Kisah Pedih Anak-Anak Yatim Irak dari Sudut-Sudut Baghdad

Hampir tidak ada, ilustrasi kebahagiaan tentang anak-anak di Iraq. Kekerasan dan perang selama bertahun-tahun, telah merenggut masa depan indah yang seharusnya mereka miliki. Mereka dipaksa bekerja di pasar-pasar, meninggalkan sekolah, demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka, anak-anak yatim, berjumlah jutaan di Iraq. Kebanyakan mereka lebih memilih jalanan sebagai tempat tinggal sekaligus mengais rizki.

Mari dengar catatan pedih seorang anak bernama Shalih (11). Dunia penderitaan baginya berawal saat mendapati tubuh ayahnya terkapar akibat sebuah bom meledak di rumah makan tempat ayahnya bekerja. Sang ibu, lalu berkata padanya, “Nak, kamu harus tinggalkan bangku sekolah. Kita tidak mempunyai pilihan lain.“ Awalnya, Shalih mencoba menjawab dengan mengatakan, “Bu, nilai matematikaku nomor satu di sekolah.“ Tapi jawaban itu tak membuat ibunya senang. Keadaan akhirnya memaksa Shalih bekerja di sebuah pabrik pengolah rumput yang tak jauh dari rumahnya, guna menambah penghasilan. Meski masih kanak-kanak, Shalih adalah anak tertua di antara tiga adik-adiknya yang sama sekali tak mungkin diminta bekerja.

Menurut Shalih, awalnya ia sangat suka bekerja di pabrik itu. Ia baru mendapatkan musibah sangat berat, saat atasan pabrik tempatnya bekerja melakukan pelecehan seksual kepadanya. Shalih takut menyampaikan prihal itu pada ibunya, sampai akhirnya ada juga salah seorang buruh yang menyampaikannya.“Aku tidak mau kembali ke tempat itu lagi, dan bekerja sebagai penjual rokok di jalan-jalan Baghdad. Aku berdo’a siangmalam agar Allah menolong keluargaku dan mengangkatku dari jalanan agar bisa duduk di bangku sekolah kembali. Dalam keadaan seperti ini, tak ada yang bisa diharapkan kecuali Allah swt…“ ujarnya lirih.

Kisah derita anak-anak jalanan di Baghdad,  umumnya hadir dari mereka yang keluarganya  sudah tidak utuh, baik karena satu atau kedua orang tua mereka sudah tiada. Mereka terpaksa menapaki panas di siang hari, meninggalkan bangku sekolah, untuk mengais rezeki. Menurut Unicef, saat ini diperkIraqan lebih dari 20% anak-anak di Iraq berhenti sekolah. Sekitar 220 ribu dari mereka ada yang terpaksa bekerja dan ada pula yang dibawa keluarganya ke tempat yang dianggap lebih aman sehingga tidak bisa melanjutkan sekolahnya.

 

Derita Yatim Piatu Iraq

Ada kelompok anak-anak yang lebih menderita lagi. Yakni mereka yang memang sudah tidak mempunyai orang tua. Itu dialami oleh Fadhel Muhammad Riyad. Usianya masih 10 tahun. Ia, satu dari ratusan ribu anak-anak Iraq yang kehilangan kedua orang tuanya. Ya, Fadhel adalah anak yatim piatu. Kedua orang tuanya meninggal dalam tragedi pilu yang menimpa banyak di berbagai daerah di Iraq, sejak tentara AS menghujaninya dengan peluru dan bom sejak bulan Maret 2003, dan rangkaian kekerasan yang tak berhenti.

Riyad kini ditampung di yayasan pemelihara anak-anak yatim. Ia mengatakan, “Beberapa tahun lalu lalu, ayahku meninggal karena ledakan di tengah kota Baghdad. Setelah itu, semua orang meninggalkanku dan adik perempuanku yang masih kecil. Kami tidak mendapatkan ada orang yang merawat kami.”  Meski masih anak-anak, luka kehidupan yang mendera Riyad, membuatnya sulit untuk menggerakkan bibirnya.           Dengan air mata menitik dan bibir gemetar menahan tangis, Riyad mengatakan,”Kami sebenarnya mempunyai saudara-saudara dalam keluarga. Tapi mereka semua tidak mau menerima dan mengurus kami. Mereka memaksa kami untuk bekerja sendiri untuk mencari makan.”  Tapi menurutnya, kehidupan di rumah penampungan anak yatim juga bukanlah kehidupan yang enak. Ia justru mengatakan telah menerima perlakuan yang menyakitkan dari para petugas di rumah penampungan tersebut. “Hidupku di sini tidak mudah. Hampir semua orang yang bertugas di sini, sikapnya kasar,” ujar Riyad.

