Hakikat Amal Shalih

Dua Syarat Amal Shalih

Semua bentuk ibadah baik lahir maupun batin harus memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sehingga setiap amalan yang tidak ikhlas untuk mencari wajah Allah maka itu adalah batil. Demikian pula setiap amalan yang tidak sesuai dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tertolak. Amalan yang memenuhi kedua syarat inilah yang diterima di sisi Allah Ta’ala. (lihat ad-Durrah al-Fakhirah fit Ta’liq ‘ala Manzhumah as-Sair ila Allah wad Daril Akhirah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 15)

Kedua syarat ini telah tercakup di dalam ayat,

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُواْ نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ

“Benar, barangsiapa yang memasrahkan wajahnya kepada Allah dalam keadaan dia berbuat ihsan/kebaikan, maka baginya pahala di sisi Rabbnya, dan mereka tidak akan takut ataupun bersedih.” (QS. Al-Baqarah: 112)

Kalimat “memasrahkan wajahnya kepada Allah” artinya niat dan keinginannya semata-mata untuk Allah; yaitu dia mengikhlaskan ibadahnya untuk Allah. Adapun “dia berbuat ihsan” maksudnya adalah mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhi bid’ah. (lihat at-Ta’liq al-Mukhtashar ‘ala al-Qashidah an-Nuniyah karya Syaikh Shalih al-Fauzan, 2/824-825) 

Dengan demikian hakikat amal salih itu adalah yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah disebut sebagai amal salih yang sebenarnya kecuali apabila memenuhi kedua syarat ini. Dikarenakan begitu pentingnya ikhlas dalam beribadah maka Allah menegaskan hal itu secara khusus dalam firman-Nya,

فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Dan ketika jelas bagi kita bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta ini maka tidak layak Allah dipersekutukan dalam hal ibadah dengan siapa pun juga. (lihat Tafsir Surah al-Kahfi karya Syaikh al-Utsaimin, hal. 153)  

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya. (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ 

“Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan selain-Ku bersama diri-Ku maka Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim)

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda, 

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan [agama] kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia pasti tertolak.”

Di dalam riwayat Muslim, 

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia pasti tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnul Majisyun berkata, Aku pernah mendengar Malik berkata, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu bid’ah yang dia anggap baik (baca: bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah. Sebab Allah berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian.” 

Apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk ajaran agama, maka hari ini hal itu bukan termasuk agama.” (lihat al-I’tisham, [1/64-65])

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu: Untuk siapa? dan Bagaimana? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya. (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 113)

Pentingnya Ikhlas

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, “Barangsiapa mengikhlaskan amal-amalnya untuk Allah serta dalam beramal itu dia mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka inilah orang yang amalnya diterima. Barangsiapa yang kehilangan dua perkara ini -ikhlas dan mengikuti tuntunan- atau salah satunya maka amalnya tertolak. Sehingga ia termasuk dalam cakupan hukum firman Allah Ta’ala,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً

‘Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka perbuat kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23).” (lihat Bahjah al-Qulub al-Abrar, hal. 14 cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwasanya ibadah dan segala bentuk amalan tidaklah menjadi benar kecuali dengan dua syarat; ikhlas kepada Allah ‘azza wa jalla, dan harus sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian sebagaimana beliau terangkan dalam I’anatul Mustafid (Jilid 1, hal. 60-61).

Beliau juga memaparkan, bahwasanya kedua syarat ini merupakan kandungan dari kedua kalimat syahadat. Syahadat “laa ilaha illallah” bermakna kita harus mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah. Syahadat “Muhammad rasulullah” bermakna kita harus mengikuti tuntunan dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1, hal. 61)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka bukanlah perkara yang terpenting adalah bagaimana orang itu melakukan puasa atau sholat, atau memperbanyak ibadah-ibadah. Sebab yang terpenting adalah ikhlas. Oleh sebab itu sedikit namun dibarengi dengan keikhlasan itu lebih baik daripada banyak tanpa disertai keikhlasan. Seandainya ada seorang insan yang melakukan sholat di malam hari dan di siang hari, bersedekah dengan harta-hartanya, dan melakukan berbagai macam amalan akan tetapi tanpa keikhlasan maka tidak ada faidah pada amalnya itu; karena itulah dibutuhkan keikhlasan … ” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 17-18)

Perintah Mengikuti Sunnah

Di dalam hadits Irbadh bin Sariyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى

“Hendaklah kalian berpegang dengan Sunnahku …” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata : hadits ini hasan sahih). 

