Kontribusi Alquran terhadap Kebangkitan Iptek Modern

Alquran sebagai mukjizat yang menakjubkan Nabi Muhammad SAW merupakan sumber pengetahuan tertinggi umat Islam. Allah SWT menyebutkan kebenaran-kebenaran ilmiah dalam Alquran lewat bahasa simbol, sehingga manusia harus selalu berusaha menguaknya. Dari Alquran, ilmu pengetahuan modern dapat diungkap.

Dikutip dari Ensiklopedia Alquran bahwa cahaya Islam awalnya memancar dari Makkah. Kemudian, Rasulullah SAW hijrah ke  Yatsrib yang selanjutnya disebut Madinah dan menjadikannya sebagai basis pijakan misi Islam hingga terjadinya peristiwa pembebasan kota Maka (fathu Makkah). Sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab hidup dalam situasi jahiliah, meskipun sebagian mereka mahir mengubah syair. Sebelum kedatangan Islam, bisa dipastikan tak seorang pun penduduk Makah yang layak disebut ilmuwan.

Seberapa jauh kejahiliahan yang menguasai dunia Arab sebelum kedatangan Islam dapat diketahui dari buku Futuh al-Buldan karya seorang  sejarawan, al-Baladzuri. Dalam referensi sejarah akurat ini, al-Baladzuri mencatat hanya sekitar tujuh belas orang Quraisy saja yang dapat membaca dan menulis ketika Islam datang. Di antaranya terdapat Imam Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Uthbah bin Rabi’ah, dan Jahm bin ash-Shalt. Dengan kondisinya yang demikian, hanya ditemukan tujuh belas orang aksarawan saja di kalangan mereka.

Alquran memiliki peran strategis dalam penyebaran dan pemberian motivasi untuk mengembangkan sekaligus memperdalam  pengetahuan bangsa Arab. setingkat di bawah Alquran adalah peran Rasulullah SAW lewat haditsnya. Salah satu bukti bahwa ayat pertama yang dibawa Jibril kepada Nabi Muhammad SAW adalah sebagian surah al-Alaq yang di dalamnya tersurat perintah untuk terbiasa membaca.

Allah SWT berfirman: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (‘alaq). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang Mengajar manusia dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak diketahuinya.” (QS. al-alaq :1-5)

Ayat kedua dari surat ini mengandung keunikan mukjizat ilmiah Alquran. Para musafir klasik mengatakan bahwa kata al-‘alaq merupakan bentuk jamak dari al-‘alaqah. ‘Alaqah, seperti mereka katakan adalah gumpalan darah yang menggantung karena kelembabannya. Namun Ibnu Abbas menganggap bahwa ‘alaq adalah sejenis lintah hitam. Dinamakan ‘alaq karena jika diletakkan di bagian tubuh manapun dari manusia, ia akan menempel (‘alaqa) untuk menghisap darah yang rusak.

Ketika ilmu pengetahuan kian maju, mikrosop makin canggih, dan para ilmuwan berhasil mengetahui bentuk dan peroses pembentukan spermatozoa, menjadi jelaslah bahwa spermatozoa sangat mirip dengan seekor lintah (dudah al-alaq) yang disebutkan Ibnu Abbas. Spermatozoa memiliki kepala dan ekor sama denngan lintah.

Masih dalam masalah spermatozoa, ditemukan sebuah mukjizat ilmiah lain dalam Alquran, tepatnya dalam ayat berikut: “Maka hendaknya manusia memerhatikan dari apa diciptakan. Manusia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tara’ib.” (QS. ath-Thariq: 5-7)

Yang dimaksud “…air yang terpancar” adalah sperma yang dicurahkan ke rahim seorang perempuan, berasal dari tulang punggung lelaki (shulb). Sementara tara’ib merupakan organ khusus perempuan, yaitu bagian tubuh tempat mengeluarkan cairan yang membawa sel telur ketika seorang perempuan melakukan hubungan seksual dengan lelaki. Sperma yang memancar itu akan bertemu dengan sel telur sehingga mengakibatkan terjadinya kehamilan.

Berpuluh-puluh abad setelah turunya ayat ini, secara ilmiah ditemukan bahwa kehamilan hanya dapat terjadi dari pertemuan dua cairan, sperma lelaki yang keluar dari shulbi dan sel telur perempuan yang keluar dari tara’ib.

