Ketika Shalat Jamaah Anak Menangis, Haruskah Membatalkan Shalat?

Ustadz, apa yang harus kami lakukan tatkala sedang shalat, sementara bayi kami menangis, apakah kami harus membatalkan salat atau bagaimana ya? Terlebih ketika salat berjamaah. Mohon penjelasannya, Ustadz.

Jawaban:

Alhamdulillaahi Rabbi-l aalamin, wa-sh sholaatu wa-s salaamu alaa asyrafi-l anbiyaa’i wa-l mursaliin, Nabiyyina Muhammad, wa alaa aalihi wa ash-haabihi ajma’iin, wa ba’d…

Ahlan wa sahlan saudaraku penanya.

Para ulama sepakat bahwa jika seseorang telah mulai melaksanakan salat fardhu, maka haram baginya untuk memutusnya/membatalkannya, tanpa ada alasan yang syar’i. Dan alasan-alasan tersebut telah disebutkan dalam sunah Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam-, sebagaimana juga diterangkan oleh para ulama, di antaranya yaitu:

  • Untuk menyelamatkan diri dari sesuatu yang mengancam jiwanya, atau hartanya.
  • Untuk menyelamatkan orang lain dari sesuatu yang mengancam jiwanya, seperti menyelamatkan orang yang hampir tenggelam, terbakar, jatuh dari tangga, tertabrak mobil, dan yang semisalnya. (Lihat Raddu al-Muhtaar, Al-Mabsuuth, dan Kasysyaaf al-Qinaa’)

Dan uzur-uzur lain dapat kita bandingkan dengan uzur-uzur di atas, jika maknanya sesuai, maka berarti ia juga menyamai hukumnya. Para ulama menyebut ini dengan qiyas.

Adapun masalah bayi anda yang menangis, maka hukumnya dapat diketahui dari kondisi yang ada. Jika memang:

  • Tangisan tersebut dikhawatirkan membahayakannya (seperti meronta-ronta sehingga dikhawatirkan dapat terjatuh), atau disebabkan sesuatu yang membahayakannya (seperti gigitan sesuatu, atau rasa sakit tertentu). Atau…
  • Tangisannya mengganggu kekhusyukan jama’ah lain yang sedang salat, seandainya sedang berada pada situasi salat berjama’ah.
  • Tidak ada cara lain untuk mendiamkannya selain dengan membatalkan salat anda.

Maka tidak mengapa anda membatalkan salat anda.

Dan sebagai tambahan, bagi anda yang masih belum meyakini ketenangan anak ketika berada di masjid, maka sebaiknya untuk tidak membawanya ke masjid terlebih dahulu.

Bagi suami istri, jika memang mengetahui anaknya masih belum bisa anteng saat ditinggal salat, maka hendaklah salat secara bergantian, sehingga tidak perlu ada pembatalan salat ketika si anak menangis.

Dan juga untuk para imam, ketika mendengar tangisan anak, hendaklah meringankan durasi salatnya, sehingga sang ayah/ibu dapat segera menenangkan si anak tanpa harus membatalkan salatnya.

Wallaahu a’lam, semoga uraian di atas dapat menjawab pertanyaan anda.

Dijawab oleh Ustadz Ustadz Muhammad Afif Naufaldi (Mahasiswa Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah)

Read more https://konsultasisyariah.com/35997-ketika-shalat-jamaah-anak-menangis-haruskah-membatalkan-shalat.html

Nak, Jangan Marah Jika Aku Menyuruhmu Sholat

WAHAI anak yang diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa Taala! Apabila Allah memuliakanmu dengan memberikan kepadamu orangtua yang selalu memberikan perhatian kepadamu dalam permasalahan salat, menganjurkan, serta memotivasimu, maka hati-hatilah jangan sampai kamu merasa direpotkan oleh orang tuamu. Janganlah engkau merasa marah karena pengawasannya padamu!

Demi Allah sesungguhnya orangtuamu itu sedang berusaha untuk menjauhkanmu dari murka Allah Azza wa Jalla, dan berusaha untuk menghantarkan kamu kepada keridaan Allah Subhanahu wa Taala. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak akan rida denganmu sampai kamu termasuk dari orang-orang yang melaksanakan dan menjaga salatnya.

