diperdebatkan, apakah makna kata itu aktif (“dia yang ada” – sebagaimana diterjemahkan oleh Septuaginta) atau kausatif (“dia yang membuat ada”). Bagaimana pun juga, ini bukan kata ganti nama, bukan kata benda, melainkan kata kerja aksi yang menggambarkan aktivitas Allah sendiri. Istilah ini tidak mengungkapkan identitas Allah melainkan menunjukkan Allah dalam aktivitas-Nya yang setia dan selalu ada bagi umat-Nya. Menurut para ahli bahasa, kata ini berhubungan dengan bentuk Yau yang di Babel menunjukkanAllah yang disembah manusia yang bernama demikian; begitulah ibu Musa bernama Yô-kèbèd: “kemuliaan-Yô”.(Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 591-592).

Perlu digarisbawahi, menurut penulis Ensiklopedi Perjanjian Baru tersebut, YHWH “bukan kata ganti nama, bukan kata benda, melainkan kata kerja aksi yang menggambarkan aktivitas Allah sendiri.” Pandangan bahwa YHWH bukan kata benda, dijelaskan oleh The New Jerusalem Bible: “Clearly, however, it is part of the Hebr. verb ‘to be’ in an archaic form. Some see it as a causative form of the verb: ‘ he causes to be’, ‘he brings into existence’. But it is much more probably a form of the present indicative, meaning ‘he is’.” (The New Jerusalem Bible, foot note Keluaran 3:14, hal. 85).

Shabir Ally dalam bukunya, “Yahweh, Jehovah or Allah, Which is God’s Real Name?” memberikan komentar terhadap penjelasan The New Jerusalem Bible tersebut: “If Yahweh means ‘he is’, how can that be the name of God? When, for example, a Muslim says, “I believe in Allah as He is, “clearly in that statement God’s name is not ‘he is’. God’s name in that statement is ‘Allah’. Notice that if you say that God’s name is Yahweh, you are in effect saying that God’s name is he is. That does not make any sense, Does it?” (hal. 20).

Lebih jauh, kata YHWH muncul dalam statemen Tuhan kepada Musa dalam Keluaran 3:14; saat Musa bertanya tentang nama-Nya, lalu Tuhan menjawab yang dalam bahasa Ibrani ditulis: “ehyeh esher ehyeh.” (I am what I am). Jawaban ini mengindikasikan seolah-olah Tuhan enggan memberikan nama-Nya kepada Musa. Untuk itulah, dimasukkan kata Yahweh yang maknanya “he is”. Karena itulah, simpulnya, “the name of Yahweh is derived through human effort, not expressly revealed by God.”

Pada sisi lain, adalah menarik mencermati penjelasan tentang Yahweh dalam berbagai versi teks Bibel.

Pertama, versi King James Version, Keluaran 6:2-3: “And God spoke unto Moses, and said unto him, I am the LORD. And I appeared unto Abraham, unto Isaac, and unto Jacob, by the name of God Almighty, but by my name JE-HO-VAH was I not known to them.”

Kedua, versi The New Jerusalem Bible, Keluaran 6:2-3: “God spoke to Moses and said to him, ‘I am Yahweh’. To Abraham, to Isaac and Jacob I appeared as El Shaddai, but I did not make my name Yahweh known to them.”

Ketiga, versi Kitab Suci Indonesian Literal Translation, Keluaran 6:2-3: “Dan berfirmanlah Elohim kepada Musa, “Akulah YAHWEH. Dan Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, kepada Ishak dan kepada Yakub, sebagai El-Shadday, dan nama-Ku YAHWEH; bukankah Aku sudah dikenal oleh mereka?”

Keempat, versi Lembaga Alkitab Indonesia (2007), Keluaran 6:1-2: “Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: “Akulah TUHAN, Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Maha Kuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN Aku belum menyatakan diri.”

Kelima, versi Lembaga Alkitab Indonesia (1968), Keluaran 6:1-2: “Arakian, maka berfirmanlah Allah kepada Musa, firmannja: Akulah Tuhan! Maka Aku telah menyatakan diriku kepada Ibrahim, Ishak dan Jakub seperti Allah jang Mahakuasa, tetapi tiada diketahuinja akan Daku dengan namaku Tuhan.”

****

Bisa dicermati, terjemah Keluaran 6:2-3 versi Indonesian Literal Translation yang menyebutkan “bukankah Aku sudah dikenal oleh mereka?” seperti menyimpang jauh dari teks-teks lain. Teks Kitab Keluaran ini menjelaskan bahwa nama ‘Yahweh/Jehovah/TUHAN/Tuhan’ belum diketahui oleh Ibrahim,Isak dan Yakub. Sementara itu, Kitab Kejadian 26:25, sudah menyebutkan, bahwa Ishak sudah kenal nama Yahweh. The New Jerusalem Bible menulis: “There he built an altar and invoked the name of Yahweh.” King James Version menyamarkan nama Yahweh: “And he builded an altar there, and called upon the name of the LORD.” Bibel versi LAI menulis ayat ini: “Sesudah itu Ishak mendirikan Mezbah di situ dan memanggil nama TUHAN.” Sedangkan Kitab Suci Indonesian Literal Translation menulisnya: “Dan dia mendirikan mezbah di sana, dan memanggil Nama YAHWEH.”

Jadi, menurut Kejadian 26:25 tersebut, Ishak sudah mengenal dan menyebut nama Yahweh. Sementara dalam Keluaran 6:1-2 dijelaskan, bahwa nama Yahweh belum dikenal oleh Abraham, Ishak, dan Yakub. Bibel versi Lembaga Alkitab Indonesia (2007), menulis: “… Akulah TUHAN, Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Maha Kuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN Aku belum menyatakan diri.”