 

REPUBLIKA

Keajaiban Alquran: Lapisan Atmosfer

Setiap lapisan memiliki fungsi khusus, dari pembentukan hujan hingga perlindungan terhadap radiasi sinar-sinar berbahaya; dari pemantulan gelombang radio hingga perlindungan terhadap dampak meteor yang berbahaya. Bumi memiliki seluruh sifat yang diperlukan bagi kehidupan. Salah satunya adalah keberadaan atmosfir, yang berfungsi sebagai lapisan pelindung yang melindungi makhluk hidup.

Adalah fakta yang kini telah diterima bahwa atmosfir terdiri dari lapisan-lapisan berbeda yang tersusun secara berlapis, satu di atas yang lain. Persis sebagaimana dipaparkan dalam Alquran, atmosfir terdiri dari tujuh lapisan. Ini pastilah salah satu keajaiban Alquran. Satu fakta tentang alam semesta sebagaimana dinyatakan dalam Alquran adalah bahwa langit terdiri atas tujuh lapis.

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan- Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah [2]:29). “Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih merupakan asap. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya.” (QS Fush-Shilat [41]:11-12)

Kata “langit”, yang kerap kali muncul di banyak ayat dalam Alquran, digunakan untuk mengacu pada “langit” bumi dan juga keseluruhan alam semesta. Dengan makna kata seperti ini, terlihat bahwa langit bumi atau atmosfer terdiri dari tujuh lapisan.

Saat ini benar-benar diketahui bahwa atmosfir bumi terdiri atas lapisan-lapisan yang berbeda yang saling bertumpukan. Lebih dari itu, persis sebagaimana dinyatakan dalam Alquran, atmosfer terdiri atas tujuh lapisan. Dalam sumber ilmiah, hal tersebut diuraikan sebagai berikut:

Para ilmuwan menemukan bahwa atmosfer terdiri diri beberapa lapisan. Lapisan-lapisan tersebut berbeda dalam ciri-ciri fisik, seperti tekanan dan jenis gasnya. Lapisan atmosfer yang terdekat dengan bumi disebut troposfer. Ia membentuk sekitar 90 persen dari keseluruhan massa atmosfer. Lapisan di atas troposfer disebut stratosfer. Lapisan ozon adalah bagian dari stratosfer di mana terjadi penyerapan sinar ultraviolet. Lapisan di atas stratosfer disebut mesosfer. Termosfer berada di atas mesosfer.

Gas-gas terionisasi membentuk suatu lapisan dalam termosfer yang disebut Ionosfer. Bagian terluar atmosfer bumi membentang dari sekitar 480 km hingga 960 km. Bagian ini dinamakan Eksosfer. Jika kita hitung jumlah lapisan yang dinyatakan dalam sumber ilmiah tersebut, kita ketahui bahwa atmosfer tepat terdiri atas tujuh lapis, seperti dinyatakan dalam ayat tersebut.

1. Troposfer
2. Stratosfer
3. Ozonosfer
4. Mesosfer
5. Termosfer
6. Ionosfer
7. Eksosfer

Keajaiban penting lain dalam hal ini disebutkan dalam surat Fushshilat ayat ke-12, ” Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya.” Dengan kata lain, Allah dalam ayat ini menyatakan bahwa Dia memberikan kepada setiap langit tugas atau fungsinya masing-masing. Sebagaimana dapat dipahami, tiap-tiap lapisan atmosfir ini memiliki fungsi penting yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan seluruh makhluk hidup lain di Bumi. Setiap lapisan memiliki fungsi khusus, dari pembentukan hujan hingga perlindungan terhadap radiasi sinar-sinar berbahaya; dari pemantulan gelombang radio hingga perlindungan terhadap dampak meteor yang berbahaya.

Salah satu fungsi ini, misalnya, dinyatakan dalam sebuah sumber ilmiah sebagaimana berikut: Atmosfir bumi memiliki tujuh lapisan. Lapisan terendah dinamakan troposfir. Hujan, salju, dan angin hanya terjadi pada troposfir. Adalah sebuah keajaiban besar bahwa fakta-fakta ini, yang tak mungkin ditemukan tanpa teknologi canggih abad ke-20, secara jelas dinyatakan oleh Alquran 1.400 tahun yang lalu.