Yang dimaksud dengan istilah “sunnah” di sini adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya janganlah kalian mengada-adakan di dalam agama ini sesuatu yang bukan termasuk bagian dari ajarannya dan jangan keluar dari syari’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Syarh al-Arba’in oleh al-Utsaimin, hal. 302)

Dengan demikian istilah “sunnah” di sini bermakna umum mencakup keyakinan, amalan, dan ucapan. Inilah sunnah dengan makna yang lengkap. Oleh sebab itu para ulama salaf tidak memakai istilah sunnah kecuali dengan maksud yang mencakup ini semua/seluruh ajaran agama. Kemudian para ulama belakangan setelah mereka sering menggunakan istilah “sunnah” dengan makna yang lebih khusus yaitu yang berkaitan dengan urusan akidah atau keyakinan. Hal ini bisa dipahami karena masalah akidah merupakan pondasi agama sehingga orang yang menyimpang dalam perkara ini berada dalam bahaya yang sangat besar. (lihat Jami’ al-‘Ulum wal Hikam, hal. 333)

Istilah “sunnah” inilah yang sering kita dengar dalam penyebutan ahlus sunnah wal jama’ah. Sebab sunnah di sini maknanya adalah jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebelum munculnya berbagai bentuk bid’ah dan pendapat-pendapat yang menyimpang. Adapun istilah “jama’ah” di sini maksudnya adalah orang-orang yang berkumpul di atas kebenaran yaitu para sahabat dan tabi’in; para pendahulu yang salih dari umat ini (lihat Syarh al-Wasithiyah oleh Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal. 61 tahqiq Alawi Abdul Qadir as-Saqqaf)

Semoga yang singkat ini bermanfaat. Wallahul muwaffiq.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Artikel: Muslim.or.id

Yang Manakah Niat Kita saat Beramal?

NIAT seseorang ketika beramal ada beberapa macam:

[Pertama] Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.

[Kedua] Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.

[Ketiga] Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133)

INILAH MOZAIK

Jika Amalan Semata-Mata Karena Dunia

ADAPUN amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:

[Pertama] Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.

Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.

[Kedua] Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlas, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syariat telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.

INILAH MOZAIK

Amalan yang Berujung Kerugian

SYAIKH Muhammad At Tamimi rahimahullah- membawakan pembahasan ini dalam Kitab Tauhid pada Bab “Termasuk kesyirikan, seseorang beribadah untuk mencari dunia”. Beliau rahimahullah- membawakannya setelah membahas riya. Kenapa demikian?

Riya dan beribadah untuk mencari dunia, keduanya sama-sama adalah amalan hati dan terlihat begitu samar karena tidak nampak di hadapan orang banyak. Namun, Keduanya termasuk amalan kepada selain Allah Taala. Ini berarti keduanya termasuk kesyirikan yaitu syirik khofi (syirik yang samar).

Keduanya memiliki perbedaan. Riya adalah beramal agar dilihat oleh orang lain dan ingin tenar dengan amalannya. Sedangkan beramal untuk tujuan dunia adalah banyak melakukan amalan seperti shalat, puasa, sedekah dan amalan sholeh lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan balasan segera di dunia semacam mendapat rizki yang lancar dan lainnya.

Tetapi perlu diketahui, para ulama mengatakan bahwa amalan seseorang untuk mencari dunia lebih nampak hasilnya daripada riya. Alasannya, kalau seseorang melakukan amalan dengan riya, maka jelas dia tidak mendapatkan apa-apa.

Namun, untuk amalan yang kedua, dia akan peroleh kemanfaatan di dunia. Akan tetapi, keduanya tetap saja termasuk amalan yang membuat seseorang merugi di hadapan Allah Taala. Keduanya sama-sama bernilai syirik dalam niat maupun tujuan. Jadi kedua amalan ini memiliki kesamaan dari satu sisi dan memiliki perbedaan dari sisi yang lain.