Adalah juga menarik memperhatikan terjemahan teks Keluaran 6:1-2 versi Lembaga Alkitab Indonesia edisi tahun 1968, yang ternyata menerjemahkan tetragram ‘YHWH’ dengan ‘Tuhan’, bukan ‘TUHAN’. Ini menunjukkan adanya diskusi dan perkembangan soal nama Tuhan yang terus berubah dalam tradisi Kristen. Cara penerjemahan LAI terhadap YHWH itulah yang menuai kritik dari kelompok pendukung nama Yahweh, karena menimbulkan kerancuan makna.

Misalnya, terjemahan LAI untuk Matius 4:4 adalah: “Tetapi Yesus menjawab: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” Dalam kasus ini, YHWH diterjemahkan menjadi Allah, bukan TUHAN. Menurut Rev. Yakub Sulistyo, penggunaan kata ‘Allah’ oleh LAI adalah bentuk penyalahgunaan kata Allah dan bisa menimbulkan konflik dengan orang Muslim. Yakob Sulistyo menulis:

“Dengan umat Kristen memakai kata “ALLAH, atau Allah, atau allah” maka muncul istilah Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh, serta Bunda Allah bagi kalangan Katolik. Dan ini menyakiti hati umat Islam dan menimbulkan rasa tidak suka, karena nama Tuhannya dipakai oleh umat Kristen dan Katolik…. Jadi kebingungan masalah nama ALLAH dan YHWH (YAHWEH) adalah karena orang Nasrani di Indonesia tidak mampu membedakan antara SEBUTAN (GENERIC NAME) dan NAMA PRIBADI (PERSONAL NAME).” (Lihat, Rev. Yakub Sulistyo, ‘Allah’ dalam Kekristenan Apakah Salah, 2009, hal. 18-19. NB. Huruf kapital sesuai buku aslinya).

Kalangan Kristen pendukung penggunaan kata ‘Allah’ beralasan, bahwa kaum Kristen di Arab sudah menggunakan kata ‘Allah’ jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Nabi oleh Allah SWT. Herlianto menulis:

“Di kalangan orang Arab pengikut Yesus, penggunaan nama ‘Allah’ sudah terjadi sejak awal kekristenan. Pada Konsili Efesus (431) wilayah suku Arab Harits dipimpin Uskup bernama ‘Abd Allah’, Inkripsi Zabad (512) diawali ‘Bism, al-llah’ (dengan nama Allah, band. Ezra 5:1, demikian juga Inkripsi ‘Umm al-Jimmal’ (abad ke-6) menyebut ‘Allahu ghufran’ (Allah yang mengampuni)… Nama ‘Allah’ bukanlah kata ‘Islam’ melainkan kata ‘Arab’ sebab sudah digunakan sejak keturunan Semitik suku Arab yang menyebut ‘El’ Semitik dalam dialek mereka, dan juga digunakan orang Arab yang beragama Yahudi dan Kristen jauh sebelum kehadiran Islam… Kalau mau jujur, nama Ilah/Allah sebenarnya bukan merupakan terjemahan El/Elohim Ibrani dan Elah/Elaha dalam bahasa Aram, melainkan merupakan dialek (logat) yang berkembang dalam suku-suku turunan mereka. Jadi, transliterasi nama El/Elohim/Eloah menjadi Ilah/Allah justru lebih dekat dibandingkan istilah Yunani Theos dan Inggris God.” (Herlianto, Nama Allah, Nama Tuhan Yang Dipermasalahkan, Mitra Pustaka, 2006, hal. 26-27).

Bagaimana pandangan Islam terhadap klaim kaum Kristen soal kata ‘Allah’ tersebut?

Islam mengakui, kata ‘Allah’ – sebagai nama Tuhan — sudah digunakan oleh kaum musyrik Arab dan kaum Kristen. Tetapi, setelah diutusnya Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir dan diturunkannya al-Quran sebagai wahyu terakhir, maka Allah telah mengenalkan namanya secara resmi dalam bahasa Arab, yaitu ALLAH: “Innaniy ana-Allahu Laa-ilaaha illaa Ana, fa’budniy wa-aqimish-shalaata lidzikriy.” (Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan tegakkan shalat untuk mengingat-Ku). (QS Thaha:14).

Tak hanya itu, Al-Quran juga mengkoreksi penggunaan dan pemaknaan kata Allah yang keliru oleh kaum Kristen, sehingga Allah diserikatkan dengan makhluk-Nya, seperti Nabi Isa a.s. yang oleh kaum Kristen diangkat sebagai Tuhan. “Sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga.” (QS 5:73).

Logika Islam sangat mudah: Jika ingin tahu nama Tuhan yang sebenarnya, sifat-sifat-Nya, dan cara yang benar dalam menyembah-Nya, maka – logisnya — hanya Tuhan itu sendiri yang dapat menjelaskannya. Tidak usah bingung, tidak perlu repot-repot dan tanpa berbelit-belit. Nama Tuhan itu adalah ALLAH. Pakai huruf kecil atau kapital, nama Tuhan yang sah adalah ALLAH. Tuhan sudah memilih nama-Nya yang resmi. Nama itu sudah disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman yang diutus kepada seluruh manusia, bukan hanya untuk Bani Israil saja (QS 34:28).