Disarikan dari serial harun yahya

REPUBLIKA

Saat Lantunan Alquran Mampu Menjadi ‘Bius’

Kisah tentang kelembutan hati para salaf saat membaca dan mendengarkan lantuan Alquran banyak menghiasi lembaran sejarah. Ayat-ayat indah Alquran mampu menaklukkan hati Umar bin Khatab yang dikenal dengan karakter yang keras. Tak hanya tokoh yang berjuluk al-Faruq itu, menurut catatan Dr Abdurrahman Ra’at Basya dalam bukunya, Mereka adalah Para Tabiin, kedahsyatan Alquran mampu menjadi “bius” bagi  Rufai bin Mihraan.

Tokoh yang berjuluk Abu al-Aliyah itu menggunakan bacaan Alquran saat hendak menjalani operasi akibat luka dalam perang. Kisah itu berawal ketika Rufai hendak turut serta berjihad. Seperti biasanya, segala persiapan dan perbekalan telah direncanakan dengan baik. Ia mengikat semuanya di atas kendaraannya.

Namun, tanpa ia sadari, tatkala terbit waktu subuh, terdapat luka yang parah pada salah satu telapak kakinya. Kemudian, rasa sakit tersebut semakin bertambah sedikit demi sedikit. Seorang dokter yang menjenguknya memvonis sosok berdarah Persia itu terkena penyakit aklah. Penyakit yang akan mematikan sel-sel dan merambat sedikit demi sedikit hingga mengenai seluruh tubuh. Kemudian, sang tabib tersebut meminta persetujuannya untuk memotong kakinya hingga setengah betis, maka beliau pun menyetujuinya.

Sang tabib menyiapkan perlengkapan amputasi, pisau untuk menyayat daging, dan gergaji untuk memotong tulang. Kemudian tabib berkata, “Maukah Anda minum bius agar Anda tidak merasa kesakitan tatkala disayat dan dipotong kakinya?”

Rufai menjawab, “Bolehkah engkau carikan yang lebih baik ketimbang solusi bius itu?” Tabib bertanya, “Apa itu?”

“Carilah untukku seorang qari yang membacakan Alquran, mintalah dia membacakan untukku ayat-ayat yang mudah dan jelas. Jika kalian melihat wajahku telah memerah, pandanganku mengarah ke langit, maka berbuatlah sesukamu,” ujar Rufai.  Mereka pun melaksanakan permintaan tersebut dan memotong kakinya.

Tatkala selesai amputasi, tabib berkata kepada Abu al-Aliyah, “Seakan Anda tidak merasakan sakit tatkala diamputasi.” Lalu beliau menjawab, “Karena saya tersibukkan oleh sejuknya kecintaan kepada Allah, merasakan kelezatan apa yang aku dengar dari Alquran sehingga melupakan panasnya gergaji.”

Di saat itulah, Rufai memegang kaki yang telah diamputasi dengan tangannya, sembari memandangi kaki tersebut, Rufai bergumam, “Jika aku bertemu dengan Rabb-ku pada hari kiamat nanti dan bertanya apakah aku telah berjalan dengan engkau (kaki yang telah dipotong) ke tempat yang haram sejak 40 tahun, atau aku telah berjalan denganmu pada tempat yang tidak diperbolehkan? Niscaya aku akan menjawab, ‘Belum pernah’ dan aku jujur terhadap kata-kataku, insya Allah.”

Setelah itu, karena ketakwaan Abu al-Aliyah dan karena merasa dekatnya dengan hari kiamat serta persiapannya bertemu dengan Rabb-nya, ia telah menyiapkan kain kafan untuk dirinya.

Kain tersebut dipakai sebulan sekali lalu disimpan di tempat semula, begitu terus secara rutin. Dalam catatan riwayatnya selama hidup, ia telah berwasiat 17 kali, padahal masih dalam keadaan sehat dan segar dengan memberikan batasan pada masing-masing wasiat. Jika batasan waktu telah habis ia melihatnya lagi, mungkin beliau menggantinya atau mengundurkannya. Rutinitas ini ia lakukan sepanjang hidup, hingga ajal menjemputnya pada Syawal 93 Hijriyah.

 

REPUBLIKA

Mengapa Makna Ayat-Ayat Alquran Sering Berbeda?

SESUNGGUHNYA Alquran Al-Karim itu adalah kitab yang mengandung mukjizat. Salah satu wujud mukjizat itu adalah kandungannya yang tidak pernah berhenti mengalir. Setiap saat selalu ada ilmu baru yang lahir dari Alquran.

Sehingga tiap ayat memang bisa melahirkan ilmu yang berbeda-beda, tergantung siapa yang mencoba menggalinya. Para ahli tafsirsendiri sesungguhnya punya latar belakang pendekatan yang bervariasi ketika menggali ayat-ayatnya.

