Wahai Para Orang Tua, Ciumlah Anak-Anakmu

Di antara bentuk ungkapan cinta Anda kepada anak-anak adalah mencium mereka. Ciumlah anak Anda setiap hari dan izinkan mereka mencium kepala Anda dan kepala ibunya setiap hari pula.

Sungguh, ciuman seorang ayah atau ibu memiliki pengaruh positif kepada anak-anaknya. Sebab, ciuman merupakan ungkapan cinta, perhatian, kerinduan dan lain sebagainya dari makna-makna keindahan yang mampu menjaga keharmonisan rumah tangga.

Berusahalah Anda untuk mencium anak-anak Anda setiap hari dalam rangka mengungkapkan rasa sayang dan cinta Anda kepada mereka.

Hal ini juga dilakukan oleh Nabi kita, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Suatu ketika, beliau bertanya kepada seorang badui,

“Apakah kalian mencium anak kalian setiap hari?”

Orang itu menjawab, “Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh orang anak yang tidak pernah aku cium satupun di antara mereka.”

Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya,

“Apa yang telah engkau lakukan? Sesungguhnya Allah telah mencabut rahmat dari hatimu.” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi).

Telah diriwayatkan dalam sebuah atsar dari Ummu Salamah Radhiyallahu Anha, bahwa ia menuturkan,

“Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di rumahku. Ketika itu pembantu mengatakan bahwa Ali dan Fathimah ada dalam kamarnya.

Ketika itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadaku,

Bangunlah kamu tolong panggilkan ahli baitku.”

Mendengar sabda beliau itu, aku bangkit dan berdehem di dekat rumah. Seketika itu juga, masuklah Ali dan Fathimah, bersama kedua anaknya Al-Hasan dan Al-Husain yang masih balita

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menggendong kedua balita tersebut dan meletakkannya di atas pangkuannya lalu mencium keduanya.

Setelah itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memeluk Ali pada satu tangannya dan Fathimah pada tangan yang lain, beliau mencium Fathimah dan mencium Ali, kemudian Rasulullah memberi mereka sebuah kain hitam, kemudian beliau berdoa,

“Ya Allah, aku minta kepada-Mu agar menjauhkan aku dan keluargaku dari neraka.”

Aku (Ummu Salamah) katakan, “Aku bagaimana wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Kamu juga.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya [6/296]).

Dikutip dari buku Kaifa Takûnâ Abawain Mahbûbain karya Dr. Muhammad Fahd Ats-Tsuwaini. Semoga bermanfaat.

 

Abu Syafiq/BersamaDakwah

 

 

—————————————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Awas! Iblis Bersama Harta dan Anak Anda

SEPENGGAL hikmah di surat al-Isra: 61 65. Ketika Iblis diusir dari surga karena membangkang perintah Allah, dia diberi kesempatan untuk menyesatkan manusia untuk menjadi temannya di neraka Jahanam.

Dia juga diberi kesempatan untuk memanfaatkan setiap harta dan anak yang dimiliki manusia agar menjadi propertinya. Allah berfirman, “Bergabunglah dengan mereka (manusia) pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (QS. Al-Isra: 64)

Ulama berbeda pendapat tentang bentuk bergabungnya iblis bersama manusia dalam hal anak dan harta. Al-Hafidz Ibnu Katsir menyimpulkan perbedaan tafsir tersebut dengan menyebutkan keterangan Ibnu Jarir at-Thabari, “Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang paling mendekati kebenaran, bahwa setiap anak yang dilahirkan wanita, dan menjadi sebab seseorang bermaksiat kepada Allah, baik dengan memberikan nama untuknya dengan nama yang Allah Allah benci, atau dengan memasukkan anak ini ke dalam agama yang tidak Allah ridhai, atau anak hasil zina dengan ibunya, atau anak yang dibunuh dan dikubur hidup-hidup, atau perbuatan lainnya yang termasuk maksiat kepada Allah terhadap anak itu, semua keadaan di atas termasuk dalam bentuk ikut campurnya Iblis terhadap anak.

Oleh karena itu, semua anak dan harta yang menjadi sarana bermaksiat kepada Allah dan sebab mentaati setan maka Iblis ikut bergabung di dalamnya. (Tafsir Ibnu katsir, 5/94).

Ayat ini mengingatkan kita untuk lebih mawas diri dalam mendidik dan memperhatikan manfaat harta dan pendidik anak. Bisa jadi secara zahir itu harta dan anak kita, namun sejatinya telah dikendalikan iblis.

Perhatikan dengan baik, jangan beri kesempatan Iblis untuk bergabung mengendalikan harta dan anak kita. Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

 

MOZAIK

Harta dan Anak jangan Bikin Lalai Mengingat Allah

AGAMA Islam mengajarkan kepada umatnya agar berhati-hati dengan pelit dan menjadi dermawan. Janganlah pelit dan memiliki akhlak yang tercela.

Tidaklah berkumpul kedua (sifat) ini bersama keimanan yang benar. Jadilah orang yang dermawan dengan harta dan bersikap lemah lembutlah.

