Mereka yang Tak Merindukan Surga

Adakah surga yang tidak dirindukan?
Bukankah surga selalu dirindukan?

Beberapa komen bernada heran  muncul ketika saya menerbitkan novel Surga yang Tak Dirindukan. Banyak yang mempertanyakan pemilihan judul tersebut.
Bagaimana mungkin surga tidak dirindu?
Sebenarnya kata surga dalam novel saya  bermakna kias dari  pepatah rumahku surgaku. Ketika seorang suami memutuskan menikah lagi, maka seolah ia sudah tidak merindukan rumah sebagai surganya lagi.
Namun  bukan novel Surga yang Tak Dirindukan  yang akan saya bahas, melainkan jawaban atas pertanyaan di atas tadi.

Adakah di antara kita yang tidak merindukan surga?
Untuk menjawabnya kita harus menelusuri dulu, siapa-siapa sajakah yang merindukan surga. Perindu surga adalah mereka yang akan melakukan apapun agar bisa masuk ke dalam janah-Nya.
Mereka adalah orang-orang beriman dan beramal sholih.

“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang sholih ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. ( QS. Al-Hajj: 23)
Dalam surat Al-Mukminun dijabarkan orang beriman adalah pewaris surga, orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, yang menunaikan zakat, dan menjaga kemaluannya.
Perindu surga adalah orang yang bertakwa.

“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya. ( QS. Az-Zumar:73-74 )

Perindu surga adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan rasulNya.
” … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa : 13)
Lalu siapakah yang tidak merindukan surga?
Kebalikan dari semua di atas.

Mereka yang tidak beriman, tentu saja sudah jelas termasuk dalam orang-orang yang tidak merindukan surga.
Yang berbahaya adalah orang yang mengaku beriman tapi tidak taat pada perintah Allah dan mengabaikan ajaran Rasulullah. Mereka ingin masuk surga, percaya surga itu ada, tapi perilakunya tidak menunjukkan kerinduannya terhadap  surga.
Bahkan jika kita menelaah Al-Qur’an dan hadits  serta fakta di lapangan,  orang yang perilakunya tidak menujukkan kerinduan pada surga jauh lebih banyak.

Mereka yang menyekutukan Allah atau syirik, percaya dukun, melakukan sihir, takut hantu, adalah orang yang tidak merindukan surga.
Orang yang berzina, melakukan aktivitas yang mendekati zina,  membuka situs porno, berkhalwat (pacaran berdua-duaan), melakukan sodomi atau homoseksual, adalah orang yang tidak merindukan surga.

Muslim yang meninggalkan shalat wajib, tidak puasa Ramadhan, mengabaikan kewajiban haji ketika rezeki dan materi mencukupi, tidak mengeluarkan zakat, juga bentuk perilaku tidak merindukan surga.
Membunuh, mencuri, merampok, menipu,  minum khamr (alkohol, narkoba, dan segala sesuatu yang memabukkan), berjudi, ikut taruhan, menganiaya,  merupakan  perilaku orang yang tidak merindukan surga.

Pejabat yang korup, lalim, manipulatif,  pemungut cukai yang dzalim, hakim dan aparat yang tidak adil,  adalah sosok pemimpin yang tidak merindukan surga. Pemakan riba, pemakan harta anak yatim, penipu, pendusta, menjadi saksi palsu, membuat sumpah palsu, ingkar janji, tidak amanah pun bukan golongan mereka yang merindukan surga. Orang yang riya, sombong, takabur, anak yang durhaka kepada orang tua,  pemutus  silaturahim,  mereka yang suka menuduh orang lain, tukang fitnah, mencibir, merendahkan sesama juga bukan termasuk yang merindukan jannah.

Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh perilaku  yang tidak merindukan surga.
Kembali ke pertanyaan adakah di antara kita yang tidak merindukan surga?
Ternyata ada, bahkan banyak  sekali. Tapi yang lebih penting dari itu semua adalah menanyakan hati masing-masing, termasuk yang manakah kita? Mereka yang merindu surga, atau menjauh darinya?

 

Oleh: Asma Nadia

 

sumber: Republika Online

Ramadhan dan Produktivitas

Oleh: Asma Nadia

Siang itu saya terburu-buru pergi ke bank untuk satu keperluan. Setelah melewati macet dan berbagai hambatan, akhirnya tiba juga dengan napas terengah. Sayang, ternyata bank yang didatangi sudah tutup.
“Selama bulan Ramadhan, bank tutup jam 14.30!” jelas satpam yang berada di pelatarannya. Setengah atau satu jam lebih cepat dari biasanya, batin saya mencatat.

Keesokan harinya saya datang lagi, masih untuk memenuhi keperluan yang sama. Sampai di bank, ruangan sudah dipenuhi nasabah. Mau tidak mau saya harus menghabiskan waktu mengantre lebih lama dari biasanya. “Maklum, Bu, karena bank tutup lebih cepat, waktu pelayanannya jadi terbatas,” tutur konsumen lain yang senasib.
Mungkin memang harus seperti ini di bulan Ramadhan, pikir saya pasrah. Dari tahun ke tahun toh tidak ada yang protes. Tapi, perbincangan kemudian setelah saya pulang, membuat saya mengambil kesimpulan berbeda.