Maka, dalam pandangan Islam, amat sangat tidak patut, jika kata ALLAH – nama Tuhan Yang Maha Suci — digunakan secara sembarangan dan diberi sifat-sifat yang tidak sesuai dengan sifat yang dikenalkan oleh Allah SWT itu sendiri. Karena itulah, kaum Muslim sangat takut melakukan dosa syirik atau pun mengarang-ngarang nama Tuhan atau mereka-reka cara-cara ibadah kepada Allah SWT.

Seperti dijelaskan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), kaum Kristen di alam Melayu-Indonesia baru menggunakan kata Allah pada abad ke-17. Seyogyanya kaum Kristen tidak perlu melanjutkan ambisi kaum penjajah untuk mengelabui kaum Muslim agar berpindah agama melalui penggunaan kata Allah yang tidak sepatutnya.

Karena itu, menyimak kebingungan dan polemik penggunaan kata Allah di kalangan kaum Kristen di Indonesia yang tiada ujung, tampaknya akan lebih baik ANDAIKAN kaum Kristen di alam Melayu-Indonesia, meninggalkan kata ‘Allah’ dan menyebut Tuhan mereka sebagaimana induk dan asal agama Kristen di Barat, yaitu God, Lord, Yahweh, Elohim, atau TUHAN. InsyaAllah itu akan lebih baik dan tidak membingungkan di antara kaum Kristen dan umat beragama lainnya. Wallahu a’lam./Bojonegoro, 30 Januari 2013.*

Oleh: Dr. Adian Husaini

Penulis Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com

HIDAYATULLAH

Katanya Allah Dekat, Mengapa Tidak Terlihat?

Dalam benak seorang Muslim, mungkin pernah terlintas sekali-dua kali atau bahkan berkali-kali pertanyaan tentang keberadaan dan wujud Allah Swt. Pertanyaan yang sering muncul kemudian adalah: katanya Allah dekat, lalu mengapa tidak terlihat?

Kita merasa Allah Swt. begitu dekat, bahkan sangat dekat, melebihi urat nadi kita sendiri. Tapi, sebagai manusia yang hanya memiliki lima indera yang sangat terbatas, perasaan dekat dengan Allah Swt. Tersebut kembali dipertanyakan mengingat wujud-Nya tak bisa dilihat dengan kasat mata.

Dalam sebuah video ceramahnya di Wamimma TV, Buya Syakur Yasin pernah memaparkan sebuah analogi: “Siapa orang yang paling paham dengan firman Tuhan? Ia adalah orang yang sudah paham (paling dekat) dengan Tuhan.”

Melalui analogi tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa ada kesinambungan antara memahami ayat-ayat dalam Al-Qur’an dengan baik sesuai kaidah tafsir dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya yakni Allah Swt.

Melihat Tuhan Perspektif Qur’an dan Hadits

Saat surat An-Nasr turun, diriwayatkan bahwa Sayyidina Ali, Umar, dan Abu Bakar menangis. Turunnya ayat tersebut menandakan bahwa sebentar lagi mereka semua akan ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. Para sahabat pun paham makna ayat-ayat yang telah turun tersebut sebab merekalah yang paling dekat dengan Rasulullah Saw.

Dari peristiwa tersebut, muncul pertanyaan: apakah kedekatan dengan Allah Swt. juga berarti harus dekat dengan Nabi Muhammad Saw.? Lantas bagaimana dengan umat lslam yang hidup setelah Rasulullah Saw. wafat?

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, tercatat hanya ada dua ayat saja yang berkaitan dengan melihat atau bertemu dengan Allah Swt. Sebagai berikut:

Quran Surat Al-Qiyamah Ayat 22

 وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ

Wujụhuy yauma`iżin nāḍirah

Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.”

Quran Surat Al-Qiyamah Ayat 23

 إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

Ilā rabbihā nāẓirah

Artinya: “Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”

Makna kalimat “dan wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri” berasal dari kata an-nadhaarah yang artinya rupawan, menawan, cemerlang lagi penuh kebahagiaan.

Sementara itu, makna “kepada Rabb-nyalah mereka melihat” adalah melihat dengan kasat mata.

Dalam riwayat al-Bukhari r.a., dalam Shahih-nya disebutkan: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan kasat mata.”

Dalam ayat tersebut ditegaskan tentang penglihatan orang-orang Mukmin terhadap Allah Swt. di akhirat kelak.

Abu Sa’id dan Abu Hurairah ra., yang keduanya terdapat di dalam Kitab ash-Shahihain (Al-Mustadrak alaa al-Sahihain) tercantum bahwasanya ada beberapa orang bertanya:

“Wahai Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari Kiamat kelak?”

Beliau menjawab, “Apakah kalian merasa sakit saat melihat matahari dan bulan yang tidak dihalangi oleh awan?”

Mereka menjawab, “Tidak.”

Beliaupun bersabda, “Sesungguhnya seperti itulah kalian akan melihat Rabb kalian.”

Masih dalam kitab yang sama, disebutkan bahwa dari Jarir ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. pernah melihat bulan pada malam purnama, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian seperti kalian melihat bulan ini. Jika kalian mampu untuk tidak dikalahkan (oleh perasaan lelah/ngantuk) dari mengerjakan shalat sebelum matahari terbit dan tidak juga sebelum tenggelamnya, maka kerjakanlah.’”

Waktu matahari terbit dan tidak juga sebelum tenggelam dalam hadits tersebut yaitu waktu shalat Subuh di pagi hari dan shalat ‘Ashar di sore hari.