Perhatikanlah pujian Allah yang sangat harum kepada Nabi-Nya Ismail Alaihissallam. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

“Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridai di sisi Rabbnya.” (QS Maryam: 55)

Nabi Ismail Alaihissallam orang yang diridai oleh Allah Subhanahu wa Taala, karena dia melakukan segala sebab yang bisa mendatangkan keridaan Allah Azza wa Jalla, dan diantara sebab yang paling agung adalah memerhatikan salat dengan menjaga dan terus menjaganya, serta mengajarkan kepada keluarga kebiasaan menjaga salat.

Imam Malik rahimahullah meriwayatkan dalam kitabnya Muwattha dari Zaid bin Aslam Radhiyallahu anhu dari bapaknya, bahwasanya Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu melakukan qiyamul lail (salat malam) sebanyak bilangan yang Allah Azza wa Jalla kehendaki. Tatkala berada di akhir malam, beliau Radhiyallahu anhu membangunkan keluarganya untuk melakukan salat. Beliau Radhiyallahu anhu membacakan kepada mereka firman Allah Subhanahu wa Taala:

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS Thaha: 132)

Kaum Muslimin, perhatikanlah dan renungilah keadaan dan sikap para assalafus shalih Radhiyallahu anhum terhadap arahan agung dari Allah Azza wa Jalla ini! Kemudian, bandingkanlah realita keadaan umat manusia yang cenderung melalaikan, menyia-nyiakan arahan ini, serta keengganan mereka untuk menunaikan kewajiban yang agung ini.

Alangkah perlunya kita dalam permasalahan ini untuk menjadi pribadi-pribadi yang menjaga salatnya, kemudian mengawasi anak-anak kita dalam melaksanakannya! Alangkah butuhnya kita untuk selalu memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar menjadikan kita dan anak-anak kita termasuk orang-orang yang melaksanakan dan selalu menjaga salatnya.

Di antara doa yang paling agung dalam permasalah ini adalah doa Nabi Ibrahim Alaihissallam, “Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat! Ya Rabb kami, perkenankanlah doaku.” (QS Ibrahim: 40)

Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan taufiq kepada kita dalam menjaga salat, dan memperbaiki keadaan anak-anak kita, serta menjadikan kita dan mereka termasuk dari orang-orang yang mendirikan salat. [Majalah As-Sunnah/Syaikh Abdur Razzaq]

 

INILAH MOZAIK

Kiat-kiat Mengajari Anak Shalat

“Bu, sebentar bu, masih dingin, lagian kan masih panjang waktu shalatnya.”Di rumah lain terdengar, “Ibu nih, lagi seru-serunya diganggu.” Di kamar lain terdengar, “Aku gak mau shalat, bikin capek aja.”

Ungkapan-ungkapan di atas terkadang bahkan mungkin sering kita dengar sebagai orang tua dalam mendidik dan melatih anak-anak kita untuk shalat. Ada yang membantah, ada yang bermalas-malasan, ada yang menunda-nunda, ada pula yang memenuhi panggilan ibunya untuk shalat namun bercanda ria saat shalat.

Di sisi lain, kita dapatkan banyak sekali orang tua yang begitu perhatian dengan pendidikan formal, mendidik mereka mampu membaca, menulis, dan berhitung. Mereka rela mengantar di pagi hari dan menjemput di siang hari. Namun, sedikit sekali dari mereka yang perhatian terhadap pendidikan anak untuk shalat.

Siapakah yang salah? Anak yang bandel ataukah orang tua yang lalai? Dan kapan seharusnya anak dididik dan dilatih shalat? Haruskah menunggu berumur tujuh tahun baru diajari tata cara shalat?

Pertanyaan-pertanyaan ini telah dijelaskan jawabannya oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dalam sabdanya,

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun dan pukulah mereka jika tidak shalat saat berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidur.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud II/167)

Dari hadits ini bisa diambil beberapa pelajaran, yaitu :

1. Kewajiban orang tua mendidik anak shalat.

Anak adalah amanah di benak orang tua. Maka, mendidik anak merupakan kewajiban orang tua karena termasuk pelaksanaan amanah. Terlebih khusus mendidik anak untuk shalat, karena ada perintah langsung dari Rasulullah untuk memerintahkan anak shalat. Dalam hadits disebutkan “perintahkanlah”, kalimat ini disebutkan dengan kalimat perintah, dan kalimat perintah menunjukkan wajibnya perkara yang diperintahkan.

