Sunnah-Sunnah Setelah Ramadhan

Sungguh suatu kenikmatan kita bisa berkesempatan untuk bertemu dengan Ramadhan. Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dimana kita melaksanakan ibadah yang mulia, yaitu berpuasa. Puasa memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah orang yang berpuasa akan mendapatkan pengampunan dosa. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  yang menyebutkan bahwa Allah berjanji pada hamba-Nya yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya yang telah lalu. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu,Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).

 

Setelah berlalu bulan Ramadhan, jangan sampai semangat beribadah kita menjadi kendor karena perjalanan kita masih panjang dan masih perlu banyak bekal untuk bisa mendapatkan nikmat di kehidupan akhirat nanti. Oleh karena itu, sebagai seorang muslimah harus tetap bersemangat beribadah walaupun bulan Ramadhan sudah berlalu dan bersemangat dalam menyempurnakan ibadah di bulan Ramadhan dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah.  Amalan-amalan yang disunnahkan setelah bulan Ramadhan tersebut diantaranya adalah:

Shalat ‘Id (Hari Raya)

Shalat ‘Id merupakan sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah setelah kita mendapatkan kesempatan untuk menunaikan ibadah yang agung, yaitu puasa Ramadhan. Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk melaksanakan shalat tersebut baik muslim maupun muslimah. Disunnahkan bagi muslimah untuk menghadirinya dengan tidak memakai wangi-wangian maupun pakaian yang penuh hiasan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hendaknya mereka (para wanita) berangkat dengan tidak memakai wewangian.” (H.R. Bukhari/324 dan Muslim/2051)

 

Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِى الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ « لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا ».

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami agar mengajak serta keluar melakukan shalat Idul Fithri dan Idul Adha para gadis, wanita haidh dan wanita yang sedang dipingit. Adapun mereka yang sedang haidh tidak ikut shalat, namun turut menyaksikan kebaikan dan menyambut seruan kaum muslimin. Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab: “Hendaknya saudaranya yang memiliki jilbab memberikan pinjaman untuknya.”  (H.R. Al Bukhari no. 324 dan Muslim no. 890)

 

Memperbanyak puasa sunnah

Salah satunya adalah puasa enam hari di bulan Syawal, puasa ayyamul bidh setiap bulannya pada bulan Hijriyah, puasa Senin-Kamis, puasa Arafah, puasa Asyura, puasa Daud dan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban.

Berpuasa enam hari di bulan Syawal memiliki keutamaan karena puasa ini menyempurnakan puasa Ramadhan yang telah dilaksanakan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al Anshariy,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

 

Berikut ini faedah yang akan didapatkan jika seseorang melakukan puasa enam hari di bulan Syawal yang disebutkan oleh Ibnu Rajab (Latha’if Al Ma’arif, hal. 244),

  • Puasa enam hari di bulan Syawal akan menyempurkan pahala berpuasa setahun penuh
  • Puasa enam hari di bulan Syawal sebagaimana shalat sunnah rawatib, yaitu amalan sunnah yang akan menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada di dalam amalan wajib
  • Puasa enam hari di bulan Syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.
  • Allah berjanji akan mengampuni dosa hambaNya yang telah lalu bagi yang melakukan puasa setelah puasa Ramadhan, yaitu puasa enam hari di bulan Syawal

 

Akad Nikah

Hal ini berdasarkan perkataan A’isyah radhiyallahu ‘anha, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan beliau tinggal satu rumah (campur) denganku juga di bulan Syawal. Siapakah diantara istri beliau yang lebih beruntung dari pada aku. A’isyah suka jika wanita dinikahi bulan Syawal.” (HR. Muslim).

Iktikaf

Bagi orang yang terbiasa melakukan iktikaf, namun karena ada udzur yang menyebabkan dia tidak bisa melaksanakan iktikaf di bulan Ramadhan, maka dia dianjurkan untuk melaksanakan iktikaf di bulan Syawal sebagai bentuk qadha sunnah.

A’isyah radhiyallahu ‘anha menceritakan iktikafnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkemudian di pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada banyak kemah para istrinya. Beliau bertanya: Apa-apaan ini? Setelah diberi tahu, beliau berkata kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini baik?” kemudian beliau tidak iktikaf di bulan itu, dan beliau iktikaf pada sepuluh hari di bulan Syawal. (HR. Al Bukhari & Muslim).

Wallahu a’lam.