Dalam Kitab ash-Shahihain juga tercantum: dari Abu Musa, ia berkata: “Rasulullah Saw. telah bersabda: ‘Ada dua Surga yang bejana dan semua isinya terbuat dari emas, dan ada dua Surga yang bejana dan semua isinya terbuat dari perak. Tidaklah terdapat tirai antara suatu kaum dengan penglihatan mereka kepada Allah Swt. melainkan terdapat selendang kebesaran pada wajah-Nya di Surga ‘Adn.’”

Melihat Tuhan Perspektif Filsafat Islam

Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang eksistensi Tuhan dipaparkan dalam sebuah kalimat sebagai berikut: “Barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya.”

Perlu digarisbawahi di sini bahwa frasa “mengetahui Tuhannya” di sini bukan bermakna mengetahui bentuk secara harfiah dari sosok Tuhan tersebut, tapi lebih kepada kehadiran rasa ihsan dalam diri manusia saat menjalani kehidupan sehari-hari.

Ihsan di sini berarti bahwa di mana pun seorang Muslim berada, maka ia akan merasa melihat Tuhannya. Atau, di mana pun ia berada, ia selalu merasa dilihat oleh Tuhannya. Dua perasaan tersebut mengukuhkan bahwa Allah dekat dan mengetahui segalanya.

Dalam buku Filsafat Islam (1957), Hasyimsyah Nasution menuliskan bahwa terkait wujud atau zat Allah Swt., Imam Al-Ghazali menjelaskan dengan metodologi filsafat yang menitikberatkan “tidak ada sesuatupun yang ada kecuali ada yang mengadakan” Al-Ghazali juga tidak menyetujui pendapat yang menyebutkan bahwasannya Tuhan itu wujudnya sederhana, wujud murni, dan tanpa esensi.

Dari dua pijakan pemikiran tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa Al-Ghazali berpikir Tuhan adalah wajibul Wujud di mana akan dapat dirasakan kehadirannya jika benar-benar dapat mengetahui sebenarnya hakikat dari diri kita sendiri. Merasakan bahwa Allah dekat adalah karena seorang manusia telah memahami hakikatnya.

Kesekatan tersebut bukan berarti bahwa Tuhan dan hambaNya menjadi satu, tapi lebih pada praktik dalam menghadirkan sifat-sifat Tuhan, atau berusaha menerapkan sifat-sifat Tuhan kedalam diri seorang Muslim dalam menjalani kehidupan di dunia.

Sebagai misal, menerapkan sifar Ar-Rohman dan Ar-Rohiim yang berarti seorang Muslim mesti berusaha menjadi penyayang. Cara yang dipaparkan Al-Ghazali bertujuan untuk mendekatkan diri seorang hamba kepada Sang Kholiq, dan merasakan Sifat-Nya ada dalam diri manusia.

Bisakah Manusia Melihat Wujud Allah?

Dalam buku Etika Al-Ghazali, Etika Majemuk di Dalam Islam(1988), Kamil, Ph.D dan M.Abul Quasem, M.A. menyatakan bahwa untuk bisa mencapai wujud Allah Swt., Al-Ghazali tidak mengartikannya sebagai penyamaan dengan Allah Swt. atau Ittishol atau peleburan diri dengannya (Hulul) atau percampuran hakikat kemanusiaan (Nasut) dengan Hakikat Ilahiyah (Lahut).

Bagi Al-Ghazali, dekat dengan Allah dan melihat Allah bisa diwujudkan dalam konsep yang bernama Wahdatusy Syuhud yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Kesatuan Penyaksian. Sebab bagi Al-Ghazali, apa yang manunggal adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.

Melalui konsep tersebut, seorang Muslim yang mencapai Allah Swt. akan mampu menumbuhkan sifat-sifat yang mirip dengan sifat-sifat Allah yang tercantum dalam  Asmaulhusna dan diterapkan dalam dirinya, dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari selama ia hidup di dunia.

Al-Ghazali menambahkan bahwa Allah Swt. diketahui eksistensinya dengan akal. Allah Swt. terlihat zat-Nya dengan mata hati sebagai kenikmatan dari-Nya dan kasih sayang bagi orang-orang yang berbuat baik dan sebagai penyempuurnaan dari-Nya bagi kenikmatan yang memandangNya yang Mulia.

Analogi Buya Syakur Yasin tentang “siapa orang yang paling paham dengan firman Tuhan? Ia adalah orang yang sudah paham (paling dekat) dengan Tuhan” bisa kita pahami dengan pemikiran Al-Ghazali mengenai Tuhan lewat konsep Wahdatul Syuhud.

Perasaan dekat dengan Allah bisa jadi muncul karena seorang Muslim telah berusaha menerapkan sifat-sifat Allah Swt. dengan baik dalam hidupnya. Ia telah berlaku ihsan. Meski merasa dekat, seorang manusia tidak akan bisa melihat Tuhannya dengan kasat mata sebab Allah Swt. hanya bisa diketahui dengan akal dan dilihat dengan mata hati.[]

BINCANG SYARIAH

4 Tanda Ini Bukti Allah SWT Murka kepada Seorang Hamba

Seorang Muslim bisa terjebak pada empat keadaan berikut ini yang membuatnya tidak sadar bahwa itu sebetulnya adalah wujud kemurkaan Allah SWT pada dirinya. 

Apa saja empat hal itu? Berikut ini adalah empat bentuk kemurkaan Allah SWT sebagaimana dilansir dari laman Mawdoo.

Pertama, penyebab datangnya kebencian di muka bumi itu ialah karena perbuatan buruk atau pelanggaran yang dilakukan seorang hamba, hingga perbuatan tersebut menjadi gunjingan banyak orang atau orang lain merasakan dampaknya.

Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari jalur Abu Hurairah RA. Nabi SAW bersabda: 

إنَّ اللهَ، إذا أحبَّ عبدًا، دعا جبريلَ فقال: إنِّي أحبُّ فلانًا فأحِبَّه. قال فيُحبُّه جبريلُ. ثمَّ يُنادي في السَّماءِ فيقولُ: إنَّ اللهَ يُحبُّ فلانًا فأحِبُّوه. فيُحبُّه أهلُ السَّماءِ. قال ثمَّ يُوضعُ له القَبولُ في الأرضِ. وإذا أبغض عبدًا دعا جبريلَ فيقولُ: إنِّي أُبغِضُ فلانًا فأبغِضْه. قال فيُبغضُه جبريلُ. ثمَّ يُنادي في أهلِ السَّماءِ: إنَّ اللهَ يُبغِضُ فلانًا فأبغِضوه. قال فيُبغِضونه. ثمَّ تُوضعُ له البغضاءُ في الأرضِ

“Apabila Allah SWT mencintai seorang hamba-Nya, Dia memanggil Jibril bahwa sesungguhnya Allah SWT mencintai si Fulan, maka cintailah dia. Maka jibril mencintai hamba itu lalu Jibril berseru kepada penduduk langit, sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia. Maka seluruh penduduk langit mencintai hamba itu, kemudian orang itu pun dijadikan bisa diterima oleh penduduk bumi.”

Kedua, wujud kemurkaan Allah SWT pada seorang hamba, yaitu hamba tersebut cenderung terus berada dalam cintanya kepada sesuatu yang dibenci Allah SWT, sama seperti saat dia membenci apa yang dicintai Allah SWT.

Ketiga, hamba tersebut selalu berada dalam kesesatan, ketidaktaatan dan dosa, dan bergerak di antara dosa dan dosa. Hamba ini tidak bertobat dari semua hal buruk itu dan mati untuknya.

Keempat, tanda Allah SWT murka pada seorang hamba, yaitu hamba tersebut lalai dalam melaksanakan sholat wajib, tidak menjaganya atau melaksanakannya. 

Ini bentuk kelalaian dalam melaksanakan sholat lima waktu. Hak-hak Allah SWT dan hamba-hamba-Nya pun lenyap, sehingga menjadi tidak peduli terhadap nasib di dunia dan akhirat.

KHAZANAH REPUBLIKA

Berprasangka Baik kepada Allah

Berbaik sangkalah kepada Allah, maka Allah pun akan memberi kebaikan kepadamu.

Sebuah riwayat dituturkan Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin Jilid 4 bab al-Khauf wa al-Raja’, tentang harapan akan ampunan Ilahi bagi seorang Bani Israil yang dimasukkan ke dalam neraka selama 1.000 tahun. Dia terus menjerit memanggil nama Allah.

Lantas Jibril diperintahkan membawanya ke hadapan-Nya. Allah bertanya, “Bagaimana keadaan tempatmu?“

“Jelek sekali, ya Allah,“ jawabnya.

Maka Allah pun menyuruhnya kembali masuk ke neraka. Dia berjalan keluar dan tiba-tiba membalik badannya kembali kepada Tuhan. Lalu ditanya, “Kenapa engkau balik badan?“.

Si pendosa itu menjawab, “Karena aku benar-benar berharap Engkau tak kembalikan aku ke neraka setelah sejenak aku dikeluarkan.“

Tuhan lalu perintahkan para malaikat untuk memasukkannya ke dalam surga. Karena, ternyata dia masih punya harapan akan rahmat dan ampunan Allah. Subhanallah. Saya tidak tahu apakah itu hanya kisah rekaan sang Hujjatul Islam untuk menggambarkan pemikiran dan pandangannya atau memang benar-benar riwayat yang beliau baca untuk ditularkan kepada kita semua.

Namun, yang jelas, Imam al-Ghazali ingin mengajak kita, para pembaca setia pemikirannya, untuk memohon keselamatan lewat ampunan dan kasih sayang Allah. Mereka yang penuh dosa namun masih berharap pada ampunan-Nya akan dipeluk oleh kasih sayang-Nya.

Berbaik sangkalah kepada Allah, maka Allah pun akan memberi kebaikan kepadamu. Yakinlah bahwa Allah itu Maha Pengampun, niscaya Dia pun akan mengampuni dosa hamba-Nya.

Berharaplah kepada Allah untuk meminta apa saja yang engkau butuhkan selama itu masih berupa kebaikan untuk mencari ridha-Nya. Jangan tutup harapan dan kecerahan masa depanmu hanya karena engkau tidak yakin bahwa Allah akan menolong hidupmu.

Dalam keseharian, Rasulullah senantiasa mendidik dan mengarahkan para sahabatnya agar selalu berbaik sangka terhadap Allah. Dari Jabir r.a. dia berkata, aku mendengar Rasulullah tiga hari sebelum wafatnya beliau bersabda,

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ  ( رواه مسلم، رقم  2877

“Janganlah seseorang di antara kalian meninggal dunia, kecuali dalam keadaan berbaik sangka terhadap Allah.” (HR Muslim).

Berbaik sangka kepada Allah adalah kenikmatan yang agung dan menjadi jaminan kebahagiaan hidup seseorang di dunia dan akhirat. Hadits Qudsi lengkap tentang sangkaan kepada Allah dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW.

يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً  (رواه البخاري، رقم  7405 ومسلم ، رقم 2675

”Sesungguhnya Allah berfirman, “Aku menurut prasangka hamba-Ku. Aku bersamanya saat ia mengingat-Ku. Jika ia mengingatku dalam kesendirian, Aku akan mengingatnya dalam kesendirian-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam keramaian, Aku akan mengingatnya dalam keramaian yang lebih baik daripada keramaiannya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya se depa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (HR Bukhari dan Muslim).

Laksana Do’a

Beberapa bentuk husnuzh-zhann kita kepada Allah adalah bahwa doa kita akan diterima oleh Allah. Setidaknya, ada tica cara Allah menerima doa kita, yaitu langsung dinyatakan dalam kehidupan di dunia, dihindarkan dari keburukan hidup dan dibalas di hari akhir nanti. Jika orang sudah tidak yakin, maka ia tidak akan mendapatkan apapun kecuali kehampaan dan keputusasaan.

Adapun bentuk su’uzh-zhann kita kepada-Nya adalah bahwa “Allah itu tidak adil”, “dengan sakit Allah ingin menyiksaku”, “bahwa ujian ini adalah adzab Allah kepadaku”, “hanya aku yang diuji dan disakiti seperti ini” dan sebagainya. Semoga kita selalu berbaik sangka kepada Allah dan dihindarkan dari berburuk sangka kepada Allah. Amin.

*Bahrus Surur-Iyunk adalah guru SMA Muhammadiyah I Sumenep, penulis buku Agar Imanku Semanis Madu (Quanta EMK, 2017), Nikmatnya Bersyukur (Quanta EMK, 2018), Indahnya Bersabar (2019) dan 10 Langkah Menembus Batas Meraih Mimpi (SPK, 2020).

KHAZANAH REPUBLIKA

Terikatlah dengan Apa yang Disukai Allah

KETIKA Rasulullah Saw mendapat perintah dari Allah Ta’ala untuk berdakwah secara terbuka, beliau pun mendaki Bukit Shafa. Di sana beliau menyeru dan mengumpulkan para pembesar suku Quraisy. Setelah menanyakan tentang kepercayaan mereka terhadap Beliau, lalu Rasulullah Saw bersabda, “Aku memperingatkan kamu semua bahwa di depanku (akhirat) ada siksa yang amat pedih.”

Di antara orang-orang Quraisy itu terdapat Abu Lahab, paman kandung Nabi Saw. Abu Lahab yang ikut hadir itu langsung menyahuti ajakan Nabi dengan makian, “Celakalah engkau sepanjang hari! Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?”. Tetapi Nabi Saw tidak membalas ejekan keras tersebut.

Beberapa waktu setelah itu, dan masih di sekitar Bukit Shafa juga, Rasulullah Saw pernah dicaci-maki oleh Abu Jahal dengan kata-kata yang luar biasa menyakitkan. Namun beliau tetap diam saja. Yang bertindak justru paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib RA yang saat itu belum masuk Islam setelah mendapatkan laporan tentang hal tersebut. Pahitnya cacian sampai membuat Hamzah memukul Abu Jahal dengan panah yang masih dibawanya sepulang dari berburu.

Saudaraku, kebaikan Rasulullah Saw itu sempurna, Beliau mengajak manusia kepada keselamatan dan akhlak mulia. Apa yang beliau sampaikan pun bukan untuk kepentingan pribadi beliau, akan tetapi untuk kebaikan manusia. Walau demikian, beliau tetap saja dianggap jelek oieh sebagian orang. Padahal, Rasulullah Saw sudah dikenal sebagai orang yang terpercaya jauh sejak sebelum diangkat sebagai rasul.

Jadi, sebaik apapun yang kita lakukan, tidak akan semua menganggapnya baik. Oleh sebab itu, dalam berbuat baik, kita tidak usah terpenjara oleh kelakuan dan perkataan orang. Karena, “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.” (QS. qaf [50]:18). Apa yang diucapkannya pasti kembali kepada dirinya sendiri.

Begitu juga kalau ada orang yang pelit kepada kita, jangan merasa tertantang atau dendam untuk ikut ikutan pelit. Ajaran Islam mengajarkan agar kita memberi kepada yang pelit itu. Kalau tidak sanggup, kita maafkan dia, tidak usah membalas atau marah. Kalau kita membalas melotot kepada orang yang melotot, kita akan menjadi kembaran dia sehingga tidak ada bedanya antara kita dengan dirinya. [*]

INILAH MOZAIK

Antara Doa dan Pemberian Allah

SAUDARAKU, Syaikh Ibnu Athaillah menulis dalam karyanya, Al Hikam, “Jangan sampai permintaanmu kepada Allah, engkau jadikan sebab pemberian Allah.” Jadi, manakala kita berdoa, meminta kepada Allah, janganlah kita menganggap bahwa Allah memberi disebabkan permintaan kita kepada-Nya. Karena jika demikian, maka berarti Allah diatur oleh kita. Tidak demikian.

Hakikatnya, doa yang kita panjatkan kepada Allah adalah bentuk ibadah kita kepada-Nya. Demikian juga dengan ikhtiar yang kita lakukan, itu adalah amal sholeh kita. Perkara Allah memberi, Allah mengabulkan, maka itu mutlak kehendak Allah semata.

Sungguh, Allah Maha Mengetahui keperluan seluruh makhluk-Nya, termasuk kita. Bahkan, kita punya keperluan juga itu adalah kehendak Allah. Dan, yang menyediakan segala sesuatu yang bisa memenuhi keperluan kita pun adalah Allah. Jadi, sebelum kita meminta kepada Allah, maka sesungguhnya Allah sudah mengetahui keperluan kita. Mengapa? Karena Allah yang menciptakan kita.