Imam asy-Syaukani berkata, “Hadits di atas menunjukkan wajibnya orang tua memerintahkan anaknya untuk shalat …” ( Nailul Authar II / 377)

Syeikh Izzuddin bin Abdus Salam berkata, “Hadits ini adalah perintah untuk para wali bukan perintah untuk anak kecil, karena anak kecil bukan sasaran hadits ini” (Aunul Ma’bud II / 161)

Setelah kita mengenal bahwa mendidik anak untuk shalat merupkan kewajiban orang tua, maka jika ia melalaikan kewajibannya maka ia akan diminta pertanggungjawabannya. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,

“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian bertanggung jawab atas yang ia pimpin, seorang amir adalah pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya, seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, maka ia bertanggung jawab atasnya. Ketahuilah setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin.” (diriwayatkan oleh Bukhari no 7138 dan Muslim 1829)

Disebutkan dalam hadits ini “seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas keluarganya”, maksudnya adalah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya terlebih khusus pendidikan agama.

2.Waktu yang tepat.

Setelah mengetahui bahwa mendidik anak untuk shalat merupakan kewajiban orang tua, lalu kapankah orang tua mulai mendidik anaknya untuk shalat?

Perlu diketahui, mendidik anak untuk shalat itu melalui beberapa tahap, yaitu : mengajarkan dan membiasakan anak shalat, memerintahkan anak untuk shalat, dan yang ketiga adalah memukul anak jika enggan atau membangkang saat diperintah untuk shalat.

Tahap pertama, yaitu tahapan mengajarkan dan membiasakan anak shalat harus dilakukan sebelum anak mencapai umur tujuh tahun. Karena saat anak berumur tujuh tahun, ia sudah diperintahkan untuk shalat, bagaimana mungkin anak akan menjalankan shalat jika belum diajari dan dibiasakan shalat sebelumnya?

Di antara perkataan salaf yang mendukung bahwa anak sudah mulai diajari shalat sebelum berumur tujuh tahun adalah perkataan Ibnu Umar, “Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – mulai mengajari anak-anak shalat saat mereka bisa membedakan mana kanan mana kiri.”

Jundub bin Tsabit berkata, “Mereka mengajari anak-anak untuk shalat saat mereka bisa berhitung sampai angka dua puluh.”

Kedua atsar ini menjelaskan bahwa mengajari anak shalat dilakukan sebelum anak berusia tujuh tahun, karena usia-usia tersebut anak sudah mampu membedakan mana kanan dan mana kiri dan sudah mampu berhitung sampai angka dua puluh. Anak yang sudah bisa membedakan kanan kiri atau menghitung hingga angka dua puluh tidak harus berusia tujuh tahun.

Selain itu, makna sabda Nabi “perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat” secara implisit merupakan perintah kepada orang tua untuk mengajari anak-anak shalat, termasuk rukun-rukun shalat, syarat-syarat sah shalat, dan lain sebagainya.

Adapun waktu untuk memerintahkan anak shalat adalah saat anak berusia tujuh tahun. Karenanya, Imam Abu Dawud membuat bab khusus dalam kitabnya “Bab kapan anak diperintahkan untuk shalat” lalu menyebutkan hadits di atas. Perlu dipahami, bahwa memerintahkan anak untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun bukanlah perintah bersifat wajib, namun perintah untuk membiasakan anak shalat.

Imam asy-Syaukani menyebutkan dalam Nailul Authar, “Bab diperintahkannya anak kecil untuk shalat sebagai pembiasaan bukan pengharusan”.

Mengapa harus usia tujuh tahun, di antara hikmahnya adalah:

Anak usia tujuh tahun sudah mulai meluas lingkungan bermainnya dan pengetahuannya, maka harus diimbangi dengan lingkungan agamis dan pengetahuan islami.

