Apa Itu Nazar? Bagaimana Pengertian Nazar dalam Islam?

Apa itu nazar? Berikut pengertian nazar dan ketentuanya dalam syariat Islam. Pasalnya, banyak orang yang bertanya terkait pengertian apa itu nazar dan penjelasan lengkap menurut ulama Islam. (Baca: Bernazar Puasa Senin-Kamis Seumur Hidup, Apakah Boleh? )

Pengertian Nazar

Pengertian nazar adalah sebuah kesepakatan seorang hamba dengan tuhanya atas capaian yang diberikan kepadanya. Nazar secara etimologi berarti janji sedangkan secara terminologi adalah menyanggupi melakukan ibadah semata-mata karena qurbah (mendekatkan diri kepada Allah Swt.)

Para ulama berbeda pendapat soal hukum nazar. Di dalam kitab Fathul Mu’in, Syaikh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibiriy menerangkan bahwa nazar sendiri adalah ibadah, sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa nazar hukumnya sunnah.

Sebagian ulama lagi mengatakan bahwa nazar hukumnya makruh, karena ada dalil yang melarangnya. Kebanyakan ulama menghubungkan pelarangan tersebut kepada nazar lajaj. Nazar lajaj memberi pengertian bahwa melakukan ibadah karena suatu perbuatan atau ditinggalkannya.

Perbedaan tersebut didorong adanya suatu pemikiran oleh para ulama bahwa nazar bisa saja menjadi dorongan hamba untuk mendekatkan diri kepada tuhan nya, sehingga seorang hamba bisa menyanggupi akan melakukan ibadah tanpa menggantungkan dengan sesuatu yang diharapkan dan mengandung kata kepastian. Misalnya “Saya bernazar akan bersedekah satu juta apabila diterima PNS”.

Apabila seorang tadi keterima PNS wajib baginya bersedekah sesuai nominal yang ditetapkan sebelumnya. Jika tidak, maka wajib baginya membayar kafarat (denda). Ini yang dalam kajian fikih dinamakan nazar tabarrur.

Disisi lain nazar dibuat untuk penggantungan pelaksanaan ibadah, baik itu dilakukanya maupun tidak, dan tidak mengandung kata kepastian. Misalnya ”Jika saya masuk rumah atau tidak keluar rumah maka akan kukerjakan puasa atau sedekah karena Allah”.

Dengan demikian nadzir (penadzar) bisa memilih menunaikan nazar atau tidak sebab kesepakatnya masih abstrak. Nazar semacam ini adalah nazar yang belum sah menurut syariat Islam. Dan nazar tersebut dalam kajian fiqih dinamakan nazar lajaj. (Syaikh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibiriy, Fathul Mu’in, penerbit menara kudus, Juz 2 hal. 145) 

Seperti halnya ibadah yang lain nazar juga memiliki ketentuan yang sudah disyariatkan dalam Islam. Dari keterangan diatas sedikit mengambarkan bahwa ada nazar yang memang sah menurut syariat dan tidak sah menurutt syariat. Tulisan sederhana ini akan membahas soal definisi nazar dan ketentuan nazar mana yang sah dan tidaknya menurut syariat.

Definisi dan Syarat Utama Nazar

Syaikh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibiriy mendefinisikan nazar sebagai berikut:

اَلنَّذْرُ اِلْتِزَامُ مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ رَشِيْدٍ قُرْبَةً لَمْ تَتَعَيَّنْ نَفْلًا كَانَتْ اَوْ فَرْضَ كِفَايَةٍ

Artinya: Nazar ialah penetapan pelaksanaan ibadah (bukan fardu ain) baik sunnah atau fardu kifayah oleh orang muslim, mukallaf yang rasyid (pandai berbuat).

Dari definisi diatas memberi pengertian bahwa syarat utama nazar adalah nadzir (penazar) harus beragama Islam, mukallaf dan rasyid. Selanjutnya sesuatu yang dinazarkan tidak tergolong fardu ain seperti shalat lima waktu, puasa, zakat, haji dll.

Nazar Sah Menurut Syariat Islam 

Para ulama sepakat bahwa keabsahan nazar apabila sudah memenuhi syarat diatas dan sesuatu yang dinazarkan tergolong sunnah atau fardu kifayah. Syaikh Zainuddin Al-Malibiriy memberi contoh dalam kasus ini semisal nazar pelanggengan shalat witir, menjenguk orang sakit, menikah jika telah sampai hukum sunnah dalam dirinya dll.

