Dari Keluarga, Anak Mengenal Nilai-Nilai Agama

Dalam proses kehidupan, manusia memasuki beberapa fase yang harus dilewati. Pada fase pertama, manusia terlahir dalam ketergantungan dan belum berdaya melakukan apa-apa; segala keinginan hanya mampu diekspresikan dengan menangis. Kendati demikian, kebelumberdayaan itu telah Allah sempurnakan dengan berfungsinya pendengaran, penglihatan dan hati sejak ia di dalam kandungan.

Bulan berganti, bayi pun tumbuh menjadi sosok yang mulai mampu melakukan sesuatu. Memasuki masa kanak-kanak, penanaman nilai-nilai kebaikan dengan contoh yang sederhana sangat dianjurkan. Fase ini juga disebut dengan golden age (usia emas) sebab anak-anak—dengan ketajaman indera penglihatan yang mereka miliki—pandai meniru siapapun entah hal itu baik maupun buruk.

Pada fase ini pula, pengetahuan apapun yang diberikan kepada mereka, akan tertanam kuat hingga mereka dewasa dan menua. Karena masa golden age yang tak terulang inilah penguatan peranan keluarga sangat dibutuhkan oleh anak-anak melalui penanaman nilai-nilai kebaikan dan keagamaan.

Teori Perkembangan Anak

Ada beberapa teori mengenai rasa ketergantungan (Sense of Depend). Teori ini dikemukakan oleh Thomas van Aquino melalui teori Four Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu: keinginan untuk mendapatkan perlindungan (security), keinginan untuk mendapatkan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapatkan tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognation).

Teori yang kedua adalah insting keagamaan—yang menurut Woodsworth insting ini terbentuk semenjak anak mulai mengenal fungsi-fungsi kejiwaan dari lingkungan tempat ia tinggal. Teori kedua inilah yang menjadi pijakan dasar kita semua bahwa hal terpenting yang harus dipriotitas dan dikuatkan adalah pengetahuan tentang agama dan penanaman nilai-nilai kebaikan.

Dalam buku The Development of Religious of Children karya Ernest Harms, perkembangan agama pada anak-anak melalui tiga fase (tingkatan), yaitu The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng— usia 3 hingga 6 tahun) dimana anak lebih menyukai sesuatu jika diceritakan sekaligus melatih kemampuan imajinasinya. Tingkatan kedua yaitu The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan—usia masuk sekolah dasar hingga remaja), fase yang menghendaki pembuktian sederhana atas pengalaman beragama mereka.

Dan fase terakhir adalah The Individual Stage (Tingkat Individu) yakni masa-masa remaja hingga orangtua yang lebih menekankan kesadaran beragama pada tiap individu serta bagaimana pengalaman beragama mereka mampu membuat mereka lebih sadar dan dekat akan keberadaan Sang Pencipta.

 

Pendidikan Agama Anak

Tentu saja, keseluruhan dari perkembangan beragama pada anak ini tidak akan mampu tumbuh dengan baik jika tidak dipupuk oleh peranan keluarga—yang dalam hal ini adalah orangtua, lebih spesifik lagi adalah ibu sebagai seutama-utamanya sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Sebab, menanamkan nilai-nilai kebaikan sebagai anjuran Tuhan juga memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on authority.

Ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya authoritarius maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka  dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat dan mempelajari hal-hal yang berada dari luar diri mereka. Orangtua memiliki pengaruh yang sangat besar sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki.

 

Sifat Agama pada Diri Anak

Berdasarkan hal tersebut, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi dua bagian besar yaitu:

Pertama, Unreflective. Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak, 73 persen mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Kebenaran yang mereka terima tanpa kritik dan tidak mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan merekka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.

Meski demikian, pada beberapa anak memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain. Sebagai contoh Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakkan sebuah gunung.

Berdasarkan pengetahuan tersebut, maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada di daerah Washington ke laut. Karena keinginannya itu tidak terwujud, maka semenjak itu ia tak mau berdoa lagi.

Contoh di atas sudah menunjukkan bahwa anak kritis walau bersifat sederhana. Menurut penelitian, pikiran kritis baru timbul pada usia 12 tahun sejalan dengan pertumbuhan moral. Di usia tersebut, bahkan anak kurang cerdaspun menunjukkan pemikiran yang korektif. Disini menunjukkan bahwa anak meragukan kebenaran ajaran agama pada aspek-aspek yang bersifat konkret.

Egois

Kedua, Egosentris. Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya.

Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak-kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah.Hal yang demikian menganggu pertumbuhan keagamaannya,

 

Peranan Keluarga

Berdasarkan paparan sederhana di atas, maka dapat kita bayangkan jika mereka (anak-anak) hidup dalam ketiadaan peranan keluarga atau orangtua yang akan menjembatani pemahaman mereka dalam mengenal Tuhan dan segenap ciptaan-Nya. Mengenal hal-hal apa saja yang harus mereka lakukan atau perilaku mana yang harus mereka jauhi.

Urgensi peranan keluarga sangat menentukan kekuatan spiritual anak-anak. Jika penanaman nilai-nilai keagamaan tidak dipupuk sejak dini, maka betapa miris generasi yang akan terlahir berikutnya. Padahal, anak-anak yang sukses adalah mereka yang mampu memahami Tuhan dengan pemahaman universal bahwa cukuplah Dia yang disembah dan diyakini kekuatannya, juga karena kecintaannya kepada Tuhan itulah yang mengantarkan mereka untuk juga mencintai kedua orangtua, keluarga dan sesamanya.

Dapat kita saksikan bahwa saat ini—fenomena sosial yang menimpa generasi kita saat ini telah banyak terjadi; anak-anak yang terjerat narkoba, minum-minuman keras, bisnis prostitusi, kasus remaja hamil di luar nikah, belum lagi krisis kejujuran saat ujian nasional diadakan dan sederet masalah-masalah sosial yang sebenarnya akar dari semua permasalahan ini adalah peranan keluarga yang belum dominan dalam menanamkan pengetahuan tentang rasa takut kepada Tuhan. Sebab, di era digitalisasi ini cobaan orangtua (keluarga) bukan hanya lingkungan sekitar tapi juga tontonan dan gadget yang bertebaran.

Sungguh memang merawat buah hati bukan hal mudah, namun jika keluarga bersedia menyamakan visi dan menguatkan peranan mereka demi terciptanya generasi yang taat dan tangguh, maka tidak ada kata tidak mungkin untuk generasi yang lebih baik di masa mendatang. Ya, untuk menjadi bangsa besar yang cerdas dan penuh wibawa, harus dimulai dari didikan lingkup terkecil; yakni keluarga.

 

Oleh: Ina Salma Febriany

sumber: Republika Online