Masa-masa paling bagus bagi anak belajar segala macam ketrampilan, maka jika ia telah terampil menjalankan shalat, niscaya ia akan menjaga shalatnya saat telah tumbuh dewasa.

Anak usia tujuh tahun telah bisa membedakan, dan ia selalu melakukan perbuatan yang diperintahkan orang tuanya untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dari orang tuanya, sehingga jika diperintahkan untuk shalat niscaya ia segera memenuhinya. Berbeda saat anak telah berusia sebelas tahun, maka memenuhi perintah orang tua tanpa ada perdebatan dulu merupakan sifat kekanak-kanakan menurut mereka. Dan jika anak telah tumbuh dewasa, maka jika ia bisa membantah perintah kedua orang tua biasanya ia akan merasa bahwa dirinya telah dewasa.

3. Boleh memukulnya.

Setelah orang tua mengajari anak tata cara shalat secara bertahap dan mengajaknya melaksanakan shalat, maka orang tua juga harus memerintahkan anaknya saat usia tujuh tahun dengan memberi motivasi dan ajakan yang baik agar anak terbiasa shalat. Kemudian saat anak usia sepuluh tahun, maka ia diperintahkan dengan perintah yang bersifat wajib, agar anak mau mengerjakan shalat. Jika anak enggan atau tidak memenuhi seruan orang tua, maka orang tua boleh memberikan pukulan mendidik yang bisa membuat mereka jera dan tidak menyakiti.

Perlu diperhatikan di sini, memukul adalah cara terakhir untuk mendidik anak. Maksudnya, sebelum memukul harus menempuh cara-cara lainnya terlebih dahulu, seperti menasihati, kemudian memperingatkan dengan keras, memberi ancaman hukuman jika memang anak termasuk orang yang jera hanya dengan ancaman. Jika ketiga cara ini tidak mempan, barulah ia memukul anaknya.

Tentunya, saat memukul harus memerhatikan beberapa hal sebagai berikut:

Tidak lebih dari sepuluh kali, karena tujuan memukul adalah mendidik bukan menyakiti.

Hal ini sesuai sabda rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -,

لاَ يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّه

“Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam hukuman pasti dari hukuman-hukuman yang Allah tentukan.” (Diriwayatkan oleh Bukhari no 6848)

Tidak memukul wajah, karena di wajah terdapat mata, hidung, mulut, lisan, dan bagian-bagian vital lainnya. Sehingga jika salah satu dari bagian ini cidera atau terganggu maka akan hilang fungsi vital dari organ tersebut.

Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,

إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ

“Apabila salah seorang di antara kalian hendak memukul, hendaklah ia menjauhi wajah.” (Diriwayatkan oleh Ahmad no. 7552)

Tidak memukul pada anggota tubuh yang vital dan membahayakan, seperti kemaluan, perut dan yang semisalnya.

Tidak memukul saat emosi dan marah. Karena marah hanya akan menyeret pelakunya kepada kebrutalan. Sehingga ia tidak bisa mengendalikan dirinya.

Jika orang tua memukul anaknya sesuai ketentuan-ketentuan di atas, maka hal ini diperbolehkan dan ia tidak berdosa. Adapun memukul anak dengan pukulan yang kelewat batas, maka ia berdosa. Hendaklah ia selalu ingat sabda rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -,

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِى عَلَى مَا سِوَاه

“Sesungguhnya Allah maka lembut dan menyukai kelembutan, Allah memberikan manfaat atas kelembutan dengan manfaat yang tidak diberikan atas kekerasan dan tidak diberikan kepada yang lainnya pula.” (Diriwayatkan oleh Muslim no 6766)

Demikianlah, sedikit pelajaran yang bisa kita petik dari sabda nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang cara mendidik anak untuk shalat, semoga Allah mengaruniakan kepada kita anak-anak yang shalih dan shalihah yang akan menjadi penyejuk mata kedua orang tuanya. Wallahu a’lam.(***)

 

Oleh : Abu Rufaid Agus Suseno, Lc

Sumber: Rubrik Fikih Keluarga, Majalah Sakinah, Vol. 11 No. 7

dikutip dari Majalah Sakinah