INILAH MOZAIK

Khutbah Jumat Bulan Safar: Empat Amal Berhadiah Surga

Khutbah Jumat Bulan Safar ini mengambil tema Empat Amal Berhadiah Surga. Bersumber dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setibanya beliau di Madinah. Ada empat hal yang beliau ajarkan pada awal di Madinah dan keempatnya merupakan tiket menuju surga.

Apa saja dan bagaimana penjelasannya? Berikut ini kami persembahkan dalam bentuk teks khutbah Jumat:

Khutbah Pertama dari Khutbah Jumat Bulan Safar

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا . مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ . وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ . اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Hari ini kita berada di Jumat terakhir bulan Shafar 1441 hijriyah. Tepatnya tanggal 26 Shafar 1441. Tepat pada hari ini, 1441 tahun yang lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat hijrah. Meninggalkan rumah beliau untuk hijrah ke Yatsrib, yang kelak dinamakan Madinah.

Rasulullah tiba di Madinah pada tanggal 12 Rabiul Awal. Disambut dengan penuh suka cita oleh penduduk Madinah.

Salah satu hadits yang beliau sabdakan di awal-awal berada di Madinah adalah empat amal berhadiah surga. Beliau mengajarkan kepada para sahabat di Madinah:

أَفْشُوا السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ

“Sebarkan salam/kedamaian, berilah makanan, sambunglah silaturahim, shalatlah di malam hari ketika orang lain sedang tidur, niscaya kalian masuk surga dengan penuh keselamatan.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad; shahih)

1. Sebarkan Kedamaian

Jamaah Jum’at hafidhakumullah,
Pesan pertama Rasulullah adalah afsyus salaam. Sebarkan salam. Sebarkan kedamaian. Rasulullah menganjurkan umatnya ketika bertemu dengan sesama muslim untuk mengucapkan salam. Beliau juga memerintahkan umatnya untuk menyebarkan kedamaian.

Kapan pun waktunya dan di mana pun berada, seorang muslim harus menjadi penebar kedamaian. Sebab salah satu makna Islam adalah kedamaian. Dan sejak awal Islam mencintai kedamaian.

Sejak dakwah Islam pertama setelah Rasulullah menerima wahyu hingga wafatnya beliau, tak ada satu orangpun yang dipaksa masuk Islam. Islam disebarkan dengan penuh kedamaian, bahkan saat Rasulullah disakiti ketika mendakwahkan Islam, beliau tidak serta merta membalas dengan kekerasan.

Baik di Makkah maupun di Madinah, orang-orang masuk Islam dengan damai. Setelah masa Rasulullah pun, tak ada yang dipaksa untuk masuk Islam. Termasuk dakwah Islam di Indonesia yang kemudian menjadi mayoritas muslim. Islam disebarkan dengan damai, tak ada yang dipaksa karena Allah telah menegaskan dalam firman-Nya:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).. (QS. Al Baqarah: 256)

Sejak awal dakwahnya, Islam adalah agama penebar kedamaian. Rasulullah mencontohkan bagaimana berbuat baik kepada setiap orang, meskipun orang itu tidak memeluk Islam.

Sewaktu di Makkah, umat Islam disakiti sedemikian rupa. Dicaci, disiksa, bahkan ada yang dibunuh seperti Yasir dan Sumayyah, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk bersabar. Barulah di Madinah, turun ayat-ayat jihad dan terjadi peperangan. Namun semua peperangan yang terjadi di masa Rasulullah, dijelaskan Syaikh Yusuf Qardhawi dalam Fiqih Jihad sebagai peperangan defensif. Perang dalam rangka membela diri.

Perang Badar, karena awalnya kaum muslimin ingin mengambil harta mereka yang dirampas dan dijarah sewaktu ditinggal hijrah. Namun setelah kafilah dagang Abu Sufyan lolos, pasukan kafir Quraisy dibawah pimpinan Abu Jahal justru ingin menghancurkan Islam. Maka terjadilah perang badar.

Perang uhud, orang-orang kafir Quraisy ingin menghancurkan Madinah. Maka disambut kaum muslimin di bukit Uhud. Perang Ahzab, kafir Quraisy dan sekutunya hendak menyerang Madinah, maka dibuatlah parit (khandaq) untuk menahan agar mereka tak bisa masuk Madinah. Demikian seterusnya, setiap perang di masa Rasulullah selalu dilatarbelakangi oleh adanya upaya penyerangan dari musuh Islam.