Arti dari bait kalimat di atas adalah berhati-hatilah apabila berkumpul dalam dirimu sifat pelit dan akhlak yang tercela. Karena kedua sifat itu tidak mungkin berkumpul di dalam diri seseorang yang beriman. Dengan kata lain, iman tidak mungkin ada dalam diri seseorang apabila kedua sifat [pelit dan akhlak tercela] itu ada di dalam dirinya.

Karena pelit itu lahir dari prasangka buruk (su’udzan) kepada Allah dan tidak yakin kepada jaminan Allah atas orang-orang yang dermawan. Sedangkan akhlak yang tercela lahir dari hati yang sempit.

Dalil Alquran tentang sifat pelit, Allah berfirman:
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki llah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya (hatinya) sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (al-Anaam 125)

Dalil dari hadis Nabi Muhammad tentang hubungan pelit, akhlak tercela dan seorang mukmin, yang artinya: “Dua perkara yang tidak berkumpul dalam hati seorang mukmin: pelit dan akhlak yang tercela.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini mengandung peringatan yang keras atas dua perkara yang tercela tersebut. Karena kedua perkara pelit dan akhlak tercela dapat menghilangkan kesempurnaan iman dalam diri seseorang, yang selanjutnya dapat mencabut iman dari diri seseorang dan berakhir dengan mati dalam keadaan su’u al-khatimah. Semoga Allah memberikan kita ampunan dan melindungi kita dari kedua perkara tercela tersebut.

Alquran memuji sifat dermawan

Mengenai pujian atas kedermawanan dan celaan atas sifat pelit telah dijelaskan dalam Alquran: Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. (al-Lail [92]:5-ll)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada hari ketika seorang hamba memasuki waktu pagi kecuali kedua malaikat berdoa. Salah satunya berdoa, ‘Ya Allah berilah kepada orang yang berinfak gantinya.’ Dan malaikat yang satu berdoa, ‘Ya Allah berikan kepada orang yang pelit kehancuran.”‘ (HR. Bukhari- Muslim)

Diriwayatkan oleh Abu Umamah, Rasulullah saw bersabda, “Wahai anak Adam, sesungguhnya apabila kamu menginfakkan harta yang lebih milikmu itu baik bagimu dan apabila kamu pelit atasnya itu buruk bagimu, dan tidaklah tercela bagi orang-orang yang memiliki harta sebatas yang dibutuhkan.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan oleh Ibn Masud, Rasulullah bersabda, “Allah menghidupkan dua hamba dari hamba-hambaNya setelah keduanya meninggal dunia. Keduanya adalah orang yang memiliki harta dan anak yang banyak. Allah berkata kepada salah satu dari kedua orang itu, ‘Apa yang kamu lakukan atas apa yang telah Aku berikan kepadamu?’ orang itu berkata, ‘Aku meninggalkannya untuk anak-anakku karena aku takut mereka menjadi miskin.’ Allah berkata kepadanya, ‘Apakah kamu tidak yakin dengan kemurahanku. Sesungguhnya apa yang kamu takutkan atas mereka telah Aku turunkan kepada mereka (kemiskinan).’ Lalu Allah berkata kepada yang satunya, ‘Apa yang kamu lakukan atas apa yang telah Aku berikan kepadamu?’ orang itu berkata, ‘Aku infaqkan dalam ketaatan kepadaMu, dan aku yakin dengan nasib anak-anakku sebab kemurahanMu.’ Allah berkata, ‘Apa ang telah kamu yakini atas mereka, sungguh telah aku berikan kepada mereka (kekayaan).'” (Thabrani).

Imam Ghazali berkata: Ketahuilah! Sesungguhnya sifat pelit itu akan membawa kepada kerusakan yang sangat besar. Dasar dari sifat pelit adalah cinta kepada harta, baik atas harta miliknya atau milik orang lain yang ingin dimilikinya.

Ketahuilah! Memiliki harta itu bukanlah hal yang tercela. Karena setiap orang untuk menuju Allah memerlukan kendaraan yaitu tubuhnya. Dan, tubuh itu memerlukan makanan, pakaian dan tempat tinggal. Akan tetapi orang yang memahami tujuan dari harta itu, dia tidak akan mengambilnya kecuali sebatas apa yang diperlukan. Apabila berlebihan, maka seperti seorang musafir yang membawa bekal terlalu banyak sehingga memberatkan dirinya sendiri dan dia dapat celaka dengan barang bawaannya sendiri.

Begitu pula, memiliki harta yang lebih dari apa yang diperlukan dapat membawa kerusakan, karena ia dapat membawa hawa nafsunya dalam kemaksiatan. Hal itu disebabkan dia dapat melakukan apa saja dengan harta yang dimilikinya. Sedangkan untuk menjaga dirinya dia tidak mampu, karena sabar atas apa yang dia mampu lakukan sangatlah erat. Selain itu, harta yang berlebih dapat memalingkan dirinya dari kikir dan beribadah kepada Allah, yang merupakan inti dari kebahagian yang abadi. Dan, bagi yang menyia-nyiakan keduanya (dzikir dan ibadah) akan mengalami kerugian yang sangat besar.

Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (al-munaafiquun [63]:9)

Hal itu dapat terjadi, ketika hati disibukkan dengan urusan perusahaan seperti pengaturan manajemen, mencari solusi dalam pertengkaran di antara karyawan atau manajemen keuangan. Semua itu akan menyibukkan hati dan raganya dari ibadah kepada Allah, bahkan akan membuatnya cinta kepada dunia dan kebencian akan kematian. Yang berarti dia benci bertemu dengan Allah dan orang yang benci bertemu dengan Allah maka Allah benci bertemu dengannya.

Selanjutnya dia akan melakukan hal-hal yang dimurkai Allah, seperti mencari muka dihadapan manusia, riya (pamer), munafik dan mengatasnamakan agama untuk kepentingan duniawi. Bukan hanya itu saja, akan timbul permusuhan dan pertengkaran untuk meraih itu semua. Dan, masih banyak lagi hal-hal negatif yang ditimbulkan darinya.

 

MOZAIK

Anak yang Kurang Beruntung

Sehebat apa pun seorang ayah, ia tidak mampu menggantikan peran ibu dalam mengasuh anak. Begitu pun sebaliknya, seorang ibu tidak bisa menggantikan peran ayah mengisi relung lubuk hati anaknya. Keduanya mesti hadir bersamaan dalam peran yang berbeda untuk menanamkan akidah tauhid, syariat, dan adab yang baik (QS 31:12- 19). Tentu saja setiap orang tua ingin anaknya menjadi penyejuk hati dan pemimpin umat (QS 25:74).

Anak yang kurang beruntung itu karena mengalami salah satu dari empat kejadian, yaitu: Pertama, anak yang ditinggal mati orang tuanya. Sebagian anak tak sempat bertemu orang tuanya kecuali selembar foto yang tersisa. Anak yang ditinggal ibu saat melahirkan atau ayah sewaktu masih dalam kandungan dan terlahir sebagai anak yatim atau piatu (QS.4:6). Ada pula anak yang tak tahu rupa dan gaya ayah ibunya, kecuali dari cerita kaum kerabat yang mengasuhnya. Namun, ia selalu mendoakan mereka dan tegar menjalani hidup dan menjadi orang yang berjaya.

Kedua, anak yang ditinggal lama orang tuanya. Kesulitan hidup sering kali menjadi alasan untuk bekerja ke negeri orang. Keinginan mengubah nasib itu membuat seorang ayah atau ibu rela berpisah dan meninggalkan anaknya. Jika ayah yang pergi, ibu mengasuh anak dalam kesendirian. Jika ibu yang pergi, ayah berubah menjadi ibu rumah tangga dan menanggung kesepian tanpa belaian istri. Anak pun tumbuh dalam ketimpangan kasih sayang orang tua seperti digambarkan dalam sinetron “DuniaTerbalik.”

Ketiga, anak yang ditinggal pergi orang tuanya. Malang nian nasib anak semacam ini, karena orang tua yang melahirkan tak tahu rimbanya. Sungguh sedih anak ditinggal mati atau lama, tapi lebih sedih anak yang ditinggal pergi orang tua. Walau hidup dalam penantian, ia selalu berdoa agar suatu saat nanti ayah atau ibunya kembali. Mereka pergi karena perceraian atau lari dari tanggung jawab dan anaknya pun tumbuh dalam kegalauan dan ketidakpastian.

Keempat, anak yang ditinggal zamannya. Orang tuanya masih hidup, tapi mereka dibalut kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Tinggal jauh di pedesaan yang tidak terjangkau akses pendidikan dan kesehatan. Tertinggal oleh kemajuan zaman sebab ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan. Begitu pula nasib anak-anak di negeri konflik seperti Myanmar yang menderita di pengungsian, mati kelaparan, atau tenggelam di lautan. Mereka lari dari kebiadaban penguasa zalim dan orang tuanya tak berdaya menyelamatkan.

Orang tua wajib menjaga anak-anaknya dari segala macam sengsara (QS.66:6). Jika orang tua tidak mampu mengendalikan keadaan, tentulah apa yang terjadi atas izin Allah SWT, dan semua kembali kepada-Nya (QS.64:11,2:156). Namun, jika orang tua abai, tentu akan ada balasannya. Segeralah mohon ampun, sebab setiap kejahatan akan kembali kepada pelakunya. (HR Tirmidzi). Allahu a’lam bishawab.

 

 

Oleh: Hasan Basri Tanjung

REPUBLIKA

Anak Sebagai Ujian

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Alloh Swt. Dzat Yang Maha Menguasai langit dan bumi beserta segala apa yang ada di dalamnya. Tiada yang patut disembah selain Alloh, tiada yang bisa dimintai pertolongan kecuali Alloh. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Saudaraku, mudah-mudahan Alloh Swt. memberikan kita petunjuk dan kekuatan supaya kita bisa melalui setiap ujian dengan baik, karena hidup di dunia ini adalah rangkaian ujian demi ujian. Seperti anak yang akan naik kelas di sekolahnya, senantiasa akan dihadapkan dengan soal-soal ujian. Demikian pula kita dalam hidup ini. Setiap ujian yang kita hadapi hakikatnya adalah agar derajat kita naik di hadapan Alloh Swt.