Penulis : Annisa Nurlatifa Fajar (Ummu Tsurayya)

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10320-sunnah-sunnah-setelah-ramadhan.html

Amalan-amalan Setelah Ramadhan (seri 2)

diderita oleh kaum muslimin setelah Ramadhan. Ketika  Ramadhan masjid terlihat penuh pada saat qiyamul lail (shalat tarawih). Namun coba kita saksikan setelah Ramadhan, amalan shalat malam ini seakan-akan hilang begitu saja. Orang-orang lebih senang tidur nyenyak di malam hari hingga shubuh atau pagi tiba, dibanding bangun untuk mengambil air wudhu dan mengerjakan shalat malam. Seolah-olah amalan shalat malam ini hanya ada pada bulan Ramadhan saja yaitu ketika melaksanakan shalat tarawih. Seharusnya jika dia betul-betul menjalankan ibadah shalat tarawih dengan baik pasti akan membuahkan kebaikan selanjutnya.

Sebagian salaf mengatakan,

إِنَّ مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةَ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ بَعْدَهَا

“Sesungguhnya di antara balasan amalan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya. Dan di antara balasan dari amalan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir pada tafsir surat Al Lail)

Namun, ibadah shalat malam ini mungkin hanya ibadah musiman saja yaitu dilaksanakan hanya di bulan Ramadhan. Padahal keutamaan shalat malam ini amatlah banyak, di antaranya:

[1] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat setelah shalat wajib. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

[2] Orang yang melakukan shalat malam dijamin masuk surga dan selamat dari adzab neraka. Dari Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا اَلنَّاسُ! أَفْشُوا اَلسَّلَام, وَصِلُوا اَلْأَرْحَامَ, وَأَطْعِمُوا اَلطَّعَامَ, وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ, تَدْخُلُوا اَلْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

“Wahai manusia! Sebarkanlah salam, jalinlah tali silturahmi (dengan kerabat), berilah makan (kepada istri dan kepada orang miskin), shalatlah di waktu malam sedangkan manusia yang lain sedang tidur, tentu kalian akan masuk ke dalam surga dengan penuh keselamatan.” (HR. Tirmidzi no. 2485 dan Ibnu Majah no. 1334. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 569 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

[3] Orang yang melakukan shalat malam akan dicatat sebagai orang yang berdzikir kepada Allah
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ

“Apabila seseorang bangun di waktu malam, lalu dia membangunkan istrinya, kemudian keduanya mengerjakan shalat dua raka’at, maka keduanya akan dicatat sebagai pria dan wanita yang banyak berdzikir pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 1335. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah bahwa hadits ini shohih). Hadits ini menunjukkan bahwa suami istri dianjurkan untuk shalat malam berjama’ah.

[4] Orang yang bangun di malam hari kemudian berwudhu dan melakukan shalat malam, dia akan bersemangat di pagi harinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَقِدَ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ

“Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang dari kalian ketika tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika dia bangun lalu berdzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepas lagi satu ikatan. Kemudian jika dia mengerjakan sholat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 776)

Sangat disayangkan sekali, sebagian orang lebih memilih tidur pulas di malam hari daripada bangun shalat malam. Inilah orang-orang yang mendapat celaan yaitu akan dikencingi setan sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.

Dari Abu Wa’il, dari Abdullah, beliau berkata, “Ada yang mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam
bahwa terdapat seseorang yang tidur malam hingga shubuh (maksudnya tidak bangun malam, pen). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,

« ذَلِكَ الشَّيْطَانُ بَالَ فِى أُذُنَيْهِ ».

“Demikianlah setan telah mengincingi kedua telinganya.” (HR. An Nasa’i no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1330. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 640 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Hendaklah kita merutinkan amalan shalat malam ini di luar ramadhan sebagaimana kita rajin mengerjakannya di bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang dulu gemar shalat malam, namun sekarang dia meninggalkannya.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,

« يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ »

“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si A. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari no. 1152)

Sebaik-baik orang adalah yang mau mengerjakan shalat malam jika tidak berhalangan karena kecapekan atau ingin mengulang pelajaran sebagaimana Abu Hurairah.

نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ ، لَوْ كَانَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik orang adalah Abdullah bin Umar, seandainya dia biasa mengerjakan shalat malam.” (HR. Bukhari no. 1122 dan Muslim no. 2479)

Padahal shalat malam itu mudah dikerjakan, bisa dengan hanya mengerjakan shalat tahajud 2 raka’at dan ditutup witir 1 raka’at, namun sebagian orang enggan mengerjakan shalat yang utama ini.