Ada yang mendekati penafsiran Alquran dari segi bahasa, ada juga yang menekankan dari segi ilmu fikihnya, ada lagi yang menekankan dari segi sejarahnya, ada lagi yang menekankan dari segi semangat perjuangan dan jihad, ada pula yang menekankan dari segi tauhid dan keimanan. Dan masih banyak lagi corak dan ragam tafsir.

Namun dari kesemuanya itu, antara satu kitab tafsir dengan kitab yang lainnya tidak mengalami perbedaan esensi yang saling bertabrakan. Sebaliknya, masing-masing tafsir itu justru saling memperkaya tafsir lainnya. Suatu pelajaran menarik dan penting yang luput diungkap oleh sebuah kitab tafsir, akan kita temukan di dalam kitab lainya.

Khusus dalam ruang lingkup tafsir hukum fikih, bila terjadiperbedaan dalam menafsirkan suatu ayat, memang merupakan hal yang harus diakui keberadaannya. Namun perbedaan itu tidak timbul kecuali memang disebabkan oleh ayat itu sendiri yang memberi peluang timbulnya perbedaan penafsiran. Sehingga kita tidak bisa menyalahkan para ahli tafsirnya karena mereka saling berbeda kesimpulan.

Bahkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai representasi dari Alquran yang berjalan, seringkali dipahami oleh para sahabat dengan versi yang berbeda-beda. Yang salah tentu bukan para sahabat, melainkan kalimat dari Rasulullah itu memang bisa dipahami dengan beberapa kesimpulan yang saling berbeda.

Misalnya ketika Rasulullah berpesan kepada pasukan untuk tidak salat Asar kecuali di perkampungan Yahudi Bani Quraidhzah. Sebagian pasukan menaati perintah itu secara zahirnya, yaitu mereka tidak salat Asar meski matahari hampir terbenam. Sebab perjalanan mereka masih jauh dari tujuan. Barulah para malam hari mereka tiba dan sebagian dari mereka mengerjakan shalat Asar di tempat yang ditentukan oleh Rasulullah meski waktunya sudah lewat.

Sebagian lagi tetap shalat Asar di jalan tepat pada waktunya, lantaran mereka memahami bahwa tujuan Rasulullah melarang mereka salat Asar di perkampungan Yahudi Bani Quradhzah adalah agar perjalanan mereka lebih cepat. Namun apabila kenyataannya target itu tidak tercapai, tetap harus menjalankan shalat Asar pada waktunya.

Ketika Rasulullah mendengar perbedaan pendapat ini, beliau tidak menyalahkan salah satunya. Keduanya dibenarkan meski saling berbeda secara nyata. Maka demikian juga yang terjadi pada ayat-ayat Alquran, banyak di dalamnya kalimat yang bisa dipahami secara berbeda, tanpa harus keluar dari kaidah baku penafsiran. Di antaranya perbedaan para fuqaha dalam menafsirkan makna quru’ yang terdapat di dalam ayat berikut:

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri tiga kali quru’.”(QS. Al-Baqarah: 228)

Ketika para ahli tafsir merujuk kepada ahli bahasa arab, ternyata makna quru’ itu memang ada 2 macam yang saling berbeda. Makna pertama adalah masa haid sedangkan makna kedua adalah masa suci dari haid. Keduanya sama-sama disebut dengan quru’ dalam bahasa arab. Dengan demikian, satu ayat ini mungkin bisa ditafsrikan menjadi tiga kali masa haid, namun pada waktu yang sama bisa ditafsirkan menjadi tiga kali masa suci dari haid. Kesalahan bukan di tangan para mufassir, melainkan Allah Ta’ala sendiri yang menurunkan ayat ini.

Tentunya Allah kalau mau, bisa saja menyebutkan dengan kalimat yang jelas, tegas dan tidak mengandung makna ganda yang saling berbeda. Namun kenyataannya memang itulah yang ada. Sehingga kalau para ulama berbeda pendapat dalam menafsirknnya, bukan sebuah dosa.

Dan syariat Islam menyadari kemungkinan terjadinya perbedaandalam menafsirkan suatu ayat. Tidak ada yang hina dalam masalahperbedaan tafsir hukum ini. Bahkan sebaliknya, kita bisa merasa bangga dengan kekayaan khazanah ilmu hukum Islam dengan ada banyaknya variasi pendapat lewat perbedaan cara memahami suatu dalil.