Salah satu bentuk ujian dari Alloh itu adalah berupa anak atau keturunan. Jika dilihat dari satu dimensi, maka anak adalah karunia. Dilihat dari dimensi lain, anak merupakan amanah. Dan dilihat dari dimensi yang lain, anak merupakan ujian. Alloh Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Alloh dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Alloh-lah pahala yang besar.” (QS. Al Anfaal [8] : 27-28)

Oleh karena itu, melihat anak seperti melihat soal ujian. Orang akan stress menghadapi soal ujian kalau dia tidak belajar, meski jawaban dari soal itu sebenarnya sangat mudah. Dan, yang namanya ujian tidak selalu berupa kesusahan. Punya anak yang sukses itu juga bentuk ujian. Tidak jarang ada orangtua yang ujub, takabur, sombong, gara-gara kesuksesan anaknya. Kemana-mana memamerkan prestasi anaknya. Pada banyak kesempatan memamerkan anaknya sembari merendahkan anak orang lain yang tidak sukses sebagaimana anaknya.

Anak sukses itu adalah ujian. Jangan sampai kita yang sudah diamanahi oleh Alloh menjadi orangtua, merasa ujub, takabur, sombong karena kesuksesan anak kita. Karena sesungguhnya anak sukses adalah karunia dari Alloh Swt. Bersikap tawadhu dan berserahdiri kepada Alloh ketika melihat kesuksesan anak, maka itulah orangtua yang sukses. Sedangkan jika kita ujub, takabur, sombong, maka sesungguhnya kita sedang gagal menyikapi ujian berupa anak.

Anak-anak bisa berprestasi di sekolahnya, tinggi nilai ujiannya, lulus dengan nilai yang mengagumkan, tiada lain adalah karena Alloh mengkaruniakan kepadanya otak dan akal pikiran, kesehatan, dan perlindungan.

Demikian halnya ketika anak tidak sesuai harapan. Mungkin prestasi di sekolahnya yang biasa saja, atau bahkan mungkin sempat tidak naik kelas. Kuliahnya berlarut-larut. Atau secara duniawi pekerjaannya biasa saja dibandingkan teman-temannya yang lain. Ini juga ujian bagi orangtua. Ada orangtua yang malu, minder dan berkeluh kesah melihat anaknya yang demikian. Sampai orangtua lupa bahwa surga tidak identik dengan gelar sarjana, dengan rangking pertama atau dengan jabatan mentereng di kantornya.

Bukankah banyak anak-anak yang hanya lulus SMA, atau kuliah tapi tidak sampai jadi sarjana, namun mereka justru akhirnya mampu menggaji para sarjana. Anak-anak seperti ini banyak jumlahnya.

Maka dari itu, bagi para orangtua hendaknya senantiasa rendah hati, penuh syukur dan tawakal kepada Alloh Swt. menghadapi bagaimanapun kondisi anak-anak kita. Tugas para orangtua adalah merawatnya, membimbingnya, dan mendidiknya sesuai dengan apa yang Rosululloh Saw. ajarkan. Yang terpenting dari anak kita adalah mereka menjadi orang-orang yang beriman kepada Alloh dan cinta kepada rosul-Nya. Inilah prestasi tertinggi bagi sang anak dan orangtuanya. Wallohualam bishowab.

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

[smstauhiid]

Anak Saleh Investasi yang tak Ternilai

Pada masa itu, tahun 51 Hijriyah, al-Rabi’ bin Ziyad al-Haritsy, sahabat Rasulullah SAW, ditunjuk menjadi gubernur Khurasan. Penunjukan Rabi’ bukan tanpa alasan. Rabi’ bin Ziyad merupakan sahabat Rasulullah yang bersemangat menegakkan panji-panji tauhid melalui jihad.

Setelah dipercaya menjabat gubernur di Khurasan, Rabi’ berjanji menyeberangi Sungai Saihun, sungai besar yang terletak setelah Kota Samarkand. “Dengan izin Allah juga akan aku pandang panji tauhid di barisan negeri ma wara’a an nahar (negeri-negeri di seberang sungai istilah yang ditujukan untuk negeri-negeri bekas jajahan Rusia itu),” bisik Rabi bin Ziyad seperti yang ditulis buku Kerinduan Seorang Mujadid.

Hal yang paling mengesankan dari Rabi’ bukan hanya semangatnya membela agama Allah, melainkan juga kebijaksaannya dalam membebaskan seorang budak dan membagi harta hasil rampasan secara merata. Budak yang selama ini diajak Rabi’ berperang di jalan Allah adalah seorang pemuda bernama Farrukh. Farrukh merupakan budak yang paling setia menyertai Rabi sebagai tuannya menjemput surga di bawah kilatan pedang.