 

Amalan yang Kontinu (Ajeg), Amalan yang Paling Dicintai

Kalau memang kita gemar melakukan shalat malam atau amalan sunnah yang lainnya, maka hendaklah amalan-amalan tersebut tetap dijaga. Kalau biasa mengerjakan shalat malam 3 raka’at dan dilakukan terus menerus (walaupun jumlah raka’at yang dikerjakan sedikit), maka itu masih mending daripada tidak shalat malam sama sekali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اكْلَفُوا مِنَ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Bebanilah diri kalian dengan amal sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 1228 mengatakan hadits ini shohih)

Ingatlah bahwa rajin ibadah bukanlah hanya di bulan Ramadhan saja. Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut. Dia pun menjawab,

بِئْسَ القَوْمُ لاَ يَعْرِفُوْنَ اللهَ حَقًّا إِلاَّ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ

“Alangkah buruknya tingkah mereka; mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!” (Lihat Latho’if Ma’arif, 244)

Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu sempit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ

“Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.” (HR. Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini shohih)

 

Bid’ah di Bulan Syawal

Ada beberapa bid’ah yang sebaiknya dijauhi oleh setiap muslim di bulan Syawal:

[1] Beranggapan sial jika menikah pada bulan Syawal

Mungkin bid’ah semacam ini jarang terjadi di tempat kita. Malah kebanyakan kaum muslimin di negeri ini melaksanakan hajatan nikah ketika Syawal karena pada saat itu adalah waktu semua kerabat berkumpul berlebaran.

Namun, inilah bid’ah yang terjadi di masa silam dulu (masa jahiliyah). Mereka enggan melaksanakan hajatan nikahan ketika bulan Syawal. Itulah i’tiqod (keyakinan) mereka. Sedangkan di negeri kita, bukan bulan Syawal yang dianggap sial, tetapi bulan Suro (Muharram). Kedua anggapan ini adalah anggapan yang salah. Mengenai anggapan sial nikah di bulan Syawal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah membantah hal ini. Sebagaimana terdapat riwayat dalam Sunan Ibnu Majah (haditsnya dishohihkan oleh Syaikh Al Albani) bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pada bulan Syawal dan keluarga beliau tetap harmonis.

Menganggap bulan Suro atau bulan Syawal sebagai bulan sial untuk melaksanakan beberapa hajatan adalah anggapan yang terlarang dalam agama ini. Beranggapan sial dengan bulan atau waktu sama saja dengan mencelanya. Dan mencela waktu itu sama saja dengan mencela yang menciptakan waktu yaitu Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyatakan bahwa beranggapan sial seperti ini termasuk kesyirikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ »

“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda), tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan tawakkal (pada Allah).” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)

[2] ‘Idul Abror (’Ied pada tanggal 8 Syawal atau diistilahkan dengan Lebaran Ketupat)

Ini adalah bid’ah yang terjadi di beberapa daerah di negeri kita. Entah namanya apa, tetapi maksud dari acara tersebut itu sama.

Sebelumnya mereka melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Lalu mereka berbuka (tidak berpuasa) pada tanggal 1 Syawal. Setelah itu –mulai tanggal 2 Syawal-, mereka melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Lalu pada hari kedelepan dari bulan Syawal, mereka merayakan ‘ied (yang di kalangan Arab dikenal dengan ‘Idul Abror).

Abror di sini bermakna orang baik lawan dari orang fajir yang gemar berbuat maksiat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah perayaan ied semacam ini dengan mengatakan,

“Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebutkan dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Adapun perayaan hari ke-8 Syawal, maka itu bukanlah ‘ied (yang disyari’atkan). Ini bukanlah ‘ied bagi abror (orang sholih/baik) atau pun orang fajir (yang gemar bermaksiat). Tidak boleh bagi seorang pun meyakini perayaan ini sebagai ‘ied. Janganlah membuat ‘ied yang baru selain ‘ied yang sudah ada dalam agama ini (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha).” (Al Ikhtiyarot Al Fiqhiyyah, 199)

Demikian pembahasan seputar amalan yang sebaiknya dilakukan setelah Ramadhan dan perkara yang sebaiknya dijauhi oleh setiap muslim. Semoga kita termasuk orang yang selalu mendapat taufik Allah dan dimudahkan untuk istiqomah dalam agama ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.