Demikian pula fakta historis sepanjang sejarah. Islam adalah agama yang cinta kedamaian. Maka jika ada yang menuduh Islam agama kekerasan, tanyakah kepada mereka. Siapakah yang menyulut perang dunia pertama? Bukan orang Islam. Siapakah yang menyulut perang dunia kedua? Bukan orang Islam.

Siapakah yang menjatuhkan bom atom atas Hiroshima? Bukan orang Islam. Siapakah yang membantai 20 juta suku Aborigin di Australia? Bukan orang Islam. Siapakah yang membantai lebih dari 100 juta suku indian merah di Benua Utara Amerika? Bukan orang Islam. Siapakah yang membantai lebih dari lebih dari 50 juta Indian merah di benua Selatan Amerika? Bukan orang Islam.

Siapakah yang menjadikan lebih dari 150 juta manusia dari Afrika sebagai budak (apartheid), Diantara 77 % dari mereka mati di perjalanan dan dikubur di lautan Atlantik? Bukan orang Islam.

Siapa yang membunuh jutaan orang Indonesia selama 350 tahun penjajahan? Bukan orang Islam. Siapa yang membunuh ratusan ribu orang Palestina dan mengusir dari tanah kelahirannya? Bukan orang Islam.

2. Berikan Makan

Jamaah Jumat rahimakumullah,
Pesan kedua yang disampaikan Rasulullah adalah berikan makanan kepada orang yang membutuhkan. Inilah humanisme Islam. Inilah kepedulian Islam.

Islam menghendaki manusia saling tolong menolong. Maka jika ada yang membutuhkan, hendaklah ditolong dan umat Islam harus menjadi pelopor dalam menolong orang lain. Apalagi jika yang dibutuhkan adalah kebutuhan primer yang mendesak. Seperti makanan.

Sejak di Makkah, spirit menolong orang lain sudah ditanamkan. Yang paling monumental adalah turunnya Surat Al Maun yang mencela para pendusta agama yakni mereka yang suka menghardik anak yatim dan tidak mau memberi makan fakir miskin.

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ . فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ . وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (QS. Al Ma’un: 1-3)

Tiga ayat ini turun berkenaan dengan tokoh kafir Quraisy yang biasa menyembelih unta setiap pekan. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta sedikit daging dari unta yang telah disembelih itu. Namun ia tidak diberi justru dihardik dan diusir.

Islam menyebut mereka itu pendusta agama. Sebaliknya, Islam mengajarkan pemeluknya menjadi orang yang peka dengan lingkungannya dan suka menolong orang lain yang membutuhkan. Terutama fakir miskin dan anak yatim.

3. Menyambung Silaturahim

Pesan ketiga yang diajarkan Rasulullah adalah menyambung silaturahim. Bukan hanya kepada keluarga dekat tetapi juga tetangga, sahabat dan teman.

Mereka yang sudah terikat dengan silaturahim, janganlah diputuskan. Bahkan silaturahim terbaik, kata Rasulullah adalah menyambung silaturahim kepada orang yang memutuskannya.

Silaturahim ini luar biasa manfaatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ, وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ, فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barangsiapa ingin dilapangkan rezekinya, dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung tali silaturahim. (HR. Bukhari)

4. Sholat malam

Yang keempat adalah sholat malam. Qiyamul lail. Ini merupakan sholat sunnah yang paling utama.

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ قِيَامُ اللَّيْلِ

“Sholat yang paling utama setelah sholat fardhu adalah sholat malam” (HR. An Nasa’i)

Apalagi ketika didahului dengan tidur, menjadi sholat tahajud yang keutamaannya Allah firmankan dalam Al Quran:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

“Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 79)

Semoga kita semua dimudahkan Allah untuk mengamalkan empat amal ini dan Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya.