Karena itu sejak dini para ulama salaf sudah mengembangkan sistem akhlak dan etika berbeda pendapat. Di mana intinya adalah mereka saling menghormati, menjunjung tinggi dan saling menghargai pendapat saudaranya yang sekiranya tidak sama dengan apa yang mereka pahami. Tidak pernah kita dengar para salafus shalih itu saling mencaci, saling memaki atau saling menghujat bahkan mengumbar aib saudaranya di depan khalayak. Akhlak mereka sungguh sangat mulia seiring bersama keluasan ilmu yang mereka miliki.

Keadaan ini seringkali berbanding terbalik dengan fenomena di masa kita sekarang ini. Begitu mudahnya orang-orang yang mengaku pengikut ulama salaf, namun perbuatan, perkataan dan akhlaknya justru menginjak-injak etika para salaf. Lidah mereka lebih sering mencaci maki orang lain ketimbang berzikir kepada Allah. Tulisan mereka lebih sering merupakan hujatan dan umpatan ketimbang ajakan.

Bahkan seringkali merasa hanya kelompok mereka saja yang berhak mengeluarkan fatwa, sedangkan siapapun yang punya fatwa yang berbeda dengan mereka, meski datang dari tulisan para salafushshalih sendiri, langsung dihujat habis-habisan dan dituduh sebagai ahli bid’ah yang pasti masuk neraka. Nauzu billahi min zalik.

Padahal para salafus-shalih di masa lalu terbiasa denganperbedaan pendapat. Justru ciri khas mereka adalah berbeda pendapat, namun tetap saling menyayangi bahkan sangat mesra. Caci maki, umpatan, hujatan dan tuduhan sebagai ahli neraka tidak pernah mereka contohkan. Sebab perbedaan pendapat dalam masalah hukum adalah sebuah keniscayaan, mutlak dan pasti terjadi.

Jangankan para ulama salaf, bahkan para sahabat ridhwanullahi alaihim pun seringkali berbeda pendapat. Padahal mereka hidup bersama Rasulullah pada sebuah era yang disebut dengan khairul qurun (masa terbaik). Tapi tidak satu dari sahabat itu yang memaki dengan sumpah serapah sambil menuding temannya sebagai calon penghuni neraka. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh segelintir orang yang kerjanya menyumpahi orang lain yang tidak sependapat dengannya bukanlah termasuk ahli salaf, karena nama dan realitanya tidak nyambung.

Semoga Allah menghindarkan kita dari kejahilan dalam memahami agama, serta mencairkan ketegangan di antara sesama umat Islam, serta menghimpun hati jutaan umat Islam dewasa ini dalam sebuah kecintaan kepada Allah. Sehingga mampu menerimaperbedaan pendapat persis sebagaimana para salafus-shalih dahulu telah mempraktekkannya.

Wallah a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

 

sumber:Mozaik Islam

Petunjuk Quran dalam Menelusuri Informasi

Oleh:  Ina Salma Febriany

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang seorang fasik dengan membawa suatu informasi maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum karena suatu kebodohan, sehingga kalian menyesali perbuatan yang telah kalian lakukan,” (Qs. Al-Hujurat [49: 6])

Inti dari salah satu surah ke- 49 dalam Alquran di atas memberikan tuntunan praktis bagaimana Allah, melalui Alquran menuntun kita dalam membangun hubungan baik antar sesama. Surat Al-Hujurat yang bermakna kamar-kamar, diturunkan setelah Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah).

Saat itu, suku-suku yang ada di Jazirah Arab berbondong-bondong masuk Islam. Termasuk di dalamnya adalah Bani Musthaliq, yang di pimpin oleh Al-Harits bin Dhirar. Meskipun masuknya Islam Al-Harits diawali dengan sebuah peperangan,  keislaman Al-Harits ini tidak diragukan. Apalagi putrinya yang bernama Al-Juwairiyah dinikahi oleh Rasulullah Saw.

Sesudah masuk Islam Rasulullah Saw memerintahkan Al-Harits untuk mengajak kabilahnya masuk Islam dan membayar zakat. Al-Harits pun menyatakan kesanggupannya. Namun ketika kaum Bani Musthaliq sudah masuk Islam dan zakat sudah terkumpul, utusan Rasulullah belum juga datang. Maka melalui musyawarah dengan tokoh-tokoh Bani Musthaliq, Al-Harits merasa harus datang kepada Rasulullah Saw, bukan menanti kedatangan utusan beliau yang akan menarik zakat.