Dari kebijaksanaan Rabi’ memerdekakan Farrukh sebagai budak dan membagi harta rampasan perang yang pada akhirnya menjadikan putra Farrukh seorang yang alim karena disekolahkan dengan harta warisan Farrukh.

“Terimalah bagianmu dari rampasan perang ini! Dan sejak hari ini, aku bukan tuanmu lagi. Mulai hari ini engkau adalah orang merdeka,” kata Rabi’.

Mendengar perkataan yang jarang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki budak, Farrukh seakan tidak percaya. Untuk itu, dia menegaskan lagi dengan bertanya kepada tuannya. “Benarkah apa yang dikatakan Tuan tentang kemerdekaan untukku?” Rabi’ tersenyum melihat kebahagiaan Farrukh melalui pertanyaan singkatnya itu dan menjawab sebagai penegasan.

“Iya. Farrukh. Sejak sekarang engkau bebas membawa dirimu ke mana saja engkau mau. Dan engkau berhak mendapatkan itu semua,” ujarnya.

Setelah mendengarkan perkataan dari mantan tuannya itu, cahaya kebahagiaan tidak bisa disembunyikan dari wajah Farrukh.

Hari itu ia mendapatkan dua karunia duniawi sebelum kelak mendapatkan karunia akhirat karena memiliki anak saleh dan berilmu. Dua tahun setelah peristiwa itu, bekas tuannya meninggal. Farrukh pun bersedih dan mendoakan kepergian sang mentor di medan perang itu. Hari-hari setelah kepergian mantan tuannya, dia merasa kesepian dan memutuskan untuk kembali ke Madinah.

“Aku akan kembali ke Madinah,” ujar Farrukh kepada teman sejawatnya.

Setelah kembalinya di kota Rasulullah, ia bergumam. “Kota ini semakin hari semakin ramai saja,” kata Farrukh ketika pertama kali menginjakkan kakinya kembali di Madinah.

Karena tidak ingin terlalu lama dalam kesepian, Farrukh yang sudah berkepala tiga itu akhirnya memutuskan untuk menikah dengan seorang gadis pilihannya. Meski tinggal di rumah bersama istri yang salehah, semua itu tak mampu meredam kerinduannya untuk berjihad di jalan Allah.

Suatu hari seorang khatib Jumat memberi kabar gembira tentang berbagai kemenangan yang diraih kaum Muslimin. Ia mendorong para jamaah untuk terus melanjutkan perjuangan.

Dengan semangat yang tinggi, Farrukh bergabung dengan pasukan perang yang akan berangkat. Saat itu istrinya sedang hamil tua. Ia hanya meninggalkan uang 30 ribu dinar. “Pergunakanlah secukupnya untuk keperluanmu dan bayi kita nanti kalau sudah lahir,” ujarnya seraya berpamitan.

Beberapa bulan setelah keberangkatan Farrukh, istrinya melahirkan seorang bayi laki-laki tampan. Sang ibu menyambutnya penuh bahagia sehingga melupakan perpisahannya dengan sang suami.

Bayi laki-laki itu diberi nama Rabi’ah. Begitu menginjak dewasa, Rabi’ah diserahkan kepada beberapa guru untuk diajarkan ilmu agama dan akhlak. Untuk itu, sang ibu memberikan imbalan yang memadai dan hadiah bagi guru-guru itu. Setiap kali ia melihat perkembangan ilmu putranya, setiap kali itu pula ia menambah hadiah untuk pengajar Rabi’ah.

Rabi’ah terus menimba berbagai ilmu pengetahuan. Ia tak bosan-bosan belajar dan menghafal apa yang diberikan gurunya. Akhirnya ia menjadi seorang alim yang pandai dan terkenal.

Malam terang di musim panas. Seorang prajurit tua berjalan pelan memasuki Madinah. Usianya hampir 60 tahun, tapi langkahnya masih tegap dan mantap. Ia telusuri lorong-lorong menuju sebuah rumah. Dalam benaknya bergejolak berbagai pertanyaan. Apakah yang sedang dilakukan istrinya di rumah? Apakah anaknya sudah lahir? Laki-laki atau perempuan? Di jalan-jalan masih terlihat orang lalu lalang.

Namun, tak seorang pun yang memedulikannya. Ia memandang sekeliling. “Ah, ternyata telah banyak perubahan,” gumamnya. Tiba-tiba, tanpa disadari ia telah berada di depan sebuah pintu yang terbuka. Spontan ia menyeruak masuk.

Si empunya rumah yang mengetahui seorang laki-laki tua menyandang senjata masuk ke rumahnya tanpa permisi segera melompat menghadang. Pergulatan seru pun terjadi karena laki-laki tua itu memaksa masuk.

Para tetangga yang mendengar keributan itu segera berdatangan. Termasuk ibu tua yang sedang tidur nyenyak terbangun. Melihat siapa yang sedang bergulat, ibu tua itu segera sadar dan berteriak, “Rabiah, lepaskan! Ia ayahmu. Wahai Abu Abdurrahman, ia anakmu. Jantung hatimu.”