أَقُوْلُ قَوْلِ هَذَا وَاسْتَغْفِرُوْاللَّهَ الْعَظِيْمِ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Khutbah Kedua Khutbah Jumat Bulan Safar

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ . أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Di khutbah yang kedua ini marilah kita berdoa kepada Allah semoga Allah mengampuni kita atas segala dosa dan kesalahan. Semoga Allah menjaga kita dan seluruh kaum mukimin termasuk aqidahnya. Juga memberkahi negeri ini dan seluruh negeri kaum muslimin.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللَّهُمَّ باَرِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ باَرَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ . رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ. اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ . رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

[Khutbah Jumat Bulan Safar edisi 25 Oktober 2019; Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH



15 Amalan Mudah dan Ringan, Besar Pahala

DI antara yang diajarkan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pada kita adalah rutin mengamalkan amalan shalih meskipun amalan itu sedikit dan ringan, atau bahkan dipandang remeh oleh sebagian orang. Namun ternyata tanpa kita sangka, ternyata amalan tersebut mengandung pahala yang besar.

Berikut adalah beberapa amalan yang mudah dan ringan untuk dilakukan, namun besar pahalanya, berdasarkan hadits yang shahih:

Pertama, membaca: subhaanallaahi wa bihamdihi subhaanallaahil adzim

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Ada dua kalimat yang dicintai oleh Allah, ringan di lisan, dan berat ditimbangan: (yaitu bacaan) subhaanallaahi wa bihamdihi subhaanallaahil adzim [Mahasuci Allah dan dengan memujiNya, Mahasuci Allah Yang Mahaagung]” (HR. Al Bukhari)

Kedua, wudhu dengan sempurna dan membaca doa, sebagaimana hadits berikut:

Dari Umar bin Khattab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang berwudhu dengan sempurna, kemudian selesai wudlu dia membaca: asyhadu allaa ilaha illallah wa anna muhammadan abdullahi wa rasulullah [aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan RasulNya], maka akan dibukakan untuknya pintu surga yang jumlahnya delapan, dan dia boleh masuk dari pintu mana saja yang dia sukai.” (HR. Muslim)

Ketiga, menghadiri salat Jumat di awal waktu dengan memperhatikan adabnya.

Dari Aus bin Aus Ats Tsaqafi, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang membasuh (kepalanya) dan mencuci (seluruh tubuhnya) di hari Jumat (mandi besar), lalu berangkat ke masjid pagi-pagi, dan dia mendapatkan khutbah dari awal, dia berjalan dan tidak naik kendaraan, dia mendekat ke khatib, konsentrasi mendengarkan khutbah dan tidak berbicara, maka setiap langkahnya (dinilai) sebagaimana pahala puasa dan salat malam selama setahun.” (HR. Abu Dawud, At tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan dinilai shahih oleh Al Albani)

Abu Zurah mengatakan: “Saya tidak pernah menjumpai satu hadits yang menceritakan pahala yang besar dengan amal yang sedikit yang lebih sahih dari hadits ini.”

Keempat, salat dhuha dua rakaat

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Setiap ruas tulang kalian wajib disedekahi, setiap tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir bernilai sedekah, amar maruf nahi munkar bernilai sedekah, dan semua kewajiban sedekah itu bisa ditutupi dengan dua rakaat shalat dhuha.” (HR. Muslim & Abu Dawud)

Kelima, berzikir di masjid setelah subuh.

Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang salat subuh berjemaah, kemudian tetap duduk di masjid sampai terbit matahari, kemudian salat dua rakaat, maka dia mendapat pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna.” (HR. At Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Al Albani)

Keenam, membaca Alquran.

Dari Abdullah bin Masud, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Alquran maka dia mendapat satu pahala kebaikan. Dan setiap satu pahala itu dilipatkan menjadi 10 kali.” (HR. At Tirmidzi, At Thabrani dan dinilai shahih oleh Al Albani)

Ketujuh, membaca dzikir ketika masuk pasar atau tempat keramaian.

Dari Abdillah bin Amr bin Ash, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang masuk pasar kemudian dia membaca: laa ilaha illallahu wahdahu laa syarikalahu lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumiit wa huwa hayyun laa yamuutu, biyadihil khair, wa huwa ala kulli syaiin qadiir [tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah tiada sekutu bagiNya, milikNyalah seluruh kerajaan. Dan milikNyalah seluruh pujian, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahahidup dan tidak mati, di TanganNyalah segala kebaikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu] maka Allah catat untuknya sejuta kebaikan, Allah hapuskan sejuta kesalahan, dan Allah angkat untuknya satu juta derajat.” (HR. At Tirmidzi, Al Hakim, Ad Darimi dan dinilai hasan oleh Al Albani)

Kedelapan, salat berjemaah di masjid.