Lebih lanjut Syaikh Zainuddin Al-Malibiriy menerangkan nazar bisa sah untuk orang mukallaf apabila dengan lafadz munjaz (lestari), yaitu menetapkan pelaksanaan ibadah tanpa dengan menggantungkan pada suatu kejadian.

Misalnya “kami wajib melakukan ini karena Allah”. Artinya bukan semata-mata karena ia tercapai sesuatu yang ia nazarkan, akan tetapi lebih ke sesuatu kewajiban ia atas tuhanya untuk mendekatkan diri kepada tuhanya. Ini yang tadi diatas dinamakan nazar tabarrur.

Nazar juga dikatakan sah apabila menggunakan lafadz muallaq (tergantung pelaksanaannya pada suatu kejadian). Yaitu menetapkan ibadah sebagai imbalan terjadinya suatu kenikmatan yang digemari atau tersingkirnya suatu bencana.

Misalnya ”jika Allah menyembuhkan penyakit kami ini atau menyelamatkan diri kami maka kami wajib begini, atau akan melakukan begini”. Nazar dalam kasus ini dinamakan nazar Mujazah.

Selanjutnya diterangkan dalam kitab Muhadzab bahwa:

وَلَايَصِحُّ النَذْرُ اِلَّا بِالْقَوْلِ

Artinya: Nazar tidak sah kecuali dengan sebuah ucapan (Abu Ishaq as-Syairazi, Al-Muhadzab, Juz 1 hal. 443).

Dari pernyataan diatas dapat diberi pengertian bahwa keabsahan nazar tidak cukup dengan niat dalam hati. Akan tetapi harus dibarengi ucapan yang dianggap sah menurut syariat. Nazar oleh syaikh Zainuddin Al-Malibary diibaratkan seperti akad dalam jual beli, artinya harus jelas dan ada kepastianya.

Nazar Tidak Sah Menurut Syariat Islam

Nazar yang tidak sah menurut syariat Islam apabila bernazar dengan perbuatan maksiat misalnya berpuasa pada hari tasyriq, shalat tanpa ada sebab pada waktu-waktu makruh dan tentu tindakan maksiat lainya.

Termasuk (dalam kutip tindakan maksiat) adalah perbuatan makruh misalnya shalat diatas makam atau nazar pemberian khusus kepada salah satu ayah ibu atau anak-anaknya (ditakutkan terjadinya kecemburuan sosial).

Begitu juga tidak sah apabila bernazar dengan sesuatu yang mubah. Misalnya “Saya nazar makan dan minum karena Allah”. Sekalipun ia berniat agar kuat atau semangat melakukan ibadah. Menurut pendapat yang paling sahih menazarkan perbuatan jaiz tidak sah menurut syariat. (Fathul Muin, Menara Kudus, Juz 2 hal. 147).

Selain itu juga tidak sah bernazar akan melakukan sesuatu yang wajib yang tergolong fardhu ain seperti shalat lima waktu. Sebab shalat lima waktu meskipun tidak dinazarkan sudah menjadi kewajiban seorang muslim. (Sayyid Ahmad bin Umar As-Syatiri, al-Yaqu an-Nafis fi Madzhabi Ibni Idris, hal. 227). 

Kesimpulan 

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa nazar adalah sebuah janji seorang hamba kepada Tuhan. Maka kewajiban seorang hamba untuk melaksanakan atas dasar kewajiban, bukan untuk penggantungan ibadah karena capaiannya sebuah harapan.

Keabsahan nazar hanya diperuntukkan perbuatan yang sunnah dan fardhu kifayah, diniatkan dengan hati serta diucapkan lewat lisan oleh orang Islam yang mukallaf dan rasyid (pandai berbuat).  Keabsahan nazar juga harus mengandung lafadz kepastian untuk menyanggupi melakukan suatu yang dinazarkan.

Efek dari sebuah nazar adalah perkara yang asalnya sunnah atau fadhu kifayah menjadi hal yang wajib baginya. Nazir (penazar) wajib melakukan apa yang ditetapkan oleh nazarnya seketika itu juga, jika tidak maka kewajibannya untuk membayar Kafarat (denda).

Adapun denda bagi pelanggar nazar adalah bisa memilih antara tiga hal (1) memerdekakan budak (2) memberi makan sepuluh orang miskin (0,6 kilogram / tiga per empat liter beras) (3) memberi 10 pakaian orang miskin. Jika tidak mampu atas tiga hal tadi maka wajib baginya puasa selama tiga hari. Wallahuaalam.

BINCANG SYARIAH