Anak-anak Iraq, adalah sama nasibnya seperti warga sipil Iraq pada umumnya. Mereka adalah korban dari kekerasan perang tanpa alasan. Juga korban, karena sikap diam kaum Muslimin di berbagai negara dunia dengan kezaliman yang terus terjadi. Karakter kejam dan model pembunuhan keji di Iraq dijelaskan dampaknya oleh pakar sosial Iraq Haedar Hasan Karim, “Iraq mempunyai banyak karakter akibat tragedi ini. Kekerasan di Iraq bisa bermotif kekerasan antar etnik, peperangan melawan pendudukan AS, prilaku tradisional sejumlah penduduk Iraq dan juga pembunuhan karena motif kelaparan untuk mencari uang.“  Kini, kekhawatiran sudah merebak hebat terkait masa depan anak-anak. Menurut Haedar, “Mayoritas anak-anak Iraq akan tumbuh besar dalam trauma dan tekanan rasa takut dalam pikiran mereka. Anak-anak menderita karena mereka bagian dari skenario yang terjadi di Iraq. Mereka tak bisa bertemu dengan orang tua mereka. Dan sekarang  mereka terpaksa hidup di sejumlah tempat yang sama sekali tak membuat jiwa mereka tenang.“

 

Seorang anak Iraq lain, Hamid Abdussatar namanya. Dalam usianya yang masih 9 tahun, ia juga sudah ditinggal mati kedua orang tuanya akibat kekerasan hebat di Iraq. Hamid menjadi gelandangan yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, demi mencari sesuap nasi yang bisa mengisi perutnya dan juga perut adik perempuannya yang masih berusia 7 tahun. “Ayahku meninggal saat peperangan. Ibuku meninggal tujuh bulan setelah ayahku meninggal, akibat ledakan bom,“ ujar Hamid. Hamid lebih menderita ketimbang Riyad, karena ia tidak mengetahui di mana keluarga yang bisa ditemuinya. Riyad bahkan mengaku berulangkali terpaksa mencuri untuk mendapatkan uang sekedar membeli kue yang kemudian menjadi modal baginya untuk berjualan setiap hari. “Aku tahu apa yang saya lakukan itu dilarang. Tapi aku lakukan itu untuk bisa makan. Aku yakin Allah akan mengampuni dosaku. Aku lebih kuat menahan lapar, demi memberi makan adik perempuanku. Nanti bila aku menjadi orang kaya, aku akan peduli menolong anak-anak yatim Iraq…” urai Hamid.

 

Bukan Sekedar Masalah Lapar

Persoalannya, problem berat yang dihadapi anak-anak yatim Iraq di jalan-jalan, tak sekedar masalah lapar. Yang mungkin lebih menyiksa batin dan tubuh mereka adalah, karena mereka kerap menjadi target pelecehan seksual dari orang-orang tak bertanggung jawab. Itulah yang dialami Shalih, dan juga Hamid. Hamid mengatakan, adik perempuannya yang masih kecil pernah nyaris direnggut keperawanannya. Saat menceritakan hal itu, Hamid tertunduk memejamkan matanya karena tidak kuat mengucapkannya lagi. Setelah beberapa lama ia hanya mengatakan, “Aku…. berusaha menolongnya untuk bisa lari, dan akibatnya akulah yang menjadi korban kejahatan mereka…”

Selebihnya, Hamid Abdussatar lebih memilih hidup di jalanan ketimbang di rumah penampungan anak yatim piatu yang ada di Baghdad. Ia mengisahkan, dirinya dan adiknya pernah tinggal beberapa lama di penampungan itu, namun tidak kuat menahan derita. “Para pengurus membenci kami dan memperlakukan kami seperti binatang. Makanan yang kami terima adalah makanan yang sudah basi,” ujar Hamid. Ia juga mengatakan bahwa dirinya tidak kuat lagi melihat adik perempuannya menderita di rumah yatim. Itulah yang menyebabkan akhirnya Hamid memutuskan untuk keluar dari tempat itu dan mencari tempat yang lebih nyaman baginya. Jalanan, menjadi tempat pilihannya ketimbang harus menderita di rumah penampungan yatim.

 

Aset Generasi yang Nyaris Hilang

Beberapa waktu lalu, Unicef mengeluarkan laporannya tentang kondisi anak-anak di Iraq paska Maret 2003. Disebutkan bahwa jumlah pekerja anak-anak di bawah usia 11 tahun di Iraq mewakili 14% dari jumlah total dengan lama bekerja rata-rata 10 jam setiap hari. Mereka bekerja karena tekanan ekonomi, karena banyaknya orang dewasa yang menganggur dan banyaknya para janda yang kehilangan penyangga materi rumah tangganya. Tentang jumlah anak-anak yang bekerja, pihak Unicef mengatakan masih sulit menjelaskan jumlahnya. Terlebih angka itu semakin lama diperkIraqan cepat meningkat drastis.

Anak-anak benar-benar menjadi korban kekejian perang di Iraq. Dalam salah satu unit operasi AS di Barat Laut Baghdad di markas Al Hanaan, pada bulan Juni 2007 ditemukan lebih dari 20 mayat anak-anak dalam kondisi telanjang setelah dijadikan objek kekerasan seksual. Petinggi markas militer AS tidak menafikanhal itu. Ia hanya berdalih bahwa pelakunya bukanlah para tentara AS yang bertugas di sana.