Jadi, ketika Allah memerintahkan kita untuk berdoa dan meminta kepada-Nya, maka itu bukanlah agar kita memberitahu keperluan kita. Melainkan supaya kita beribadah, tunduk, bersandar dan memohon hanya kepada-Nya. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya doa adalah ibadah.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)

Kita bisa merasakan lapar, namun kita tidak mengerti mengapa kita harus merasakan lapar. Kemudian, kita memerlukan makanan dan makanan pun ada sehingga kita bisa menutupi rasa lapar kita. Bagaimana itu terjadi? Tiada lain adalah karena Allah menciptakan kita, Allah menciptakan rasa lapar, dan Allah pula yang menciptakan makanan. Allah menciptakan haus, Allah pula menciptakan air. Allah menciptakan paru-paru, dan Allah pula menciptakan oksigen. Subhaanalloh.

Saudaraku, Allah memberi bukan karena kita meminta, namun karena Allah Maha Memberi. Kita diperintahkan berdoa dan meminta, adalah sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Bayangkan jikalau setiap yang kita perlukan, hanya bisa kita peroleh dengan cara meminta terlebih dahulu, tentu banyak hal yang sampai hari ini belum kita miliki padahal sangat kita perlukan.

Jangan dulu jauh-jauh, kita perhatikan diri kita sendiri. Perhatikan rambut kita, warnanya, bentuknya, tingkat kelenturannya, jumlahnya, kecocokannya dengan bentuk wajah kita, pertumbuhannya meski berulang kali kita pangkas, ketiadaan rasa sakit ketika kita memangkasnya. Maa syaa Allah.. Kita tidak pernah memintanya, namun Allah memberikan secara sempurna dan sangat detail, cocok dengan keperluan kita. Itu baru rambut, belum organ lainnya.

Rasulullah Saw bersabda, “Doa adalah saripati ibadah” (HR. Tirmidzi). Yang terpenting dari doa bukanlah terkabulnya doa, yang terpenting dari doa adalah kita menjadi hamba Allah yang tunduk dan hanya menjadikan Allah semata sebagai tempat bersandar dan meminta. Boleh jadi yang kita dapatkan sesuai dengan doa kita, namun boleh jadi tidak sesuai dengan doa kita. Namun, itu tidaklah penting, karena yang penting dari doa kita adalah kita mentauhiidkan Allah Swt.

Sebaik-baiknya doa adalah yang dicontohkan oleh para nabi dan rasul. Salah satu doa yang bisa kita contoh adalah doa nabi Yunus a.s manakala beliau berdoa, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zholim.” (QS. Al Anbiyaa [21] : 87)

Dalam doa ini, nabi Yunus a.s mentauhiidkan Allah Swt., lalu bertasbih mensucikanNya bahwa setiap perbuatan Allah pastilah yang terbaik meski hal itu tidak sesuai keinginan kita sebagai makhluk. Apalah arti keinginan kita, karena keinginan kita seringkali didorong oleh hawa nafsu. Kemudian, nabi Yunus a.s merendahkan diri di hadapan Allah Swt. dengan mengakui tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki kekuatan apa-apa kecuali jika Allah memberikan.

Maka saudaraku, semoga kita termasuk golongan orang yang gemar berdoa kepada Allah sebagai bentuk ibadah kita kepada-Nya. Diiringi rasa optimis, baik sangka dan keyakinan bahwa apapun takdir Allah pastilah yang terbaik bagi kita. Wallohualam bishowab. [*]

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Subhanallah, Kita Lelah Saja Disukai Oleh Allah

SETIDAKNYA ada delapan (8) kelelahan manusia yang disukai Allah SWT dan RasulNya. Kedelapan kelelahan tersebut adalah :

1. Lelah dalam berjihad di jalan-Nya (QS. 9:111)

2. Lelah dalam berda’wah/mengajak kepada kebaikan (QS.41:33)

3. Lelah dalam beribadah dan beramal sholeh (QS.29:69)

4. Lelah mengandung, melahirkan, menyusui. merawat dan mendidik putra/putri amanah Illahi (QS. 31:14)

5. Lelah dalam mencari nafkah halal (QS. 62:10)

6. Lelah mengurus keluarga (QS. 66:6)

7. Lelah dalam belajar/menuntut ilmu (QS. 3:79)

8. Lelah dalam kesusahan, kekurangan dan sakit (QS.2:155)

Lelah itu nikmat. Bagaimana mungkin? Logikanya bagaimana? Jika Anda seorang ayah, yang seharian bekerja keras mencari nafkah sehingga pulang ke rumah dalam kelelahan yang sangat. Itu adalah nikmat Allah swt yang luar biasa, karena banyak orang yang saat ini menganggur dan bingung mencari kerja.

Jika Anda seorang istri yang selalu kelelahan dengan tugas rumah tangga dan tugas melayani suami yang tidak pernah habis. Sungguh itu nikmat luar biasa, karena betapa banyak wanita sedang menanti-nanti untuk menjadi seorang istri, namun jodoh tak kunjung hadir.

Jika kita orangtua yang sangat lelah tiap hari, karena merawat dan mendidik anak-anak, sungguh itu nikmat yang luar biasa. Karena betapa banyak pasangan yang sedang menanti hadirnya buah hati, sementara Allah swt belum berkenan memberi amanah.

Lelah dalam mencari nafkah

Suatu ketika Nabi saw dan para sahabat melihat seorang laki-laki yang sangat rajin dan ulet dalam bekerja, seorang sahabat berkomentar: Wahai Rasulullah, andai saja keuletannya itu dipergunakannya di jalan Allah.