Mendengar seruan itu, dua orang yang sedang bergulat segera berdiri. Hampir tak percaya mereka berpelukan, melepaskan rindu. Mereka benar-benar tak menyangka pertemuan itu akan berlangsung begitu rupa.

Kini Farukh duduk bersama istrinya. Ia menuturkan segala pengalamannya selama di medan jihad. Namun, dalam hati, istrinya tidak bisa tenang karena bingung menjelaskan pengeluaran uang yang ditinggalkan suaminya sebelum berangkat.

“Bagaimana aku menjelaskannya? Apakah suamiku akan percaya kalau uang sebesar 30 ribu dinar itu habis untuk biaya pendidikan anaknya?” ujar sang istri dalam hati. Dalam keadaan bingung, tiba-tiba Furukh berkata, “Wahai istriku, aku membawa uang 4.000 dinar. Gabungkan dengan uang yang kutinggalkan dulu.” Sang istri semakin bingung. Ia terdiam tak menjawab ucapan suaminya.

“Lekaslah, mana uang itu?” tanya Farukh lagi.

 

Dengan wajah agak pucat dan bibir bergetar, istrinya menjawab, “Uang itu kuletakkan di tempat yang aman. Beberapa hari lagi akan aku ambil, insya Allah.”

Azan Subuh tiba-tiba berkumandang. Istrinya menarik napas lega. Farrukh bergegas mengambil air wudhu, lalu keluar sambil bertanya, “Mana Rabi’ah?” “Ia sudah berangkat lebih dahulu ke masjid!” jawab istrinya. Setibanya di masjid ruangan sudah penuh. Para jamaah mengelilingi seorang guru yang sedang mengajar mereka.

Farrukh berusaha melihat wajah guru itu, tetapi tak berhasil karena padatnya jamaah. Ia terheran-heran melihat ketekunan mereka mengikuti majelis ilmu tersebut. “Siapakah ia sebenarnya?” tanya Furukh kepada salah seorang jamaah.

“Orang yang Anda lihat itu adalah seorang alim besar. Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Laits bin Sa’ad, dan lainnya. Di samping itu, ia sangat dermawan dan bijaksana. Ia mengajar dan mengharapkan ridha Allah semata,” jawab orang itu.

“Siapakah namanya?” tanya Farrukh.
“Rabi’atur Ra’yi.”
“Rabi’atur Ra’yi?” tanya Farukh keheranan.
“Benar.”
“Dari manakah ia berasal?”
“Ia adalah putra Farrukh yang berjuluk Abu Abdurrahman. Ia dilahirkan tak lama setelah ayahnya meninggalkan Madinah sebagai mujahid. Ibunyalah yang membesarkan dan mendidiknya,” kata orang itu menjelaskan.

Tanpa terasa air mata Farukh menetes karena gembira. Ketika kembali ke rumah, ia segera menemui istrinya. Melihat suaminya menangis, sang istri bertanya, “Ada apa wahai Abu Abdurrahman?”

“Tidak ada apa-apa. Saya melihat Rabiah berada dalam kedudukan dan kehormatan yang tinggi yang tidak kulihat pada orang lain,” jawab Furukh.

Ibu Rabiah melihat hal tersebut merupakan kesempatan untuk menjelaskan amanat suaminya berupa uang 30 ribu dinar. Ia pun segera berkata, “Manakah yang lebih baik dan kau sukai antara uang 30 ribu dinar atau ilmu dan kehormatan yang telah dicapai putramu?”

“Demi Allah, inilah yang lebih kusukai daripada dunia dan segala isinya,” jawab Farukh.

“Ketahuilah suamiku. Aku telah menghabiskan semua harta yang engkau amanatkan untuk biaya pendidikan putra kita. Apakah engkau rela dengan apa yang telah kulakukan?” tanya ibu Rabiah.

“Aku rela dan berterima kasih atas namaku dan nama seluruh kaum Muslimin,” jawab Farrukh gembira.

Kebahagiaan Farrukh dan tidak lagi masalah dengan harta 30 ribu dinar yang telah habis digunakan istrinya untuk biaya pendidikan putranya yang menjadi seorang yang berilmu.

 

REPUBLIKA

Keterkaitan Anak dan Orang Tua

SALAH satu alasan mengapa kita harus menjadi orang tua yang baik adalah karena kita bertanggung jawab atas baiknya kehidupan anak kita kelak. Memiliki banyak anak bukanlah sebuah prestasi, sebagaimana tak memiliki anak bukanlah sebuah aib. Memiliki anak yang baik atau ikut membantu generasi masa depan dengan baik itulah yang menjadi prestasi.

Sudah sering saya jelaskan bahwa masa depan anak sangat ditentukan oleh karakter, sikap dan perbuatan orang tuanya. Kali ini saya ingin sekali menukil sebuah ungkapan sastra Arab yang berkaitan dengan hal ini “Anak kecil itu tumbuh atas dasar apa yang ada pada orang tuanya# Sesungguhnya akar, di atasnyalah pohon itu tumbuh berkembang.”