Sementara itu, berdasarkan sensus Kementerian Pekerjaan Sosial Iraq, jumlah anak yatim di Iraq berkisar 4,5 juta orang anak. Sekitar 70% dari mereka adalah anak-anak yang menyandang yatim akibat kekerasan yang terjadi di Iraq paska kehadiran pasukan AS. Masih menurut Kementrian Pekerjaan Sosial Iraq, ada 6000 anak kecil di Iraq yang tidak mempunyai tempat tinggal kecuali di jalan-jalan. Mereka anak-anak yang melewati siang dengan mencari makan minum, kemudian beristirahat beratapkan langit di malam harinya. Mereka biasanya memilih tempat peristirahatan yang diyakini jauh dari pantauan orang-orang bersenjata. Sedangkan jumlah anak-anak yatim yang ada di sekitar 18 rumah penampungan di seluruh Iraq, hanya berkisar 700 orang saja. Kondisi merekapun di penampungan, sangat memerlukan bantuan yang primer bagi hidup mereka.

Seorang relawan Palang Merah Iraq mengatakan, bahwa karena kondisi sangat prihatin, anggaran yang dialokasikan khusus untuk menolong anak-anak jalanan dan anak yatim, terus menerus ditunda hingga batas yang tak ditentukan. Yang parah lagi, tak ada lembaga atau yayasan luar yang menangani masalah yatim ini. Semua rumah penampungan berasal dari pemerintah Iraq.

Anak-anak adalah aset paling mahal dan paling terbesar yang menentukan wajah masa depan sebuah generasi. Tapi di Iraq kini, modal paling mahal itu nyaris hilang.

 

 

Oleh: M. Lili Nur Aulia, Lc

sumber: Islam Pos

Anak Yatim Palestina Ini Tidur Dalam Pelukan Lukisan Kapur Uminya

Gambar yang menyayat hati ini diambil dari salah sebuah rumah anak yatim piatu di Palestina, yang menunjukkan seorang anak yatim melukis gambar ibunya di atas lantai dan tidur dipangkuannya, dalam usaha untuk mendapatkan kasih sayang dan belas kasihan seorang ibu.

Tak bisa terbayangkan, berapa banyak tetesan air mata anak ini tumpah untuk sekedar melukis gambar ibunya ini di lantai sebelum ia tidur. Hanya gambaran ibunya dalam benaknya saja, sebab foto pun tak sempat ia simpan dan miliki, entah kemana tersebab perang. Tergambar wajah ibunya yang sedang tersenyum, sambil tertulis di samping gambarnya tulisan yang berbunyi, mama.

Kisah seorang anak kecil yang melukis Ibunya pada sebuah lantai ini menggambarkan kepedihan seorang anak yang begitu merindukan kasih sayang seorang Ibu, Ibu anak ini meninggal dalam sebuah peperangan dinegeri para Nabi palestin.

Sang anak tinggal disebuah rumah yatim piatu di Palestina yang mungkin di rumah yatim ini banyak anak-anak yang menjadi korban ditinggal orangtuanya akibat perang yang dikobarkan Zionis Israel.

Mereka adalah anak-anak korban kebiadaban Zionis-Israel, mereka anak-anak yang tiada tahu menahu apa yang membuat mereka jadi korban perang yang begitu kejam itu, mereka hanya ingin hidup damai layaknya anak-anak yang lain.

Bagi anak-anak yang masih memiliki kedua orang tua syukurilah dengan sebenar-benarnya, jangan sia-siakan pengorbanan dan kasih sayang mereka, berbaktilah dengan sepenuh jiwa raga kita, baik dengan doa untuk kebaikan kedua orang tua maupun dengan pembuktian pemelihaaraan kita sebagai anak dihari tua kedua orang tua, Ibu Bapak kita, jangan sia-siakan.

Berbaktilah pada orang tua kita, datangilah mereka untuk mintakan keridhaan dan pintu maafnya selama nafas mereka masih ada, ukirlah senyum di wajah mereka, kemudian berlaku lemah lembutlah kepada anak-anak yatim dan dhu’afà, santunilah mereka, karena hampir-hampir saja syurga berada di sekitar mereka sebagaimana sabda Nabi kita tercinta.

Ingatlah bantu mereka anak-anak korban perang Palestina, Suriah dan lainnya dengan cara sisihkan sebagaian harta kita buat mereka, mereka perlu hidup layaknya anak anak yang memiliki Ibu Bapak. Mereka juga mempunyai perasaan yang sama seperti kita, hanya saja mereka tak punya tempat untuk berlindung dan berteduh dalam sebuah kasih sayang, dan jika kita diberi kemampuan oleh Allàh Ta’àlà mari menjadi Ibu dan Bapak bagi mereka, kalau bukan kita siapa lagi.

.. Rabbighfirli wa liwàlidayya warhumà kamà rabbayànà shaghìrà, allàhumma a’izzal Islàm wal muslimìn wanshuril ikhwànanàl mustadh’afìna wal mujàhidìna fì kulli makàn Yà ‘Azìz Yà Qahhàr Yà Rabbal ‘àlamìn .…(rz)

 

 

 

sumber: Era Muslim