Rasulullah saw menjawab: Apabila dia keluar mencari rezeki karena anaknya yang masih kecil, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena kedua orang tuanya yang sudah renta, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena dirinya sendiri supaya terjaga harga dirinya, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena riya dan kesombongan, maka dia di jalan setan. (Al-Mundziri, At-Targhb wa At-Tarhb).

Sungguh penghargaan yang luar biasa kepada siapa pun yang lelah bekerja mencari nafkah. Islam memandang bahwa usaha mencukupi kebutuhan hidup di dunia juga memiliki dimensi akhirat.

Bahkan secara khusus Rasulullah saw memberikan kabar gembira kepada siapa pun yang kelelahan dalam mencari rejeki. Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan mencari rejeki pada siang harinya, maka pada malam itu ia diampuni dosanya oleh Allah swt.

Subhanallah, tidak ada yang sia-sia bagi seorang muslim, kecuali di dalamnya selalu ada keutamaan.

Kelelahan dalam bekerja bisa mengantarkan meraih kebahagiaan dunia berupa harta, di sisi lain dia mendapatkan keutamaan akhirat dengan terhapusnya dosa-dosa. Syaratnya bekerja dan lelah. Bukankah ini bukti tak terbantahkan, bahwa kelelahan ternyata nikmat yang luar biasa?

Kelelahan mendidik anak

Di hari kiamat kelak, ada sepasang orangtua yang diberi dua pakaian (teramat indah) yang belum pernah dikenakan oleh penduduk bumi. Keduanya bingung dan bertanya: Dengan amalan apa kami bisa memperoleh pakaian seperti ini? Dikatakan kepada mereka: Dengan (kesabaran)mu dalam mengajarkan Al-Quran kepada anak-anakmu.

Merawat dan mendidik anak untuk menjadi generasi shaleh/shalehah bukan urusan yang mudah. Betapa berat dan sangat melelahkan. Harta saja tidak cukup.

Betapa banyak orang-orang kaya yang anaknya gagal karena mereka sibuk mencari harta, namun abai terhadap pendidikan anak. Mereka mengira dengan uang segalanya bisa diwujudkan. Namun, uang dibuat tidak berdaya saat anak-anak telah menjadi pendurhaka.

Berbahagialah manusia yang selama ini merasakan kelelahan dan berhati-hatilah yang tidak mau berlelah-lelah. Segala sesuatu ada hitungannya di sisi Allah swt. Kebaikan yang besar mendapat keutamaan, kebaikan kecil tidak akan pernah terlupakan.

Rasulullah saw bersabda: Pahalamu sesuai dengan kadar lelahmu.

Allah swt akan selalu menilai dan menghitung dengan teliti dan tepat atas semua prestasi hidup kita, sebagaimana firman-Nya: Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan di perlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. 

INILAH MOZAIK

Allah tak Mungkin Salah

SUATU HARI hari, seseorang datang ke Istana Sulaiman. Sulaiman melayani sang tamu dengan mengajaknya berbincang-bincang. Namun ketika di tengah perbincangan, sang tamu merasa seperti ada yang sedang memperhatikan dari sudut ruangan.

Tamu tersebut pun melirik sudut ruangan yang telah merisaukan hatinya. Ya, disudut ruangan itu memang ada yang sedang memperhatikannya. Namun seketika hilang ketika tamu dari Sulaiman tersebut melihat sudut ruangan itu.

Melihat keresahan sang tamu, Sulaiman kemudian menanyakan perihal yang terjadi pada tamu tersebut. Sulaiman bertanya “Wahai Saudaraku, mengapa engkau terlihat begitu resah. Apakah penghormatanku kepada seorang tamu tidak memuaskan hatimu?”

Dengan cepat sang tamu menjawab, “Oh, bukan. Bukan begitu, Saudaraku. Perlakuanmu sungguh lebih dari yang aku harapkan. Kau memang orang yang sangat mulia.”

“Kalau begitu, apa yang merisaukan hatimu. Mungkin aku bisa membantumu mencarikan jalan pemecahannya?” jawab sulaiman menawarkan bantuan.

Sang tamu kemudian menceritakan mengenai seseorang di sudut ruangan yang terus memperhatikan saat sedang berbincang tadi, namun hilang seketika ia melihatnya. Sulaiman kemudian menjelaskan mengenai seseorang yang dimaksud oleh tamunya itu.

“Oh, dia adalah sahabatku, sang malaikat maut,” jelas Sulaiman.

“Ya, dia terus menerus menatapku, seakan-akan aku adalah sasaran untuk diambil nyawanya,” ungkap sang tamu.

Sulaiman pun menawarkan bantuan untuk membuat hati sang tamu tenang, sang tamu kemudian meminta untuk di antarkan ke India. Dengan izin Allah, Sulaiman menghantarkan sang tamu ke India atas bantuan udara.

Sang tamu pun sampai ke India, tidak berapa lama kemudian sang malaikat maut kembali ke istana Sulaiman. Sulaiman bertanya mengapa sang malaikat memandangi tamunya terus. Ternyata sang malaikat maut mendapat tugas untuk nyawa orang tersebut di India, namun karena tamu itu ada di istana, malaikat menunggunya untuk kembali ke India.

“Apakah kau temui orang itu di India?” tanya Sulaiman.

“Tentu saja. Allah memang tidak akan salah. Kini sudah kulaksanakan tugasku,” tegas malaikat maut.

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. [QS. An-Nisa/ 4: 78]. []