Dari Abu Umamah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang keluar dalam keadaan suci, menuju masjid untuk melaksanakan salat jemaah, maka pahalanya seperti pahala seperti orang yang sedang haji dalam keadaan ihram.” (HR. Abu Dawud dan dinilai hasan oleh Al Albani)

Kesembilan, berzikir ketika terbangun dari tidur (nglilir)

Dari Ubadah bin Shamit, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang terbangun (nglilir) ketika tidur malam kemudian dia membaca: laa ilaha illallahu wahdahu laa syarikalahu lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ala kulli syaiin qadiir. Alhamdulillah, wa subhanallah, wa laa ilaha illallah wallahu akbar wa laa haula wa laa quwwata illa billah [tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah semata tiada sekutu bagiNya, milikNyalah seluruh kerajaan, milkNyalah segala pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Segala puji milik Allah, Mahasuci Allah, tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, Allah Mahabesar. Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah] kemudian dia beristighfar atau berdoa maka akan dikabulkan. Jika dia berwudhu kemudian shalat dua rakaat maka shalatnya diterima.” (HR. Bukhari & Abu Dawud)

Ke-10, salat sunah dua rakaat sebelum subuh.

Dari Aisyah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dua rakaat sebelum subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim)

Ke-11, membaca selawat

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca selawat untukku sekali, maka Allah akan memberikan selawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang membaca shalawat untukku sekali, maka Allah akan memberikan selawat kepadanya sepuluh kali, dihapuskan sepuluh kesalahan, dan diangkat sepuluh derajat.” (HR. An Nasai, shahih)

Ke-12, menjawab azan dan membaca doa setelah azan.

Dari Jabir bin Abdillah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mendengarkan azan kemudian dia membaca doa: Allahumma rabba hadzihid dawatittammah washshalatil qaimah, ati muhammadanil wasilata wal fadhilah wabats-hu maqamam mahmudanilladzi waadtahu, [Ya Allah, Rabb pemilik panggilan yang sempurna dan salat wajib yang ditegakkan, berikanlah kepada Muhammad wasilah dan fadhilah. Bangkitkanlah beliau ke tempat terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya, maka dia berhak mendapat syafaatku pada hari kiamat].” (HR. Bukhari)

Ke-13, membaca zikir setiap pagi dan sore. Di antara zikir yang disyariatkan adalah membaca : “subahanallah wa bihamdihi”

Dari Abu Hurairah radliallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa di waktu pagi dan sore membaca: subahanallah wa bihamdihi seratus kali maka tidak ada seorang pun yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala yang lebih baik dari pahala yang dia bawa, kecuali orang yang membaca seperti yang dia baca atau lebih banyak.” (HR. Muslim)

Ke-14, mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang mengajak orang lain untuk melakukan kesesatan dan maksiat maka dia mendapat dosa sebagaimana dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim)

Ke-15, rajin beristighfar

Dari Ibn Abbas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang rajin beristighfar maka Allah akan berikan jalan keluar setiap ada kesulitan, Allah berikan penyelesaian setiap mengalami masalah, dan Allah berikan rezeki yang tidak disangka-sangka.” (HR. Abu Dawud, hasan lighairihi). Selamat mengamalkan. [At-Tauhid/Ammi Nur Baits]

 

 

Amalan di Bulan Muharram

Berikut adalah beberapa amalan sunnah di bulan Muharram:

Memperbanyak puasa selama bulan Muharram
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم

“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يتحرى صيام يوم فضَّلة على غيره إلا هذا اليوم يوم عاشوراء ، وهذا الشهر – يعني شهر رمضان

“Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)

Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كان يوم عاشوراء تعده اليهود عيداً ، قال النبي صلى الله عليه وسلم : « فصوموه أنتم ».

Dulu hari Asyura’ dijadikan orang yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)

Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

سئل عن صوم يوم عاشوراء فقال كفارة سنة

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ «أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا».