Sementara itu, dalam waktu yang hampir bersamaan Rasulullah Saw mengutus Al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat yang telah dikumpulkan Al-Harits. Di tengah jalan Al-Walid melihat Al-Harits beserta sejumlah orang berjalan menuju Madinah.

Didasari oleh ingatan permusuhan masa jahiliyah antara dirinya dengan al-Harits, timbul rasa gentar di hati Al-Walid, ia berpikir Al-Harits akan menyerang dirinya. Karena itulah kemudian ia berbalik kembali ke Madinah dan menyampaikan laporan yang tidak benar kepada Rasulullah Saw bahwa Al-Harits tidak mau menyerahkan zakat, bahkan ia akan dibunuhnya. Rasulullah saw tidak langsung begitu saja percaya, beliau pun mengutus lagi beberapa sahabat yang lain untuk menemui Al-Harits.

Ketika utusan itu bertemu dengan Al-Harits, ia berkata, “Kami diutus Rasulullah Saw untuk bertemu denganmu.” Al-Harits bertanya, “Ada apa?” Utusan Rasulullah itupun menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mengutus Al-Walid bin Uqbah, untuk mengambil zakat, lalu ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat bahkan mau membunuhnya.”

Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak ada yang datang kepadaku.”Maka ketika mereka sampai kepada Nabi Saw., beliau pun bertanya, “Apakah benar engkau menolak untuk membayarkan zakat dan hendak membunuh utusanku?” “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” jawab Al-Harits. Selang beberapa lama, turunlah ayat di atas untuk membenarkan pengakuan Al-Harits.

Asbaabun nuzul surah Al-Hujurat ayat 6 ini mengisyaratkan bahwa laporan yang tidak benar, tentu akan berdampak buruk baik kepada si pemberi kabar, terlebih korban. Dalam kehidupan sehari-hari, kita memang tak terlepas dari permasalahan seperti ini. Tak ubahnya di zaman digitalisasi ini. Media- media sosial yang belum bisa dipercaya kabarnya, kerap memengaruhi efek kognitif pembaca; contohnya saja kabar musibah yang melanda jamaah haji; dari mulai runtuhnya crane, badai pasir, hingga insiden di Mina.

Sebagian kabar tersebut menyatakan bahwa segala yang terjadi karena kesalahan pemerintah Arab Saudi yang tidak melayani tamu-tamu Allah dengan baik. Ada pula yang menyatakan bahwa Arab Saudi sedang sibuk menyulap negaranya menjadi Las Vegas. Bahkan, yang lebih menyedihkan lagi, salah satu media tersebut menyatakan bahwa musibah ini terjadi karena anak Raja Saudi melintas saat pelemparan jumrah berlangsung.

Belajar menjadi mukmin yang, kita berkewajiban untuk bertabayun; menggali dan menelusuri informasi yang datang silih berganti setiap hari; baik permasalahan yang berkaitan dengan sosial kemasyrakatan, terlebih agama. Musibah dan cobaan berat bagi jamaah haji tahun ini, adalah salah satu takdir dari Allah yang harus kita imani bahwa segala yang terjadi di muka bumi, pasti seizin-Nya. Jika pun ada campur tangan manusia, semoga ini dapat menjadi pelajaran yang amat berharga dan tidak terulang lagi di masa mendatang.

“Musibah apapun yang menimpamu itu adalah seizin Allah. Dan bagi orang beriman kepada Allah, maka hatinya akan tenang (atas musibah tersebut). Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu,” (Qs. Ath-Thagaabuun: 11)

Lalu, bagaimana sebaiknya sikap kita terhadap informasi yang belum jelas beritanya tersebut? Sikap bijaksana yang dapat kita ambil ialah bertawaquf (berdiam diri, tidak menyebarkan/ men-share berita tersebut). Itu akan jauh lebih mendatangkan mashalat. Sebab, jika kita turut menyebarkan informasi tersebut (padahal kita belum tahu kabar tersebut secara benar), dikhawatirkan akan menyebabkan perpecahan umat dan perselisihan antar sesama. Tentu hal tersebut yang tidak diinginkan.

Akhirnya, mari kita menengadahkan tangan agar para jamaah yang wafat saat berhaji, mendapatkan ampunan dan surga-Nya, dan yang telah sampai dengan selamat di negaranya masing-masing, Allah jadikan haji yang mabruur; yang dengan hajinya tersebut, dapat memberi manfaat dan keberkahan baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk sesama. Aamiin.

 

sumber: Republika Online