Saat beristirahat di rumah, saya menelepon Mas Eka Tanjung, sahabat di Belanda, warga negara Indonesia yang sudah lama bermukim di Negeri Kincir Angin itu bersama keluarga.
Wah, kami baru buka, nih?” ujarnya membuka perbincangan. “Oh, maaf mengganggu. Selamat berbuka, Mas. Memangnya di sana buka puasa jam berapa, ya, Mas?”

“Iya, kami buka puasanya pukul 22.07, Mbak.” Jelas Mas Eka lagi. “Wah, berat. Berarti puasanya sekitar 17 jam, ya?” Saat itu yang tebersit dalam benak saya adalah sahur pukul 05.00-an, lalu buka puasa sekitar pukul 10 malam.
“Bukan, Mbak, di sini Subuh pukul 03.03. Jadi, puasa di Belanda sekitar 19 jam. Makanya, anak-anak di sekolah lumayan berat perjuangannya.”

Masya Allah, 19 jam puasa! Subuh datang lebih cepat, Maghrib hadir lebih lambat. Tidak ada privilese, tidak diperlakukan istimewa. Anak-anak Muslim Indonesia di Belanda hanya punya jeda waktu lima jam sehabis berbuka sebelum bersiap berpuasa lagi.
Pembicaraan singkat dengan Mas Eka membuat saya tertarik untuk melihat data puasa terlama di dunia. Ternyata, selama musim panas ini, negara Skandinavia seperti Swedia, Finlandia, dan Norwegia menjalani puasa selama 21 jam-jeda makan cuma tiga jam. Muslim di Rusia berpuasa sekitar 19 jam, di Inggris rentang puasa 17 jam 45 menit.

Di Amerika Serikat, waktu puasa 16 jam, sementara di Jepang waktu puasa 15 jam 37 menit. Dan di semua negara tersebut, umat Islam umumnya menjalankan ibadah puasa tanpa ada pengecualian sama sekali.
Mereka yang masih belajar harus sekolah setiap hari, tanpa tugas yang diringankan. Mereka yang bekerja pun tetap menjalani rutinitas setiap hari tanpa ada kekhususan. Intinya, produktivitas mereka tetap sama sekalipun pengorbanan dan tantangan di sana jauh lebih berat.

Sedangkan, di Indonesia yang waktu berpuasa sekitar 13 jam, kaum Muslimin banyak diberi keistimewaan dengan banyak kemudahan. Pulang kantor lebih cepat, jam masuk kerja malah ada yang lebih siang dari biasanya-kalau terlambat masih ditoleransi-bahkan jika tidur di jam kerja pun sebagian masih dianggap wajar.
Jika kemudahan dan keluangan waktu itu agar memiliki waktu ibadah lebih panjang mungkin bisa dimengerti. Tetapi, banyak yang menerjemahkan waktu lowong tersebut sebagai masa istirahat lebih banyak. Jika kita mampir ke masjid-masjid besar atau mushala di siang hari, masih banyak terlihat mereka yang rebahan tidur-tiduran di saat istirahat siang.

Kekontrasan yang terjadi memaksa saya kembali merenung memikirkan puasa dan produktivitas. Apakah tepat jika ada anggapan bahwa puasa menghambat produktivitas?
Jika melihat sejarah, bulan Ramadhan justru menjadi bulan prestasi umat Islam. Perang Badar Kubra terjadi pada 17 Ramadhan tahun 2 Hijriyah. Fathu Makkah terjadi tanggal 21 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah.

Tersebarnya agama Islam pertama kali di negeri Yaman terjadi pada Ramadhan tahun ke-10 Hijriyah. Islam di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad masuk ke Spanyol pertama kali pada 28 Ramadhan tahun 92 Hijriyah.
Dalam sejarah Indonesia, tak pelak bulan Ramadhan juga tercatat sebagai bulan prestasi. Fatahillah merebut Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527 M atau bertepatan dengan 22 Ramadhan 933 H. Proklamasi kemerdekaan Indonesia juga terjadi pada bulan suci. Ya, 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan.

Kini, pertanyaan yang perlu kita gaungkan di hati masing-masing, mampukah di hari-hari Ramadhan yang tersisa kita produktif? Bahkan, lebih baik lagi-mungkin lebih produktif dari 11 bulan lainnya? Masih ada sejumlah hari Ramadhan yang bisa kita koreksi bersama, hingga setelahnya terasa benar, insya Allah, lahir batin kita adalah pemenang.

 

sumber: Republika Online

Kekuatan Ramadhan

Oleh: Asma Nadia

Seorang pria yang sedang berada di balik kemudi, marah besar menyaksikan kendaraan di depannya diam dan menimbulkan kemacetan. Hal yang membuatnya akan terlambat tiba di kantor.