Orang tua yang tidak pandai menata diri bukanlah orang tua yang baik. Orang tua yang tak peduli pada karakter diri dan karakter anak adalah orang tua yang tak berkarakter baik. Orang tua yang hanya fokus pada urusan perut adalah orang tua yang salah jalan yang perlu diingatkan dan dibimbing.

Sungguh orang tua punya peran penting dalam mempersiapkan generasi mendatang yang lebih baik. Kalau begitu, kita semua dan pemerintah kita sungguh perlu membangun dan mengembangkan sekolah khusus orang tua.

 

MOZAIK

Anakmu Beranjak 7 Tahun? Belajarlah Tega Padanya

ILUSTRASI ‘cerita’ berikut akan menguatkan semangat kita untuk mengikis habis yang menjadi penghambat/ujian dalam menjaga fitrah keimanannya. Tulisan ini dinukil dan diselia dari “Salat” Hafizh M. Noor Esa.

“Aa, Abang, Kaka. Masuk kamar!” suara Ayah tegas dengan nada dan volume cukup tinggi namun bermimik wajah lembut. Ada apa gerangan? Ayah hampir tidak pernah sekeras ini saat berbicara. Kami bertiga masuk ke kamar, menuruti perintah Ayah dengan kepala tertunduk. Peluh masih membasahi sekujur punggung, kami baru pulang bermain bola di kampung sebelah saat adzan Isya telah berkumandang. Memang kami terlalu larut bermain.

Kamar itu sebenarnya sebuah garasi yang disulap menjadi tempat tidur bersama dan ruang serbaguna dengan penerangan lampu seadanya. Aa bersila diantara aku dan Kaka yang juga ikut bersila. Kami sering disebut Tiga Serangkai oleh tetangga karena selalu bertiga kemana-mana. Ayah pun bersila di hadapan kami. Wajahnya mempertontonkan kekecewaan yang semakin membuat kami ciut.

“Kenapa pulang selarut ini?” Ayah mulai menginterogasi kami. Aa sebagai kakak lelaki pertama memposisikan diri sebagai juru bicara dan mulai berkilah panjang tentang alasan kenapa pulang larut malam. Mulai dari sendal Kaka yang hilang sebelah karena dijahili anak kampung sebelah hingga diajak main Playstation setelah main bola oleh Dodi, tetangga sekaligus teman karib kami bertiga.

“Sudah shalat maghrib?” Sebuah pertanyaan yang mencekat. Aa diam membeku. Apalagi aku, Apalagi Kaka yang paling muda. Kami betul-betul lupa waktu saat itu. Hanya menundukkan kepala yang bisa kami lakukan. Mungkin karena ini wajah ayah begitu kecewa. “Bu, tolong matikan lampu”, suara Ayah lembut kepada Ibu. Ibu yang semenjak awal ternyata mendengarkan di balik pintu kemudian masuk dan mematikan lampu lalu duduk di samping Ayah. Kamar seketika gelap gulita.

“Apa yang bisa kamu lihat sekarang?” Hening. “Semua gelap. Lihat sekeliling kamu, hanya ada hitam. Tapi ulurkan tanganmu ke kanan dan ke kiri. Kamu akan merasakan genggaman tangan saudaramu dan Ayah Ibu.” Kami saling menggenggam. “Tapi tidak lagi saat nanti di alam kubur. Karena kamu akan sendirian dalam kegelapan. Tidak ada saudaramu. Tidak ada Ayah Ibu. Hanya sendiri. Sendiri dalam kegelapan dan kesunyian.”

Aku tercekat. Semua terdiam. Genggaman tangan di kanan kiriku mengerat. Lalu terdengar suara korek api kayu dinyalakan, sesaat tergambar wajah Ayah, Ibu, Aa, dan Kaka akibat kilatan cahaya api pada korek yang dinyalakan Ayah. Semua berwajah sendu. Korek itu membakar sebuah benda yang menghasilkan bara berbau menyengat. Bau obat nyamuk. “Siapa yang berani menyentuh bara ini?” Suara Ayah masih mendominasi. Semua diam. Masih diam.

“Ini hanya bara. Bukan api neraka yang panasnya jutaan kali lipat api dunia. Maka masihkah kita berani meninggalkan shalat? Shalat yang akan menyelamatkan kita dari gelapnya alam kubur dan api neraka.”Terdengar suara isak tangis perempuan. Itu Ibu. Genggaman kami semua semakin menguat. “Tolong Ayah. Tolong Ibu. Ayah Ibu akan terbakar api neraka jika membiarkan kamu lalai dalam shalat. Aa, usiamu 14 tahun, paling dewasa di antara semua lelaki. Abang, 12 tahun. Kaka, 10 tahun. Bahkan Rasul memerintahkan untuk memukul jika meninggalkan shalat di usia 10 tahun. Apa Ayah perlu memukul kamu?”