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari)

Keterangan:
Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:

أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار : ((من أصبح مفطراً فليتم بقية يومه ، ومن أصبح صائماً فليصم)) قالت: فكنا نصومه بعد ونصوّم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار

Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan:

كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية ،فلما قد المدينة صامه وأمر بصيامه ، فلما فرض رمضان ترك يوم عاشوراء ، فمن شاء صامه ، ومن شاء تركه

Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:

حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه ، قالوا : يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((فإذا كان العام المقبل ، إن شاء الله ، صمنا اليوم التاسع )) . قال : فلم يأت العام المقبل حتى تُوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan. (HR. Al Bukhari)

Adakah anjuran puasa tanggal 11 Bulan Muharram?

Sebagian ulama berpendapat, dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah puasa Asyura’. Pendapat ini berdasarkan hadis:

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما

“Puasalah hari Asyura’ dan jangan sama dengan model orang yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad, Al Bazzar).

Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Ahmad Syakir. Hadis ini juga dikuatkan hadis lain, yang diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra dengan lafadz:

صوموا قبله يوماً وبعده يوماً

“Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.”

Dengan menggunakan kata hubung وَ (yang berarti “dan”) sementara hadis sebelumnya menggunakan kata hubung أَوْ (yang artinya “atau”).

Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan status hadis di atas:
Hadis ini diriwayatkan Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad dhaif, karena keadaan perawi Muhammad bin Abi Laila yang lemah. Akan tetapi dia tidak sendirian. Hadis ini memiliki jalur penguat dari Shaleh bin Abi Shaleh bin Hay. (Ittihaf al-Mahrah, hadis no. 2225)
Demikian keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Munajed.

Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa puasa tanggal 11 tidak disyariatkan, karena hadis ini sanadnya dhaif. Sebagaimana keterangan Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam ta’liq musnad Ahmad. Hanya saja dianjurkan untuk melakukan puasa tiga hari, jika dia tidak bisa memastikan tanggal 1 Muharam, sebagai bentuk kehati-hatian.
Imam Ahmad mengatakan:

Jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian. Beliau mempraktekkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al Mughni, 3/174. Diambil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 52).

Disamping itu, melakukan puasa 3 hari, di tanggal 9, 10, dan 11 Muharram, masuk dalam cakupan hadis yang menganjurkan untuk memperbanyak puasa selama di bulan Muharram. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan:

  1. Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya.
  2. Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadis.
  3. Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja.

(Zadul Ma’ad, 2/72)

Bolehkah puasa tanggal 10 saja?

Sebagian ulama berpendapat, puasa tanggal 10 saja hukumnya makruh. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berencana untuk puasa tanggal 9, di tahun berikutnya, dengan tujuan menyelisihi model puasa orang yahudi. Ini merupakan pendapat Syaikh Ibn Baz rahimahullah.

Sementara itu, ulama yang lain berpendapat bahwa melakukan puasa tanggal 10 saja tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik, diiringi dengan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, dalam rangka melaksanakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam majmu’ fatawa, Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya:
Bolehkah puasa tanggal 10 Muharam saja, tanpa puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Mengingat ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hukum makruh untuk puasa tanggal 10 muharram telah hilang, disebabkan pada saat ini, orang yahudi dan nasrani tidak lagi melakukan puasa tanggal 10.
Beliau menjawab:
Makruhnya puasa pada tanggal 10 saja, bukanlah pendapat yang disepakati para ulama. Diantara mereka ada yang berpendapat tidak makruh melakukan puasa tanggal 10 saja, namun sebaiknya dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Dan puasa tanggal 9 lebih baik dari pada puasa tanggal 11. Maksudnya, yang lebih baik, dia berpuasa sehari sebelumnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika saya masih hidup tahun depan, saya akan puasa tanggal sembilan (muharram).” maksud beliau adalah puasa tanggal 9 dan 10 muharram….. Pendapat yang lebih kuat, melaksanakan puasa tanggal 10 saja hukumnya tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik adalah diiringi puasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/42)

 

KonsultasiSyariah.com

 

Amalan Sunah yang Dijaga di Bulan Ramadan (1)

BERIKUT beberapa amalan sunah yang sebaiknya dijaga di bulan Ramadan:

a. Sholat dua rokaat sebelum subuh

Dari Aisyah rodhiyallohu anha dari Nabi bersabda: Dua rokaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya. (HR. Muslim 725).

b. Menjaga sholat sunnah rowatib yang 12 rokaat dan sebaiknya dikerjakan di rumah.