Dengan wajah kesal, ia segera membuka kaca, bersiap mengumpat si pengemudi mobil. Tapi begitu kaca terbuka, lelaki ini tiba-tiba tersadar jika ia sedang berpuasa. Maka kembali kaca jendela mobil dinaikkan diiringi ucapan istighfar. Menarik napas dalam, memilih bersabar hingga lalu lintas kembali normal.

Di sebuah sekolah, seorang siswa yang kesulitan menghadapi ujian, berusaha meraih kertas contekan yang telah disiapkan di bawah meja. Akan tetapi, sebuah bisikan hati serta merta menghentikan usahanya. “Malu, //masak// lagi puasa nyontek!”

Siswa ini lalu mengerjakan ujian sampai selesai tanpa membuka-buka kertas yang sudah disiapkan, dan bertekad belajar lebih giat selama Ramadhan sehingga tak perlu menyontek.

Beberapa ibu berkumpul, berbincang akrab dan santai sambil menunggu anak-nak mereka yang masih kecil sekolah. Topik yang dibicarakan beragam, mulai dari film, sinetron religi, harga yang melambung naik, bisnis yang makin sulit, hingga merembet ke masalah personal orang lain. Seperti biasa, di antara mereka selalu saja ada bigos (biang gosip) yang memberi ‘info’ terbaru.

Akan tetapi, kali ini semua kompak saling mengingatkan. “Bulan puasa, nggak baik ngomongin orang!” Begitulah, selama bulan suci, mereka membatasi dan sebisanya menghindari gosip dalam obrolan.

Di sebuah kampus, sepasang muda-mudi yang selalu berdua selama pacaran, berkomitmen untuk memperjarang pertemuan selama bulan puasa. Malu, masa puasa-puasa pacaran? Keduanya pun memilih mengisi aktivitas masing-masing tanpa sering bertemu sekalipun di ruang publik. Seorang pejabat yang sering minta komisi dan jatah proyek, di bulan ramadhan memutuskan lebih sering di rumah atau masjid.

Baginya bulan puasa adalah bulan penyucian diri, sehingga ia tidak mau menerima bentuk sogokan atau korupsi apapun selama bulan puasa.
“Malu sama Yang di atas.” batinnya.

Contoh-contoh yang dihadirkan sejak awal tulisan, hanya sebagian kecil dari begitu banyak perubahan ke arah lebih baik, yang dilakukan umat seiring masuknya bulan Ramadhan.
Berbagai pihak berlomba melakukan kebaikan, berlomba untuk menyempurnakan diri dalam upaya menghomati bulan suci.

Tapi ada selipan hikmah penting dari fenomena di atas. Sekalipun judul resonansi kali ini adalah Kekuatan Ramadhan, sebenarnya tidak langsung membahas hal tersebut, melainkan betapa Ramadhan justru menunjukkan bahwa umat Islam sebenarnya kuat. Ramadhan memperlihatkan bahwa segala kelemahan, emosi, dan perilaku buruk yang selama ini dilakukan pada dasarnya adalah pilihan sendiri. Seseorang berbuat buruk bukan karena tidak mampu meninggalkan perbuatan tersebut, tapi memang memilih untuk melakukannya.

Seorang pecandu rokok, selalu mengatakan lidahnya asam jika tidak merokok. Ada juga yang bilang tanpa rokok mereka tidak bisa konsentrasi. Akan tetapi selama ramadhan, para perokok aktif ternyata bisa melakukan semua pekerjaan sama baiknya dengan hari biasa, meski tanpa rokok. Jadi, mereka sebenarnya memiliki kekuatan untuk meninggalkan kebiasaan buruk tersebut, hanya saja di luar ramadhan memilih untuk tidak melakukannya.

Pribadi yang mudah naik darah, terbukti bisa menahan diri selama berpuasa. Artinya, jika mau mereka punya kemampuan untuk itu. Sayang di bulan lain lebih banyak yang memilih kembali kalah dalam menahan emosi. Orang yang curang dan sering melakukan korupsi. sebenarnya bisa jujur. Tapi ia memutuskan meneruskan kebiasaan buruknya, begitu Ramadhan berakhir.

Ramadhan mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk yang kuat. Benar-benar kuat dan punya kemampuan menjadi pemenang dalam berbagai situasi. Kuat menahan emosi. Kuat tidak melakukan kecurangan. Kuat untuk bertindak jujur. Akan tetapi, banyak di antara kita hanya mau menggunakan kekuatan tersebut saat Ramadhan dan memilih mengabaikan di sebelas bulan berikutnya.

Ramadhan adalah bulan latihan. Sebuah latihan tentu dianggap berhasil jika melahirkan akhlak dan perilaku konsisten, bahkan sesudah masa training berlalu. Dan berapa bilangan ramadhan telah kita lalui? Belasan, mungkin puluhan ramadhan telah menyapa kita. Bilangan ‘latihan’ dan kesempatan bertaubat yang Allah pertemukan kita dengannya. Sungguh bodoh dan meruginya manusia, yang tak kunjung menjadi lebih baik, bahkan masih mengulang dosa yang sama. Padahal mungkin saja ini Ramadhan terakhir kita.

sumber: Repubika Online