Suara isak tangis mulai terdengar dari hidung kami bertiga. Takut. Itu yang kurasakan. Kami semua saling mendekat. Mendekap, bukan lagi menggenggam. “Berjanjilah untuk tidak lagi meninggalkan shalat. Apapun keadaannya. Sekarang kita shalat Isya berjamaah. Dan kamu bertiga mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” [*]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2364610/anakmu-beranjak-7-tahun-belajarlah-tega-padanya#sthash.2We2dA5C.dpuf

Jangan Biarkan Iblis Kendalikan Anak Kita!

SEPENGGAL hikmah di surat al-Isra: 6165. Ketika Iblis diusir dari surga karena membangkang perintah Allah, dia diberi kesempatan untuk menyesatkan manusia untuk menjadi temannya di neraka Jahanam.

Dia juga diberi kesempatan untuk memanfaatkan setiap harta dan anak yang dimiliki manusia agar menjadi propertinya. Allah berfirman,

“Bergabunglah dengan mereka (manusia) pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (QS. Al-Isra: 64)

Ulama berbeda pendapat tentang bentuk bergabungnya iblis bersama manusia dalam hal anak dan harta. Al-Hafidz Ibnu Katsir menyimpulkan perbedaan tafsir tersebut dengan menyebutkan keterangan Ibnu Jarir at-Thabari,

Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang paling mendekati kebenaran, bahwa setiap anak yang dilahirkan wanita, dan menjadi sebab seseorang bermaksiat kepada Allah, baik dengan memberikan nama untuknya dengan nama yang Allah Allah benci, atau dengan memasukkan anak ini ke dalam agama yang tidak Allah ridai, atau anak hasil zina dengan ibunya, atau anak yang dibunuh dan dikubur hidup-hidup, atau perbuatan lainnya yang termasuk maksiat kepada Allah terhadap anak itu, semua keadaan di atas termasuk dalam bentuk ikut campurnya Iblis terhadap anak.

Oleh karena itu, semua anak dan harta yang menjadi sarana bermaksiat kepada Allah dan sebab mentaati setan maka Iblis ikut bergabung di dalamnya. (Tafsir Ibnu katsir, 5/94).

Ayat ini mengingatkan kita untuk lebih mawas diri dalam mendidik dan memperhatikan manfaat harta dan pendidik anak. Bisa jadi secara zahir itu harta dan anak kita, namun sejatinya telah dikendalikan iblis.

Perhatikan dengan baik, jangan beri kesempatan Iblis untuk bergabung mengendalikan harta dan anak kita. Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2327516/jangan-biarkan-iblis-kendalikan-anak-kita#sthash.klxRxyNb.dpuf

Anak, Amanah atau Ujian?

SEBUAH kenyataan yang sering kali kita jumpai ialah tidaklah dua orang yang pernah mengenal berjumpa melainkan mereka akan bertanya berapa jumlah anak mereka sekarang.

Jarang sekali kita dapati mereka mengawali pembicaraan dari tema berapa banyak kekayaan mereka, berapa pula istrinya, atau yang lainnya. Ini mengisyaratkan bahwa anak di mata para orang tua adalah ibarat satu-satunya barang yang paling berharga yang ia miliki.

Ada hal yang penting sekali untuk diketahui dan sangat perlu direnungkan oleh para orangtua, bahwa lahirnya seorang anak bukan semata-mata guna menambah jumlah anggota keluarga, juga bukan semata-mata guna menambah kebahagiaan bapak dan ibu serta membahagiakan mereka.

Juga bukan sekedar memberikan harapan buat orangtua bahwa di hari esok apabila anak telah dewasa dapat membantu orangtua untuk mencari nafkah.

Akan tetapi, hadirnya seorang anak merupakan cambuk bagi orangtua khususnya, untuk berlomba-lomba berbuat yang paling baik bagi diri sendiri dan anaknya. Tentunya “baik” di sini adalah dalam penilaian Dzat Yang menciptakan dan menghadirkan buah hati tersebut di tengah-tengah keluarga.

Dengan demikian, anak tidak semata-mata kenikmatan rezeki dari Alloh untuk dinikmati, namun ia merupakan amanah dan tanggung jawab bagi orangtuanya. Bagaimana bisa begitu?

Tidak ada yang aneh dan samar dalam masalah ini bila kita kembali mentadabburi merenungi dan memahami firman Allah:

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS at-Taghabun: 15)

Bahkan dalam ayat tersebut Allah tidak sekedar membahasakan anak sebuah amanah, namun sebagai sebuah ujian. Yaitu, ujian apakah para orangtua berbuat baik pada anak tersebut, ataukah tidak. Hal ini mungkin perlu perenungan sejenak.

Sudahkah kita sebagai orangtua menyadarinya? Ini adalah pertanyaan pertama, sebelum kita bertanya apakah ia mendidik anak-anak dengan baik atau bahkan tidak memperhatikan mereka. []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2303911/anak-amanah-atau-ujian#sthash.FBjZjN9n.dpuf