Dari Ummu Habibah rodhiyallohu anha, ia mendengar Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang sholat 12 rokaat dalam sehari semalam sholat sunnah maka dibangunkan baginya sebuah rumah di syurga.” (HR. Muslim 728)

c. Duduk di masjid sambil berdzikir setelah sholat subuh sampai terbit matahari dan sholat dua rokaat (sholat dhuha di awal waktu).

Dari Anas bin Malik rodhiyallohu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang sholat subuh secara berjamaah kemudian duduk berdzikir kepada Alloh sampai terbitnya matahari lalu ia sholat dua rokaat maka baginya pahala seperti haji dan umroh, sempurna.. sempurna.. sempurna..” (HR. At Tirmidzi 589 , Shohih at Targhib wa at Tarhib 464).

Jika tidak memungkinkan maka jangan tinggalkan sholat dhuha (sholat Isyroq/ awwabien) di mana saja anda berada. Waktunya sejak matahari naik sepenggalah sampai sebelum zawal (masuknya waktu dzhuhur).

INILAH MOZAIK

Amalan Ringan untuk Orang Sibuk (4)

SEKARANG kita akan melihat beberapa amalan ringan untuk orang sibuk namum tak kalah dari sisi pahala.

Amalan #04: Shalat Berjamaah di Masjid bagi Pria

Dari Anas radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada suatu malam mengakhirkan shalat Isya sampai tengah malam. Kemudian beliau menghadap kami setelah shalat, lalu bersabda, “Shalat jamaah lebih baik 27 derajat dibanding shalat sendirian.” (HR. Bukhari, no. 645 dan Muslim, no. 650)

Amalan #05: Memperbanyak Sujud (Memperbanyak Shalat Sunnah)

Madan bin Abi Thalhah Al-Yamariy, ia berkata, “Aku pernah bertemu Tsaubanbekas budak Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu aku berkata padanya, Beritahukanlah padaku suatu amalan yang karenanya Allah memasukkanku ke dalam surga. Atau Madan berkata, Aku berkata pada Tsauban, Beritahukan padaku suatu amalan yang dicintai Allah. Ketika ditanya, Tsauban malah diam.

Kemudian ditanya kedua kalinya, ia pun masih diam. Sampai ketiga kalinya, Tsauban berkata, Aku pernah menanyakan hal yang ditanyakan tadi pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

Hendaklah engkau memperbanyak sujud (perbanyak shalat) kepada Allah. Karena tidaklah engkau memperbanyak sujud karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatmu dan menghapuskan dosamu. Lalu Madan berkata, Aku pun pernah bertemu Abu Darda dan bertanya hal yang sama. Lalu sahabat Abu Darda menjawab sebagaimana yang dijawab oleh Tsauban padaku. (HR. Muslim, no. 488)

Hadits di atas menunjukkan keutamaan (fadhilah) memperbanyak shalat khususnya shalat sunnah. Itulah maksud memperbanyak sujud. Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa maksud memperbanyak sujud adalah memperbanyak sujud dalam shalat. (Syarh Shahih Muslim, 4:184)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Amalan Ringan untuk Orang Sibuk (3)

SEKARANG kita akan melihat beberapa amalan ringan untuk orang sibuk namum tak kalah dari sisi pahala.

Amalan #03: Shalat Wanita di Rumah

Dari Ummu Salamah radhiyallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya)

Istri dari Abu Humaid As-Saidi, yaitu Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat berjamaah bersamamu.” Beliau shallallahu alaihi wa sallam lantas menjawab,

“Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku. Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).” Ummu Humaid lantas meminta dibangunkan tempat shalat di pojok kamar khusus miliknya, beliau melakukan shalat di situ hingga berjumpa dengan Allah (meninggal dunia, pen.). (HR. Ahmad, 6:371. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Namun jika wanita ingin melaksanakan shalat berjamaah di masjid selama memperhatikan aturan seperti menutup aurat dan tidak memakai harum-haruman, maka janganlah dilarang.

Dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.” (HR. Muslim, no. 442)

 

INILAH MOZAIK